PENDAHULUN
Sejak jaman dahulu kala
hingga sekarang ini, adanya penggolongan kelas-kelas tertentu didalam
masyarakat sudah lama diketahui. Seperti adanya golongan Raja, Bangsawan, dan
Rakyat Jelata. Begitupun pada saat era penjajahan terdapat golongan Eropa yang
dianggap sebagai 0rang–orang terhormat ( Upper
Class ), golongan Timur Asing ( Midle-
Class ), dan golongan Pribumi ( Low/botom
Class ).
Adanya lapisan-lapisan
masyarakat tersebut, juga terjadi pada jaman yunani kuno. Sebagaimana dikatakan
oleh filosof Aristoteles yang mengatakan bahwa didalam negara terdapat tiga
unsur yaitu:
-
Mereka
yang kaya sekali
-
Mereka
yang berada ditengah-tengah
-
Dan
mereka yang melarat.
Pernyataaan tersebut
semakin menegaskan bahwa memang benar
dari dahulu kala hingga sekarang ini masih terdapat lapisan-lapisan atau
tingkatan-tingkatan sosial.
Lapisan–lapisan yang
terjadi dimasyarakat akan membawa perbedaan dalam perlakuan dan pemberian
fasilitas yang akan diterima oleh masing-masing lapisan tersebut. Sebagai
contoh bagi mereka yang memiliki banyak uang, akan mudah sekali mendapatkan
tanah, kekuasaan, dan mungkin juga kehormatan, bagi mereka yang memiliki
kekuasaan akan mudah dalam mendapatkan uang agar kaya.
Dalam kajian sosiologi.
Lapisan-lapisan masyarakat seperti tersebut diatas dikenal dengan Social
Stratification[1][1].
Istilah staratification berasal dari kata stratum ( strata) yang berarti
lapisan. Menurut Pitrim A. Sorokin social stratification adalah pembedaan
penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat ( hierarkis).
Di India dikenal dengan
adanya empat lapisan masyarakat ( kasta) yaitu:
1.
Kasta Brahmana ( dalam
kelompok ini adalah para pendeta)
2.
Kasta Ksatria ( dalam
kelompok ini adalah golongan bangsawan dan tentara)
3.
Kasta vaicya ( masuk dalam
kelompok ini adalah para pedagang)
4.
Kasta sudra ( adalah
terdiri dari rakyat jelata)
Masyarakat yang tidak
termasuk dalam golongan-golongan diatas dikelompokan dalam golongan paria
Kriteria yang dipakai untuk
menggolong-golongkan masyarakat dalam lapisan-lapisan tertentu adalah [2]:
-
Ukuran
kekayaan
-
Ukuran
kekuasaan
-
Ukuran
kehormatan
-
Ukuran
ilmu pengetahuan.
Unsur-Unsur Lapisan Masyarakat
Sistem lapisan masyarakat
ditentukan oleh kedudukan (status) dan peranan ( role). Kedudukan dan peranan
seseorang mempunyai arti penting, karena langgengnya masyarakat tergantung pada
keseimbangan kepentingan-kepentingan individu diatas
Kedudukan
Kedudukan diartikan sebagai
tempat atau porsi seseorang dalam satu kelompok sosial. Kedudukan sosial adalah
tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang
lain dalam arti lingkungan pergaulanya, prestisenya, dan hak-hak serta
kewajibannya. Kedudukan tersebut dibagi[2][3];
1.
Ascribed status
yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan
perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan, yang diperoleh karena kelahiran.
Contoh seorang bangsawan.
2.
Achieved status
adalah keduudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang
disengaja.
Peranan
Peranan merupakan aspek
dinamis dari kedudukan. Seseorang menjalankan hak
dan kewajibanya sesuai dengan kedudukanya maka dia menjalankan peranan. Antara
kedudukan dan peranan tidak dapat dipisah-pisahkan, sehingga tidak ada peranan
tanpa kedudukan dan sebaliknya. Peranan lebih banyak menuju kepada suatu
fungsi, penyesuian diri, dan sebagai suatu proses.
.
