Subscribe di sini

Friday 29 January 2016

Penempatan Tertib Ayat dan Surat Dalam Al Quran


KATA PENGANTAR
 Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Karena tanpa rahmat dan kasih sayang-Nya, kami tak akan dapat menyelesaikan makalah kami tepat pada waktunya. Dan tak lupa, sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita, nabi agung Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ulum al-Qur’an pada semester I dengan mengangkat tema “munasabah”. Diharapkan, makalah ini akan dapat membuka pengetahuan pembaca mengenai ilmu munasabah dalam al-Qur’an yang tak banyak diketahui oleh masyarakat awam.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Hidayat Noor, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Ulum al-Qur’an yang telah memberi kami kesempatan untuk memaparkan materi ini serta telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Juga, kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini, kami ucapkan terima kasih.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari adanya banyak kekurangan serta kesalahan yang bertebaran di dalamnya, maka kami harapkan kritik serta saran yang membangun sehingga di kemudian hari akan menjadi lebih baik. Kami berharap bahwa makalah ini akan bermanfaat bagi pembacanya.


Yogyakarta, 27 September 2013



 Penyusun                   







Daftar Isi

1.      Kata Pengantar                                                                                                  1
2.      Daftar Isi                                                                                                            2
3.      BAB I
A.    Latar Belakang                                                                                             3
B.     Rumusan Masalah                                                                                        4
C.     Tujuan Penulisan Makalah                                                                           4
4.      BAB II
A.    Pengertian Munasabah                                                                                 5
B.     Bentuk-Bentuk Munasabah                                                                         7
C.     Urgensi dan Manfaat Mempelajari Munasabah                                           12
5.      BAB III
A.    Kesimpulan                                                                                                  15
6.      DAFTAR PUSTAKA                                                                                       16










BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dewasa ini, ilmu-ilmu mengenai kitab suci umat islam, al-Qur’an al-Karim sudah tidak terlalu diminati oleh kaum pemuda. Padahal, kaum pemuda saat inilah yang akan menggantikan dan meneruskan estafet keilmuan pedoman umat islam tersebut. Padahal, dalam keeharian, al-Qur’an sangatlah berperan aktif dalam setiap aktivitas dalam masyarakat. Secara tidak sadar, ilmu al-Qur’an telah menjad bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat muslim, namun sayangnya, kajian mengenai perkembangan ulum al-Qur’an semakin banyak ditinggalkan.
Al-Qur’an sebagai pegangan hidup umat islam memegang peran yang sangat besar terhadap perkembangan keilmuan teologi islam karena al-Qur’an ialah sumber terbesa dan terpercaya dari seluruh disiplin ilmu pengetahuan baik agama maupun umum. Maka, kajian terhadap al-Qur’an seharusnya menjadi hal yang sangat menarik dan tak ada habismya.
Salah satu kajian dalam disiplin ilmu ini ialah “munasabah”. Istilah tersebut mungkin terdengar asing untuk kalangan awam, ataupun akademisi yang tidak berkecimpung di dunia ulum al-Qur’an. Hal ini tentulah sangat disayangkan mengingat betapa besarnya peran munasabah dalam penafsiran al-Qur’an.
Selama ini, kebanyakan orang lebih mengenal “asbab an-Nuzul” daripada “munasabah”. Padahal, dengan mengetahui sebab-sebab turunnya saja, para mufassir (ahli tafsir) masih mendapat kesulitan dalam menemukan tafsiran yang tepat mengenai suatu ayat atau surat dalam al-Qur’an. Dengan mengetahui munasabah dalam al-Qur’an, seseorang akan lebih mudah mengetahui maksud dari suatu ayat ataupun surat dalam al-Qur’an.
Hubungan antara ayat ataupun surat dalam al-Qur’an tentulah tidak disususn secara sembarangan karena setiap penyusunan dalam al-Qur’an memiliki makna yang saling berkaitan dan sangat membantu dalam penafsiran al-Qur’an. Bahkan, sebagian mufassir ada yang lebih mempercayai munasabah dalam al-Qur’an daripada asbab an-nuzul yang belum diketahui betul kebenarannya.
Maka, diharapkan bahwa para akademisi akan lebih mengenal dan memahami arti munasabah dalam al-Qur’an sehingga dapat menganalisa keterkaitan antar ayat, surat, maupun juz dalam al-Qur’an sehingga akan mempermudah mempelajari al-Qur’an dan mengkaji lebih dalam apa-apa yang terkandung dalam al-Qur’an secara komprehensif dan ilmiah.
Kami akan menjelaskan “munasabah” lebih rinci dalam makalah sederhana ini dengan berpatokan pada tiga pokok pembahasan yang sesuai dengan Rumusan Masalah dalam makalah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan Munasabah?
2.      Bagaimana pembagian golongan Munasabah dalam al-Qur’an?
3.      Apa Urgensi mempelajari Munasabah

