Dewasa ini banyak kita temukan di jalan jalan di kota di kota
lhokseumawe,wanita wanita menaiki sepeda motor duduk di belakang dengan
mengangkang,sehingga pemerintah lhokseumawe membuat aturan tentang pelarangan
duduk mengangkang karena di anggap telah melanngar syariat islam.
Sehinnga masalah ini menjadi polemik,Ketua Umum Pengurus Pusat
Muhammadiyah, Din Syamsudin menilai Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Kota
Lhokseumawe Aceh yang melarang perempuan duduk mengangkang saat dibonceng
sepeda motor tak berkaitan dengan ajaran agama.
"Saya kira rujukannya
lebih ke adat ketimbang agama," ujar Din kepada wartawan, Selasa (8/1), di
kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta.
Din menyatakan, Pemerintah Kota Lhokseumawe semestinya mengkaji terlebih dahulu dasar rujukan atas perda yang mereka keluarkan. Hal ini agar perda tidak menimbulkan kontroversi dan bahkan resistensi di masyarakat. "Harusnya dikaji mendalam," katanya.
Menurut Din saat ini kebiasaan hidup manusia berubah dengan cepat seiring modernisasi zaman. Kondisi ini membuat hal yang bersifat etis dan tak etis menjadi bias. "Mengangkang dan tidak mengangkang mana pertimbangan yang lebih baik," katanya.
Perda larangan duduk mengangkang sebaiknya tidak perlu dibesar-besarkan. Din khawatir isu ini akan dikaitkan dengan ajaran agama Islam. Padahal duduk tidak mengangkang belum tentu lebih Islami. "Yang mengangkang juga tak berarti tidak agamis," ujarnya.
Anggota Komisi VIII Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Ali Maschan Musa menyatakan, segala peraturan yang merujuk pada syari'at Islam harusnya mengacu pada sifat Islam yang rahmatan lil'alamin (membawa keselamatan bagi seluruh alam). "Syariat Islam harus dikembalikan pada misi Rahmatan Lil'alamin," katanya.
Ali menjelaskan, sifat rahmatan lil'alamin mengacu pada tiga hal: membawa kebaikan bagi orang lain, adil, dan mewujudkan kemashalatan. "Kalau mengacu pada tiga hal itu apa larangan duduk mengangkang sudah memenuhinya?"
Senada dengan Din, Ali menyatakan duduk mengangkang tidak melulu melanggar syari'at Islam. Malahan duduk mengangkan bisa memberi kemashalahatan karena perempuan menjadi lebih aman saat berboncengan sepeda motor. "Pertanyaan saya apakah duduk mengangkang melanggar syariat? Jawabannya pasti tidak," katanya.
Din menyatakan, Pemerintah Kota Lhokseumawe semestinya mengkaji terlebih dahulu dasar rujukan atas perda yang mereka keluarkan. Hal ini agar perda tidak menimbulkan kontroversi dan bahkan resistensi di masyarakat. "Harusnya dikaji mendalam," katanya.
Menurut Din saat ini kebiasaan hidup manusia berubah dengan cepat seiring modernisasi zaman. Kondisi ini membuat hal yang bersifat etis dan tak etis menjadi bias. "Mengangkang dan tidak mengangkang mana pertimbangan yang lebih baik," katanya.
Perda larangan duduk mengangkang sebaiknya tidak perlu dibesar-besarkan. Din khawatir isu ini akan dikaitkan dengan ajaran agama Islam. Padahal duduk tidak mengangkang belum tentu lebih Islami. "Yang mengangkang juga tak berarti tidak agamis," ujarnya.
Anggota Komisi VIII Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Ali Maschan Musa menyatakan, segala peraturan yang merujuk pada syari'at Islam harusnya mengacu pada sifat Islam yang rahmatan lil'alamin (membawa keselamatan bagi seluruh alam). "Syariat Islam harus dikembalikan pada misi Rahmatan Lil'alamin," katanya.