-
Peranan
meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang
membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan
-
Peranan
adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi
-
Peranan
sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Melalui undang-undang
kekuasaan kehakiman ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang
independen, yaitu tidak terpengaruh oleh kekuasaan lainnya dalam melaksanakan
kewajibanya. Akan tetapi dalam kenyataan terjadi adanya pengaruh stratifikasi
sosial dan birokrasi.
Perlindungan hukum dan
bantuan hukum merupakan dua proses yang berjalan berdampingan. Pengacara
mendapat tempat yang penting dalam proses tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya
pengacara juga terpengaruh oleh kekuatan politik yang ada didalam masyarakat,
pandangan mengenai keadilan, dan ciri-ciri struktur sosial tempat dia bekerja.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengaruh Stratifikasi
Sosial dalam Penegakan Hukum
Dalam sebuah asas hukum yang menyatakan bahwa
setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before
the law). Hukum tidak memandang kaya atau miskinnya seseorang. Setiap orang
baik kaya ataupun miskin punya hak yang sama untuk merasakan keadilan hukum.
Hukum berlaku top-down. Artinya bahwa hukum ditentukan oleh
kalangan atas kemudian diterapkan pada masyarakat kalangan bawah.
Namun stratifikasi tetap saja muncul. Oleh
karena itu, antara hukum dan relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang
biasa disebut dengan legal gap. Terjadi perbedaan antara apa yang
seharusnya terjadi menurut hukum dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat.
Masyarakat merupakan struktur organisasi kehidupan bersama. Di dalam struktur,
setiap orang memainkan perannya masing-masing. Keanekaragaman peran yang ada
dalam masyarakat menimbulkan apresiasi yang berbeda terhadap pemegang peran.
Ada profesi yang dianggap ada pada struktur lapisan yang dipandang oleh
masyarakat baik. Namun ada juga kelompok profesi yang menurut masyarakat
dianggap berada pada struktur lapisan masyarakat tingkat bawah seperti yang
dianggap masyarakat kurang terpandang. Hal yang terjadi kemudian adalah
disfungsi hukum bagi masyarakat kalangan bawah. Hukum tidak lagi berfungsi
sebagaimana mestinya. Seharusnya hukum tidak membeda-bedakan dan berlaku adil
bagi semua kalangan.
Bantuan hukum bagi masyarakat strata bawah
terdapat dalam dua model : berbentuk bantuan secara konvensional dan bantuan
secara structural.
Para ahli hukum yang berprofesi sebagai
pengacara mencoba membantu mengatasi persoalan kesenjangan kaya-miskin ini
dengan cara memberikan bantuan hukun secara cuma-cuma kepada golongan miskin,
apabila golongan miskin ini harus berperkara dan beracara di siding-sidang
pengadilan. Bantuan ini desebut dengan legal aid. Bentuk inilah
yang kemudian disebut dengan bantuan secara konvensional.
Bantuan hukum yang terbatas pada bantuan hukum
dalam persidangan saja belum cukup untuk melepaskan kaum miskin dari
diskriminasi yang disebabkan oleh stratifikasi. Bantuan hukum juga dilakukan
dengan memperjuangkan kaum miskin pada rancangan undang-undang yang akan
diberlakukan. Pada bentuk bantuan ini, para ahli hukum akan berusaha agar
hak-hak kaum miskin tidak terpinggirkan, Perjuangan semacam ini disebut
dengan legal service. Bantuan model ini juga disebut dengan bantuan
secara struktural. (Soetandyo, 2008:193)
Hal yang harus dihilangkan adalah diskriminasi
dalam hukum. Tidak seharusnya hukum hanya dibuat oleh kaum strata atas saja.
Hukum menyangkut kehidupan setiap orang. Tidak peduli dari strata atas atau
bawah. Oleh kerena itu, hukum seharusnya dibuat secara bersama-sama untuk
kebaikan bersama. Semua kalangan harus dilibatkan dalam sebuah perumusan hukum
agar hukum dapat diterima semua pihak.
Menurut Soerjono Soekanto (Pokok-Pokok Sosiologi, 2005: 94) terdapat dua
hipotesa mengenai
penegakan hukum:
a. Semakin
tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin sedikit hukum
yang mengaturnya
b. Semakin
rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin banyak hukum
yang mengaturnya.
