DARI
SEGI ILMU BAHASA
oleh
Rajab Bahry*
1.
Latar
Belakang
Untuk mengetahui asal usul suatu benda, termasuk
bangsa dan etnik, dapat dikatakan bukanlah perkara yang mudah, namun ada juga
masyarakat yang mengatakan bukan suatu
hal yang sulit. Hal ini bergantung pada budaya masyarakat tersebut. Jika
masyarakat sudah mempunyai budaya baca
tulis (literasi), perkara ini bukanlah hal yang sulit karena catatan-catatan
(berupa prasasti dan juga buku) akan mudah didapat sehingga terabadikan
sepanjang sejarah. Akan tetapi, masalah ini mungkin akan menjadi pelik jika
masyarakat belum berbudaya literasi karena (cerita asal usul) hanya disampaikan
dari mulut ke mulut (dalam bahasa Gayo kené
bekené) sehingga informasi mungkin menjadi putus, mungkin keliru, dan
mungkin juga berupa dongeng. Sebagai contoh, penulis pernah mendengar cerita
sewaktu kecil bahwa asal kata “gayo” berasal dari penemuan seekor “kepiting
besar” dekat kampung Porang, yang oleh bahasa tertentu (menurut cerita bahasa
Karo) kepiting itu disebut “gayo”. Orang yang melihat “kepiting besar” ini kaget (mungkin karena
ukurannya luar biasa) sehingga dia menyebut “gayo, gayo, gayo”. Sejak itu
daerah sekitarnya disebut Gayo. Secara logika kejadian ini “bisa ditermia”
karena setelah dibentuk kemukiman, daerah ini disebut juga namanya “Kemukiman
Blang Pegayon” dan setelah dibentuk kecamatan masih bernama “Kecamatan Blang
Pegayon” sampai saat ini. Apakah ini fakta atau dongeng? Kita belum tahu karena
data tertulis belum ada.
Kegiatan menelusuri
asal usul suatu suku atau masyarakat pada zaman modern ini sudah dapat
dilakukan dengan berbagai cara, walaupun keabsahan hasilnya masih berupa “dapat
diduga”. Akan tetapi, kita tidak perlu
risau karena kebenaran ilmiah memang tidak mutlak. Artinya, kebenaran ilmiah mungkin saja pada suatu saat dianggap
benar, namun jika ditemukan data yang pada masa selanjutnya, kebenaran ilmiah
itu akan tergantikan dengan data yang terbaru.
Uraian dalam makalah ini hanya menyoroti kemungkinan
asal usul etnik Gayo dari segi bahasa. Fokus yang dikaji adalah kekerabatan
bahasa Gayo dengan bahasa yang ada di Aceh, pola bahasa, dan pola berbahasa
masyarakat Gayo. Kajian ini memang tidak dapat dengan tegas menentukan dari
mana asal usul etnik Gayo. Akan tetapi, kajian ini paling kurang memberi
gambaran beberapa aspek bahasa atau penggunaan bahasa Gayo sehingga bisa
dilihat hubungannya dengan gambaran aspek bahasa dan penggunaan bahasa lain.
Artinya, kecenderungan dalam aspek bahasa dan dalam penggunaan bahasa Gayo bisa
menjadi salah satu alat menelusuri kemungkinan asal usul etnik Gayo.
2.
Permasalahan
Pemerintah daerah yang berpenduduk etnik Gayo
sekarang ini berusaha menggali asal usul etnik Gayo. Hal ini merupakan kegiatan
yang tergolong “sulit” karena budaya literasi belum berkembang di daerah Gayo
pada masa dahulu. Masyarakat Gayo dahulu (sebelum Belanda datang sekitar 1908)
masih belum berbudaya literasi karena memang pendidikan pada masa itu belum
berjalan secara formal.
