PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Al-Quran Al-Karim
memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat, salah satunya adalah
bahwa Al-Quran adalah kitab yang keotentikannya di jamin oleh Allah, Dan dia
adalah kitab yang selalu dipelihara. [1]
(Qs. Al-Hijr-9)
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)
Atinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Perbedaan pangkal
tolak dalam menelaah Al-Quran oleh sarjana muslim dan bukan muslim
(orientalis) menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Sarjana muslim dalam
melakukan usahanya didasari oleh titik tolak imani disertai dengan nuansa yang
tersendiri. Sedangkan para orientalis, tidak mempunyai ikatan batin sama sekali
dengan Al-Quran. Mereka menerapkan kebiasaan ilmiah yang bertolak belakang dari
”keraguan” untuk menemukan sebuah “kebenaran” ilmiah. Almarhum ‘Abdul-Halim
Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar berkata : “Para orientalis yang dari saat ke
saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk
meragukan ke otentikannya.” [2]
Seorang muslim, tidak
dapat menghindarkan diri dari keterikatannya dengan Al-Quran. Seorang muslim
mempelajari Al-Quran tidak hanya mencari “kebenaran” ilmiah, tetapi juga
mencari isi dan kandungan Al-Quran. Begitu juga dengan telaah tentang munasabah
yang merupakan bagian dari telaah Al-Quran. Seluruh usaha membeberkan
berbagai bentuk hubungan dan kemirip-miripan dalam Al-Quran adalah tidak
terlepas dari usaha membuktikan bahwa Al-Quran sebagai “sesuatu yang luar
biasa”.
B. Rumusan Masalah
Maka makalah
akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1.
Apa pengertian ilmu Al-Munasabah/Tanasubil Aayati Wassuwari ?
2.
Bagaimana pendapat Ulama disekitar ilmu munasabah ?
3.
Berapa macam-macam ilmu munasabah dalam Quran?
4.
Mengapa perlu ilmu munasabah ?
C. Tujuan
Mengingat urgensi dari ilmu munasabah itu sangatlah penting, dalam
menelaah Al-Quran, maka tujuan dari makalah ini sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui pengertian ilmu Munasabah.
2.
Untuk mengetahui pendapat Ulama disekitar ilmu munasabah.
3.
Untuk mengetahui macam-macam ilmu munasabah.
4.
Untuk mengetahui kegunaan dari ilmu munasabah.
D.
Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ilmu munasabah ini adalah :
1. Dapat mengetahui pengertian ilmu munasabah.
2. Dapat mengetahui pendapat-pendapat para Ulama di sekitar ilmu munasabah.
3. Dapat mengetahui macam-macam ilmu munasabah.
4. Dapat mengetehui kegunaan dari ilmu munasabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ILMU
AL-MUNASABAH
Munasabah berasal dari kata ناسب يناسب مناسبة yang berarti dekat, serupa,
mirip, dan rapat. المناسبة sama artinya dengan المقاربة yakni
mendekatkannya dan menyesuaikannya.; النسيب artinya القريب المتصل (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang
bersaudara dan anak paman. Ini terwujud apabila kedua-duanya saling berdekatan
dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-Nasib juga
berarti Ar-Rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.[3]
Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi
As-Suyuthi) bahwa munasabah adalah ada-nya
keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah, dan kalimat yang
mengakibatkan adanya hubungan.[4]
Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan makna antara ayat dan macam-macam
hubungan, atau kemestian dalam fikiran (nalar).
Makna tersebut dapat
dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap maknanya secara
utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat dicari
penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau
kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau ke surah lain ? karena pemahaman ayat
secara parsial (pemahaman ayat tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin terjadinya
kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang ingin memperoleh
apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia harus dipahami secara terkait.
Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami secara utuh dan
terkait, Al-Quran akan kehilangan relevansinya untuk masa sekarang dan akan
datang. Sehingga Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan
manusia. Jadi, tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang Ulumul Quran
tema munasabah hampir tak pernah terlewatkan .[5]
Secara terminologis, munasabah
adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran
baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang
lainya.[6]
Menurut bahasa, munasabah berarti
hubungan atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang
satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya. Ilmu munasabah
berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan
ayat atau surat yang lainnya.
