Judul: Aborsi Ditinjau dari PP.No.61 Tahun 2014 Merupakan Pelaksanaan dari UU 36/2009 Tentang Kesehatan, Implikasi dengan Hukum Islam.
PP Nomor 61 Tahun 2014 yang ditandatangani pada
21 Juli 2014 tersebut merupakan pelaksanaan dari UU 36/2009 tentang Kesehatan.
Yang isi PP tersebut adalah Pasal 31 dikatakan: (1) Tindakan aborsi
hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis;
atau b. kehamilan akibat perkosaan. Dan, lebih khusus dalam ayat (2)-nya
dikatakan:(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40
(empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Pengaturan itu mengacu pada UU 36/2009 pasal
75 ayat 1 yang menyebutkan, setiap orang dilarang melakukan aborsi. Kecuali
berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang
dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban.
Sedangkan Kementrian Agama menanggapi
mengenai adanya aturan pemerintah terkait dengan diperbolehkannya melakukan
pengguguran kandungan janin aborsi ini berikut adalah pernyataan dari Lukman
Hakim Saefuddin selaku Menteri Agama Indonesia "PP aborsi sudah sesuai
dengan ketentuan fatwa MUI karena aborsi dimungkinkan dengan beberapa syarat,"
Ia menambahkan, syarat aborsi tersebut boleh dilakukan karena mengancam jiwa si
ibu dan tidak ada cara lain. Kedua, aborsi bisa dilakukan bila ada alasan medis
baik fisik dan psikis, yang keduanya mengancam keselamatan dan kesehatan
daripada sang ibu hamil itu sendiri. Termasuk yang menderita penyakit genetik
berat dan atau cacat bawaan mau pun yang tidak dapat diperbaiki. Sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Sedangkan hak menentukan
aborsi tersebut adalah ahli medis, para dokter. Selain itu, ada batasan usia
tertentu bahwa usia kandungan tak lebih dari sebelum kandungan miliki ruh,
jiwa. Penentuan indikasi kedaruratan medis, berdasarkan pasal 33 ayat 1 dan 2
dilakukan oleh tim kelayakan aborsi yang dilakukan paling sedikit terdiri dari
dua orang tenaga kesehatan.
Terkait kehamilan akibat perkosaan
merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak
perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. PP ini bukan melegalkan
aborsi di Indonesia melainkan mengatur aturan dalam tata layanan aborsi. PP ini
mengatur kejadian kehamilan yg tidak diinginkan khususnya korban perkosaan
karena pertimbangan kondisi medis ibu dan anak. Di pasal-pasal dan juga isi PP
61/2014 tersebut, ada aturan yang merinci mengenai hal-hal apa saja yang harus
dipenuhi sebelum tindakan. Ada juga amanah untuk inisiasi perkembangan anak.
Anggota Komisi IX DPR, Prof. dr. H.
Mahyuddin NS, SP.OG (K), mengatakan aborsi diperbolehkan apabila ada indikasi
medis berdasarkan rekomendasi oleh para ahli kesehatan, psikolog dan agama.
Sebab, apabila kehamilan itu dapat menyebabkan kematian dan mengancam kesehatan
ibu dan anak di dalam kandungannya maka diperbolehkan. Sementara itu, Deputi
Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana (BKKBN), Julianto Witjaksono, mengatakan, PP 61 ini sudah
mengakomodir seluruh unsur termasuk unsur agama yang tidak memperbolehkan
seseorang melakukan aborsi. Namun, dari unsur kemanusian serta kesehatan secara
medis, jika seseorang terancam keberlangsungan hidupnya, maka dia harus
diselamatkan. Julianto meluruskan penilaian yang berkembang di masyarakat bahwa
pemerintah mengeluarkan PP tersebut bukan untuk melegalkan aborsi di Indonesia.
Melainkan, dilakukannya aborsi pada korban kekerasan seksual itu harus
dibuktikan atas rekomendasi dari tenaga kesehatan, agama, psikolog. Pihak
korban, terlebih dahulu harus melaporkan langsung kepada pihak berwenang
apabila mengalami kekerasan seksual.
Sedangkan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist
Merdeka Sirait, menolak Peraturan Pemerintah (PP) yang melegalkan aborsi bagi
korban pemerkosaan. Semestinya, menurut Arist, ada cara lain untuk menangani
korban pemerkosaan yang hamil bukan dengan cara menggugurkan bayi dalam kandungan.
"Korban perkosaan lalu hamil
kemudian digugurkan, itu bertentangan dengan pasal 1 UU Perlindungan Anak Nomor
23 tahun 2002 bahwa definisi anak yang harus dilindungi disebutkan sebelum 18
tahun hingga anak dalam kandungan, artinya secara hukum negara lindungi anak
sejak dalam kandungan, dilindungi, tak boleh dicabut hak hidupnya. Otoritas
cabut hak hidup hanya Tuhan," ulasnya di Kantor Komnas Perlindungan Anak
Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Arist khawatir jika nantinya PP
Aborsi ini justu menjadi celah bagi para remaja yang tengah memiliki libido
yang tinggi dan berhubungan intim dengan lawan jenis atas dasar suka sama suka.
