Tasawuf Akhlaki adalah tasawuf yang
berorientasi pada perbaikan akhlak,mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan
manusia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang
telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf
sunni,yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan oleh ‘ulama salaf as-Salih.Ajaran
yang terdapat dalam tasawuf ini antara lain :
> Takhalli,yaitu penyucian
diri dari sifat tercela.
> Tahalli,yaitu
menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap perbuatan terpuji.
> Tajalli,yaitu
tersingkapnya Nur Ilahi (cahaya Tuhan) seiring dengan sirnanya sifat-sifat
kemanusiaan pada diri manusia setelah tahapan takhalli dan tahalli.
Tokoh
sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain :
1) Hasan
al-Basri (21 H – 110 H) ajaran tasawufnya adalah rasa takut dan pengharapan
tidak akan dirundung kemuraman karena mengingat Allah SWT.
khauf menurut Hasan Al-Bashri adalah suatu sikap mental merasa takut kepada
Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. (khauf dan zuhud)
2) Al-Muhasibi
(165 H – 243 H) ajaran tasawufnya adalah ketakwaan kepada Allah
SWT,melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meneladani Rasulullah SAW. 2.
Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga janji dan ancaman Allah; pangakal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga janji dan ancaman Allah; pangakal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan
sempurna bila berpegang teguh pada Al Qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia
mengaitkan kedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah
3) Al-Qusyairi (376 H – 465
H)ajaran tasawufnya adalah landasan tauhid yang benar berdasarkan doktrin Ahlus
Sunnah. Al-Qusyairi juga memberikan pandangannya kepada beberapa istilah
yang ada dalam tasawuf, seperti fana’dan baqa’, wara’,
syari’at dan hakikat:
a. Baqa’ dan Fana’
Dalam struktul ahwal[13], yaitu mengenai fana’ dan baqa’,
Al-Qusyairi mengemukakan bahwa fana’ adalah gugurnya
sifat-sifat tercela,sedangkan baqa’adalah jelasnya
sifat-sifat terpuji. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat
tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebalikya, apabila yang
dominan adalah sifat-sifat tercela maka sifat-sifat terpuji akan tertutupi.
Jika seorang individu secara terus-menerus membersihkan diri dengan
segala upayanya, maka Allah akan memberikan anugerah melelui kejernihan
perilakunya, bahkan dengan penyempurnaan tingkah laku tersebut.
b. Wara’
Pemikiran Al-Qusyairi yang lain adalah wara’,
menurutnya wara’merupakan usaha untuk tidak melakukan hal-hal yang
bersifat syubhat(sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara’ adalah
suatu pilihan bagi ahli tarekat.[14]
c. Syari’at dan Hakikat
Al-Qusyairi membedakan antara syari’at dan hakikat; hakikat
itu adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ke-Tuhanan dengan mata
hatinya. Sedangkan syari’at adalah kepastian hokum dalamubudiyah,sebagai
kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari’at ditunjukkan dalam
bentuk kaifiyah lahiriah antara manusia dengan Allah SWT
4) Al-Ghazali
(450 H – 505 H) ajaran tasawufnya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi
Muhammad SAW,serta doktrin Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah (tasawuf suni). AjaranTasawuf-Al-Ghazali
Di
dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan
sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di
lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan
Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai
negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad
(kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni
pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya:
a.
Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut
Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh
ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang
telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari
Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya
hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
b.
PandanganAl-Ghazalitentang-As-As’adah
Menurut
Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah
(ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah
(kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu
sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar
yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
B. Tasawuf ‘Irfani
Tasawuf
‘Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran atau ma’rifah diperoleh
dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran tetapi melalui
pemebirian Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena si sufi berupaya
melakukan tasfiyat al-Qalb. Dengan hati yang suci seseorang
dapat berdialog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah
dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham
(intuisi).