Menurut istilah, ilmu munasabah / ilmu tanasubil
ayati was suwari ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban
dari bagian-bagian Al-Qur’an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara
beberapa ayat / beberapa surat Al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan
antara ‘am (umum) dan khusus / antara abstrak dan konkret / antara
sebab-akibat atau antara illat dan ma’lulnya, ataukah antara
rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi. Jadi
pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan
paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah, seperti
sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab
ayat-ayat Al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish
(pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan
yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari
suatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika
ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama
sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya
maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu
seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada
kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya
munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah itu
merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia
kebalaghahan Al-Qur’an dalam menjangkau sinar petunjuknya.
B. PENDAPAT-PENDAPAT
ULAMA DI SEKITAR MUNASABAH
1. Tertib Surah
dan Ayat
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Quran adalah taukifi
, artinya penetapan dari Rasul. Sementara tertib surah dalam Al-Quran masih
terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb bahwa tertib surat
Al-Quran di perselisihkan.[7]
Dalam hal ini ada tiga golongan:
A.
Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini
diikuti oleh jumhur ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb.
Beberapa alasan mereka adalah :
1) Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam
Al-Quran.
2) Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan
surah sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf
dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara yang satu dengan yang
lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud,
mushaf Ibnu Abbas.
3) Mushaf yang ada pada
catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada
petunjuk resmi dari Rasul.[8]
4) Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar
memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi
catatan kaki oleh As-Sayuthi agar diteliti kembali.[9]
B.
Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi).
Di antara ulama yang yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr
Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan
sebagai berikut :
1) Ijma’ sahabat terhadap mushaf
Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy,
seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya
akan berpegang teguh pada mushafnya.[10]
2) Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Dawud dari Huzaifah As-Syaqafi[11].
Dengan meneliti pembagian yang dikemukakan hadis tersebut didapatkan pembagian
Al-Quran dalam tujuh bagian yang seimbang.
3)
Hadis Ibn Abbas tentang alasan penyatuan surat At-Taubah dan Al-Anfal.
Ibn Hajar menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan bahwa susunan
Al-Quran taukifi, hanya karna Nabi tidak menjelaskan kepada Usman, maka
surat At-Taubat disatukan dengan surah Al-Anfal. Selanjutnya Ibn Hajar
menyatakan dalam mushaf Ibn Mas’ud terdapat basmalah di
awal surat At-Taubah, tetapi tidak diambil oleh lembaga.[12]
C. Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di
antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat
susunannya berdasarkan tauqif Rasul kecuali surat Baraah dan
Al-Anfal”.[14]
Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini.[15]
Dan alasan lainnya:
1)
Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi
sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh para
sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah,
At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi
sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Oleh para
sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan lafal basmalah.
2.
Tentang
Munasabah.
Ilmu munasabah yang juga disebut dengan “Tanasubil Aayati Wassuwari”
pertama kali di cetus oleh Imam Abu Bakar An-Naisaburi (wafat tahun 324 H[16]),
Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu
fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqai
yang menulis kitab “Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan
As-Suyuthi yang menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi
Tanaasubil Aayati Wassuwari” serta M. Shodiq Al-Ghimari yang mengarang
kitab “Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”.
Pada bagian ini muncul pertanyaan, apakah ilmu munasabah itu ada atau
tidak?, dari pertanyaan ini muncul dua pendapat yang berbeda sebagai
jawabannya. Pertama, pihak yang mengatakan secara pasti
pertalian yang erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat (munasabah).
Pihak ini diwakili oleh As-Syaikh ‘Izz Ad-Din Ibn ‘Abd As-Salam atau ‘Abd
Al-‘Aziz Ibn, Abd As-Salam (577-600 H).[17]
Menurut aliran ini, munasabah adalah ilmu yang mensyaratkan bahwa
baiknya kaitan pembicaraan (الكلام ارتبط ) itu bila antara permulaan dan akhiranya terkait menjadi satu.