C.     TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Munasabah.
2.      Untuk mengetahui klasifikasi Munasabah dalam al-Qur’an.
3.      Untuk mengetahui manfaat pembelajaran Munasabah.

Tertib Ayat
Penempatan secara tertib urutan ayat-ayat Al-Qur’an ini adalah bersifat tauqifi, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah saw. Menurut sebagian ulama, pendapat ini merupakan ijma’.
Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surat-surat tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika susunannya dapat diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.
Tertib Surat
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat dalam Al Qur’an:
Pendapat pertama mengatakan bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Susunan Al-Qur’an pada masa Nabi tertib ayat-ayatnya seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma’ atas susunan surat yang ada, tanpa ada suatu perselisihan apa pun.
Pendapat kedua mengatakan bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa Nabi.
Akan tetapi yang benar adalah pendapat pertama. Adapun pendapat kedua yang menyatakan tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Al-Qur’an dikumpulkan secara tertib.
Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi; dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi.
Surat-surat dan Ayat-ayat Al-Qur’an
Surat-surat Al-Qur’an itu ada empat bagian: 1) Ath-Thiwal, 2) Al-Mi’in, 3) Al-Matsani, dan 4) Al-Mufashshal.
1) At Tiwal, ada tujuh yaitu : AL Baqarah, Ali Imran , Al maidah , al an’am , Al A’raf dan Al Anfal.
2) Al Miun. Yaitu surah-surah yang ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu, seperti Al Kahfi, dan Al Isra’
3) Al Matsani, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah Al Miun, karena surah ini diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari At Tiwal dan Al Miun.
4) Al Mufashal, terbagi menjadi tiga yaitu: tiwal, aushat dan Qishar.
Rasm Utsmani
Para ulama berbeda pendapat tentang setatus hukumnya, apakah dia tauqifi atau bukan. Berikut perinciannya:
1) Merupakan tauqifi, dan wajib untuk jadi pegangan.
2) Ada yang berpendapat Rasmu Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat dengan baik. Sehingga menjadi suatu yang wajib untuk dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Ini merupakan pendapat yang paling rajih.
3) Ada yang berpendapat rasm usmani hanyalah sebuah istilah, tatacara dan tidak ada salahnya menyalahi bila orang telah menggunakan satu rasm tertentu untuk itu dan rasm itu tersirat luas dikalangan mereka.
Proses Perbaikan Rasm Utsmani
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan harakat, karena semata-mata didasarkan atas karakter pembacaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non-Arab), maka para penguasa menganggap pentingnya ada formasi penulisan mushaf dengan harakat, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.
Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik, fathah berupa satu titik di atas awal huruf, dhammah berupa satu titik di atas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik di bawah awal huruf.
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah terjadi perbaikan dan penyempurnaan rasm mushaf.
Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surat dan bilangan ayat, simbol-simbol yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf.
Pemisah dan Ujung Ayat
Ra’sul ayat adalah akhir ayat yang padanya diletakan tanda fashl (pemisah) antara satu ayat dengan ayat lain.
Fashilah adalah kalam (pembicaraan ) yang terputus dengan kalam sesudahnya, jadi setiap ra’sul ayat adalah fashilah, tetapi tidak setiap fashilah itu ra’sul ayat.
Pembagian fashilah di dalam Al Qur’an :
1) Fashilah Muthamatsilah Qs : Ath Thur :1-3
2) Fasilah Mutaqaribah. Qs : Al Fathihah: 1-4
3) Fasilah Muthawaziyah. Al Ghasiyah : 13-14
4) Fasilah Mutawazin. Al Ghasiyah : 15-16