Penelusuran suatu etnik melalui bahasa tentu bukan
suatu hal yang aneh karena semua masyarakat menggunakan bahasa. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa penyebaran suku dari suatu daerah ke daerah
lain tentu akan menggunakan bahasa asal mereka. Akan tetapi, jika penyebaran
ini sudah berlangsung dalam waktu yang lama, kemungkinan perubahan bahasa bukan
suatu yang mustahil. Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan bahasa dari
bahasa awal mungkin saja akan semakin jauh dan mungkin saja akan terjadi
perubahan pada pola bahasa dan juga pada pola berbahasa masyarakat tersebut.
Dalam kajian linguistik bandingan,
aspek yang paling sering dijadikan objek analisis, mungkin juga hal yang paling
utama, adalah aspek kosakata. Kosakata yang dibandingkan adalah kosakata dasar
Swadesh yang berjumlah 200 kata. Dengan
menggunakan metode leksikostatistik, para ahli dapat membuat pengelompokkan
apakah suatu bahasa merupakan bagian dari bahasa lain atau merupakan bahasa
terpisah dari satu bahasa. Para ahli lingustik bandingan mengatakan bahwa
kesamaan kosakata dasar antara dua
bahasa sebesar 81 – 100 % berarti kedua bahasa itu bahasa yang sama (Keraf,
1996: 135). Oleh karena itu, untuk mengetahui asal usul etnik Gayo, perlu
dilihat persamaan kosakata dasar bahasa Gayo dengan kosakata dasar semua bahasa
yang ada di Aceh.
Masalah
bahasa yang akan dibahas dalam makalah ini ada tiga, yakni kekerabatan bahasa
Gayo dengan bahasa-bahasa yang ada di Aceh; pola bahasa dalam bahasa Gayo; dan
pola berbahasa masyarakat Gayo. Pertama, kekerabatan bahasa Gayo (kosakata
dasar) dengan bahasa-bahasa di Aceh perlu dibahas karena dalam mencari asal
usul (bahasa dan tentunya berkaitan dengan suku) harus dibandingkan terlebih
dahulu dengan bahasa yang berdekatan secara geografis. Artinya, perbandingan
kosakata bahasa Gayo dengan bahasa sekitar mungkin dapat merupakan indikasi
bahwa kemungkinan besar etnik yang kedekatan secara geografis ini memiliki asal
usul yang sama. Kedua, pengkajian pola bahasa juga perlu diperhatikan karena
persamaan pola bahasa mungkin saja terjadi karena bahasa tersebut mempunyai
asal yang saman. Ketiga, kesamaan pola berbahasa masyarakat juga dapat menjadi
indikasi bahwa masyarakat tersebut sebenarnya adalah bagian dari masyarakat
yang lain dan mereka hanya berpisah karena letak geografis saja. Artinya,
perbandingan antara pola bahasa dan pola berbahasa masyarakat Gayo dan pola
bahasa dan pola berbahasa masyarakat lain di Aceh akan menjadi petunjuk untuk
mengetahui asal usul masyarakat Gayo.
3.
Pembahasan
Untuk mengetahui asal usul satu suku atau masyarakat
banyak aspek yang harus dikaji. Salah satu yang paling mudah adalah catatan
sejarah yang sudah terdokumentasi secara benar. Akan tetapi, catatan sejarah ini bisa ada jika masyarakat
tersebut sudah mempunyai budaya tulis baca sehingga apa saja yang terjadi
dengan mudah dicatat. Sebagai contoh, pelaut dari Eropah dapat dengan mudah
menceritakan kisah perjalanan mereka ke tempat tertentu karena mereka selalu
mencatat tempat, waktu, dan kejadian yang mereka alami. Hal ini dapat
dibuktikan dari catatan Marcopolo (sekitar 1292) bahwa Saman (salah satu
kesenian masyarakat Gayo) sudah ada pada waktu dia singgah di Kerajaan
Perlak. Artinya, jauh sebelum Marcopolo
singgah di Perlak, suku Gayo telah ada karena mereka sudah bermasyarakat dan
sudah mempunyai kesenian Saman.
