Subscribe di sini

Friday, 29 January 2016

fiqh sosial


BAB I
PENDAHULUN

Sejak jaman dahulu kala hingga sekarang ini, adanya penggolongan kelas-kelas tertentu didalam masyarakat sudah lama diketahui. Seperti adanya golongan Raja, Bangsawan, dan Rakyat Jelata. Begitupun pada saat era penjajahan terdapat golongan Eropa yang dianggap sebagai 0rang–orang terhormat ( Upper Class ), golongan Timur Asing ( Midle- Class ), dan golongan Pribumi ( Low/botom Class ).
Adanya lapisan-lapisan masyarakat tersebut, juga terjadi pada jaman yunani kuno. Sebagaimana dikatakan oleh filosof Aristoteles yang mengatakan bahwa didalam negara terdapat tiga unsur yaitu:
-          Mereka yang kaya sekali
-          Mereka yang berada ditengah-tengah
-          Dan mereka yang melarat.

Pernyataaan tersebut semakin menegaskan bahwa memang  benar dari dahulu kala hingga sekarang ini masih terdapat lapisan-lapisan atau tingkatan-tingkatan sosial.
Lapisan–lapisan yang terjadi dimasyarakat akan membawa perbedaan dalam perlakuan dan pemberian fasilitas yang akan diterima oleh masing-masing lapisan tersebut. Sebagai contoh bagi mereka yang memiliki banyak uang, akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan, dan mungkin juga kehormatan, bagi mereka yang memiliki kekuasaan akan mudah dalam mendapatkan uang agar kaya.

Dalam kajian sosiologi. Lapisan-lapisan masyarakat seperti tersebut diatas dikenal dengan Social Stratification[1][1]. Istilah staratification berasal dari kata stratum ( strata) yang berarti lapisan. Menurut  Pitrim A. Sorokin social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat ( hierarkis).

Di India dikenal dengan adanya empat lapisan masyarakat ( kasta) yaitu:
1.                  Kasta Brahmana ( dalam kelompok ini adalah para pendeta)
2.                  Kasta Ksatria ( dalam kelompok ini adalah golongan bangsawan dan tentara)
3.                  Kasta vaicya ( masuk dalam kelompok ini adalah para pedagang)
4.                  Kasta sudra ( adalah terdiri dari rakyat jelata)
Masyarakat yang tidak termasuk dalam golongan-golongan diatas dikelompokan dalam golongan paria

Kriteria yang dipakai untuk menggolong-golongkan masyarakat dalam lapisan-lapisan tertentu adalah [2]:
-          Ukuran kekayaan
-          Ukuran kekuasaan
-          Ukuran kehormatan
-          Ukuran ilmu pengetahuan.

Unsur-Unsur Lapisan Masyarakat

Sistem lapisan masyarakat ditentukan oleh kedudukan (status) dan peranan ( role). Kedudukan dan peranan seseorang mempunyai arti penting, karena langgengnya masyarakat tergantung pada keseimbangan kepentingan-kepentingan individu diatas

Kedudukan
Kedudukan diartikan sebagai tempat atau porsi seseorang dalam satu kelompok sosial. Kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain dalam arti lingkungan pergaulanya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajibannya. Kedudukan tersebut dibagi[2][3];

1.      Ascribed status yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan, yang diperoleh karena kelahiran. Contoh seorang bangsawan.
2.      Achieved status adalah keduudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja.
Peranan

Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Seseorang menjalankan hak dan kewajibanya sesuai dengan kedudukanya maka dia menjalankan peranan. Antara kedudukan dan peranan tidak dapat dipisah-pisahkan, sehingga tidak ada peranan tanpa kedudukan dan sebaliknya. Peranan lebih banyak menuju kepada suatu fungsi, penyesuian diri, dan sebagai suatu proses.
.
Peranan mencakup tiga hal yaitu[3][4];

-          Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan
-          Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi
-          Peranan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Melalui undang-undang kekuasaan kehakiman ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang independen, yaitu tidak terpengaruh oleh kekuasaan lainnya dalam melaksanakan kewajibanya. Akan tetapi dalam kenyataan terjadi adanya pengaruh stratifikasi sosial dan birokrasi.

