Segala puji bagi Allah,
Tuhan seluruh alam. Karena tanpa rahmat dan kasih sayang-Nya, kami tak akan
dapat menyelesaikan makalah kami tepat pada waktunya. Dan tak lupa, sholawat
serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita, nabi agung
Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ulum al-Qur’an pada semester I dengan
mengangkat tema “munasabah”. Diharapkan, makalah ini akan dapat membuka pengetahuan
pembaca mengenai ilmu munasabah dalam al-Qur’an yang tak banyak diketahui oleh
masyarakat awam.
Kami ucapkan terima kasih
kepada Bapak Hidayat Noor, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Ulum
al-Qur’an yang telah memberi kami kesempatan untuk memaparkan materi ini serta
telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Juga, kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini, kami
ucapkan terima kasih.
Dalam penyusunan makalah ini,
kami menyadari adanya banyak kekurangan serta kesalahan yang bertebaran di
dalamnya, maka kami harapkan kritik serta saran yang membangun sehingga di
kemudian hari akan menjadi lebih baik. Kami berharap bahwa makalah ini akan
bermanfaat bagi pembacanya.
Yogyakarta, 27 September 2013
Penyusun
Daftar Isi
1. Kata
Pengantar 1
2. Daftar
Isi 2
3. BAB I
A. Latar
Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penulisan
Makalah 4
4. BAB II
A. Pengertian
Munasabah 5
B. Bentuk-Bentuk
Munasabah 7
C. Urgensi dan Manfaat Mempelajari
Munasabah 12
5. BAB III
A. Kesimpulan 15
6. DAFTAR PUSTAKA 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, ilmu-ilmu mengenai
kitab suci umat islam, al-Qur’an al-Karim sudah tidak terlalu diminati oleh kaum
pemuda. Padahal, kaum pemuda saat inilah yang akan menggantikan dan meneruskan
estafet keilmuan pedoman umat islam tersebut. Padahal, dalam keeharian,
al-Qur’an sangatlah berperan aktif dalam setiap aktivitas dalam masyarakat.
Secara tidak sadar, ilmu al-Qur’an telah menjad bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan masyarakat muslim, namun sayangnya, kajian mengenai perkembangan
ulum al-Qur’an semakin banyak ditinggalkan.
Al-Qur’an sebagai pegangan
hidup umat islam memegang peran yang sangat besar terhadap perkembangan
keilmuan teologi islam karena al-Qur’an ialah sumber terbesa dan terpercaya
dari seluruh disiplin ilmu pengetahuan baik agama maupun umum. Maka, kajian
terhadap al-Qur’an seharusnya menjadi hal yang sangat menarik dan tak ada
habismya.
Salah satu kajian dalam
disiplin ilmu ini ialah “munasabah”. Istilah tersebut mungkin terdengar asing
untuk kalangan awam, ataupun akademisi yang tidak berkecimpung di dunia ulum
al-Qur’an. Hal ini tentulah sangat disayangkan mengingat betapa besarnya peran
munasabah dalam penafsiran al-Qur’an.
Selama ini, kebanyakan orang
lebih mengenal “asbab an-Nuzul” daripada “munasabah”. Padahal, dengan
mengetahui sebab-sebab turunnya saja, para mufassir (ahli tafsir) masih
mendapat kesulitan dalam menemukan tafsiran yang tepat mengenai suatu ayat atau
surat dalam al-Qur’an. Dengan mengetahui munasabah dalam al-Qur’an, seseorang
akan lebih mudah mengetahui maksud dari suatu ayat ataupun surat dalam
al-Qur’an.
Hubungan antara ayat ataupun
surat dalam al-Qur’an tentulah tidak disususn secara sembarangan karena setiap
penyusunan dalam al-Qur’an memiliki makna yang saling berkaitan dan sangat
membantu dalam penafsiran al-Qur’an. Bahkan, sebagian mufassir ada yang lebih
mempercayai munasabah dalam al-Qur’an daripada asbab an-nuzul yang belum
diketahui betul kebenarannya.