Jika catatan sejarah dari satu suku tidak dapat
ditemukan secara pasti, masih banyak faktor lain yang “dapat” memberi petunjuk
untuk mengetahuinya. Sekarang sudah banyak cabang ilmu yang mampu mengetahui
kejadian-kejadian yang lalu. Bidang-bidang tersebut misalnya arkeologi,
filologi, antropologi, sosiologi, sastra, bahasa, lukisan,
pola pikir, budaya, kebiasaan, pola
hidup, perawakan, dll. Kajian arkeologi, misalnya, dapat menguji secara ilmiah
penemuan fosil dan berbagai benda purba untuk mengetahui keberadaan masyarakat,
termasuk asal usul suatu etnik. Kajian aerkologi tentang suku Gayo yang terbaru
adalah tentang kebudayaan manusia di Loyang Mendale dan sekitarnya yang
dilakukan oleh tim Balai Arkeologi Medan.
Salah satu bidang yang tidak pernah lepas dengan
manusia adalah bahasa. Artinya, setiap masyarakat pasti mempunyai dan
menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan oleh etnik tertentu mungkin juga
mempunyai hubungan dengan bahasa etnik lain. Hubungan yang terjadi bisa saja
berbagai aspek kebahasaan misalnya kosakata, fonologi, morfologi, dan bisa juga
aspek pola berbahasa. Selain itu, dalam bidang bahasa ada juga kajian filologi,
yaitu ilmu yang mempelajari bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu
bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan tertulis (Kridalaksana, 1983:
43). Dengan demikian, kajian bahasa juga mempunyai peranan yang penting dalam menelusuri asal usul suatu suku.
Namun demikian, perlu juga diketahui bahwa dalam
perkembangan bahasa ada konsep monogenesis dan poligenesis (Ohoiwutun, 2007:
17-18). Pandangan monogenetis menyatakan bahwa semua bahasa kuno dan bahasa
modern tumbuh dan berkembang dari hanya satu proto bahasa. Sementara, pandangan
poligenesis beranggapan bahwa bahasa itu muncul secara spontan di berbagai
tempat di bumi ini. Dalam pembahasan ini tidak secara ekstrim cenderung pada
suatu pandangan pandangan yang telah disebutkan di atas karena kedua konsep ini
mungkin saja bisa terjadi. Akan tetapi, tujuan pembahasan ini untuk menelusuri
asal usul etnik Gayo maka konsep bahasa yang mempunyai asal dari rumpun yang
lebih besar tentu akan lebih baik digunakan.
Jika membahas asal usul suatu etnik, masalah migrasi
harus disinggung karena secara alami penduduk selalu berpindah dengan berbagai
alasan. Migrasi itu mungkin karena faktor keamanan, ekonomi, lingkungan, dan
berbagai situasi yang dialami. Selain itu, jika dikaitkan dengan kejadian
manusia dari seorang Adam dan Hawa yang betempat tinggal di Arab, tentu harus ada
migrasi yang berlangsung lama sehingga penyebaran manusia sampai ke Indonesia,
dan di dalamnya termasuk etnik Gayo.
Wiradnyana (2011: 79) mengatakan bahwa migrasi atas dasar
budaya pada masa prasejarah ke Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode
besar, yaitu Periode Paleolitik, Periode Masolitik, dan Periode Neolitik.
Migrasi pada periode awal (paleolitik) ini dapat ditemukan fosilnya di
Indonesia dan umurnya lebih tua dibandingkan dengan fosil yang ditemukan di
Cina dan di Afrika Selatan. Peneliti ini menyebutkan bahwa umur fosil yang
ditemukan di Jawa Tengah berumur sekitar 800.000 SM. Ini menandakan bahwa
migrasi sudah terjadi sejak lama di Indonesia. Dengan demikian, dapat diyakini
pula bahwa migrasi pada masa itu sudah juga melibatkan migrasi bahasa beserta
aspek kehidupan yang lain.
Secara logika, migrasi ini berlangsung dalam kurun
waktu yang lama sehingga sangat mungkin bahasa awal yang digunakan dan juga
aspek yang lain perlahan-lahan akan mengalami perubahan dan mungkin saja perubahannya
menjadi ekstrim. Perubahan-perubahan yang ektrim (yang dipengaruhi oleh
berbagai aspek) mungkin saja membentuk sesuatu yang baru sehingga “warna dasar”
berbagai aspek pun akan berubah.
Wiradnyana (2011: 80) mengatakan
bahwa dalam perpindahan penduduk atau
migrasi terjadi adaptasi terhadap alam sehingga terjadi pecampuran manusia.
Kondisi ini tidak hanya dibuktikan dari ras manusia, melainkan juga dari aspek
bahasa, teknologi, religi, dan aspek budaya. Dengan demikian, migrasi yang
terjadi akan berpengaruh pada berbagai perkembangan dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan uraian di atas, analisis bahasa tidak
diragukan lagi dalam penelusuran asal usul sebuah etnik. Alasannya adalah
bahasa yang digunakan oleh orang terdahulu kemungkinan besar masih mempunyai
kaitan dengan bahasa yang digunakan masyarakat sekarang, sekalipun kaitan itu
kadang-kadang sudah sedikit. Dalam uraian di bawah ini, akan dijelaskan
data-data tentang kekerabatan bahasa Gayo dengan bahasa-bahasa lainnya di Aceh,
pola bahasa Gayo, dan pola berbahasa masyarakat Gayo.
a.
Kekerabatan
bahasa
Untuk mengetahui kekerabatan (dalam
istilah penelitian digunakan istilah pemetaan
bahasa) satu bahasa dengan bahasa
lain sejak dulu sudah menjadi perhatian para ahli bahasa. Salah satu manfaat
yang diperoleh dari pengkajian kekerabatan bahasa adalah untuk mengetahui
apakah bahasa mempunyai kesamaan asal ususl atau mungkin saja bangsa itu
berasal dari sumber yang sama. Keraf (1990: ix - x) mengatakan bahwa
Melalui
perbandingan historis, dapat ditunjukkan adanya kesamaan asal usul
bangsa-bangsa, dapat diperlihatkan bahwa masyarakat dunia yang dewasa ini
terpisah oleh gunung dan lautan, sebenarnya diturunkan dari nenek moyang yang
sama. Bila ada dua masyarakat yang sama atau lebih memiliki keteraturan bentuk
makna yang bersifat lintas bahasa dan keteraturan itu dalam jumlah yang cukup banyak, hal itu
membuktikan bahwa mereka berasal dari sumber penyebaran yang sama.
Dari
pernyataan yang disampaikan di atas, terlihat bahwa kekerabatan bahasa ini
menjadi petunjuk bahwa ada hubungan antara satu bahasa dengan bahasa lain
karena adanya saling pengaruh atau juga mempunyai asal usul yang sama. Selain
itu, dalam kutipan tersebut dinyatakan bahwa bahasa yang banyak mempunyai
bentuk serta makna yang sama dengan bahasa lain dipandang mereka berasal dari
penyebaran yang sama. Dalam konteks ini jelas menunjukkan bahwa penduduk yang
menggunakan bahasa yang mempunyai persamaan yang banyak berarti mereka berasal
dari satu etnik.
Pengkajian kekerabatan bahasa ini memang
sangat penting karena hasilnya akan menjadi pedoman yang ilmiah dalam
pengelompokan bahasa. menetukan apakah suatu “bahasa” yang telah dikalim oleh
masyarakat tertentu merupakan suatu bahasa atau masih merupakan bagian dari
bahasa lain. Contoh dalam kasus ini
ada di Provinsi Aceh. Di Aceh ada bahasa
Alas, Kluet, Singkil, Haloban, dan Julu. Dalam penelitian pemetaan bahasa yang
dilakukan di Indonesia (termasuk data dari Aceh), kelima bahasa ini hanya
mempunyai perbedaan yang sedikit dengan bahasa Batak. Oleh karena itu,
berdasarkan analisis leksikostatistik dengan data kosakata dasar Swadesh,
kelima bahasa ini digabungkan pada induknya yaitu bahasa Batak.
Dalam penelitian kekerabatan bahasa
(pemetaan bahasa), hal paling utama dijadikan kajian adalah kosakata. Kosakata
yang digunakan adalah kosakata dasar Swadesh yang berjumlah 200 kata. Setiap
kosakata dasar ini dibandingkan bentuk, makna dan juga bunyinya, termasuk
perubahan-perubahan bunyi dengan seluruh bahasa daerah yang ada di Aceh.
Persentase yang dinilai adalah persamaan leksikon dan fonologi.
Penelitian
pemetaan bahasa yang dilakukan di Indonesia oleh Pusat Bahasa (kini bernama
Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) telah memberi gambaran tentang bahasa
daerah di seluruh Indonesia. Data yang digunakan sebenarnya telah lama
dikumpulkan dan dipimpin oleh Gorys Keraf dari Universitas Indonesia. Akan
tetapi data yang telah terkumpul itu belum sempat diolah oleh tim peneliti di
Pusat Bahasa. Akhirnya, pada tahun 2006 data ini diolah kembali oleh Pusat
Bahasa dengan sistem membagi data pada masing-masing Balai Bahasa/Kantor Bahasa
di seluruh Indonesia.
TABEL 1: KEKERABATAN BAHASA DI ACEH
TABEL LEKSIKOSTATISTIK
|
||||||
Minang
|
40%
|
|||||
Gayo
|
31%
|
32%
|
||||
Jawa
|
30%
|
39%
|
31%
|
|||
Batak
|
29%
|
34%
|
33%
|
29%
|
||
Sigulai
|
24%
|
23%
|
21%
|
19%
|
19%
|
|
Devayan
|
20%
|
20%
|
19%
|
16%
|
17%
|
30%
|
Aceh
|
Minang
|
Gayo
|
Jawa
|
Batak
|
Sigulai
|
(Team
Balai Bahasa Banda Aceh, 2011: 37)
TABEL 2:
KLASIFIKASI BAHASA
TINGKAT BAHASA
|
WAKTU
PISAH
DALAM
ABAD
|
PERSENTASE KATA
BERKERABAT
|
Bahasa (Language)
|
0
– 5
|
100
– 81
|
Keluarga
(Family)
|
5
– 25
|
81
– 36
|
Rumpun
(Stock)
|
25
– 50
|
36
– 12
|
Mikrofilum
|
50
– 75
|
12
– 4
|
Mesofilum
|
75
– 100
|
4
– 1
|
Makrofilum
|
100
– ke atas
|
1
- <1
|
(Keraf,
1996: 135)
Balai
bahasa Banda Aceh juga mendapat tugas menganalis data yang sudah ada dan juga
menambah titik pengamatan di beberapa daerah. Analisis data dilakukan dengan
metode leksikostatistik, yakni teknik dalam pengelompokan bahasa
yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara
statistik, untuk kemudian menetapkan pengelompokan itu berdasarkan persentase
kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain (Keraf, 1996: 21). Penganalisisan
data ini dilakukan mulai tahun 2006 – 2008. Setelah digabungkan hasil analisis
seluruh Balai Bahasa, hasilnya disampaikan secara sewaktu Kongres Bahasa
Indonesia Oktober 2008.