Perlindungan hukum dan bantuan hukum merupakan dua proses yang berjalan berdampingan. Pengacara mendapat tempat yang penting dalam proses tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya pengacara juga terpengaruh oleh kekuatan politik yang ada didalam masyarakat, pandangan mengenai keadilan, dan ciri-ciri struktur sosial tempat dia bekerja.
  

BAB II
PEMBAHASAN

Pengaruh Stratifikasi Sosial dalam Penegakan Hukum

Dalam sebuah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Hukum tidak memandang kaya atau miskinnya seseorang. Setiap orang baik kaya ataupun miskin punya hak yang sama untuk merasakan keadilan hukum. Hukum berlaku top-down. Artinya bahwa hukum ditentukan oleh kalangan atas kemudian diterapkan pada masyarakat kalangan bawah.
Namun stratifikasi tetap saja muncul. Oleh karena itu, antara hukum dan relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang biasa disebut dengan legal gap. Terjadi perbedaan antara apa yang seharusnya terjadi menurut hukum dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat. Masyarakat merupakan struktur organisasi kehidupan bersama. Di dalam struktur, setiap orang memainkan perannya masing-masing. Keanekaragaman peran yang ada dalam masyarakat menimbulkan apresiasi yang berbeda terhadap pemegang peran. Ada profesi yang dianggap ada pada struktur lapisan yang dipandang oleh masyarakat baik. Namun ada juga kelompok profesi yang menurut masyarakat dianggap berada pada struktur lapisan masyarakat tingkat bawah seperti yang dianggap masyarakat kurang terpandang. Hal yang terjadi kemudian adalah disfungsi hukum bagi masyarakat kalangan bawah. Hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Seharusnya hukum tidak membeda-bedakan dan berlaku adil bagi semua kalangan.
Bantuan hukum bagi masyarakat strata bawah terdapat dalam dua model : berbentuk bantuan secara konvensional dan bantuan secara structural.
Para ahli hukum yang berprofesi sebagai pengacara mencoba membantu mengatasi persoalan kesenjangan kaya-miskin ini dengan cara memberikan bantuan hukun secara cuma-cuma kepada golongan miskin, apabila golongan miskin ini harus berperkara dan beracara di siding-sidang pengadilan. Bantuan ini desebut dengan legal aid. Bentuk inilah yang kemudian disebut dengan bantuan secara konvensional.
Bantuan hukum yang terbatas pada bantuan hukum dalam persidangan saja belum cukup untuk melepaskan kaum miskin dari diskriminasi yang disebabkan oleh stratifikasi. Bantuan hukum juga dilakukan dengan memperjuangkan kaum miskin pada rancangan undang-undang yang akan diberlakukan. Pada bentuk bantuan ini, para ahli hukum akan berusaha agar hak-hak kaum miskin tidak terpinggirkan, Perjuangan semacam ini disebut dengan legal service. Bantuan model ini juga disebut dengan bantuan secara struktural. (Soetandyo, 2008:193)

Hal yang harus dihilangkan adalah diskriminasi dalam hukum. Tidak seharusnya hukum hanya dibuat oleh kaum strata atas saja. Hukum menyangkut kehidupan setiap orang. Tidak peduli dari strata atas atau bawah. Oleh kerena itu, hukum seharusnya dibuat secara bersama-sama untuk kebaikan bersama. Semua kalangan harus dilibatkan dalam sebuah perumusan hukum agar hukum dapat diterima semua pihak.