Maka, diharapkan bahwa para
akademisi akan lebih mengenal dan memahami arti munasabah dalam al-Qur’an
sehingga dapat menganalisa keterkaitan antar ayat, surat, maupun juz dalam
al-Qur’an sehingga akan mempermudah mempelajari al-Qur’an dan mengkaji lebih
dalam apa-apa yang terkandung dalam al-Qur’an secara komprehensif dan ilmiah.
Kami akan menjelaskan
“munasabah” lebih rinci dalam makalah sederhana ini dengan berpatokan pada tiga
pokok pembahasan yang sesuai dengan Rumusan Masalah dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan Munasabah?
2. Bagaimana pembagian golongan Munasabah dalam al-Qur’an?
3. Apa Urgensi mempelajari Munasabah
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui pengertian dari Munasabah.
2. Untuk mengetahui klasifikasi Munasabah dalam al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui manfaat pembelajaran Munasabah.
Tertib Ayat
Penempatan secara tertib urutan ayat-ayat Al-Qur’an ini adalah
bersifat tauqifi, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah saw. Menurut
sebagian ulama, pendapat ini merupakan ijma’.
Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari
surat-surat tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat
bersifat tauqifi. Sebab jika susunannya dapat diubah, tentulah ayat-ayat
itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.
Tertib Surat
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat dalam Al Qur’an:
Pendapat pertama mengatakan bahwa tertib surat
itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana
diberitahukan Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Susunan Al-Qur’an
pada masa Nabi tertib ayat-ayatnya seperti yang ada di tangan kita sekarang
ini, yaitu tertib mushaf Utsman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya.
Ini menunjukkan telah terjadi ijma’ atas susunan surat yang ada, tanpa ada
suatu perselisihan apa pun.
Pendapat kedua mengatakan bahwa tertib surat itu berdasarkan
ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib di dalam
mushaf-mushaf mereka.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa sebagian surat itu tertibnya
bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para
sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat
pada masa Nabi.
Akan tetapi yang benar adalah pendapat pertama. Adapun pendapat kedua
yang menyatakan tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak
bersandar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai tertib
mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Al-Qur’an
dikumpulkan secara tertib.
Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surat itu
tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi; dalil-dalilnya
hanya berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian
yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi.
Surat-surat dan Ayat-ayat Al-Qur’an
Surat-surat Al-Qur’an itu ada empat bagian: 1) Ath-Thiwal, 2)
Al-Mi’in, 3) Al-Matsani, dan 4) Al-Mufashshal.
1) At Tiwal, ada tujuh yaitu : AL Baqarah, Ali Imran , Al maidah ,
al an’am , Al A’raf dan Al Anfal.
2) Al Miun. Yaitu surah-surah yang ayatnya lebih dari seratus atau
sekitar itu, seperti Al Kahfi, dan Al Isra’
3) Al Matsani, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah Al
Miun, karena surah ini diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari At Tiwal dan
Al Miun.
4) Al Mufashal, terbagi menjadi tiga yaitu: tiwal, aushat dan
Qishar.
Rasm Utsmani
Para ulama berbeda pendapat tentang setatus hukumnya, apakah
dia tauqifi atau bukan. Berikut perinciannya:
1) Merupakan tauqifi, dan wajib untuk jadi pegangan.
2) Ada yang berpendapat Rasmu Utsmani bukan tauqifi dari Nabi,
tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima
umat dengan baik. Sehingga menjadi suatu yang wajib untuk dijadikan pegangan
dan tidak boleh dilanggar. Ini merupakan pendapat yang paling rajih.
3) Ada yang berpendapat rasm usmani hanyalah sebuah istilah, tatacara
dan tidak ada salahnya menyalahi bila orang telah menggunakan satu rasm
tertentu untuk itu dan rasm itu tersirat luas dikalangan mereka.