Tertib Ayat-ayat dan Surat Al-Qur'an
ARTIKEL TERKAIT AL-QUR'AN
Tertib Ayat-ayat dan Surat Al-Qur'an
منظم آية وسورة قرآن
Tertib susunan ayat Al-Qur’an menurut jumhur adalah taufiqi (ketentuan dari Allah) bukan ijtihadi Rasulullah atau para penyusun Mushaf Al-Qur’an.
As-Suyuthi berkata : “Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini,” atau “Letakkanlah ayat ini ditempat anu.”.
Mengenai tertib susunan surah, beberapa sahabat nabi ada yang mempunyai mushaf pribadi yang berbeda tertib susunan surahnya dengan tertib surah pada mushaf Utsmani. Mushaf Ali disusun berdasarkan urutan nuzulnya, Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dari surah Al-Baqarah tanpa surah Al-Falaq dan An-Naas. Mushaf Ubay Bin Ka’ab dimulai Al-Fatihah, An-Nisa’ kemudian Ali-‘Imran, namun demikian Mushaf pribadi sebagian sahabat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang disepakati dan umat sudah Ijma’ (sepakat) adalah tertib susunan surah mushaf Utsman yang dikerjakan secara resmi oleh panitia khusus yang terdiri dari beberapa sahabat nabi pilihan. Tentang tertib susunan surah Al-Qur’an, jumhur ulama mengatakan bahwa tertib susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-Burhan mengatakan : “Tertib surah seperti yang kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhful Mahfud, Al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan dihadapan Malaikat Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan apa yang telah dikumpulkannya dari Jibril itu. Pada tahun ke wafatannya Nabi membacakannya dihadapan Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Qur’an itu taufiqi kecuali surah Al-Anfal dan At-Taubah, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas : “Aku bertanya kepada Utsman : ‘Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk katagori masani dan Bara’ah (At-Taubah) yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun meletakaannya pada as-sab’uth thiwaal (tujuh surat panjang) ?’. Utsman menjawab : ‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa penulis wahyu dan mengatakan : ‘Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat ayat anu dan anu.’ Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di Madinah sedang surah Bara’ah (At-Taubah) termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah Bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah, beliau tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmaanirrahim serta aku meletakan pula pada as-sab’ut tiwal.

SURAH-SURAH DAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama Ø§Ù„جزٔ (Juz). Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni Manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Dari segi panjang-pendeknya surat, 114 surat dalam 30 juz tersebut dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu:
a.    Ath-Thiwaal (as-sab’uth thiwaal) : adalah tujuh surat awal yang panjang-panjang yaitu :
1.         Al-Baqarah [2]
2.         Ali ‘Imran [3]
3.         An-Nisaa’ [4]
4.         Al-Maa'idah [5]
5.         Al-An’am [6]
6.         Al-A’raaf [7]
7.        Al-Anfal [8] dan At-Taubah [9] sekaligus. Sebagian ada yang mengatakan yang ke-tujuh surah Yunus.
Surat-surat yang panjang, terbagi atas sub-sub bagian lagi yang disebut Ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
b.    Al-Mi’un : yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
Contoh: Surat Huud [11], Yusuf [12], An-Nahl [16], Al-Mu'min [40], dll.
c.    Al-Masani : yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah Al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari Ath-Thiwaal dan Al-Mi’un.
Contoh: Al-Hijr [15], Maryam [19], An-Naml [27], dll.
d.   Al-Mufassal : yaitu surah yang dimulai dari surah Qaaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Al-Hujuraat. Dinamai Mufassal karena banyaknya pemisahan fasl (pemisahan) diantara surah-surah tersebut dengan basmallah. Mufassal dibagi menjadi tiga :
1.    Mufassal Thiwaal : dimulai dari surah Qaaf [50] atau Al-Hujuraat [49] sampai dengan Ath-Thaariq [86] atau Al-Buruuj [85].
2.    Mufassal Ausat : dimulai dari Ath-Thaariq [86] atau Al-Buruuj [85] sampai dengan Adh-Dhuhaa [93] atau Al-Lail [92].
3.    Mufassal Qisar : dimulai dari Adh-Dhuhaa [93] atau Al-Lail [92] sampai dengan surah terakhir (An-Naas [114]).

RASM UTSMANI
Yang dimaksud dengan Rasm Utsmani adalah bentuk tulisan (khot) Al-Qur’an hasil kerja beberapa sahabat Nabi pilihan dalam suatu panitia penyalin mushaf Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid Bin Tsabit atas penunjukan Khalifah Utsman. Mengenai penulisan Al-Qur’an dengan rasm Utsmani ini ada beberapa pendapat :
1.    Rasm (bentuk tulisan) dalam mushaf Utsmani adalah taufiqi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an. Ini pendapat Ibnul Mubarak dan gurunya Abdul Azis ad-Dabbag.
2.    Rasm Utsmani bukan taufiqi, tapi cara penulisan yang diterima dan menjadi Ijma’ umat dan wajib menjadi pegangan seluruh umat dan tidak boleh menyalahinya.
3.    Rasm Utsmani hanyalah istilah dan tatacara. Tidak ada dalil agama yang mewajibkan umat mengikuti satu rasm tertentu dan tidak ada salahnya jika menyalahi, bila orang telah mempergunakan rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas diantara mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Ahmad melarang penulisan Al-Qur’an yang menyalahi rasm Utsmani.
I’JAM (PENAMBAHAN TANDA TITIK, DLL) RASM UTSMANI
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga tidak memerlukan syakal, harokat dan titik. Ketika Islam sudah menyebar keluar jazirah Arab dan bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik, harokat dan lain lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal ini adalah Abul Aswad Ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab atas petunjuk Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Perbaikan rasm Utsmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik : fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf dan itulah yang dilakukan oleh Al-Khalil. Perubahan itu adalah :
a.    fathah dengan tanda sempang diatas huruf
b.    dammah dengan wawu kecil diatas huruf, dan
c.    tanwin dengan tambahan tanda serupa (double).
d.   Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah.
e.    Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf.
f.     Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda iqlab berwarna merah, sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa apa ketikaidgham dan ikhfa’.
g.    Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di-idgham-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali huruf ta sebelum ta, maka sukun tetap dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud : “Bersihkan Al-Qur’an dan jangan dicampur-adukan dengan apapun”. Al-Halimi mengatakan : “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan, nama-nama surah dan bilangan ayat dalam mushaf”, sedangkan pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an. Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan untuk mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran.
o   Al-Hasan dan Ibnu Sirin keduanya mengatakan : “Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf”.
o   Rabiah Bin Abi Abdurrahman mengatakan : “Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf”.
o   An-Nawawi mengatakan : “Pemberian titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan (pembacaan)”.
Penyempurnaan itu terus berlanjut hingga kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (Al-Khattul Araby).
INGAT:
·       "Barangsiapa mengulas Al-Qur'an tanpa ilmu pengetahuan maka bersiaplah menduduki neraka." (HR. Abu Dawud)
·       Membaca dan Mempelajari Al-Qur'an adalah kewajiban setiap umat Islam, oleh karena itu, jika diri kita merasa TIDAK SANGGUP BERADA DI NERAKA maka wajib pula bagi kita untuk mendalami ilmu-ilmu terkait, seperti Ilmu Tajwid, Ilmu Nahwu, Ilmu Tafsir, Bahasa Arab, dll.

AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
Nash-nash sunnah cukup banyak yang mengemukakan hadits mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, diantaranya :
§  Dari Ibnu Abbas : “Rasulullah berkata : ‘Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahnya kepadaku sampai tujuh huruf’”.
§  Dari Ubay Bin Ka’ab : “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Gafar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan :‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf’. Beliau menjawab :‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirallah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu’. Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf’. Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya’. Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf’. Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya’. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka benar’.”
Hadits-hadits berkenaan qira'at Al-Qur’an dengan tujuh huruf sangat banyak. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadits mengenai Al-Qur’an dengan tujuh huruf.

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG PENGERTIAN TUJUH HURUF
1.        Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna yang sama, yaitu bahasa suku Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Sebagian memasukkan Asad, Rabi’ah, Sa’d. Pendapat ini maksudnya satu kata boleh dibaca berbeda menurut dialek masing-masing kabilah diatas selama maknanya masih tetap sama.
2.        Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Qur’an diturunkan, yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Bedanya dengan yang pendapat pertama adalah bahasa Al-Qur’an mencakup tujuh bahasa diatas yang paling fasih dan berterbaran di seluruh Al-Qur’an
3.        Tujuh wajah, yaitu : amr (perintah), hanyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan amsal (perumpamaan)
4.        Tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu ikhtilaf dalam : asma’ (kata benda), i’rab (harakat akhir kata), tasrif, taqdim (mendahulukan), ibdal (penggantian), penambahan-pengurangan dan lahjah (tebal-tipis, imalah-tidak imalah, idhar dan idgham).
5.        Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti oleh jumhur ulama.
HIKMAH AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
1.        Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilah mempunyai dialek masing-masing.
2.        Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab yang mana seluruh orang Arab pada khususnya ditantang untuk membuat satu surah saja yang seperti Al-Qur’an, ternyata seluruh orang Arab tidak mampu membuatnya.
3.        Perbedaan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberi peluang penyimpulan hukum yang berbeda. Para fukaha dalam menyimpulkan hukum dan ijtihad ber-hujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.


"Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an maka baginya satu pahala dan satu pahala diganjar sepuluh kali lipat".
(HR. Tirmidzi)














A.    KESIMPULAN

Setiap penyusunan ayat, surat, maupun juz dalam al-Qur’an memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Maka, mempeajari munasabah akan sangat membantu dalam penafsiran maupun pemahaman kandungan ayat dan surat dalam al-Qur’an. Munasabah sangatlah berperan dalam menafsirkan al-Qur’an karena tanpa mempelajari dan mengetahui munasabah, akan sangat sulit untuk menguak isi kandungan dalam setiap ayat karena tidak semua ayat bisa dipahami secara komprehensif hanya dengan mengetahui asbab an-Nuzulnya saja.
Namun sayangnya, banyak yang tidak mengetahui ilmu ini dan terkesan menomorduakan denga asbab an-Nuzul dalam al-Qur’an. Padahal, penguasaan atas munasabah akan sangat membantu dalam penyimpulan dan penafsiran al-Qur’an. Mempelajari munasabah tidak hanya akan menambah wawasan saja, akan tetapi juga akan melatih kepekaan seseorang untuk melihat suatu kaitan dalam berbagai hal.













DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Litera AntarNusa. Bogor. 2012.
2.      Syadali, Ahmad. Ulumul Quran. Pustaka Setia.Bandung.2000
3.      Direktorat Pendidkan Madrasah. Tafsir untuk Kelas XII MAK. Aceh Besar. 2011.


No comments:

Post a Comment

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...