Menurut Soerjono Soekanto (Pokok-Pokok Sosiologi, 2005: 94) terdapat dua hipotesa mengenai penegakan hukum:
a.    Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin sedikit hukum yang mengaturnya
b.   Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin banyak hukum yang mengaturnya.
Penegakan hukum adalah suatu proses yang didalamnya merupakan perwujudan dari tujuan suatu organisasi. Tujuan organisasi penegakan hukum akan menentukan bagaiamana tingkah laku organisasi. Dalam menjalankan tujuan suatu organisasi, disatu sisi harus dapat melayani masyarakat. Pada sisi yang lainya organisasi tersebut harus hidup ditengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam kondisi demikian terjadi proses penyesuaian yang menimbulkan gejala yaitu goal substitution dan goal displacemen.
Didalam goal substitution. Maka, tujuan yang formal digantikan oleh kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang akan lebih menguntungkan bagi organisasi disatu pihak dan dipihak lain akan menekan sedapat mungkin ancaman-ancaman terhadapnya.. Didalam goal displacement. Maka, tujuan-tujuan organisasi yang sudah diterima dan disetujui ditelantarkan demi tujuan-tujuan lain.
Penegakan hukum terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang tergolong upper class begitu terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Hal yang berbeda manakala yang menjadi pelaku/korbannya adalah golongan yang berkategori masyarakat lapisan bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam penerapanya dikenal dengan penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata pisau. Artinya  pisau akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan keatas. Sehingga hukum hanya tajam dengan baik untuk menjangkau golongan-golongan lemah (masyarakat miskin, pinggiran, dan masyarakat tak berdaya) dan hukum akan terasa tidak berdaya untuk menjerat golongan-golongan pejabat, pengusaha, dan orang-orang berpengaruh dinegeri ini.