Hubungan
kekerabatan bahasa daerah di Aceh dapat dilihat pada tabel satu. Hasil
yang ditampilkan ini merupakan hasil
analisis Balai Bahasa Banda Aceh berdasarkan data penelitian nasional yang
dilakukan Pusat Bahasa dan juga sudah dengan penambahan daerah pengamatan (DP)
dari beberapa daerah. Pada tabel ini terlihat hubungan kekerabatan bahasa Gayo
dengan enam bahasa daerah yang terdapat di Aceh sangat renggang. Hubungan ini
dikatakan renggang karena persentase kekerabatan yang dapat dikelompokkan ke
dalam suatu bahasa adalah 81 - 1–0%. Sementara hubungan persentase kekerabatan bahasa Gayo dengan
bahasa daerah berkisar antara 19 – 33%. Persentase tertinggi hanya 33% yaitu
kekerabatan dengan bahasa Batak dan persentase kekerabatan yang terkecil 19%
yaitu dengan bahasa Devayan.
Penelitian kekerabatan bahasa daerah ini
menggunakan kosakata dasar Swadesh dan belum pernah meggunakan Daftar Holle
(Holle List), yaitu daftar yang
diterbitkan pada tahun 1931 yang berjumlah 1.486 kata dan 60 kalimat singkat
(Keraf, 1996: 120). Jika nanti diadakan penelitian dengan daftar ini,
persentase kekerabatan ini mungkin saja berbeda. Akan tetapi, penelitian yang
pernah dilakukan ini dapat digunakan sementara untuk mengetahui kekerabatan
antarbahasa yang ada di Aceh.
Dari data yang telah dilihat pada tabel
satu di atas, ada indikasi bahwa bahasa Gayo mempunyai hubungan yang renggang
dengan bahasa-bahasa yang ada di Aceh. Jika dilihat pada tabel dua (tentang
klasifikasi bahasa), bahasa Gayo hanya mempunyai hubungan rumpun (stok) dengan
bahasa-bahasa di Aceh. Hubungan rumpun ini mempunyai waktu pisah antara 25 – 50
abad. Dari data tabel satu dan konsep klasifikasi bahasa, dapat diduga bahwa bahasa Gayo mempunyai hubungan yang
renggang dengan bahasa di Aceh dan mengindikasikan pula bahwa etnik Gayo “tidak
seasal” dengan etnik yang ada di Aceh.
Kesimpulan ini hanya berdasarkan tinjauan penelitian
kekerabatan bahasa. Akan tetapi, untuk menentukan asal usul suatu etnik tidak
cukup hanya dari tinjauan kekerabatan
bahasa saja karena aspek lain juga harus ada. Dalam bahasa sendiri sering
terjadi perubahan sehingga membentuk bahasa baru yang “mungkin” jauh berbeda
dengan bahasa asal, seperti yang diungkapkan ahli sosiolinguistik di bawah ini.
Apabila suatu
bahasa mengalami perubahan penting baik dalam kosakata maupun dalam bunyi dan
struktur, seluruh bahasa tersebut dapat berubah menjadi bahasa lain. Selain
itu, perkembangan bahasa dapat pula terjadi bila suatu dialek minor tumbuh
menjadi lebih dominan dan putus hubungan dengan dari dialek lainnya sehingga
mungkin saja dialek itu tidak lagi dipahami oleh dialek lain Ohoiwutun (2007:
19).
Dari
pendapat ini, harus dipahami bahwa dalam satu bahasa mungkin juga terjadi
perubahan sehingga membentuk bahasa yang baru. Oleh karena itu, untuk
mengetahui asal usul etnik Gayo, data bahasa ini harus digabung kembali dengan
data lain, misalnya data sejarah, data arkeologi, data sosiologi, data
filologi, dll., agar keakuratannya dapat dipertanggungjabkan secara ilmiah.
b.
Pola
bahasa Gayo
Dalam konsep linguistik dikatakan bahwa
setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa
lainnya (Chaer, 2003: 51). Konsep ini menyatakan bahwa keunikan itu memang
benar-benar tidak terdapat dalam bahasa lain atau bisa saja ada dalam aspek
tertentu dalam suatu bahasa yang tidak
dimiliki bahasa lain. Selanjutnya, Chaer mengatakan bahwa kalau keunikan yang
terjadi pada sekelompok bahasa yang berada dalam satu rumpun atau satu kelompok
bahasa, lebih baik jangan disebut keunikan, melainkan ciri dari rumpun atau
golongan bahasa itu (Chaer, 2003: 52).