Tokoh-tokoh
yang mengembangkan tasawuf ‘irfani antara lain :
Rabi’ah al-Adawiyah (96 – 185 H), mahabbah Al-Hubb atau mahabbah
adalah satu istilah yang selalu berdampingan dengan ma’rifat, karena nampaknya
manivestasi dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang
disebut ma’rifat. Al-hubb mengandung pengertian terpadunya seluruh kecintaan
hanya kepada Allah SWT yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya.
Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya diisi oleh rasa cinta dan rindu yang
tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tanpa motivasi lain
kecuali hanya kasih Allah
Dzunnun al-Misri (180 H – 246 H), Dzun Nun al Mishri adalah seorang tasawuf pertama
yang memberikan tafsiran-tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia juga
orang pertama yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang pertama yang
memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik.
2. Al Ma’rifat menurut pandangan Dzun Nun al Mishri adalah al ma’rifat terhadap keesaan Allah yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
3. Maqamat adalah kedudukan hamba dalam pandangan Allah, Maqam ini menurut Dzun Nun al Mishri dapat diketahui berdasarkan tanda-tanda, simbol-simbol, dan amalananya.
4. Ahwal adalah sifat dan keadaan sesuatu. Menurut Dzun Nun al Mishri setiap maqam mempunyai permulaan dan akhir. Dintara keduanya terdapat ahwal. Setiap maqam memiliki symbol dan setiap ahwal ditunjuk oleh isyarat.
2. Al Ma’rifat menurut pandangan Dzun Nun al Mishri adalah al ma’rifat terhadap keesaan Allah yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
3. Maqamat adalah kedudukan hamba dalam pandangan Allah, Maqam ini menurut Dzun Nun al Mishri dapat diketahui berdasarkan tanda-tanda, simbol-simbol, dan amalananya.
4. Ahwal adalah sifat dan keadaan sesuatu. Menurut Dzun Nun al Mishri setiap maqam mempunyai permulaan dan akhir. Dintara keduanya terdapat ahwal. Setiap maqam memiliki symbol dan setiap ahwal ditunjuk oleh isyarat.
Junaidi al-Bagdadi (W. 297 H),
Abu Yazid al-Bustami (200 H – 261 H),
Jalaluddin Rumi, Ibnu ‘Arabi, Abu Bakar as-Syibli,
Syaikh Abu Hasan
al-Khurqani,
‘Ain al-Qudhat
al-Hamdani,
Syaikh Najmuddin al-Kubra dan lain-lainnya.
C. Tasawuf falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada
keterpaduan teori-teori tasawuf dan falsafah. Tasawuf falsafi ini tentu saja
dikembangkan oleh para sufi yang filosof.
Ibnu
Khaldun berendapat bahwa objek utama yang menjadi perhatian tasawuf falsafi ada
empat perkara. Keempat perkara itu adalah sebagai berikut:
1.
Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul dari
dirinya.
2.
Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat
rabbani, ‘arasy, kursi, malaikat, wahyu kenabian, ruh, hakikat realitas segala
yang wujud, yang gaib maupun yang nampak, dan susunan yang kosmos, terutama
tentang penciptanya serta penciptaannya.
3.
Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang brepengaruh terhadap berbagai
bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4.
Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syatahiyyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengingkarinya, menyetujui atau menginterpretasikannya.
Tokoh-tokoh penting yang termasuk
kelompok sufi falsafi antara lain adalah
al-Hallaj (244 – 309 H/ 858 – 922 M).
Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
1. Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
2. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir didalam bunga.
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut0, dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
1. Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
2. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir didalam bunga.
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut0, dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
Menurut al-Hallaj Allah memiliki dua sifat
dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiasan (nasut). Demikkian
pula manusia disamping memiliki sifat kemanusiaan juga memiliki sifat ketuhanan
dalam dirinya.
b. Haqiqih Muhammadiyah Hakikah Muhammadiyah
atau Nur Muhammad, menurut al-Hallaj merupakan asal atau sumber dari segala
sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan
perantaranyalah alam ini dijadikan. Al-hallajlah yang mula-mula sekali
menyatakan bahwa kejadian alam ini pada mulanya adalah dari haqiqah Muhammad.