Hubungan Setratifikasi Sosial Dalam  Penegakan Hukum Di Indonesia

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan sangat terang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.
            Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kompleks, Homogenitas corak adat dan tradisi tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh lingkungan alam dan keadaan setempat. Jauh sebelum kedatangan Belanda, di Indonesia telah berdiri beberapa kerajaan yang berdaulat ke dalam dan ke luar (de facto atau de jure). Semua kerajaan tersebut diatur oleh pemerintahan yang dikepalai seorang sultan atau raja beserta para pembantunya. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kerajaan-kerajaan tersebut bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kaum bangsawan yang bekerja di kerajaan otomatis menjadi pegawai daerah. Kaum bangsawan yang memegang pimpinan maupun kaum bangsawan yang tidak memegang pimpinan kemudian bekerja sama dengan pegawai Republik Indonesia untuk membina masyarakat yang baru merdeka.
              Dalam bidang penegakan hukum, banyak pihak mengakui bahwa upaya penegakan hukum di negara kita masih belum memenuhi harapan, bukan hanya karena profesionalisme aparat penegak hukum yang masih perlu dipertanyakan tetapi juga, apakah perangkat peraturan perundang-undangan yang ada telah memadai serta tersedianya sarana dan prasarana pendukung.
            Adanya kekuasaan dan wewenang di dalam setiap masyarakat merupakan gejala yang wajar, walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri, karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan. Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat atau pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang. Seluruh kewajiban pada prinsipnya merupakan ekspresi kewenangan atribusi negara yang terwujud dalam kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik pada dasarnya berdimensi sangat luas, tidak hanya dalam bentuk peraturan tertulis atau surat keputusan para pejabat publik dari pusat hingga daerah, tetapi mencakup semua tindakan para pejabat publik tersebut serta berbagai program yang mereka jalankan.
            Prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum dan perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat, merupakan petunjuk bahwa Negara wajib memperhatikan masalah bantuan hukum bagi warganya. Penyelenggaraan bantuan hukum yang tidak serius merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berarti bertentangan dengan hak konstitusional warga negaranya.
            Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka paling sedikit dua hal yang menonjol, pertama para pembentuk, penegak maupun pelaksana hukum adalah warga masyarakat yang mengandung unsur-unsur kekuasaan. Akan tetapi, mereka tidak dapat mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang karena ada pembatasan tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Efektivitas pelaksanaan hukum sedikit banyak dirtentukan oleh sahnya hukum tadi.
            Hal yang kedua adalah, sistem hukum antara menciptakan dan merumuskan hak dan kewajiban beserta pelaksanaannya. Dalam hal ini ada hak warga masyarakat yang tidak dapat dijalankan karena yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya dan sebaliknya ada hak-hak yang dengan sendirinya didukung oleh keuatan-kekuatan tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal-balik, di satu pihak hukum memberi batasan kekuasaan, dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu jaminan berlakunya hukum.
      Maka tidak benar bahwa penegakan hukum itu hanya tinggal menarik garis lurus yang menghubungkan antara peraturan dan kejadian di lapangan. Ternyata banyak faktor-faktor yang ikut campur di situ. Penelitian di Amerika mengenali faktor-faktor ras, stratifikasi sosial, kedekatan hubungan, sikap sopan tersangka, ikut menentukan penahanan pada seseorang. Semakin besar jarak sosial antara pelapor-korban dengan tersangka semakin besar kemungkinan dilakukan penahanan. Kemngkinan penahanan akan meningkat jika tersangka menunjukkan sikap tidak hormat terhadap polisi. Kemungkinan penahanan akan lebih besar pada kejahatan yang serius dari pada yang kurang. Kesimpulan umum mengatakan bahwa banyak faktor di luar hukum yang turut menentukan bagaimana hukum senyatanya dijalankan. Pada waktu polisi ingin melakukan penahanan saja banyak faktor yang terlibat di situ, sehingga melahirkan informasi luas mengenai "sosiologi penahanan" (the sociology of arrest).
            Kondisi abnormal seperti ini bak gayung tak bersambut dengan tatanan masyarakat saat ini. Neo-liberalisme saat ini telah mengubah tatanan masyarakat dan hubungan antar manusia yang dipandu oleh prinsip transaksi laba-rugi, seperti dalam kinerja ekonomi pasar. Dampak dari gejala mengenai itu adalah komersialisasi di segala bidang, tak luput juga komersialisasi hukum.
            Bentuk-bentuk komersialisasi hukum ini adalah biaya perkara yang sangat tinggi di tingkat pengadilan. Biaya tinggi sangat dipengaruhi dengan standar biaya perkara yang telah ditentukan dan praktek mafia peradilan yang terjadi hampir pada seluruh instansi peradilan. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan menjadi pusaran terjadinya mafia peradilan. Pada akhirnya masyarakat apatis terlebih dahulu untuk memperjuangkan keadilan karena biaya yang sangat tinggi dan adanya praktek jual beli pasal.
            Masalah akses mendapatkan keadilan (access to justice), meskipun terbatas pada bantuan hukum (legal aid) bagi “si miskin”, sebenarnya adalah masalah yang tidak mudah diuraikan. Hal ini disebabkan karena masalah akses mendapatkan keadilan bukan hanya masalah hukum semata melainkan juga merupakan masalah politik, bahkan lebih jauh lagi adalah masalah budaya. Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihatnya dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang semakin luas, tingkat buta huruf yang tinggi, dan keadaan kesehatan yang buruk.
      Pada pertengahan abad ke-20 orang sudah mulai menyadari betapa tidak sederhananya penegakan hukum. Tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik. Dalam penegakan hukum jangan lagi orang bicara berdasar prinsip "peraturan dan logika" (rules and logic) semata. Penelitian-penelitian lapangan mulai banyak dilakukan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada waktu hukum harus dijalankan di masyarakat.
            Sehubungan dengan apa yang dijelaskan, dapatlah ditemukan paling sedikit dua hipotesis, yaitu:
1.      Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya.
2.      Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya.