Proses Perbaikan Rasm Utsmani
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan harakat, karena
semata-mata didasarkan atas karakter pembacaan orang-orang Arab yang masih
murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian
titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya
percampuran (dengan bahasa non-Arab), maka para penguasa menganggap pentingnya
ada formasi penulisan mushaf dengan harakat, titik dan lain-lain yang dapat
membantu pembacaan yang benar.
Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal
berupa titik, fathah berupa satu titik di atas awal huruf, dhammah berupa satu
titik di atas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik di bawah awal huruf.
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah terjadi perbaikan dan penyempurnaan
rasm mushaf.
Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama
surat dan bilangan ayat, simbol-simbol yang menunjukkan kepala ayat dan
tanda-tanda waqaf.
Pemisah dan Ujung Ayat
Ra’sul ayat adalah akhir ayat yang padanya diletakan tanda fashl
(pemisah) antara satu ayat dengan ayat lain.
Fashilah adalah kalam (pembicaraan ) yang terputus dengan kalam
sesudahnya, jadi setiap ra’sul ayat adalah fashilah, tetapi
tidak setiap fashilah itu ra’sul ayat.
Pembagian fashilah di dalam Al Qur’an :
1) Fashilah Muthamatsilah Qs : Ath Thur :1-3
2) Fasilah Mutaqaribah. Qs : Al Fathihah: 1-4
3) Fasilah Muthawaziyah. Al Ghasiyah : 13-14
4) Fasilah Mutawazin. Al Ghasiyah : 15-16
Tertib Ayat-ayat dan Surat Al-Qur'an
ARTIKEL TERKAIT AL-QUR'AN
Tertib Ayat-ayat dan Surat Al-Qur'an
منظم آية وسورة قرآن
Tertib Ayat-ayat dan Surat Al-Qur'an
منظم آية وسورة قرآن
Tertib susunan ayat Al-Qur’an menurut jumhur adalah taufiqi
(ketentuan dari Allah) bukan ijtihadi Rasulullah atau para penyusun Mushaf
Al-Qur’an.
As-Suyuthi berkata : “Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah
dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam
surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan
kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau
mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang
didalamnya disebutkan begini dan begini,” atau “Letakkanlah ayat ini ditempat
anu.”.
Mengenai tertib susunan surah, beberapa sahabat nabi ada yang mempunyai
mushaf pribadi yang berbeda tertib susunan surahnya dengan tertib surah pada
mushaf Utsmani. Mushaf Ali disusun berdasarkan urutan nuzulnya, Mushaf Ibnu
Mas’ud dimulai dari surah Al-Baqarah tanpa surah Al-Falaq dan An-Naas.
Mushaf Ubay Bin Ka’ab dimulai Al-Fatihah, An-Nisa’ kemudian
Ali-‘Imran, namun demikian Mushaf pribadi sebagian sahabat tersebut tidak
dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang disepakati dan umat sudah Ijma’ (sepakat)
adalah tertib susunan surah mushaf Utsman yang dikerjakan secara resmi oleh
panitia khusus yang terdiri dari beberapa sahabat nabi pilihan. Tentang tertib
susunan surah Al-Qur’an, jumhur ulama mengatakan bahwa tertib susunannya
adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-Burhan mengatakan : “Tertib surah
seperti yang kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhful Mahfud,
Al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan
dihadapan Malaikat Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan apa yang telah
dikumpulkannya dari Jibril itu. Pada tahun ke wafatannya Nabi membacakannya
dihadapan Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Qur’an
itu taufiqi kecuali surah Al-Anfal dan At-Taubah, berdasarkan riwayat
Ibnu Abbas : “Aku bertanya kepada Utsman : ‘Apakah yang mendorongmu mengambil
Anfal yang termasuk katagori masani dan Bara’ah (At-Taubah)
yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa
kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun
meletakaannya pada as-sab’uth thiwaal (tujuh surat panjang)
?’. Utsman menjawab : ‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah
yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil
beberapa penulis wahyu dan mengatakan : ‘Letakkanlah ayat ini pada surah yang
didalamnya terdapat ayat anu dan anu.’ Surah Anfal termasuk surah pertama yang
turun di Madinah sedang surah Bara’ah (At-Taubah) termasuk yang terakhir
diturunkan. Kisah dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam surah Bara’ah,
sehingga aku mengira bahwa surah Bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan
sampai wafatnya Rasulullah, beliau tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah
Bara’ah merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah
tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan
Bismillahirrahmaanirrahim serta aku meletakan pula pada as-sab’ut tiwal.