Pada pembahasan ini, akan diuraikan
beberapa pola bahasa yang ada dalam bahasa Gayo. Pola yang akan dibahas ada
dua, yakni pola gradasi adjevtiva dan pola pembentukan kata gabung. Pola ini
belum bisa dikatakan keunikan (sesuai dengan konsep keunikan yang dikemukakan
Chaer di atas), tetapi ciri rumpun bahasa Gayo atau keunikan bagian aspek dalam bahasa Gayo. Yang penulis maksud
keunikan bagian aspek adalah keunikan yang mungkin juga ada dalam bahasa lain,
tetapi ada hal yang sangat khusus yang ada pada bahasa Gayo dan tidak ada dalam
bahasa lain. Contoh, adjektiva dalam bahasa Indonesia ada gradasi dan dalam
bahasa Gayo juga ada, namun bentuk gradasinya berbeda. Bentuk
gradasi adjektiva baik dalam bahasa Indonesia adalah baik à bertambah baik à
lebih baik à dan paling baik/terbaik.
Bentuk gradasi adjektiva baik (jeroh) dalam bahasa Gayo adalah jeroh à mujeroh/mutamah jeroh à
jerohan/lebih jeroh à pejeroh/paling jeroh.
Keunikannya jelas bahawa dalam bahasa Indonesia hanya pada tingkatan paling
baik dapat dibentuk dengan satu kata. Sementara itu, dalam bahasa Gayo pada
setiap tingkatan dapat dibentuk dalam satu kata.
a) Pola
gradasi adjektiva
Gradasi atau derajat adjektiva adalah
pola yang memperlihatkan ketidakteraturan yang makin meningkat pada batas kelas
kata (Azwardi, 2011). Dalam pemakaiannya, adjektiva mempunyai tingkat yaitu
biasa, tingkat lebih, tingkat paling, dan tingkat elatif (Keraf, 1996:
66). Hampir setiap bahasa mempunyai
gradasi adjektiva, namum jika diperhatikan secara detail, terdapat perbedaan
gradasi adjektiva antara satu bahasa dan bahasa lain. Demikian juga halnya
terdapat perbedaan antara gradasi adjektiva bahasa Gayo dan bahasa lain.
Tabel
3: Pola Gradasi Adjektiva Bahasa Gayo
jeroh
|
tamah
jeroh/
mujeroh
|
lebih
jeroh/
jerohan
|
paling
jeroh/
pejeroh
|
ilang
|
tamah
ilang/
muilang
|
lebih
ilang/
ilangan
|
paling
ilang/
perilang
|
dekat
|
tamah
dekat/
mudekat
|
lebih
dekat/
dekatan
|
paling
dekat/
pedekat
|
relem
|
tamah
relem/
murelem
|
lebih
relem/
relemen
|
paling
relem/
perelem
|
Tabel
4: Pola Gradasi Adjektiva Bahasa Indonesia
bagus
|
tambah
bagus
|
lebih
bagus
|
paling bagus/terbagus
|
merah
|
tambah
merah
|
lebih
merah
|
paling
merah/termerah
|
dekat
|
tambah
dekat
|
lebih
dekat
|
paling
dekat/terdekat
|
dalam
|
tambah
dalam
|
lebih
dalam
|
paling
dalam/terdalam
|
Tabel
5: Pola Gradasi Adjektiva Bahasa Aceh
Jroh
|
meutamah
jroh
|
lebéh
jroh
|
jroh
that
|
mirah
|
meutamah
mirah
|
lebéh
mirah
|
mirah
that
|
Rab
|
meutamah
rab
|
lebéh
rab
|
rab
that
|
lhok
|
meutamah
lhok
|
lebéh
lhok
|
lhok
that
|
Tabel
6: Pola Gradasi Adjektiva Bahasa Alas
mejilé
|
tambah
mejilé
|
lebih
mejilé /mejilénen
|
paling
jilé/
pejilé
|
mugaRe
|
tambah
mugaRe
|
lebih
mugaRe/
mugaRen
|
paling
mugaRe/
pemugaRe
|
dohoR
|
tambah
dohoR
|
lebih