Kenyataan Penegakan hukum dalam stratifikasi sosial

Salah satu karakteristik dari negara berkembang adalah lemah dalam hal penegakan hukum, hukum selalu dijadikan alat bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara pribadi dalam mewujudkan kehendak dan ambisi pribadi dan golongan.
Atas dasar hal tersebut diatas tidak heran jika kita sering menyaksikan dan mendengar, seseorang mendapat vonis yang jauh dari nilai keadilan yang seharusnya ia (terpidana) terima atas kejahatan yang dilakukanya. Sebagai contoh adalah seseorang yang mencuri sendal, jika tertangkap dan masuk penjara maka ia akan mendapat hukuman yang lebih berat jika dibanding seseorang yang mencuri uang rakyat “ korupsi”.
Menarik diceramati bagi kita semua, manakala kita disuguhi kejadian-kejadian yang terjadi dalam penegakan hukum dinegeri ini. Penegakan hukum demikian sejalan dengan adanya dua hipotesa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto sebagai berikut[4][5] :
a.       Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin sedikit hukum yang mengaturnya
b.      Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin banyak hukum yang mengaturnya.
Hipotesa tersebut dapat dibuktikan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.      Adanya rencana pemeriksaan terhadap waprees Boediono oleh KPK yang akan dilakukan dikantor wapres
2.      Rencana pemeriksaan terhadap Menkeu Sri Mulyani oleh kPK, akan dilakukan dikantor Kemenkeu
3.      Pembelaan yang berlebihan oleh para pengacara/penasehat hukum terhadap mantan ketua KPK Antasari Azhar
4.      Perlakuan berbeda dapat dilihat manakala terjadi penegakan hukum terhadap kasus seorang nenek Minah yang dituduh melakukan pencurian  sebanyak 3 buah biji  kakau di daerah jawa tengah.
5.      Begitupun kejadian-kejadian yang pernah menimpa terhadap mantan presiden era orde baru  bapak Soeharto.
Penegakan hukum terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang tergolong upper class begitu terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Hal yang berbeda manakala yang menjadi pelaku/korbannya adalah golongan yang berkategori masyarakat lapisan bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam penerapanya dikenal dengan penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata pisau. Artinya  pisau akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan keatas.
Penomena penegakan hukum yang terasa pincang, berbeda, dan terasa jauh dari memenuhi asas equality of justice dapat dijelaskan sebagai berikut:
Struktur kekuasaan yang komplek, umumnya ditemukan pada masyarakat-masyarakat yang tidak lagi sederahana, pada giliranya juga akan menimbulkan penegakan hukum yang tidak sederhana lagi. Hubungan dengan masalah struktur kekuasaan yang komplek, berakibat adanya penegakan hukum yang selektif.
Kelahiran dari penegakan hukum yang selektif dalam masyarakat modern atau kompleks dapat dijelaskan sebagai berikut: sifat dan ciri sitem hukum yang dilahirkan dalam masyarakat yang komplek diturunkan dari konplik-konplik yang inheren pads struktur masyarakat tersebut, yaitu yang berlapis-lapis secara ekonomi dan politik[5][6]
Penegakan hukum adalah suatu proses yang didalamnya merupakan perwujudan dari tujuan suatu organisasi. Maka walaupun penegakan hukum itu dilakukan oleh orang perorang akan tetapi tetap hal tersebut tidak dapat lepas dari organiasi dari orang- orang tersebut berada.
Suatu organisasi pasti mempunyai tujuan. Tujuan tersebut ada yang dirumuskan secara formal dan merupakan bagian dari struktur organisasi. Maka dari tujuan tersebut dapat diketahui apa yang dikehendaki dan ingin dilakukan oleh organisasi dalam masyarakat.
Tujuan organisasi penegakan hukum akan menentukan bagaiamana tingkah laku organisasi. Dalam menjalankan tujuan suatu organisasi, disatu sisi harus dapat melayani masyarakat. Pada sisi yang lainya organisasi tersebut harus hidup ditengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam kondisi demikian terjadi proses penyesuaian yang menimbulkan gejala yaitu goal substitution dan goal displacement[6][7].

Didalam goal substitution. Maka, tujuan yang formal digantikan oleh kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang akan lebih menguntungkan bagi organisasi disatu pihak dan dipihak lain akan menekan sedapat mungkin ancaman-ancaman terhadapnya..
Didalam goal displacement. Maka, tujuan-tujuan organisasi yang sudah diterima dan disetujui ditelantarkan demi tujuan-tujuan lain.

Diantara badan-badan penegakan hukum dengan masyarakat terdapat hubungan yang resiprositas yang dapat dilihat melalui goal substitution dan goal displacement. Dalam kontek tersebut, maka badan-badan penegak hukum berusaha untuk meningkatkan atau mencari keuntungan dari masyarakat dan menekan hambatan-hambatan serta ancaman-ancaman yang datang kepadanya. Atas kondisi demikian maka penegakan hukum cendrung meringankan golongan–golongan yang mempunyai kekuasaan dan memberatkan bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan tersebut.
Jika dari paparan-paparan diatas ditarik kedalam kondisi kekinian dapat dijelaskan sebagai berikut:
Adanya perlakuan yang berbeda yang diterima oleh wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani, disebabkan oleh keduanya tersebut mempunyai kekusaan yang tinggi dinegeri ini. Badan-badan penegak hukum dalam menjalankan tujuan organisasinya . maka mau tidak mau haru menyesuaikan terhadap keduanya. Yaitu disatu sisi memberikan layanan terahadap keduanya dan pada sisi yang lain harus menyelamatkan organisasi tersebut, sehingga terjadilah proses goal substitution dan goal displacement.
Dalam kasus yang berbeda seperti penyerobotan pemeriksan terhadap hakim dalam perkara Gayus oleh MA, yang  sebelumnya sudah direncanakan akan dilakukan pemeriksan oleh KY. Adanya penyerobotan tersebut dapat ditafsir sebagai bentuk perlindungan oleh MA terhadap hakim-hakim nakal yang tergabug dalam lokomotif dan gerbong Mahkamah Agung.
Pemeriksaan yang dilakukan MA tersebut terhadap hakim-hakim nakal selama ini sesungguhnya lebih berfungsi sebagai pembekalan dan pengkondisian[7][8] terhadap  hakimnya. Sehingga, cukup punya alasan untuk ngeles dari bidikan KY. Motivasi inilah yang dilakukan oleh MA dengan melakukan penyerobotan pemeriksaan[8][9].

Sehingga nyatalah ungkapan yang menyatakan bahwa penegakan hukum (law enforcment) di Indonesia seperti sebilah mata pisau. Jika kita lihat bahwa pisau mempunyai dua sisi, sisi bawah mempunyai ketajaman yang baik artinya bahwa hukum hanya tajam dengan baik untuk menjangkau golongan-golongan lemah (masyarakat miskin, pinggiran, dan masyarakat tak berdaya). Sebaliknya pada sisi lainya (atas) pisau mempunyai ketajaman yang kurang/tumpul jika diarahkan keatas, begitupun dengan hukum akan terasa tidak berdaya untuk menjerat golongan-golongan pejabat, pengusaha, dan orang-orang berpengaruh dinegeri ini. Orang-orang tersebut notabene berstataus hight social  ( upper class).















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Selama dalam satu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka barang sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Yang dijadikan Ukuran-ukuran yang dalam terjadinya stratifikasi sosial adalah seperti;
a.                   Ukuran kekayaan
b.                  Ukuran kekuasaan
c.                   Ukuran kehormatan
d.                  dan ukuran ilmu pengetahuan
Dengan unsur penentu adalah keududukan ( status) dan peranan ( role).