Ali menjelaskan, sifat rahmatan lil'alamin mengacu pada tiga hal: membawa kebaikan bagi orang lain, adil, dan mewujudkan kemashalatan. "Kalau mengacu pada tiga hal itu apa larangan duduk mengangkang sudah memenuhinya?"
Senada dengan Din, Ali menyatakan duduk mengangkang tidak melulu melanggar syari'at Islam. Malahan duduk mengangkan bisa memberi kemashalahatan karena perempuan menjadi lebih aman saat berboncengan sepeda motor. "Pertanyaan saya apakah duduk mengangkang melanggar syariat? Jawabannya pasti tidak," katanya.
Seperti diketahui,
sejak 7 Januari 2012 Wali Kota Lhokseumawe, Suaidi Yahya secara resmi
mengeluarkan surat edaran yang melarang perempuan dewasa duduk mengangkang saat
dibonceng menggunakan sepeda motor.
Berikut isi surat edaran bernomor 002/2013 yang terkait dengan larangan tersebut:
Untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjaga nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat aceh dalam pergaulan sehari-hari, serta sebagai wujud upaya Pemerintah Kota Lhokseumawe mencegah maksiat secara terbuka, maka dengan ini Pemerintah menghimbau kepada semua masyarakat di wilayah Kota Lhokseumawe, agar:
1. Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang), kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).
2. Di atas kendaraan baik sepada motor, mobil dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara-cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh.
3. Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat islam dan tata kesopanan dalam berpakaian.
4. Kepada seluruh keuchik, imum mukim, camat, pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swadaya, agar dapat menyampaikan seruan ini kepada seluruh bawahannya serta kepada semua lapisan masyarakat.
Peraturan Daerah (Perda) yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota
Lhokseumawe, Aceh, tentang larangan duduk mengangkang bagi perempuan yang
menaiki motor, masih perlu dikaji ulang. Hal ini untuk mengetahui latar
belakang sebenarnya mengapa Perda tersebut diberlakukan. Demikian disampaikan
Yordan Gunawan, Direktur International Program for Law and Sharia (IPOLS)
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH-UMY). Hal tersebut
disampaikannya dalam diskusi terbatas di kantor IPOLS FH Kampus Terpadu UMY.
Kaji
ulang Perda ini diperlukan, karena menurut Yordan, dalam Syari’at Islam tidak
ada perintah atau larangan bagi perempuan untuk duduk mengangkang di atas
motor. “Selain itu, duduk menyamping itu tidak lebih aman dari duduk
mengangkang. Bahkan di negara tetangga kita seperti Malaysia, peraturan yang
dianjurkan bagi perempuan saat menaiki motor adalah duduk mengangkang,” ungkap
dosen FH UMY ini.
Persoalan
yang juga menjadi tugas Kementerian Dalam Negeri ini, tetap harus dikaji ulang
untuk mengetahui penerimaan masyarakat Lhokseumawe sendiri. “Konten dari Perda
ini sebenarnya cukup baik, karena mengatur masalah pergaulan muda mudi. Namun
yang menjadi masalah adalah larangan posisi duduk tersebut. Itulah kenapa perlu
juga diketahui bagaimana penerimaan masyarakat dengan keberadaan Perda
tersebut,” jelasnya lagi.
Ahli
Sosiolog Hukum ini juga menyatakan, secara sosiologis Aceh memang memiliki
pilar Islam, unsur keistimewaan serta adat istiadat yang dipegang dalam
mengatur kehidupan sehari-harinya. Akan tetapi, setiap Perda yang diusulkan dan
disusun juga harus sesuai dengan kearifan lokal setempat.
Diakhir
wawancara Yordan mengutip perkataan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din
Samsuddin, bahwa permasalah ini tidak perlu dibesar – besarkan. “Seperti kata
Pak Din, ini hal-hal yang biasa saja dan tidak perlu dibesar-besarkan,”
imbuhnya.
STUDI
KEPUSTAKAAN
waspada.co.id
·
·
No comments:
Post a Comment