Wahbah al-Adyan (kesatuan semua agama) Paham
ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur Muhammad, yakni
pendapat al-Hallaj tentang Nur Muhammad telah mendorongnya berkesimpulan
tentang kesatuan semua agam, karna dalam kasus tersebut sumber semua agama
adalah satu, menurutnya, agama-agama itu diberikan kepada manusia bukan atas
pilihannya sendiri, tetapi dipilihkan untuknya
Ibnu’ Arabi (560 H –
638 H)
Inti ajaran tasawuf ibn Arabi a. Wahdah al-Wujud Ibn Arabi tidak pernah
menggunakan istilah wahdat al-wujud, dia dianggap sebagai pendiri dokrin wahdat
al- wujud karna ajaran-ajarannya mengandung ide wahdat al- wujud,seperti dalam
pernyataanya, semua wujud adalah satu dalam realisat, tiada satupunbersama
dengannya. Wujud hukum lain dari al-Haqq karna tidak ada sesuatupun dalamwujud
selain Dia
b. Al- Insan Al- Kamil
Al- Insan al- kamil adalh nama yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk menakan
seorang muslim yang telah sampai ketingkat tinggi, yaitu menurut sebagian sufi
tingkat seseorang yangtelah sampai pada fgan’ fillah,memang terdapat perbedaan
pendapat dikalangan para sufi dalam menentukan siapa yang bisa dikatakan al-
insan kamil.
Menurut ajaran tersebut, manusia sebenarnya adalah gambaran wujud Tuhan dan
sebagi penjelma sempurna pada daya ciptaannya, ini adalah menurut ibn ‘Arabi
mengenai ajarannya tentang al-insan al- kamil. Adanya manusia adalah untuk
menunjukkan akan kesaempurnaan Tuhan dalam alam semesta dan untuk mencerminkan
akd kebesaran-Nya.
Sekarang
yang dimaksud al-insan al-kamil menurut ibn ‘arabi seperti yang disebutkan
dalam kitab fusus, adalah: ‘Ain Al-Haqq, artinya manusia adalah perwujudan
dalam bentuk-Nya sendiri dengan segala keesaan-Nya. Berbeda dengan segala
sesuatu yang lain, meskipun al- Haqq( tuhan) ‘ain segala sesuatu, tetapi segala
sesuatu itu bukan ‘ain(zat)-Nya karna dia hanya perwujudan sebagai asmanya,
bukan tuhan bertajalli sesuatu itu dalam bentuk zat-zat-Nya. Dan apabila engkau
berkata insan(manusia), maka maksudnya ialah al- iansan al-kamil dalm
memanusiakannya yaitu tuhan ber tajalli dalam bentuk zat-Nya sendiri disebut
‘ain. Masalah al-insan al-kamil, dalam
pandangan ibn ‘arabi tidak bias di lepaskan kaitannya dengan paham adanya nur
Muhammad. Dikatakan bahwa nabi Muhammad SAW. Adalah al-insan al-
kamil.menurutnya untuk mencapai al-insan al-kamil orang harus melalui jalan
sebagai berikut:a. fana’ yaitu sirna didalam wujud tuhan sehingga seorang sufi
menjadi satu dengan-Nya.b. baqa’ yaitu kelanjutan wujud bersama tuhan sehingga
dalam pandangnnya wujud tuhanlah pada kesegalaan ini.
Semua ini
menurutnya adalah merupakan upaya pencapaian ketingkat al-insan al-kamil dan ia
hanya akan didapat melalui pengembangan daya intuisi al-Jili
(767 H – 805 H),
Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H)
as-Sukhrawardi dan yang lainnya
No comments:
Post a Comment