Apabila hubungan itu terjadi dengan sebab yang berbeda-beda, tidaklah
diisyaratkan adanya pertalian salah satunya dengan yang lain.
Kalau Al-Munasabah ditinjau secara terminologis, dalam hal ini munasabah
bisa berarti suatu pengetahuan yang di peroleh secara Aqli dan bukan di
peroleh secara tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari
dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu.[18]
Demikian Az-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya tentang persoalan munasabah.
Pendapat lain yang mengatakan adanya munasabah dalam Al-Quran
juga di kemukakan oleh Mufassir, diantaranya As-Syuyuti, Al-Qaththan,
Fazlurrahman Dll.
Pihak kedua, mengatakan bahwa tidak perlu ada munasabah
ayat, sebab pristiwa-pristiwa tersebut saling berlainan. Al-Quran disusun
dan diturunkan serta diberi hikmah secara tauqifi dan tersusun atas
petunjuk Allah.
Terlepas dari kedua pendapat diatas , munasabah telah merupakan
bagian tak terpisahkan dari ‘ulum Al-Quran. Apakah adanya munasabah itu ijtihadi
atau tauqifi barangkali akan dapat dijawab ketika memperhatikan telaah
tentang kaitan ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
C.
MACAM-MACAM MUNASABAH
Pada garis besarnya munasabah itu menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan
antara ayat dengan dan hubungan surat dengan surat.
Dua
pokok hubungan itu di perincian sebagai berikut.
A. Hubungan ayat dengan
ayat meliputi :
1)
Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat.
2)
Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat.
3)
Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.
B.
Hubungan surat dengan surat meliputi:
1) Hubungan awal uraian dengan ahir uraian surat.
2) Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya.
3) Hubungan surat dengan surat sebelumnya.
1. HUBUNGAN
KALIMAT DENGAN KALIMAT DALAM AYAT
Fakhruddin Ar-Razi menyatakan bahwa “kehalusan / kelembutan” Al-Quran
terletak pada keserasian tata urut dan hubungan-nya. Sebagian ulama lain
menyatakan bahwa sebaik-baiknya pembicaraan adalah yang bagian satu berkaitan
dengan bagian lain sehingga tak terputus. Shubhi As-Shaleh. menegaskan bahwa
bahwa para ulama mensyaratkan adanya munasabah dalam ayat itu
apabila dua ayat atau lebih itu saling berhampiran. [20]
Hubungan antara ayat dengan ayat itu tidak selalu ada pada semua ayat
Al-Quran. Ayat yang satu dengan ayat lain adakalanya muncul secara jelas
menunjukkan hubungan kalimat satu dengan kalimat lainnya. Hubungan itu
memberikan kejelasan satu sama lain tentang maksud keseluruhan ayat.
Namun, ada juga hubungan yang tidak jelas. Kandungan makna suatu ayat
menjadi kabur karena kaitan kalimat satu dengan kalimat lain tidak di
pahamkan secara utuh. Hubungan “tidak” yang mengakibatkan samar-nya makna suatu
ayat bila dikaitkan dengan kalimat berikutnya dipersambung oleh ma’tuf معطوف
(huruf athof). Muhammad ‘Abduh memberikan tekanan dan perhatian pada ayat-ayat
yang dimulai dengan ياايهالذى امنو .
Tetapi Al-Baqi’i justru menyatakan bahwa semua ayat bahkan kalimat-kalimat
dalam Al-Quran mempunyai ikatan satu sama lain.
Hubungan antara ayat dengan ayat dalam
Al-Quran terbagi dalam dua macam. Pertama, hubungan yang
sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir
kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan
masalah yang dibahas kemudian. Hubungan ini dapat berbentuk اعتراض , تشديد ,
dan تفسير.[21]
Kedua,hubungan
belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat. Hubungan
demikian terdiri dari dua macam lagi, yaitu لا تكون
معطفةdan تكون معطوفة .[22]
A. Ma’thufah
Secara umum dapat dikatakan bahwa adanya huruf ‘athof ini
mengisyaratkan adanya hubungan pembicaraan. Ini dapat dilihat misalnya dalam
surat Al-Baqoroh (2): 245 :
وَاللَّهُ يَقْبِضُ
وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٢٤٥)
Namun demikian,
ayat-ayat yang ma’thuf itu dapat diteliti melalui bentuk susunan berikut.
