Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck (TKV).
Tokoh Zainuddin yang hampir gila lantaran putus harapannya
menyunting Hayati yang direbut oleh Aziz—yang secara adat, keturunan, dan
status sosial lebih diunggulkan ketimbang Zainuddin—berhasil bangkit dari
keterpurukan setelah disemangati oleh sahabatnya bernama Muluk yang melihat
bakat Zainuddin dalam dunia tulis-menulis. Dari Padang Panjang keduanya hijrah
merantau ke Batavia—sekarang Jakarta—untuk bekerja sekaligus melupakan hayati.
Dari sini kemampuan Zainuddin mulai terwujud. Gubahan ceritanya berjudul
teroesir yang dimuat secara bersambung di Koran mulai digemari banyak pembaca
hingga diterbitkan menjadi buku dan ditawari mengurusi penerbitan di Surabaya.
Di Surabaya masa keemasan Zainuddin selaku pengarang kian cemerlang. Kehidupannya pun berubah total, dari profesinya sebagai pengarang ia mampu membeli rumah besar dan mewah sekaligus menjadi pengarang tersohor dengan banyak pelayan yang berkhidmat kepadanya. Terus terang saya merasa terenyuh jika penghargaan terhadap penulis tahun 30 atau 40-an benar-benar sehebat yang ditampilkan oleh penggambaran Buya yang divisualkan di film ini. Ini mungkin semacam pengharapan sekaligus kritik-ironik Buya terhadap miskinnya apresiasi terhadap dunia tulis-menulis kala itu.
Sebagai orang yang belum sempat membaca bukunya, saya sempat bertanya-tanya akan seperti apa ending kisah yang oleh Buya diberi judul tenggelamnya kapal van der wijck ini. Saat Zainuddin mulai tersohor, roda nasib berkebalikan. Aziz yang awalnya bergelimang kemewahan dihantui hutang judi sehingga membuatnya bangkrut dan semua harta benda miliknya harus disita sebagai jaminan. Beruntung ia sempat berjumpa Zainuddin saat menghadiri undangan acara opera teroesir. Tanpa sungkan dan malu, Aziz meminta bantuan Zainuddin agar memperkenankan dirinya dan Hayati menumpang di rumahnya.
Zainuddin pun mengizinkan keduanya tinggal di rumahnya tanpa mengungkit rasa sakit hatinya di masa lalu. Dengan bijak Zainuddin menyatakan sudah kewajibannya sebagai sahabat membantu sahabatnya, saat ini ia diizinkan Tuhan mampu menolong, pada saatnya nanti mungkin ia yang giliran ditolong. Namun lama kelamaan Aziz pun minder juga. Sebagai lelaki, ia malu mesti terus menumpang hidup di rumah Zainuddin. Ia pun pergi menitipkan Hayati kepada Zainuddin dan berikrar tak akan pulang sebelum memerolah pekerjaan. Hingga akhirnya Aziz menyurati Zainuddin meminta maaf sekaligus menyerahkan atau menceraikan Hayati agar bisa dinikahi oleh Zainuddin sebagai lelaki yang sangat dicintai oleh Hayati, sementara Aziz sendiri memilih memungkasi hidupnya dengan menenggak racun.
Saya kira dengan meninggalnya Aziz, membuat Zainuddin dengan leluasa akan segera berbahagia melenggang melangsungkan pesta pernikahan besar-besaran mewujudkan impiannya menikahi Hayati sebagai kekasih yang menapasi segenap cerita yang ditulisnya, lantas keduanya mengalami insiden kecelakaan di kapal van der wijck saat hendak menikmati acara bulan madu. Ternyata spekulasi saya meleset, Zainuddin justru memilih mempertahankan egonya, berperang dengan dirinya sendiri.
Di hadapan hayati, ia singgung bagaimana surat balasan Hayati saat menolak surat lamarannya yang mengaku—tanpa paksaan—lebih memilih menerima Aziz ketimbang dirinya yang hina-papa dan meminta Zainuddin agar melupakan sekaligus menganggap tidak pernah terjadi kisah cinta keduanya. Zainuddin dengan berat hati mengatakan dihadapan hayati yang terisak-isak dihimpit kesedihan bahwa sebagai lelaki ia akan berusaha menggenggam kemauan Hayati tersebut. Dengan bergetar Zainuddin berucap pantang pisang berbuah dua kali, pantang lelaki makan sisa, menutupi nuraninya yang sesungguhnya begitu mencintai Hayati.
Disuruhnya Hayati pulang ke Minang menumpangi kapal pesiar Van Der Wijck yang begitu terkenal kala itu. Selain mengongkosi tiket kapal kepulangan Hayati, Zainuddin berjanji akan terus mengirimi Hayati uang sebagai bekal hidup Hayati selama belum mendapatkan jodoh kembali. Merupakan ketulusan cinta yang menyesakkan.
Melalui kepulangan Hayati menumpangi kapal Van Der Wijck inilah, keterkaitan segenap alur cerita dengan judul menemukan titik terang. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati ternyata tenggelam merenggut banyak korban termasuk Hayati salahsatu korbannya. Zainuddin yang bergegas mengajak Muluk menyusul Hayati setelah menyesali kekeliruan keputusannya mesti menerima kenyataan pahit lantaran kondisi Hayati perempuan yang sangat dicintainya mati-matian mesti meregang nyawa tak tertolong.