Penegakan hukum adalah
suatu proses yang didalamnya merupakan perwujudan dari tujuan suatu organisasi. Tujuan
organisasi penegakan hukum akan menentukan bagaiamana tingkah laku organisasi.
Dalam menjalankan tujuan suatu organisasi, disatu sisi harus dapat melayani
masyarakat. Pada sisi yang lainya organisasi tersebut harus hidup
ditengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam kondisi demikian terjadi proses
penyesuaian yang menimbulkan gejala yaitu goal substitution dan goal
displacemen.
Didalam goal
substitution. Maka, tujuan yang formal digantikan oleh
kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang akan lebih menguntungkan bagi
organisasi disatu pihak dan dipihak lain akan menekan sedapat mungkin
ancaman-ancaman terhadapnya.. Didalam goal displacement.
Maka, tujuan-tujuan organisasi yang sudah diterima dan disetujui ditelantarkan
demi tujuan-tujuan lain.
Penegakan hukum terhadap
lapisan-lapisan masyarakat yang tergolong upper class begitu
terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Hal yang berbeda manakala yang
menjadi pelaku/korbannya adalah golongan yang berkategori masyarakat lapisan
bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam penerapanya dikenal dengan
penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata pisau. Artinya pisau
akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat yang sama pisau
akan terasa tumpul jika diarahkan keatas. Sehingga hukum hanya tajam dengan baik untuk
menjangkau golongan-golongan lemah (masyarakat miskin, pinggiran, dan
masyarakat tak berdaya)
dan hukum akan terasa tidak berdaya untuk menjerat golongan-golongan pejabat,
pengusaha, dan orang-orang berpengaruh dinegeri ini.
Hubungan Setratifikasi Sosial Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan sangat terang menyatakan bahwa tujuan
dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan (Preambule)
UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan,
sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara
dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kompleks, Homogenitas corak adat dan
tradisi tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh lingkungan alam dan
keadaan setempat. Jauh sebelum kedatangan Belanda, di Indonesia telah berdiri
beberapa kerajaan yang berdaulat ke dalam dan ke luar (de facto atau de jure).
Semua kerajaan tersebut diatur oleh pemerintahan yang dikepalai seorang sultan
atau raja beserta para pembantunya. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945,
kerajaan-kerajaan tersebut bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kaum bangsawan yang bekerja di kerajaan otomatis menjadi pegawai daerah. Kaum
bangsawan yang memegang pimpinan maupun kaum bangsawan yang tidak memegang
pimpinan kemudian bekerja sama dengan pegawai Republik Indonesia untuk membina
masyarakat yang baru merdeka.
Dalam bidang penegakan hukum, banyak pihak mengakui bahwa
upaya penegakan hukum di negara kita masih belum memenuhi harapan, bukan hanya
karena profesionalisme aparat penegak hukum yang masih perlu dipertanyakan
tetapi juga, apakah perangkat peraturan perundang-undangan yang ada telah
memadai serta tersedianya sarana dan prasarana pendukung.
Adanya kekuasaan dan wewenang di dalam setiap masyarakat merupakan gejala yang
wajar, walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu
sendiri, karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat
yang bersangkutan. Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat atau
pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan atau wewenang. Seluruh kewajiban pada
prinsipnya merupakan ekspresi kewenangan atribusi negara yang terwujud dalam
kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik pada dasarnya
berdimensi sangat luas, tidak hanya dalam bentuk peraturan tertulis atau surat
keputusan para pejabat publik dari pusat hingga daerah, tetapi mencakup semua
tindakan para pejabat publik tersebut serta berbagai program yang mereka
jalankan.
Prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum dan perlakuan yang adil bagi seluruh
masyarakat, merupakan petunjuk bahwa Negara wajib memperhatikan masalah bantuan
hukum bagi warganya. Penyelenggaraan bantuan hukum yang tidak serius merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berarti bertentangan dengan hak
konstitusional warga negaranya.
Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka paling sedikit dua hal yang
menonjol, pertama para pembentuk, penegak maupun pelaksana hukum adalah warga
masyarakat yang mengandung unsur-unsur kekuasaan. Akan tetapi, mereka tidak
dapat mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang karena ada pembatasan
tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh
pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri.