1)
المضا دة (perlawanan/bertolak belakang antara satu kata
dengan kata yang lain)
Misalnya kata الرحمة disebut setelah العاذاب . kata الرغبة sesudah الرهبة ; menyebut janji dan
ancaman sesudah menyebut hukum-hukum. Hubungan ini banyak terdapat dalam surah
Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Maidah.[23]
Misal lain seperti dalam surah Al-Baqarah;6 :
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا
يُؤْمِنُونَ (٦)
artinya :Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu
beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
Ayat ini menerangkan watak orang kafir yang pembangkang, keras kepala,
tidak percaya kepada kitab-kitab Allah. Sedangkan pada ayat sebelumnya Allah
menerangkan watak orang mukmin yang berlawanan dengan orang-orang kafir.[24]
Al-Baqarah (2);3-4 :
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(٣)وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (٤)
Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada
mereka.(3) Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah
diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.(4)
2) الاستطراد (pindah kekata lain yang ada hubungannya atau penjelasannya lebih
lanjut)
Misal-nya surah Al-Ara’af; 26 :
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا
يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ
آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (٢٦)
Artinya ;Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian
takwa. Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari
tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.
Ayat tersebut menjelaskan tentang nikmat Allah. Sedang Ditengah dijumpai
kata وَلِبَاسُ التَّقْوَى yang mengalihkan pada
penjelasan ini (pakaian). Dalam hal ini munasabah yang dapat dilihat adalah
antara menutup tubuh atau aurat dengan kata-kata taqwa.
3) التخلص (melepaskan kata kesatu ke kata lain, tetapi masih berkaitan)
Misalnya ayat 35 surat An-Nur (24) :
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ
كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا
كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ
وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ
عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ
الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٣٥)
Ada lima التخلصات, yaitu :
a) Menyebut نُورُ dengan perumpamaanya,
lalu di takhallush-kan ke الزُّجَاجَةُ
dengan menyebut sifatnya.
b) Kemudian menyebut نُورُ dan زَيْتُونَةٍ yang meminta bantu darinya, lalu di takhallush
dengan menyebut شَجَرَةٍ .
c) Dari شَجَرَةٍ di-takhallush
dengan menyebut sifat zaitun.
d) Lalu di-takhallush dari menyebut sifat زَيْتُونَةٍ
ke sifat نُور.
e)
style="font-family:
"Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height:
150%; mso-ascii-theme-font: major-bidi; mso-bidi-language: AR-EG;
mso-bidi-theme-font: major-bidi; mso-hansi-theme-font:
major-bidi;">Kemudian dari نُور
di-takhallush ke nikmat Allah berupa hidayah (يَهْدِي) bagi orang yang Allah kehendaki.
4)
Tamsil dari kejadian.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ
قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا
الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ
مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٨٩)
Artinya
; Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu
ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
[116]
Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki
rumah dari belakang bukan dari depan. hal ini ditanyakan pula oleh Para sahabat
kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah ayat ini. Ini merupakan
perumpamaan orang yang suka membolak-balikkan pertanyaan. Pertanyaan demikian
tidak baik.
B. Tidak
Ada Ma’thufah
Dalam hal ini tidak ada
ma’thufah dapat dicari hubungan maknawiyah-nya, seperti hubungan sebab akibat.[25]
Ada tiga bentuk, yaitu ;
1)
التنظير (berhampiran/berserupaan)
Misalnya
ayat 4 dan 5 surat Al-Anfal(8) :
أُولَئِكَ
هُمُ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
(٤)كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ الْمُؤْمِنُونَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ
فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ (٥)
Huruf
al-kaf (كَ) pada ayat lima berfungsi sebagai
pengingat dan sifat bagi fi’il yang tersembunyi (مضمر فعل ). Hubungan itu tampak
dari jiwa itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta
rampasan, seperti yang kalian lakukan pada perang badar meskipun kaummu
membenci cara demikian itu. Allah SWT menurunkan ayat ini agar kaum Nabi
Muhammad SAW mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya Rasul
dari kalangan mereka (surat Al-Baqarah(2)151) : كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ, sebagai mana juga kaummu membencimu
(Rasul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad.