SURAH-SURAH DAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian
dengan panjang sama yang dikenal dengan nama الجزٔ (Juz). Pembagian ini untuk memudahkan
mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan).
Pembagian lain yakni Manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan
tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian
ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Dari segi panjang-pendeknya surat, 114 surat dalam 30 juz tersebut
dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu:
a. Ath-Thiwaal (as-sab’uth thiwaal) : adalah
tujuh surat awal yang panjang-panjang yaitu :
1. Al-Baqarah [2]
2. Ali ‘Imran [3]
3. An-Nisaa’ [4]
4. Al-Maa'idah [5]
5. Al-An’am [6]
6. Al-A’raaf [7]
7. Al-Anfal [8] dan
At-Taubah [9] sekaligus. Sebagian ada yang mengatakan yang ke-tujuh surah
Yunus.
Surat-surat yang panjang, terbagi atas sub-sub bagian lagi yang
disebut Ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
b. Al-Mi’un : yaitu surah-surah yang
ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
Contoh: Surat Huud [11], Yusuf [12], An-Nahl [16], Al-Mu'min [40], dll.
Contoh: Surat Huud [11], Yusuf [12], An-Nahl [16], Al-Mu'min [40], dll.
c. Al-Masani : yaitu surah-surah yang jumlah
ayatnya dibawah Al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang
bacaannya lebih banyak dari Ath-Thiwaal dan Al-Mi’un.
Contoh: Al-Hijr [15], Maryam [19], An-Naml [27], dll.
Contoh: Al-Hijr [15], Maryam [19], An-Naml [27], dll.
d. Al-Mufassal : yaitu surah yang dimulai dari
surah Qaaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Al-Hujuraat. Dinamai
Mufassal karena banyaknya pemisahan fasl (pemisahan) diantara surah-surah
tersebut dengan basmallah. Mufassal dibagi menjadi tiga :
1. Mufassal Thiwaal : dimulai dari surah
Qaaf [50] atau Al-Hujuraat [49] sampai dengan Ath-Thaariq [86] atau Al-Buruuj
[85].
2. Mufassal Ausat : dimulai dari Ath-Thaariq
[86] atau Al-Buruuj [85] sampai dengan Adh-Dhuhaa [93] atau Al-Lail [92].
3. Mufassal Qisar : dimulai dari Adh-Dhuhaa
[93] atau Al-Lail [92] sampai dengan surah terakhir (An-Naas [114]).
RASM UTSMANI
Yang dimaksud dengan Rasm Utsmani adalah bentuk tulisan (khot)
Al-Qur’an hasil kerja beberapa sahabat Nabi pilihan dalam suatu panitia
penyalin mushaf Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid Bin Tsabit atas
penunjukan Khalifah Utsman. Mengenai penulisan Al-Qur’an dengan rasm Utsmani
ini ada beberapa pendapat :
1. Rasm (bentuk tulisan) dalam mushaf Utsmani
adalah taufiqi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an. Ini
pendapat Ibnul Mubarak dan gurunya Abdul Azis ad-Dabbag.
2. Rasm Utsmani bukan taufiqi, tapi cara
penulisan yang diterima dan menjadi Ijma’ umat dan wajib menjadi pegangan
seluruh umat dan tidak boleh menyalahinya.
