A. Pengertian
Khittah artinya garis besar perjuangan. khittah itu mengandung konsepsi
(pemikiran) perjuangan yang merupakan tuntunan, pedoman, dan arah perjuangan.
hal tersebut mempunyai arti penting karena menjadi landasan berpikir dan amal
usaha bagi semua pimpinan dan anggota muhammadiyah. garis-garis besar
perjuangan muhammadiyah tersebut tidak boleh bertentangan dengan asas dan
tujuan serta program yang telah disusun.
B. Enam Khittah Perjuangan
Muhammadiyah
Isi khittah harus sesuai dengan tujuan muhammadiyah, khittah itu disusun
sesuai dengan perkembangan zaman.
1. Langkah 12 Muhammadiyah 1938-1940
a. Memperdalam Masuknya Iman.
Hendaklah iman itu ditablighkan, disiarkan dengan selebar-lebarnya, yakni
diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan,
sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati
sanubari kita, sekutu-sekutu Muham-madiyah seumumnya.
b. Memperluas Faham Agama.
Hendaklah faham agama yagn sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang
seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita sekutu-sekutu
Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah yang paling benar, ringan
dan berguna, maka, mendahulukanlah pekerjaan keagamaan itu.
c. Memperbuahkan Budi Pekerti.
Hendaklah diterangkan dengan jelas tentang akhlaq yang terpuji dan akhlaq
yang tercela serta diperbahaskannya tentang memakainya akhlaq yang mahmudah dan
menjauhkannya akhlaq yang madzmumah itu, sehingga menjadi amalan kita, ya
seorang sekutu Muhammadiyah, kita berbudi pekerti yang baik lagi berjasa.
d. Menuntun Amalan Intiqad (self correctie).
Hendaklah senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self correctie),
segala usaha dan pekerjaan kita, kecuali diperbesarkan, supaya diperbaikilah
juga. Buah penyelidikan perbaikan itu dimusyawarahkan di tempat yang tentu,
dengan dasar mendatangkan maslahat dan menjauhkan madlarat, sedang yang kedua
ini didahulukan dari yang pertama.
e. Menguatkan Persatuan.
Hendaklah menjadikan tujuan kita juga, akan menguatkan persatuan
organisasi dan mengokohkan pergaulan persaudaraan kita serta mempersamakan
hak-hak dan memerdekakan lahirnya pikiran-pikiran kita.
f. Menegakkan Keadilan.
Hendaklah keadilan itu dijalankan semestinya, walaupun akan mengenai
badan sendiri, dan ketetapan yang sudah seadil-adilnya itu dibela dan
dipertahankan di mana juga.
g. Melakukan Kebijaksanaan.
Dalam gerak kita tidaklah melupakan hikmah, hikmah hendaklah disendikan
kepada Kitabullah dan Sunnaturrasulillah. Kebijaksanaan yang menyalahi ke-dua
pegangan kita itu, mestilah kita buang, karena itu bukan kebijaksanaan yang
sesungguhnya. Dalam pada itu, dengan tidak mengurangi segala gerakan kemuhammadiyahan,
maka pada tahun 1838-1940 H. Muhammadiyah mengemukakan pekerjaan akan:
h. Menguatkan Majlis Tanwir.
Sebab majlis ini nyata-nyata berpengaruh besar dalam kalangan kita
Muhammadiyah dan sudah menjadi tangan kanan yang bertenaga disisi Hoofdbestuur
(PP) Muhammadiyah, maka sewajibnyalah kita perteguhkan dengan diatur yang
sebaik-baiknya.
i. Mengadakan Konperensi Bagian.
Untuk mengadakan garis yang tentu dalam langkah-langkah bagian kita, maka
hendaklah kita berikhtiar mengadakan Konperensi bagian, umpama: Konperensi
Bagian: Penyiaran Agama seluruh Indonesia dan lain-lain sebagainya.
j. Mempermusyawaratkan Putusan.
Agar dapat keringanan dan dipermudahkan pekerjaan, maka hendaklah setiap
ada keputusan yang mengenai kepala Majlis (Bagian), dimusyawarahkanlah dengan
yang bersangkutan itu lebih dahulu, sehingga dapatlah mentanfidzkan dengan cara
menghasilkannya dengan segera.
k. Mengawaskan Gerakan Jalan.
Pemandangan kita hendaklah kita tajamkan akan mengawasi gerak kita yang
ada di dalam Muhammadiyah, yang sudah lalu, yang masih langsung dan yang
bertambah (yang akan datang/berkembang).
l. Mempersambungkan Gerakan Luar.
Kira berdaya-upaya akan memperhubungkan diri kepada iuran (ekstern),
lain-lain persyarikatan dan pergerakan di Indonesia, dengan dasar Silaturahim,
tolong-menolong dalam segala kebaikan, yang tidak mengubah asasnya
masing-masing, terutama perhubungan kepada persyarikatan dan pemimpin
Islam.
2. Khittah Palembang 1956-1959
a. Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam
dan mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadlu’,
mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan
Muham-madiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab.
b. Melaksanakan uswatun hasanah.
b. Melaksanakan uswatun hasanah.
c. Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi.
d. Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak.
e. Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
f. Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk
mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan.
g. Menuntun penghidupan anggota.
3. Khittah Ponorogo 1969
Kelahiran Parmusi merupakan buah dari Khittah Ponorogo (1969). Dalam
rumusan Khittah tahun 1969 ini disebutkan bahwadakwah Islam amar ma'ruf nahi
munkardilakukan melalui dua saluran: politik kenegaraan dan kemasyarakatan.
Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagai gerakan Islam amar
ma'ruf nahi munkardalam bidang kemasyarakatan. Sayangnya, partai parmusi
ini gagal sehingga khittah ponorogo kemudian "dinasakh" meminjam
istilah Haedar nashir lewat khittah ujung pandang.
4. Khittah Ujung Pandang 1971
a. Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang
beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat.
b. Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak
asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak
menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
c. Untuk lebih memantapkan muhammadiyah sebagai gerakan da’wah
islam setelah pemilu tahun 1971, muhammadiyah melakukan amar ma’ruf nahi munkar
secara konstruktif dan positif terhadap partai muslimin Indonesia.
d. Untuk lebih meningkatkan partisipasi muhammadiyah dalam
pelaksanaan pembangunan nasional.
5. Khittah Surabaya 1978 (penyempurnaan dari khittah ponorogo 1969)
a. Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang
beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai
hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai
politik atau organisasi apapun.
b. Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak
asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak
menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
6. Khittah Denpasar 2002
Dalam Posisi yang demikian maka sebagaimana khittah Denpasar,
muhammadiyah dengan tetap berada dalam kerangka gerakan dakwah dan tajdid yang
menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya dapat mengembangkan fungsi
kelompok kepentingan atau sebagai gerakan social civil-society dalam memainkan
peran berbangsa dan bernegara.
C. Maksud dan Tujuan
Sebagai tuntunan, sebagai pedoman dan arahan untuk berjuang bagi anggota
maupun pimpinan muhammadiyah.
D. Fungsi
Sebagai landasan berpikir bagi semua pimpinan dan anggota muhammadiyah
dan yang menjadi landasan berpikir bagi setiap amal usaha muhammadiyah.
Sejarah Singkat Muhammadiyah
Bulan
Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan
momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam
modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan
pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di
dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan
berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota
santri Kauman Yogyakarta.
Kata
”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan
jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi
Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia
bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad,
dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah
memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia
sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar
itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada
umumnya.”
Kelahiran
dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan
menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan
(Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai
menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai
Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah
seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas
Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca
pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil
Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan
atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih
ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi,
Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi
konservatif.
Embrio
kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan
gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan
dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai
Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan
saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai
mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang
ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan
tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat
kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari
UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat
dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang
Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu
Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat
istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah
memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia
pesantren.
Gagasan
untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk
mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban
(2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.
Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan
dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal
dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan
umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada
tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah
Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau
seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam
sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis,
yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka
pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330
Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama
”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20
Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar
Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh
Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah”
yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18
November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan,
”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912.
Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya
(Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad
Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta,
dan b. memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”
Terdapat
hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata
”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan
kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada periode
Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun
1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941). Sebutlah Statuten
tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu:
Memajukan
dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland,
dan
Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama
Islam kepada lid-lidnya.
Dalam
pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti
yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan
kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka
Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta
menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada
para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.
Pada
AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai
diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959,
yakni dengan untuk pertama kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam
pasal 2 Bab II., dengan kalimat, ”Persyarikatan berasaskan Islam”. Jika
didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah Muktamar ke-45 di Malang, telah
tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah, yakni berturut-turut
tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali pengesahan),
1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas Islam pernah dihilangkan dan
formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985 karena
paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985.
Asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah berubah
menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi
Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai
Allah Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke
”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD Muhammadiyah hasil Muktamar
ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Kelahiran
Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan
langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang
ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang
membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari
kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan,
sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas,
memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun
kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek
tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan
kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni
Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai
langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung
Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai
berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam
dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah
dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat,
serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk
kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.
Adapun
langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan
”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan
pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu
mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok
generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah
kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan Islam ”modern”
bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang
membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern”
itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam
secara umum.
Langkah
ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan
generasi terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam
saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya berbeda.
Pembaruan
Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan
pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun,
merupakan contoh lain yang paling monumental dari pembaruan yang berorientasi
pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini dalam wacana Islam
kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena Islam tidak sekadar
menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min Allah” (hubungan dengan
Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan
masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah ”teologi amal” yang
tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai bentuk
dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri ini.
Kyai
Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak menjadi korban misi
Zending Kristen, tetapi dengan cara yang cerdas dan elegan. Kyai mengajak
diskusi dan debat secara langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta di
sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan selain perbedaan antara
Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai
Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk mengkaji semua agama
secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya”,
sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini misalnya beranggapan
bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid (Jainuri, 2002:
78) .
Kepeloporan
pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga
ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide
dasarnya dari pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam
rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran
Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan. Langkah pembaruan ini yang
membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain, yang tidak dilakukan oleh
Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353).
Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan
mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas
dan bersemangat tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan
ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang sekarang ini. Artinya, betapa
majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam murni yang berkemajuan.
Kyai
Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t:
69) telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan mansia dalam segala
seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam
sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang
menyangut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah
pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar
mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai
gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam
sistem kehidupan yang nyata.
Kyai
Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan
cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang
sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta
dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya
tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki
praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam
beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam
haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan
mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.
Dalam
memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan
mendidik untuk mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga
ayat, kemudian dibaca dan simak dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan):
”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya?
apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini
perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid: 65).
Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang demikian dikembangkan
pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan
mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus
luas pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
Kelahiran
Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai
Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi
kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi
tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang menjadi
pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
Umat
Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga
menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat
Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula
agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
Ketiadaan
persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah
Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
Kegagalan
dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader
Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
Umat
Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta
berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan
tradisionalisme;
dan
Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama
Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia
yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat
(Junus
Salam, 1968: 33).
Karena
itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena
alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di
Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin
Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan
pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (H.A.
Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).
Kendati
menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan
yang tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun
penilaian yang terlampau akademik tersebut tidak harus mengabaikan
gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang
didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam konteks amannya sungguh
merupakan suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat ini tentu tidak dapat
dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan hal yang mahal dalam
gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kyai
Dahlan dengn Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan
dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap
mengenai latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di
Indonesia, berikut pandangan James Peacock (1986: 26), seorang antropolog dari
Amerika Serikat yang merintis penelitian mengenai Muhammadiyah tahun 1970-an,
bahwa: ”Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara,
pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya
di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar
dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil
kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaerahan
dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus
cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh
negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah
ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang
murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang
kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah
piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah
sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan
keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya,
mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata
Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara
terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran
Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam
yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan
keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam
keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori
kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam
pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan
melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik
dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah
Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia
dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena
baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan
Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan,
tetapi melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui
organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai
oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti
lembaga pesantren dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin
informal. Organisasi jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara
cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat,
instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Mem-format
gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga
bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang
selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm
al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna
manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih mendasar lagi,
kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga
memperoleh rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam pemaknaan/penafsiran
Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk
mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang
munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat”
Muhammadiyah.
Muhammadiyah
dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan
Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran
iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak
hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara
parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis
untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan
“humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi”
(pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai
agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau
Modernisme Islam di Indonesia.
Sumber
: http://suara-muhammadiyah.com/
Sejarah
Pusat
Dakwah Muhammadiyah di Jakarta
Pimpinan
Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta
Organisasi Muhammadiyah
didirikan oleh K.H.
Ahmad Dahlan di
Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).[1]
Persyarikatan Muhammadiyah
didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam
yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada
awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian
Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian
sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School
Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah
(sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah Yogyakarta khusus
laki-laki, yang bertempat di Jalan S Parman no 68 Patangpuluhan kecamatan
Wirobrajan dan Madrasah Muhammadiyah Mu'allimiaat Yogyakarta khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta
yang keduanya skarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di
Yogyakarta dan dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Dalam catatan Adaby Darban,
ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya
diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama
Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang
kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai
Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34).[2] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan
(1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan,
daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah
berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah keSumatera
Barat dengan
membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam
tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke
seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak
ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada
tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.
No comments:
Post a Comment