Hubungan ini terjadi dengan ayat yang jauh sebelumnya.[26]
2)
الاستطراد (pindah ke perkataan lain yang erat
kaitannya)
Missal-nya
surat Al-A’raaf ; 26, tentang pakaian takwa lebih baik. Allah menyebutkan
pakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakain penutup aurat itu lebih
baik. Pakain berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang telah Allah
ciptakan. Pakaian adalah penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat
adalah hal yang jelak dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.
3)
المضا دة (perlawanan)
Misalnya surat
Al-Baqarah (2); 6 :
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
لا يُؤْمِنُونَ (٦)
Artinya; Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja
bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak
juga akan beriman.
Allah
tidak memberi petunjuk kepada mereka yang kafir itu. Ayat ini berlawanan dengan
ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang kitab, orang mukmin, dan
petunjuk. Hal ini berkaitan dengan ayat 23 surat Al-Baqarah ;
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
(٢٣)
Adapun
hikmahnya adalah agar mukmin merindukan dan memantapkan iman berdasarkan
petunjuk Allah SWT . التثويق و الثبوت
على الاول.
2. Hubungan Ayat Dengan Ayat Dalam Satu Surat
Hubungan ayat dengan ayat
dalam satu surat sudah di jelaskan sebagian dalam uraian sebelumnya. Hubungan
ayat dengan ayat dalam satu surat sudah jelas. Hanya saja, adanya ayat-ayat
dalam bentuk ini dapat kita lihat misalnya dalam surat Al-fatihah
Surat Al-Fatihah mengandung
pokok ajaran agama Islam yang terkandung dalam Al-Quran, yaitu tentang :
الالهيات
, والنبواة ,و القدر , اثباط القضاء , والمعاد
Empat hal itu terlihat dalam
urutan ayat sebagai berikut : الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ menunjukkan tentang ketuhanan, Allah penguasa seluruh jagat
raya ini. Jagat raya ini akan bersimpuh kepada Allah pada hari kiamat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ). Ayat ini
menunjukkan ke situlah manusia akan kembali, kepada tuhan pencipta (المعاد). Oleh karena itu, ayat إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ menunjukkan bahwa
untuk kembali kepada Tuhan dengan selamat. Manusia hendaklah mengabdi dan
pasrah diri dan sepenuhnya kepada Allah semata. اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ dan seterusnya menunjukkan adanya
ketentuan Tuhan.
3. Hubungan Penutup((
فواصل و فاصلة Dan Kandungan Ayat
Hubungan seperti ini terdiri
dari empat macam, yaitu :
a)
Tamkin التمكين))
Artinya
memperkokoh atau mempertegas pertanyaan. Contoh : QS; Al-Ahzab ayat 25 :
وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ
لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ
اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا (٢٥)
Artinya
: Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang Keadaan mereka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh Keuntungan apapun.
dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah
Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Dari
ayat ini dipahami bahwa Tuhan menghindarkan orang mukmin dari perang disebabkan
kelemahan mereka (orang-orang kafir), karena angin kencang atau malaikat yang
dikirim Allah. Pemahaman yang kurang lurus ini diluruskan dengan fhasilah artinya
Allah berkuasa memisahkan antara dua golongan dalam perang tersebut (dalam
perang badar). Kejadian ini menguatkan orang-orang beriman agar mereka merasa
bahwa orang-orang mukmin lah yang menang.
Kalimat
akan menjadi fhasilah ayat sudah dimuat di permulaan, atau
pertengahan, atau akhir kalimat/ayat. Misalnya :
QS.
Al-Maidah: 39 : فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ
عَلَيْهِ
QS.
Al-Ahzab: 37:
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ
تَخْشَاهُ
QS.
Al-Anbiya; 37: خُلِقَ الإنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ سَأُرِيكُمْ آيَاتِي فَلا
تَسْتَعْجِلُونِ
QS.
An-Nisa: 166:
لَكِنِ
اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ أَنْزَلَهُ بِعِلْمِهِ وَالْمَلائِكَةُ
يَشْهَدُونَ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيد
Kandungan
fashilah ayat-ayat sudah tersirat dalam rangakaian kalimat sebelumnya dalam
suatu ayat. Misal surat Al-Baqarah(2) 20:
يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ
كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٠)
Kata
قَدِير (mahakuasa) menegaskan bahwa Allah bisa
dan berkuasa untuk melakukan sesuatu bila ia kehandaki, apalagi hanya
menghilangkan penglihatan dan pendengaran manusia.
d) Al-Ighal (الايغال)
Yaitu
penjelasan tambahan untuk mempertajam makna, misal : QS. Al-Maidah(5); 50 ;
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (٥٠)
Kalimat
وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا sudah
merupakan kalimat sempurna. Akan tetapi, ada persesuaian fashilah-nya dengan
kalimat sebelumnya lalu ditambah dengan لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ. QS. An-Naml(27): 80 :
إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ
الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ (٨٠)
Makna
kalimat ini telah lengkap sampai ke الدُّعَاء
, lalu ditambahkan seterusnya إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ untuk menyempurnakan hubungan dengan Fashilah
ayat sebelumnya.
4. Hubungan Awal Uraian Dengan Akhir Uraian Surat
Dalam kitab Al-Itqan,
As-Syuyuti memberikan contoh-contoh tentang hubungan awal uraian dan akhir
uraian suatu surat. Hubungan ini tidak berdasarkan riwayat tertentu, tetapi
merupakan telaah pemikiran logis dari kandungan yang termakhtub dalam ayat-ayat
itu. Berikut ini adalah contoh yang menunjukkan hubungan tersebut :
Awal surat dan akhir surat
Al-Qhasash (28)
Surat Al-Qasash dengan
kisah Nabi Musa dengan Fira’un yang termuat dalam ayat 3 dan 4 misalnya, dan
berakhir dengan uraian tentang keadaan yang dihadapi Nabi Muhammad. Nabi
Musa pada mulanya menghadapi Fira’un yang kuat, namun kemudian pada akhirnya
menemukan kemenangan dari cengkeraman Fira’un. Sementara di akhir surat
memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menhadapi tekanan dari
kaumnya, Muhammad pun memperoleh kemenangan juga, yaitu Fath Makkah pada
tahun VIII hijrah. Dalam kisah ini kita memperoleh gambaran tentang adanya
kesamaan keadaan dan proses yang dihadapi antara Nabi Musa dab Nabi Muhammad
SAW.
Contoh lain juga ada pada
surat Al-Mukminun (23) dan surat Shad (38).
5. Hubungan Nama Surat Dengan Tujuan Turunnya
Shubhi As-Shalih, ketika
membicarakan Asbab An-Nuzul, menyatakan bahwa segala sesuatu pasti ada
sebab dan tujuan. Begitu juga halnya dengan nama surat-surat Al-Quran. Hubungan
nama surat dengan tujuan turunnya terbagi menjadi dua[29]
:
a)
Hubungan yang diketahui
berdasarkan riwayat
Misalnya pada surat
Al-Baqarah, kata Al-Baqarah di ambil dari kata yang terdapat dalam ayat 67
sampai 71.
Surat An-Nahl juga mempunyai
kaitan nama dan tujuan turunnya berdasrkan riwayat, ada beberapa riwayat dari
Ibn Mas’ud, Abi Hurairah, dan Ibn Abbas. Yang terletak pada ayat 9-67 surat
An-Nahl.
b) Hubungan yang diketahui berdasarkan penelaah
pikiran secara logis.
Misalnya surat Al-Kahfi[18]
dinamai demikian karena didalamnya mengandung kisah Al-Kahfi.
6.
Hubungan Surat Dengan Surat
Sebelumnya.
As-Syuyuti menyebutkan bahwa sebagian ulama
meyakini bahwa tiap-tiap surat mempunyai kaitan pasti dengan surat sebelumnya.