Efektivitas pelaksanaan hukum sedikit banyak dirtentukan oleh sahnya hukum
tadi.
Hal yang kedua adalah, sistem hukum antara menciptakan dan merumuskan hak dan
kewajiban beserta pelaksanaannya. Dalam hal ini ada hak warga masyarakat yang
tidak dapat dijalankan karena yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya dan sebaliknya ada hak-hak yang dengan sendirinya didukung oleh
keuatan-kekuatan tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum dan
kekuasaan mempunyai hubungan timbal-balik, di satu pihak hukum memberi batasan
kekuasaan, dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu jaminan berlakunya
hukum.
Maka tidak benar bahwa penegakan hukum itu hanya tinggal menarik garis lurus
yang menghubungkan antara peraturan dan kejadian di lapangan. Ternyata banyak
faktor-faktor yang ikut campur di situ. Penelitian di Amerika mengenali
faktor-faktor ras, stratifikasi sosial, kedekatan hubungan, sikap sopan
tersangka, ikut menentukan penahanan pada seseorang. Semakin besar jarak sosial
antara pelapor-korban dengan tersangka semakin besar kemungkinan dilakukan
penahanan. Kemngkinan penahanan akan meningkat jika tersangka menunjukkan sikap
tidak hormat terhadap polisi. Kemungkinan penahanan akan lebih besar pada
kejahatan yang serius dari pada yang kurang. Kesimpulan umum mengatakan bahwa
banyak faktor di luar hukum yang turut menentukan bagaimana hukum senyatanya
dijalankan. Pada waktu polisi ingin melakukan penahanan saja banyak faktor yang
terlibat di situ, sehingga melahirkan informasi luas mengenai "sosiologi
penahanan" (the sociology of arrest).
Kondisi abnormal seperti ini bak gayung tak bersambut dengan tatanan masyarakat
saat ini. Neo-liberalisme saat ini telah mengubah tatanan masyarakat dan
hubungan antar manusia yang dipandu oleh prinsip transaksi laba-rugi, seperti
dalam kinerja ekonomi pasar. Dampak dari gejala mengenai itu adalah
komersialisasi di segala bidang, tak luput juga komersialisasi hukum.
Bentuk-bentuk komersialisasi hukum ini adalah biaya perkara yang sangat tinggi
di tingkat pengadilan. Biaya tinggi sangat dipengaruhi dengan standar biaya
perkara yang telah ditentukan dan praktek mafia peradilan yang terjadi hampir
pada seluruh instansi peradilan. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan menjadi pusaran terjadinya mafia peradilan. Pada akhirnya
masyarakat apatis terlebih dahulu untuk memperjuangkan keadilan karena biaya
yang sangat tinggi dan adanya praktek jual beli pasal.
Masalah akses mendapatkan keadilan (access to justice), meskipun
terbatas pada bantuan hukum (legal aid) bagi “si miskin”, sebenarnya
adalah masalah yang tidak mudah diuraikan. Hal ini disebabkan karena masalah
akses mendapatkan keadilan bukan hanya masalah hukum semata melainkan juga
merupakan masalah politik, bahkan lebih jauh lagi adalah masalah budaya.
Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihatnya dari sudut ekonomi,
disebabkan oleh kemiskinan yang semakin luas, tingkat buta huruf yang tinggi,
dan keadaan kesehatan yang buruk.
Pada pertengahan abad ke-20 orang sudah mulai menyadari betapa tidak
sederhananya penegakan hukum. Tidak seperti menarik garis lurus antara dua
titik. Dalam penegakan hukum jangan lagi orang bicara berdasar prinsip
"peraturan dan logika" (rules and logic) semata.
Penelitian-penelitian lapangan mulai banyak dilakukan untuk memastikan apa yang
sebenarnya terjadi pada waktu hukum harus dijalankan di masyarakat.
Sehubungan dengan apa yang dijelaskan, dapatlah ditemukan paling sedikit dua
hipotesis, yaitu:
1.
Semakin tinggi kedudukan seseorang
dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya.
2.
Semakin rendah kedudukan seseorang
dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya.
Kenyataan
Penegakan hukum dalam stratifikasi sosial
Salah satu karakteristik dari negara
berkembang adalah lemah dalam hal penegakan hukum, hukum selalu dijadikan alat
bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara pribadi dalam mewujudkan kehendak
dan ambisi pribadi dan golongan.