Beberapa pesan moral Buya Hamka yang berhasil divisualisasikan melalui film ini adalah bagaimana melawan keterpurukan perasaan dikhianati menjadi suluh semangat untuk mengukir prestasi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Zainuddin yang berfokus dalam dunia mengarang yang ditekuninya sungguh-sungguh sehingga memeroleh pencapaian gemilang. Karakter yang ditampilkan Zainuddin pun mengajari saya selaku penonton untuk belajar melupakan dendam dan memilih memungut i’tibar.
Pengalaman pahit cinta Zainuddin kepada Hayati yang dibelukari aturan adat membuatnya kian dermawan. Zainuddin tidak ingin apa yang dialaminya menimpa oranglain sehingga dengan ringan tangan ia mengulurkan bantuan memberikan uang kepada siapapun pemuda yang membutuhkannya saat hendak melangsungkan pernikahan. Sebagai bukti cinta sekaligus mengenang almarhumah Hayati kekasihnya Zainuddin mendirikan Taman Hayati untuk melindungi dan mengayomi anak-anak yatim piatu yang seolah mengingatkan akan nasib dirinya.
1. Jangan Dendam
Zainuddin tentu sangat kecewa kepada Hayati
karena tidak memenuhi janjinya untuk tetap setia bersama Zainuddin
namun Hayati menolak Zainuddin dan menerima lamaran Bang Aziz dengan
alasan harta. Bahkan Zainuddin sangat terpukul dan terkena gangguan
jiwa. Namun Zainuddin akhirnya bangkit dan berhasil menjadi penulis
sukses, terkenal, dan kaya raya.
Sebaliknya
Hayati, hidupnya bagai “Makan Hati Berulam Jantung”, karena
pasangannya perilaku Bang Aziz. Selalu menunggu Bang Aziz pulang
kerja dari Padang setiap malam Sabtu, bahkan jika Bang Aziz pulang dan Hayati
sudah tidur, Bang Aziz sangat marah dan mengeluarkan kata-kata yang
melukai hati Hayati. Mereka akhirnya jatuh miskin akibat Bang Aziz dipecat
dari kantornya dan semua hartanya disita akibat hutang dari judi.
Namun
Zainuddin tidak dendam kepada Hayati dan Bang Aziz, bahkan
Zainuddin mempersilahkan tinggal di rumah Zainuddin dan membayar
hutang Bang Aziz.
2. Jangan
Gegabah dalam Memilih Pasangan Hidup
Ini
tentu menjadi pesan bagi anak-anak muda sekarang yang tidak sabar untuk
memiliki pasangan hidup. Dalam cerita ini, Hayati dan keluarganya hanya
melihat harta dan keturunan Bang Aziz semata, sehingga perkawinan mereka
hanyalah perkawinan harta dan kecantikan.
Fenomena
seperti ini tentu sudah marak terjadi, baik di saudara, teman, atau mungkin
diri kita yang hanya melihat penampilan dan kekayaan pasangan hidup kita namun
mengabaikan ketulusan cinta dan agama. Berikut adalah potongan surat terakhir Hayati
kepada Zainuddin.
“...Kalau
kumati dahulu dari padamu, jangan kau berduka hati, melainkan sempurnakanlah
permohonan do'a kepada Tuhan, moga-moga jika banyak benar halangan pertemuan
kita di dunia, terlapanglah pertemuan kita di akhirat, pertemuan yang tidak
akan diakhiri lagi oleh maut dan tidak dipisahkan oleh rasam basi manusia...”
3. Jatuh
adalah Awal dari Kebangkitan
Di
cerita ini Zainuddin banyak mengalami hati yang terluka, harapan yang
hilang, cinta tak terbalas, yang membuat Zainuddin terjatuh kedalam
keputusasaan. Saat Zainuddin mengalami gangguan jiwa akibat lamaran
untuk mempersunting Hayati ditolak karena dirinya bukan Minang tulen
dan pemuda yang miskin. Tapi setelah sadar lagi, Zainuddin memilih untuk
bangkit hingga menjadi penulis yang terkenal dan kaya raya.
Saat
Zainuddin kembali jatuh akibat cinta matinya Hayati telah
meninggal akibat keputusan dirinya meminta Hayati pulang ke padang
dengan kapal Van Der Wijck. Zainuddin merasa sangat
menyesal dan bersalah. Bahkan dirinya jatuh pingsan dalam waktu yang lama.
Namun Zainuddin tetap memilih bangkit dan melanjutkan kehidupan. Tentu
para penonton sangat memahami perasaan Zainuddin, belum tentu kita bisa
bangkit seperti itu setelah terkena musibah yang demikian hebatnya. Mungkin musibah
yang tidak seberat Zainuddin pun sering membuat kita putus asa dan
memilih jalan untuk lari dari masalah.
Semoga
film ini turut menjernihkan pandangan sebagian para orangtua yang hingga saat
ini kerap—masih ada—lebih silau terhadap menterengnya status sosial dan nasab
keturunan ketika hendak menikahkan anak gadisnya ketimbang menelisik kokohnya
agama sebagai landasan utama yang diisyaratkan baginda Rasul sebagai barometer
menuju pernikahan yang Insya Allah berkah dan membahagiakan. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment