Subscribe di sini

Tuesday 26 January 2016

Aborsi Ditinjau dari PP.No.61 Tahun 2014Tentang Kesehatan, Implikasi dengan Hukum Islam.


Judul: Aborsi Ditinjau dari PP.No.61 Tahun 2014 Merupakan Pelaksanaan dari UU 36/2009  Tentang Kesehatan, Implikasi dengan Hukum Islam.

PP Nomor 61 Tahun 2014 yang ditandatangani pada 21 Juli 2014 tersebut merupakan pelaksanaan dari UU 36/2009 tentang Kesehatan. Yang isi PP tersebut adalah Pasal 31 dikatakan: (1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan. Dan, lebih khusus dalam ayat (2)-nya dikatakan:(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

 Pengaturan itu mengacu pada UU 36/2009 pasal 75 ayat 1 yang menyebutkan, setiap orang dilarang melakukan aborsi. Kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban.

Sedangkan Kementrian Agama menanggapi mengenai adanya aturan pemerintah terkait dengan diperbolehkannya melakukan pengguguran kandungan janin aborsi ini berikut adalah pernyataan dari Lukman Hakim Saefuddin selaku Menteri Agama Indonesia "PP aborsi sudah sesuai dengan ketentuan fatwa MUI karena aborsi dimungkinkan dengan beberapa syarat," Ia menambahkan, syarat aborsi tersebut boleh dilakukan karena mengancam jiwa si ibu dan tidak ada cara lain. Kedua, aborsi bisa dilakukan bila ada alasan medis baik fisik dan psikis, yang keduanya mengancam keselamatan dan kesehatan daripada sang ibu hamil itu sendiri. Termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan mau pun yang tidak dapat diperbaiki. Sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Sedangkan hak menentukan aborsi tersebut adalah ahli medis, para dokter. Selain itu, ada batasan usia tertentu bahwa usia kandungan tak lebih dari sebelum kandungan miliki ruh, jiwa. Penentuan indikasi kedaruratan medis, berdasarkan pasal 33 ayat 1 dan 2 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi yang dilakukan paling sedikit terdiri dari dua orang tenaga kesehatan.

Terkait kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. PP ini bukan melegalkan aborsi di Indonesia melainkan mengatur aturan dalam tata layanan aborsi. PP ini mengatur kejadian kehamilan yg tidak diinginkan khususnya korban perkosaan karena pertimbangan kondisi medis ibu dan anak. Di pasal-pasal dan juga isi PP 61/2014 tersebut, ada aturan yang merinci mengenai hal-hal apa saja yang harus dipenuhi sebelum tindakan. Ada juga amanah untuk inisiasi perkembangan anak.

Anggota Komisi IX DPR, Prof. dr. H. Mahyuddin NS, SP.OG (K), mengatakan aborsi diperbolehkan apabila ada indikasi medis berdasarkan rekomendasi oleh para ahli kesehatan, psikolog dan agama. Sebab, apabila kehamilan itu dapat menyebabkan kematian dan mengancam kesehatan ibu dan anak di dalam kandungannya maka diperbolehkan. Sementara itu, Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Julianto Witjaksono, mengatakan, PP 61 ini sudah mengakomodir seluruh unsur termasuk unsur agama yang tidak memperbolehkan seseorang melakukan aborsi. Namun, dari unsur kemanusian serta kesehatan secara medis, jika seseorang terancam keberlangsungan hidupnya, maka dia harus diselamatkan. Julianto meluruskan penilaian yang berkembang di masyarakat bahwa pemerintah mengeluarkan PP tersebut bukan untuk melegalkan aborsi di Indonesia. Melainkan, dilakukannya aborsi pada korban kekerasan seksual itu harus dibuktikan atas rekomendasi dari tenaga kesehatan, agama, psikolog. Pihak korban, terlebih dahulu harus melaporkan langsung kepada pihak berwenang apabila mengalami kekerasan seksual.

Sedangkan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menolak Peraturan Pemerintah (PP) yang melegalkan aborsi bagi korban pemerkosaan. Semestinya, menurut Arist, ada cara lain untuk menangani korban pemerkosaan yang hamil bukan dengan cara menggugurkan bayi dalam kandungan.
"Korban perkosaan lalu hamil kemudian digugurkan, itu bertentangan dengan pasal 1 UU Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 bahwa definisi anak yang harus dilindungi disebutkan sebelum 18 tahun hingga anak dalam kandungan, artinya secara hukum negara lindungi anak sejak dalam kandungan, dilindungi, tak boleh dicabut hak hidupnya. Otoritas cabut hak hidup hanya Tuhan," ulasnya di Kantor Komnas Perlindungan Anak Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Arist khawatir jika nantinya PP Aborsi ini justu menjadi celah bagi para remaja yang tengah memiliki libido yang tinggi dan berhubungan intim dengan lawan jenis atas dasar suka sama suka. Lalu ketika diketahui orangtuanya sang remaja tengah hamil dan kekasih tak mau bertanggungjawab, ia langsung mengaku diperkosa.

"Bisa menipu dirinya diperkosa, natural kan libido remaja sedang tinggi, hampir 32 persen laporan kejahatan seksual kepada kami pelakunya anak-anak, bukan lagi orang dewasa, ini menakutkan, 1.039 laporan terakhir Juli, semakin banyak predatornya anak-anak, akses pornografi menjadi candu yang mudah sekali, ini dilema. Kan sudah ada UU Kesehatan yang mengatur soal aborsi, jangan jadi celah baru bagi pergaulan bebas, hati-hati, jadi buat peluang," tegasnya.

Sedangkan menurut Hukum Islam :
Di dalam teks-teks al Qur’an dan Hadist tidak didapati secara khusus hukum aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa orang tanpa hak, sebagaimana firman Allah swt dalam An-Nisa’: 93 :
” Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.
Dan dalam hadits Rasulullah saw:
“ Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah  segumlah darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat   untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia. “ ( Bukhari dan Muslim )

Maka, untuk mempermudah pemahaman, pembahasan ini bisa dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut :
1.                  Menggugurkan Janin Sebelum Peniupan Roh
Dalam hal ini, para ulama berselisih tentang hukumnya dan terbagi menjadi tiga pendapat:

Pendapat Pertama :
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya boleh. Bahkan sebagian dari ulama membolehkan menggugurkan janin tersebut dengan obat. Pendapat ini dianut oleh para ulama dari madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Hambali.  Tetapi kebolehan ini disyaratkan adanya ijin dari kedua orang tuanya.

Pendapat kedua :
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya makruh. Dan jika sampai pada waktu peniupan ruh, maka hukumnya menjadi haram. Dalilnya bahwa waktu peniupan ruh tidak diketahui secara pasti, maka tidak boleh menggugurkan janin jika telah mendekati waktu peniupan ruh , demi untuk kehati-hatian . Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan Imam Romli salah seorang ulama dari madzhab Syafi’I .

Pendapat ketiga :
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya haram. Dalilnya bahwa  air mani sudah tertanam dalam rahim dan telah bercampur dengan ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan, maka merusak wujud ini adalah tindakan kejahatan . Pendapat ini dianut oleh Ahmad Dardir , Imam Ghozali dan Ibnu
Adapun status janin yang gugur sebelum ditiup rohnya (empat bulan) , telah dianggap benda mati, maka tidak perlu dimandikan, dikafani ataupun disholati. Sehingga bisa dikatakan bahwa menggugurkan kandungan dalam fase ini tidak dikatagorikan pembunuhan, tapi hanya dianggap merusak sesuatu yang bermanfaat.

1.                  Menggugurkan Janin Setelah Peniupan Roh
Secara umum, para ulama telah sepakat bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya haram. Peniupan roh terjadi ketika janin sudah berumur empat bulan dalam perut ibu, Ketentuan ini berdasarkan hadist Ibnu Mas’ud di atas. Janin yang sudah ditiupkan roh dalam dirinya, secara otomatis pada saat itu, dia  telah menjadi seorang manusia, sehingga haram untuk dibunuh. Hukum ini berlaku jika pengguguran tersebut dilakukan tanpa ada sebab yang darurat.

Namun jika disana ada sebab-sebab darurat, seperti jika sang janin nantinya akan membahayakan ibunya jika lahir nanti, maka dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:

Pendapat Pertama :
Menyatakan bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya tetap haram, walaupun diperkirakan bahwa janin tersebut akan membahayakan keselamatan ibu yang mengandungnya. Pendapat ini dianut oleh Mayoritas Ulama.
Dalilnya adalah firman Allah swt :
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.


Pendapat Kedua :
Dibolehkan menggugurkan janin walaupun sudah ditiupkan roh kepadanya, jika hal itu merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan ibu dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibu lebih diutamakan dari pada menjaga kehidupan janin, karena kehidupan ibu lebih dahulu dan ada secara yakin, sedangkan kehidupan janin belum yakin dan keberadaannya terakhir.



Rujukan:

No comments:

Post a Comment

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...