Atas dasar hal tersebut diatas tidak
heran jika kita sering menyaksikan dan mendengar, seseorang mendapat vonis yang
jauh dari nilai keadilan yang seharusnya ia (terpidana) terima atas kejahatan
yang dilakukanya. Sebagai contoh adalah seseorang yang mencuri sendal, jika
tertangkap dan masuk penjara maka ia akan mendapat hukuman yang lebih berat
jika dibanding seseorang yang mencuri uang rakyat “ korupsi”.
Menarik diceramati bagi
kita semua, manakala kita disuguhi kejadian-kejadian yang terjadi dalam
penegakan hukum dinegeri ini. Penegakan hukum demikian sejalan dengan adanya
dua hipotesa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto sebagai berikut[4][5] :
a.
Semakin
tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin sedikit hukum
yang mengaturnya
b.
Semakin
rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin banyak hukum
yang mengaturnya.
Hipotesa tersebut dapat
dibuktikan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.
Adanya
rencana pemeriksaan terhadap waprees Boediono oleh KPK yang akan dilakukan
dikantor wapres
2.
Rencana
pemeriksaan terhadap Menkeu Sri Mulyani oleh kPK, akan dilakukan dikantor
Kemenkeu
3.
Pembelaan
yang berlebihan oleh para pengacara/penasehat hukum terhadap mantan ketua KPK
Antasari Azhar
4.
Perlakuan
berbeda dapat dilihat manakala terjadi penegakan hukum terhadap kasus seorang
nenek Minah yang dituduh melakukan pencurian
sebanyak 3 buah biji kakau di
daerah jawa tengah.
5.
Begitupun
kejadian-kejadian yang pernah menimpa terhadap mantan presiden era orde
baru bapak Soeharto.
Penegakan hukum terhadap
lapisan-lapisan masyarakat yang tergolong upper class begitu terasa tumpul,
lambat dan tidak jelas akhirnya. Hal yang berbeda manakala yang menjadi
pelaku/korbannya adalah golongan yang berkategori masyarakat lapisan bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam
penerapanya dikenal dengan penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata pisau.
Artinya pisau akan terasa tajam manakala
diarahkan kebawah, pada saat yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan
keatas.
Penomena penegakan hukum
yang terasa pincang, berbeda, dan terasa jauh dari memenuhi asas equality of justice dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Struktur kekuasaan yang
komplek, umumnya ditemukan pada masyarakat-masyarakat yang tidak lagi
sederahana, pada giliranya juga akan menimbulkan penegakan hukum yang tidak
sederhana lagi. Hubungan dengan masalah struktur kekuasaan yang komplek,
berakibat adanya penegakan hukum yang selektif.
Kelahiran dari penegakan
hukum yang selektif dalam masyarakat modern atau kompleks dapat dijelaskan
sebagai berikut: sifat dan ciri sitem hukum yang dilahirkan dalam masyarakat
yang komplek diturunkan dari konplik-konplik yang inheren pads struktur
masyarakat tersebut, yaitu yang berlapis-lapis secara ekonomi dan politik[5][6]
Penegakan hukum adalah
suatu proses yang didalamnya merupakan perwujudan dari tujuan suatu organisasi.
Maka walaupun penegakan hukum itu dilakukan oleh orang perorang akan tetapi
tetap hal tersebut tidak dapat lepas dari organiasi dari orang- orang tersebut
berada.
Suatu organisasi pasti
mempunyai tujuan. Tujuan tersebut ada yang dirumuskan secara
formal dan merupakan bagian dari struktur organisasi. Maka dari tujuan tersebut
dapat diketahui apa yang dikehendaki dan ingin dilakukan oleh organisasi dalam
masyarakat.
Tujuan organisasi penegakan
hukum akan menentukan bagaiamana tingkah laku organisasi. Dalam menjalankan
tujuan suatu organisasi, disatu sisi harus dapat melayani masyarakat. Pada sisi
yang lainya organisasi tersebut harus hidup ditengah-tengah masyarakat
tersebut. Dalam kondisi demikian terjadi proses penyesuaian yang menimbulkan
gejala yaitu goal substitution dan goal
displacement[6][7].
Didalam goal
substitution. Maka, tujuan yang formal digantikan oleh
kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang akan lebih menguntungkan bagi
organisasi disatu pihak dan dipihak lain akan menekan sedapat mungkin
ancaman-ancaman terhadapnya..
Didalam goal
displacement. Maka, tujuan-tujuan organisasi yang sudah diterima dan
disetujui ditelantarkan demi tujuan-tujuan lain.
Diantara badan-badan
penegakan hukum dengan masyarakat terdapat hubungan yang resiprositas yang
dapat dilihat melalui goal substitution dan goal displacement. Dalam kontek
tersebut, maka badan-badan penegak hukum berusaha untuk meningkatkan atau
mencari keuntungan dari masyarakat dan menekan hambatan-hambatan serta
ancaman-ancaman yang datang kepadanya. Atas kondisi demikian maka penegakan
hukum cendrung meringankan golongan–golongan yang mempunyai kekuasaan dan
memberatkan bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan tersebut.
Jika dari paparan-paparan
diatas ditarik kedalam kondisi kekinian dapat dijelaskan sebagai berikut:
Adanya perlakuan yang
berbeda yang diterima oleh wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani, disebabkan
oleh keduanya tersebut mempunyai kekusaan yang tinggi dinegeri ini. Badan-badan
penegak hukum dalam menjalankan tujuan organisasinya . maka mau tidak mau haru
menyesuaikan terhadap keduanya. Yaitu disatu sisi memberikan layanan terahadap
keduanya dan pada sisi yang lain harus menyelamatkan organisasi tersebut,
sehingga terjadilah proses goal
substitution dan goal displacement.
Dalam kasus yang berbeda
seperti penyerobotan pemeriksan terhadap hakim dalam perkara Gayus oleh MA,
yang sebelumnya sudah direncanakan akan
dilakukan pemeriksan oleh KY. Adanya penyerobotan tersebut dapat ditafsir
sebagai bentuk perlindungan oleh MA terhadap hakim-hakim nakal yang tergabug
dalam lokomotif dan gerbong Mahkamah Agung.
Pemeriksaan yang dilakukan
MA tersebut terhadap hakim-hakim nakal selama ini sesungguhnya lebih berfungsi
sebagai pembekalan dan pengkondisian[7][8] terhadap hakimnya. Sehingga, cukup punya alasan untuk
ngeles dari bidikan KY. Motivasi inilah yang dilakukan oleh MA dengan melakukan
penyerobotan pemeriksaan[8][9].
Sehingga nyatalah ungkapan
yang menyatakan bahwa penegakan hukum (law enforcment) di Indonesia seperti sebilah mata pisau. Jika kita
lihat bahwa pisau mempunyai dua sisi, sisi bawah mempunyai ketajaman yang baik
artinya bahwa hukum hanya tajam dengan baik untuk menjangkau golongan-golongan
lemah (masyarakat miskin, pinggiran, dan masyarakat tak berdaya). Sebaliknya pada
sisi lainya (atas) pisau mempunyai ketajaman yang kurang/tumpul jika diarahkan
keatas, begitupun dengan hukum akan terasa tidak berdaya untuk menjerat
golongan-golongan pejabat, pengusaha, dan orang-orang berpengaruh dinegeri ini.
Orang-orang tersebut notabene berstataus hight social ( upper
class).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Selama dalam satu
masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka barang sesuatu itu akan menjadi
bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Yang
dijadikan Ukuran-ukuran yang dalam terjadinya stratifikasi sosial adalah
seperti;
a.
Ukuran kekayaan
b.
Ukuran kekuasaan
c.
Ukuran kehormatan
d.
dan ukuran ilmu pengetahuan
Dengan unsur penentu adalah
keududukan ( status) dan peranan ( role).
Dalam sebuah asas hukum yang menyatakan bahwa
setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before
the law). Hukum tidak memandang kaya atau miskinnya seseorang. Setiap orang
baik kaya ataupun miskin punya hak yang sama untuk merasakan keadilan hukum.
Hukum berlaku top-down. Artinya bahwa hukum ditentukan oleh
kalangan atas kemudian diterapkan pada masyarakat kalangan bawah.
Namun stratifikasi tetap saja muncul. Oleh
karena itu, antara hukum dan relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang
biasa disebut dengan legal gap. Terjadi perbedaan antara apa yang
seharusnya terjadi menurut hukum dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat.
Hal yang harus dihilangkan adalah diskriminasi
dalam hukum. Tidak seharusnya hukum hanya dibuat oleh kaum strata atas saja.
Hukum menyangkut kehidupan setiap orang. Tidak peduli dari strata atas atau
bawah. Oleh kerena itu, hukum seharusnya dibuat secara bersama-sama untuk
kebaikan bersama. Semua kalangan harus dilibatkan dalam sebuah perumusan hukum
agar hukum dapat diterima semua pihak.
Menurut Soerjono Soekanto (Pokok-Pokok Sosiologi, 2005: 94) terdapat dua
hipotesa mengenai
penegakan hukum:
a. Semakin
tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin sedikit hukum
yang mengaturnya
b. Semakin
rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin banyak hukum
yang mengaturnya.
Penegakan hukum adalah
suatu proses yang didalamnya merupakan perwujudan dari tujuan suatu organisasi. Tujuan
organisasi penegakan hukum akan menentukan bagaiamana tingkah laku organisasi.
Dalam menjalankan tujuan suatu organisasi, disatu sisi harus dapat melayani
masyarakat. Pada sisi yang lainya organisasi tersebut harus hidup ditengah-tengah
masyarakat tersebut. Dalam kondisi demikian terjadi proses penyesuaian yang
menimbulkan gejala yaitu goal substitution dan goal displacemen.
Didalam goal
substitution. Maka, tujuan yang formal digantikan oleh
kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang akan lebih menguntungkan bagi
organisasi disatu pihak dan dipihak lain akan menekan sedapat mungkin
ancaman-ancaman terhadapnya.. Didalam goal displacement.
Maka, tujuan-tujuan organisasi yang sudah diterima dan disetujui ditelantarkan
demi tujuan-tujuan lain.
Penegakan hukum terhadap
lapisan-lapisan masyarakat yang tergolong upper class begitu
terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Hal yang berbeda manakala yang
menjadi pelaku/korbannya adalah golongan yang berkategori masyarakat lapisan
bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam penerapanya dikenal dengan
penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata pisau. Artinya pisau
akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat yang sama pisau
akan terasa tumpul jika diarahkan keatas. Sehingga hukum hanya tajam dengan baik untuk
menjangkau golongan-golongan lemah (masyarakat miskin, pinggiran, dan
masyarakat tak berdaya)
dan hukum akan terasa tidak berdaya untuk menjerat golongan-golongan pejabat,
pengusaha, dan orang-orang berpengaruh dinegeri ini.
Dalam bidang penegakan hukum, banyak pihak
mengakui bahwa upaya penegakan hukum di negara kita masih belum memenuhi
harapan, bukan hanya karena profesionalisme aparat penegak hukum yang masih
perlu dipertanyakan tetapi juga, apakah perangkat peraturan perundang-undangan
yang ada telah memadai serta tersedianya sarana dan prasarana pendukung.
Adanya kekuasaan dan wewenang di dalam setiap masyarakat merupakan gejala yang
wajar, walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu
sendiri, karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat
yang bersangkutan. Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat atau
pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan atau wewenang. Seluruh kewajiban pada
prinsipnya merupakan ekspresi kewenangan atribusi negara yang terwujud dalam
kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik pada dasarnya
berdimensi sangat luas, tidak hanya dalam bentuk peraturan tertulis atau surat
keputusan para pejabat publik dari pusat hingga daerah, tetapi mencakup semua
tindakan para pejabat publik tersebut serta berbagai program yang mereka jalankan.
Penegakan hukum demikian
sejalan dengan adanya dua hipotesa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto
sebagai berikut :
a.
Semakin
tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin sedikit hukum
yang mengaturnya
b.
Semakin
rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin banyak hukum
yang mengaturnya.
Hipotesa tersebut dapat dibuktikan dengan
hal-hal sebagai berikut:
1.
Adanya
rencana pemeriksaan terhadap waprees Boediono oleh KPK yang akan dilakukan dikantor
wapres
2.