Adakala jelas dan tidak. Hubungan surat satu dengan surat sebelumnya dapat
dicari melalui empat cara,
a. Dilihat melalui huruf (bi hasb huruf).
Misalnya, surat-surat yang dimulai dengan حم dan الر tersusun berurutan.
b. Karena ada persesuaian antara akhir suatu surat
dengan permulaan surat berikutnya. Misalnya akhir surat Al-Fatihah dengan
permulaan surat Al-Baqarah.
c. Dapat dilihat melalui الوزن dalam lafadznya. Misalnya, ahir surat
Al-Lahab dengan permulaan surat Al-Ikhlas.
d. Adanya kemiripan (bahkan sama) dalam bilangan
ayat dalam ayat dalam suatu surat dengan surat berikutnya. Misalnya, bilangan
surat الضحي dan الم نشراح
7.
Hubungan Penutup Surat
Terdahulu Dengan Awal Surat Berikutnya.
Az-Zarkasyi menyebutkan bahwa adanya hubungan
awal dengan akhir surat sebelumnya merupakan rahasia yang akan menunjukkan juga
hubungan lafadznya. Contohnya : hubungan akhir surat Ali ‘Imran [3] dengan
permulaan surat An-Nisa [4]. Surat Ali ‘Imran ditutup dengan perintah bersabar
dan bertakwa kepada Allah, sedangkan surat An-Nisa diawali oleh perintah takwa
kepada Allah juga.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٢٠٠)
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١)
D. FUNGSI DAN FAEDAH ILMU AL-MUNASABAH
Ada empat fungsi utama dari Ilmu Al-Munasabah
1. Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan
dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Quran.
2. Untuk menjadikan bagian-bagian dalam Al-Quran
saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan
integral.
3. Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat
ayat berikutnya.
4. Untuk menjawab kritikan orang luar (orientalis)
terhadap sistematika Al-Quran.
Faedah mempelajari ilmu munasabah ini banyak,
antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui persambungan hubungan antara
bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya
yang satu dengan yang lainnya. Sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan
pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan
dan kemukjizatan. Karena itu, Izzudin Abdul Salam mengatakan, bahwa ilmu munasabah
itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan
kalimat yang lain. Beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang berkaitan
betul-betul, baik di awal atau diakhirnya.
2. Dengan ilmu munasabah itu dapat
diketahui mutu dan tingkat kebahagiaan bahasa Al-Qur’an dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain. Serta persesuaian ayat atau
suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya,
bahwa al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi
Muhammad Saw. Karena itu Imam Arrazi mengatakan, bahwa kebanyakan
keindahan-keindahan al-Qur’an itu terletak pada susunan dan persesuaiannya,
sedangkan susunan kalimat yang paling baligh (bersastra) adalah yang
sering berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
3. Dengan ilmu munasabah akan sangat
membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah diketahui hubungan
sesuatu kalimat / sesuatu ayat dengan kalimat / ayat yang lain, sehingga sangat
mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.
BAB
III
PENUTUP
E. KESIMPULAN
Pada garis besarnya munasabah itu
menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan ayat dan
hubungan surat dengan surat.
Dua pokok hubungan itu di perincian sebagai
berikut:
A. Hubungan ayat dengan ayat meliputi:
1)
Hubungan kalimat dengan
kalimat dalam ayat.
2)
Hubungan ayat dengan ayat
dalam satu surat.
3)
Hubungan penutup ayat dengan
kandungan ayatnya.
B. Hubungan surat dengan surat meliputi:
1) Hubungan awal uraian dengan ahir uraian surat.
2) Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya.
3) Hubungan surat dengan surat sebelumnya.
4) Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal
surat berikutnya.
Empat fungsi utama dari Ilmu Al-Munasabah :
1) Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan
dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Quran.
2) Untuk menjadikan bagian-bagian dalam Al-Quran
saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan
integral.
3) Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat
ayat berikutnya.
4)
Untuk menjawab kritikan orang
luar (orientalis) terhadap sistematika Al-Quran.
F.
SARAN
No comments:
Post a Comment