3. Rasm Utsmani hanyalah istilah dan tatacara.
Tidak ada dalil agama yang mewajibkan umat mengikuti satu rasm tertentu dan
tidak ada salahnya jika menyalahi, bila orang telah mempergunakan rasm tertentu
untuk imla dan rasm itu tersiar luas diantara mereka. Ini adalah pendapat Abu
Bakar Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Ahmad melarang penulisan
Al-Qur’an yang menyalahi rasm Utsmani.
I’JAM (PENAMBAHAN TANDA TITIK, DLL) RASM UTSMANI
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni,
sehingga tidak memerlukan syakal, harokat dan titik. Ketika Islam sudah
menyebar keluar jazirah Arab dan bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena
banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka para penguasa merasa
pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik, harokat dan
lain lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama berpendapat
bahwa orang pertama yang melakukan hal ini adalah Abul Aswad Ad-Du’ali, peletak
pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab atas petunjuk Khalifah Ali Bin Abi
Thalib.
Perbaikan rasm Utsmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal
berupa titik : fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu
titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf.
Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf dan itulah
yang dilakukan oleh Al-Khalil. Perubahan itu adalah :
a. fathah dengan tanda sempang diatas huruf
b. dammah dengan wawu kecil diatas huruf,
dan
c. tanwin dengan tambahan tanda serupa
(double).
d. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada
tempatnya dituliskan dengan warna merah.
e. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa
hamzah dengan warna merah tanpa huruf.
f. Pada nun dan tanwin sebelum
huruf ba diberi tanda iqlab berwarna merah, sedang nun dan tanwin
sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah.
Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa apa ketikaidgham dan ikhfa’.
g. Setiap huruf yang harus
dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di-idgham-kan
tidak diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda syaddah;
kecuali huruf ta sebelum ta, maka sukun tetap dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena
khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu
Mas’ud : “Bersihkan Al-Qur’an dan jangan dicampur-adukan dengan apapun”.
Al-Halimi mengatakan : “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan, nama-nama
surah dan bilangan ayat dalam mushaf”, sedangkan pemberian titik diperbolehkan
karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Al-Qur’an dengan
yang bukan Al-Qur’an. Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang
dibaca sehingga dibolehkan untuk mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran.
o Al-Hasan dan Ibnu Sirin keduanya mengatakan : “Tidak
ada salahnya memberikan titik pada mushaf”.
o Rabiah Bin Abi Abdurrahman mengatakan : “Tidak
mengapa memberi syakal pada mushaf”.
o An-Nawawi mengatakan : “Pemberian titik dan
pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf
dari kesalahan dan penyimpangan (pembacaan)”.
Penyempurnaan itu terus berlanjut hingga kini telah mencapai puncaknya
dalam bentuk tulisan Arab (Al-Khattul Araby).
INGAT:
· "Barangsiapa mengulas
Al-Qur'an tanpa ilmu pengetahuan maka bersiaplah menduduki neraka." (HR.
Abu Dawud)
· Membaca dan Mempelajari
Al-Qur'an adalah kewajiban setiap umat Islam, oleh karena itu, jika diri kita
merasa TIDAK SANGGUP BERADA DI NERAKA maka wajib pula bagi kita untuk mendalami
ilmu-ilmu terkait, seperti Ilmu Tajwid, Ilmu Nahwu, Ilmu Tafsir, Bahasa Arab,
dll.
AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
Nash-nash sunnah cukup banyak yang mengemukakan hadits mengenai turunnya
Al-Qur’an dengan tujuh huruf, diantaranya :
§ Dari Ibnu Abbas : “Rasulullah berkata : ‘Jibril
membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku
mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahnya kepadaku
sampai tujuh huruf’”.