Dalam sebuah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Hukum tidak memandang kaya atau miskinnya seseorang. Setiap orang baik kaya ataupun miskin punya hak yang sama untuk merasakan keadilan hukum. Hukum berlaku top-down. Artinya bahwa hukum ditentukan oleh kalangan atas kemudian diterapkan pada masyarakat kalangan bawah.
Namun stratifikasi tetap saja muncul. Oleh karena itu, antara hukum dan relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang biasa disebut dengan legal gap. Terjadi perbedaan antara apa yang seharusnya terjadi menurut hukum dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat.
Hal yang harus dihilangkan adalah diskriminasi dalam hukum. Tidak seharusnya hukum hanya dibuat oleh kaum strata atas saja. Hukum menyangkut kehidupan setiap orang. Tidak peduli dari strata atas atau bawah. Oleh kerena itu, hukum seharusnya dibuat secara bersama-sama untuk kebaikan bersama. Semua kalangan harus dilibatkan dalam sebuah perumusan hukum agar hukum dapat diterima semua pihak.
Menurut Soerjono Soekanto (Pokok-Pokok Sosiologi, 2005: 94) terdapat dua hipotesa mengenai penegakan hukum:
a.    Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin sedikit hukum yang mengaturnya
b.   Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin banyak hukum yang mengaturnya.
Penegakan hukum adalah suatu proses yang didalamnya merupakan perwujudan dari tujuan suatu organisasi. Tujuan organisasi penegakan hukum akan menentukan bagaiamana tingkah laku organisasi. Dalam menjalankan tujuan suatu organisasi, disatu sisi harus dapat melayani masyarakat. Pada sisi yang lainya organisasi tersebut harus hidup ditengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam kondisi demikian terjadi proses penyesuaian yang menimbulkan gejala yaitu goal substitution dan goal displacemen.
Didalam goal substitution. Maka, tujuan yang formal digantikan oleh kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang akan lebih menguntungkan bagi organisasi disatu pihak dan dipihak lain akan menekan sedapat mungkin ancaman-ancaman terhadapnya.. Didalam goal displacement. Maka, tujuan-tujuan organisasi yang sudah diterima dan disetujui ditelantarkan demi tujuan-tujuan lain.
Penegakan hukum terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang tergolong upper class begitu terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Hal yang berbeda manakala yang menjadi pelaku/korbannya adalah golongan yang berkategori masyarakat lapisan bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam penerapanya dikenal dengan penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata pisau. Artinya  pisau akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan keatas. Sehingga hukum hanya tajam dengan baik untuk menjangkau golongan-golongan lemah (masyarakat miskin, pinggiran, dan masyarakat tak berdaya) dan hukum akan terasa tidak berdaya untuk menjerat golongan-golongan pejabat, pengusaha, dan orang-orang berpengaruh dinegeri ini.

Dalam bidang penegakan hukum, banyak pihak mengakui bahwa upaya penegakan hukum di negara kita masih belum memenuhi harapan, bukan hanya karena profesionalisme aparat penegak hukum yang masih perlu dipertanyakan tetapi juga, apakah perangkat peraturan perundang-undangan yang ada telah memadai serta tersedianya sarana dan prasarana pendukung.
            Adanya kekuasaan dan wewenang di dalam setiap masyarakat merupakan gejala yang wajar, walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri, karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan. Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat atau pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang. Seluruh kewajiban pada prinsipnya merupakan ekspresi kewenangan atribusi negara yang terwujud dalam kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik pada dasarnya berdimensi sangat luas, tidak hanya dalam bentuk peraturan tertulis atau surat keputusan para pejabat publik dari pusat hingga daerah, tetapi mencakup semua tindakan para pejabat publik tersebut serta berbagai program yang mereka jalankan.
Penegakan hukum demikian sejalan dengan adanya dua hipotesa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto sebagai berikut :
a.       Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin sedikit hukum yang mengaturnya
b.      Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin banyak hukum yang mengaturnya.
Hipotesa tersebut dapat dibuktikan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.      Adanya rencana pemeriksaan terhadap waprees Boediono oleh KPK yang akan dilakukan dikantor wapres
2.      Rencana pemeriksaan terhadap Menkeu Sri Mulyani oleh kPK, akan dilakukan dikantor Kemenkeu
3.      Pembelaan yang berlebihan oleh para pengacara/penasehat hukum terhadap mantan ketua KPK Antasari Azhar
4.      Perlakuan berbeda dapat dilihat manakala terjadi penegakan hukum terhadap kasus seorang nenek Minah yang dituduh melakukan pencurian  sebanyak 3 buah biji  kakau di daerah jawa tengah.
5.      Begitupun kejadian-kejadian yang pernah menimpa terhadap mantan presiden era orde baru  bapak Soeharto.