Lalu ketika diketahui orangtuanya sang remaja tengah hamil dan kekasih tak mau
bertanggungjawab, ia langsung mengaku diperkosa.
"Bisa menipu dirinya diperkosa,
natural kan libido remaja sedang tinggi, hampir 32 persen laporan kejahatan
seksual kepada kami pelakunya anak-anak, bukan lagi orang dewasa, ini
menakutkan, 1.039 laporan terakhir Juli, semakin banyak predatornya anak-anak,
akses pornografi menjadi candu yang mudah sekali, ini dilema. Kan sudah ada UU
Kesehatan yang mengatur soal aborsi, jangan jadi celah baru bagi pergaulan
bebas, hati-hati, jadi buat peluang," tegasnya.
Sedangkan menurut Hukum Islam :
Di dalam teks-teks al Qur’an dan Hadist
tidak didapati secara khusus hukum aborsi, tetapi yang ada adalah larangan
untuk membunuh jiwa orang tanpa hak, sebagaimana firman Allah swt dalam
An-Nisa’: 93 :
” Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.
Dan dalam hadits Rasulullah saw:
“ Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumlah darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia. “ ( Bukhari dan Muslim )
“ Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumlah darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia. “ ( Bukhari dan Muslim )
Maka,
untuk mempermudah pemahaman, pembahasan ini bisa dibagi menjadi dua bagian
sebagai berikut :
1.
Menggugurkan Janin Sebelum
Peniupan Roh
Dalam
hal ini, para ulama berselisih tentang hukumnya dan terbagi menjadi tiga
pendapat:
Pendapat
Pertama :
Menggugurkan
janin sebelum peniupan roh hukumnya boleh. Bahkan sebagian dari ulama
membolehkan menggugurkan janin tersebut dengan obat. Pendapat ini dianut oleh
para ulama dari madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Hambali. Tetapi kebolehan
ini disyaratkan adanya ijin dari kedua orang tuanya.
Pendapat
kedua :
Menggugurkan
janin sebelum peniupan roh hukumnya makruh. Dan jika sampai pada waktu peniupan
ruh, maka hukumnya menjadi haram. Dalilnya bahwa waktu peniupan ruh tidak
diketahui secara pasti, maka tidak boleh menggugurkan janin jika telah
mendekati waktu peniupan ruh , demi untuk kehati-hatian . Pendapat ini dianut
oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan Imam Romli salah seorang ulama dari
madzhab Syafi’I .
Pendapat
ketiga :
Menggugurkan
janin sebelum peniupan roh hukumnya haram. Dalilnya bahwa air mani sudah
tertanam dalam rahim dan telah bercampur dengan ovum wanita sehingga siap
menerima kehidupan, maka merusak wujud ini adalah tindakan kejahatan . Pendapat
ini dianut oleh Ahmad Dardir , Imam Ghozali dan Ibnu
Adapun
status janin yang gugur sebelum ditiup rohnya (empat bulan) , telah dianggap
benda mati, maka tidak perlu dimandikan, dikafani ataupun disholati. Sehingga
bisa dikatakan bahwa menggugurkan kandungan dalam fase ini tidak dikatagorikan
pembunuhan, tapi hanya dianggap merusak sesuatu yang bermanfaat.
1.
Menggugurkan Janin Setelah
Peniupan Roh
Secara
umum, para ulama telah sepakat bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh
hukumnya haram. Peniupan roh terjadi ketika janin sudah berumur empat bulan
dalam perut ibu, Ketentuan ini berdasarkan hadist Ibnu Mas’ud di atas. Janin
yang sudah ditiupkan roh dalam dirinya, secara otomatis pada saat itu,
dia telah menjadi seorang manusia, sehingga haram untuk dibunuh. Hukum
ini berlaku jika pengguguran tersebut dilakukan tanpa ada sebab yang darurat.
Namun
jika disana ada sebab-sebab darurat, seperti jika sang janin nantinya akan
membahayakan ibunya jika lahir nanti, maka dalam hal ini, para ulama berbeda
pendapat:
Pendapat
Pertama :
Menyatakan
bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya tetap haram, walaupun
diperkirakan bahwa janin tersebut akan membahayakan keselamatan ibu yang
mengandungnya. Pendapat ini dianut oleh Mayoritas Ulama.
Dalilnya
adalah firman Allah swt :
“Dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan.
Pendapat
Kedua :
Dibolehkan
menggugurkan janin walaupun sudah ditiupkan roh kepadanya, jika hal itu
merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan ibu dari kematian. Karena
menjaga kehidupan ibu lebih diutamakan dari pada menjaga kehidupan janin,
karena kehidupan ibu lebih dahulu dan ada secara yakin, sedangkan kehidupan
janin belum yakin dan keberadaannya terakhir.
Rujukan:
No comments:
Post a Comment