§ Dari Ubay Bin Ka’ab : “Ketika Nabi berada di dekat parit
Bani Gafar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan :‘Allah memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf’. Beliau menjawab :‘Aku
memohon kepada Allah ampunan dan maghfirallah-Nya, karena umatku tidak dapat
melaksanakan perintah itu’. Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan
berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu
dengan dua huruf’. Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan
maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya’. Jibril datang lagi untuk
yang ketiga kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf’. Nabi menjawab
: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat
melaksanakannya’. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya
berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu
dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka benar’.”
Hadits-hadits berkenaan qira'at Al-Qur’an dengan tujuh huruf sangat
banyak. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh
lebih dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menetapkan
kemutawatiran hadits mengenai Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG PENGERTIAN TUJUH HURUF
1. Tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna yang sama, yaitu bahasa suku
Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Sebagian memasukkan
Asad, Rabi’ah, Sa’d. Pendapat ini maksudnya satu kata boleh dibaca berbeda
menurut dialek masing-masing kabilah diatas selama maknanya masih tetap sama.
2. Tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Qur’an diturunkan, yaitu : Quraisy,
Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Bedanya dengan yang pendapat
pertama adalah bahasa Al-Qur’an mencakup tujuh bahasa diatas yang paling fasih
dan berterbaran di seluruh Al-Qur’an
3. Tujuh wajah, yaitu :
amr (perintah), hanyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal
(perdebatan), qasas (cerita) dan amsal (perumpamaan)
4. Tujuh macam hal yang
didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu ikhtilaf dalam : asma’ (kata
benda), i’rab (harakat akhir kata), tasrif, taqdim (mendahulukan), ibdal (penggantian),
penambahan-pengurangan dan lahjah (tebal-tipis, imalah-tidak imalah, idhar dan
idgham).
5. Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti
oleh jumhur ulama.
HIKMAH AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
1. Memudahkan bacaan dan
hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilah
mempunyai dialek masing-masing.
2. Bukti kemukjizatan
Al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab yang mana seluruh
orang Arab pada khususnya ditantang untuk membuat satu surah saja yang seperti
Al-Qur’an, ternyata seluruh orang Arab tidak mampu membuatnya.
3. Perbedaan bentuk lafaz
pada sebagian huruf dan kata-kata memberi peluang penyimpulan hukum yang
berbeda. Para fukaha dalam menyimpulkan hukum dan ijtihad ber-hujjah dengan
qiraat bagi ketujuh huruf ini.
"Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an maka baginya satu
pahala dan satu pahala diganjar sepuluh kali lipat".
(HR. Tirmidzi)
(HR. Tirmidzi)
A. KESIMPULAN
Setiap penyusunan ayat, surat,
maupun juz dalam al-Qur’an memiliki keterkaitan antara satu dengan yang
lainnya. Maka, mempeajari munasabah akan sangat membantu dalam penafsiran
maupun pemahaman kandungan ayat dan surat dalam al-Qur’an. Munasabah sangatlah berperan
dalam menafsirkan al-Qur’an karena tanpa mempelajari dan mengetahui munasabah,
akan sangat sulit untuk menguak isi kandungan dalam setiap ayat karena tidak
semua ayat bisa dipahami secara komprehensif hanya dengan mengetahui asbab
an-Nuzulnya saja.
Namun sayangnya, banyak yang
tidak mengetahui ilmu ini dan terkesan menomorduakan denga asbab an-Nuzul dalam
al-Qur’an. Padahal, penguasaan atas munasabah akan sangat membantu dalam
penyimpulan dan penafsiran al-Qur’an. Mempelajari munasabah tidak hanya akan
menambah wawasan saja, akan tetapi juga akan melatih kepekaan seseorang untuk
melihat suatu kaitan dalam berbagai hal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Litera AntarNusa. Bogor. 2012.
2. Syadali, Ahmad. Ulumul Quran. Pustaka Setia.Bandung.2000
3. Direktorat Pendidkan Madrasah. Tafsir untuk Kelas XII MAK. Aceh
Besar. 2011.
No comments:
Post a Comment