Rencana
pemeriksaan terhadap Menkeu Sri Mulyani oleh kPK, akan dilakukan dikantor
Kemenkeu
3.
Pembelaan
yang berlebihan oleh para pengacara/penasehat hukum terhadap mantan ketua KPK
Antasari Azhar
4.
Perlakuan
berbeda dapat dilihat manakala terjadi penegakan hukum terhadap kasus seorang
nenek Minah yang dituduh melakukan pencurian
sebanyak 3 buah biji kakau di
daerah jawa tengah.
5.
Begitupun
kejadian-kejadian yang pernah menimpa terhadap mantan presiden era orde
baru bapak Soeharto.
DAFTAR PUSTAKA
Satjipto Rahardjo, Penegakan
Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publising, Yogyakarta, 2009
Soerjono Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar Cetakan ke-29,
RajaGrapindo Persada, Jakarata, 2000.
Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum Cetakan Ke-15, RajaGrapindo Persada, Jakarta, 2005
HUKUM
ISLAM DAN STRATIFIKASI SOSIAL
(PENEGAKAN
HUKUM DI INDONESIA)
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
HANIFAH MURZAN
411307076
KPI-UNIT 3
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
AR-RANIRY BANDA ACEH
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil temuan yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia
(LSI), menyatakan bahwa berdasarkan survei yang diakukan kepada 1.200
responden di 33 provinsi di Indonesia, kepuasan masyarakat terhadap hukum di
Indonesia berada pada titik terendah.
"42,2 persen publik yang percaya bahwa aparat hukum akan bertindak adi dalam mengusut dan mengadili sebuah perkara. Sedangkan 46.7 persen tidak percaya bahwa aparat hukum akan bertindak adil. Mayoritas mereka cenderung percata bahwa proses hukum yang dilakukan aparat mudah diintervensi oleh kepentingan tertentu. Misalnya kedekatan dan kompensasi materi," kata Dewi dalam konferensi pers LSI tentang "Publik Menilai Wibawa Hukum Berada Pada Titik Terendah" di Kantor LSI, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (7/4/2013). Yang kedua, Dewi menjelaskan publik marah karena politisi banyak yang melakukan praktik korupsi daripada mengurusi rakyat. Ketiga, pembiaran penegak hukum atas kasus amuk massa isu primordial. "Di Indonesia, seringkali terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain, karena hanya perbedaan identitas atau keyakinan. Kesan 'ketidakberdayaan' negara dalam menghadapi kekerasan komuna ini memunculkan pesimisme terhadap penegakan hukum," lanjutnya. Alasan keempat ialah, lemahnya kepemimpinan nasional dalam menegakan hukum secara konsisten. Menurut Dewi, sikap inkonsisten pemimpin nasiona juga menjadi penyebab merosotnya wibawa hukum. |
Berdasarkan
artikel diatas, dapat diketahui bahwa antara hukum dengan gejala- gejala social, dalam hal ini stratifikasi
social yang terdapat pada setiap masyarakat saling mempengaruhi. Kelihatan
bahwa mekanisme hukum memeng kurang efektif; seolah- olah telah terjadi anarki
di dalam kesibukan penegakan hukum. Untuk praktisnya, hukum diartikan sebgai
aturan yang ditetapkan oleh penguasa. Peraturan- peraturan tadi dapat bersifat
umum dan dapat juga bersifat khusus dari sudut ruang lingkup norma- normanya.
[1][1]
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Cetakan ke-29, Raja Grapindo
Persada, Jakarata, 2000, Hlm. 252.
[2][3] Ibid,
hlm. 265
[3][4]
Levinson dalam Soerjono Soekanto, Ibid,
hlm. 269
[4][5]
Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum
Cetakan Ke-15, RajaGrapindo Persada, Jakarta, 2005, Hlm. 94
[5][6] Chambliss & Seidman Dalam
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu
tinjauan sosiologis, Genta Publising, Yogyakarta, 2009, Hlm. 67
[6][7] Ibid.
Hlm. 67
[7][8]
A. Ahsin Thohari, Sekutu Berdesain Setru, Kompas Edisi Jumat, 30 April 2010
No comments:
Post a Comment