DAFTAR PUSTAKA

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publising, Yogyakarta, 2009
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu  Pengantar Cetakan ke-29, RajaGrapindo Persada, Jakarata, 2000.
Pokok-Pokok Sosiologi Hukum Cetakan Ke-15, RajaGrapindo Persada, Jakarta, 2005























HUKUM ISLAM DAN STRATIFIKASI SOSIAL
(PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA)

D
I
S
U
S
U
N

OLEH

HANIFAH MURZAN
411307076
KPI-UNIT 3

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQFzSK-nN7kZ5MmCMmq7RCu7DToI-jSXJlyoHzOXaNkfOD2EF-M


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
TAHUN AKADEMIK 2014/2015


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil temuan yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menyatakan bahwa berdasarkan survei yang diakukan kepada 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia, kepuasan masyarakat terhadap hukum di Indonesia berada pada titik terendah.
"42,2 persen publik yang percaya bahwa aparat hukum akan bertindak adi dalam mengusut dan mengadili sebuah perkara. Sedangkan 46.7 persen tidak percaya bahwa aparat hukum akan bertindak adil. Mayoritas mereka cenderung percata bahwa proses hukum yang dilakukan aparat mudah diintervensi oleh kepentingan tertentu. Misalnya kedekatan dan kompensasi materi," kata Dewi dalam konferensi pers LSI tentang "Publik Menilai Wibawa Hukum Berada Pada Titik Terendah" di Kantor LSI, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (7/4/2013).
Yang kedua, Dewi menjelaskan publik marah karena politisi banyak yang melakukan praktik korupsi daripada mengurusi rakyat. Ketiga, pembiaran penegak hukum atas kasus amuk massa isu primordial.
"Di Indonesia, seringkali terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain, karena hanya perbedaan identitas atau keyakinan. Kesan 'ketidakberdayaan' negara dalam menghadapi kekerasan komuna ini memunculkan pesimisme terhadap penegakan hukum," lanjutnya.
Alasan keempat ialah, lemahnya kepemimpinan nasional dalam menegakan hukum secara konsisten. Menurut Dewi, sikap inkonsisten pemimpin nasiona juga menjadi penyebab merosotnya wibawa hukum.

Berdasarkan artikel diatas, dapat diketahui bahwa antara hukum dengan gejala- gejala social, dalam hal ini stratifikasi social yang terdapat pada setiap masyarakat saling mempengaruhi. Kelihatan bahwa mekanisme hukum memeng kurang efektif; seolah- olah telah terjadi anarki di dalam kesibukan penegakan hukum. Untuk praktisnya, hukum diartikan sebgai aturan yang ditetapkan oleh penguasa. Peraturan- peraturan tadi dapat bersifat umum dan dapat juga bersifat khusus dari sudut ruang lingkup norma- normanya.





[1][1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu  Pengantar Cetakan ke-29, Raja Grapindo Persada, Jakarata, 2000, Hlm. 252.
[2][3]  Ibid, hlm. 265
[3][4] Levinson dalam Soerjono Soekanto, Ibid, hlm. 269
[4][5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum Cetakan Ke-15, RajaGrapindo Persada, Jakarta, 2005, Hlm. 94
[5][6] Chambliss & Seidman Dalam Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publising, Yogyakarta, 2009, Hlm. 67
[6][7]  Ibid. Hlm. 67
[7][8] A. Ahsin Thohari,  Sekutu Berdesain Setru, Kompas Edisi Jumat, 30 April 2010
[8][9] A. Ahsin Thohari, ibid

No comments:

Post a Comment

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...