dohoR/
dohoRen
|
paling
dohoR/
pedohoR
|
bagas
|
tamabah
bagas
|
lebih
bagas/
bagasen
|
paling
bagas/
pebagas
|
Pola gradasi adjektiva bahasa Gayo
mempunyai “keunikan” jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia dan juga dengan
bahasa daerah lain di Aceh. Coba perhatikan gadasi adjektiva bahasa Gayo,
bahasa Indonesia, bahasa Aceh, dan bahasa Alas di atas. Gradasi adjektiva ini
mempunyai tingkat positif, bertambah
(tidak ada dalam gradasi Keraf), lebih, dan paling. Gradasi adjektiva pada semua tingkat, kecuali
tingkat positif, dalam bahasa Indonesia selalu berbentuk dua kata, kecuali pada
tingkat paling (lihat tabel 4). Sementara itu, gradasi adjektiva bahasa Gayo
pada semua tingkatnya bisa dibentuk dalam satu kata (lihat tabel 3) dan juga
bisa dibentuk menjadi dua kata. Kata jeroh pada tingkat bertambah dapat dibentuk menjadi tamah
jeroh dan mujeroh, pada tingkat
lebih dapat dibentuk menjadi lebih jeroh dan jerohan, dan pada tingkat
paling dapat dibentuk menjadi paling
jeroh dan pejeroh. Gradasi adjektiva bahasa Aceh juga dibentuk dua kata
dan sama dengan pola pembentukan gradasi adjektiva bahasa Indonesia.
Gradasi adjektiva bahasa Gayo hampir
mirip dengan gradasi bahasa Alas, hanya pada tingkat bertambah tidak bisa dibentuk dalam satu kata (bandingkan tabel 3
dan tabel 6). Gradasi adjektiva bahasa Alas pada tingkat bertambah pada kata mejilé harus dibentuk menjadi tambah
mejilé dan tidak bisa dibentuk satu kata, sementara dalam bahasa Gayo
bisa dibentuk dua kata, misalnya, kata jeroh dapat dibentuk menjadi mujeroh
dan tamah
jeroh (pada tingkat bertambah).
Jadi, gradasi adjektiva bahasa Gayo hampir mirip dengan gradasi adjektiva
bahasa Alas, tetapi ada tingkatan tertentu yang berbeda.
Data pola gradasi adjektiva bahasa Gayo
ini menunjukkan salah satu “keunikan” bahasa Gayo dibandingkan dengan bahasa
Indonesia dan bahasa-bahasa daerah lainnya. Data ini juga akan dapat dijadikan
rujukan dalam penelusuran asal usul etnik Gayo. Artinya, keunikan pola gradasai
adjektiva ini memberi sinyal bahwa salah satu aspek bahasa berbeda dengan
bahasa-bahasa lainnya di daerah Aceh.
b) Pola
kata gabung
Kata gabung yang dimaksud di sini adalah
gabungan dua kata yang membentuk satu kesatuan arti (Keraf, 1996: 124) dan juga
gabungan kata yang mengandung makna milik, jenis, bagian dari, dan berasal
dari. Kata gabung bahasa Gayo, yang dalam bahasa Indonesia dinamakan
kata majemuk, bentuknya ada yang sama dengan bahasa Indonesia dan ada juga yang
tidak. Oleh karena itu, kata gabung yang dimaksudkan di sini kadang-kadang bisa
juga disamakan dengan kata majemuk dalam bahasa Indonesia dan mungkin juga
tidak karena hanya dalam bentuk berupa frasa.
Kata gabung yang menunjukkan nama benda bentuknya sama dengan bahasa
Indonesia. Contohnya
aih Badak sungai Badak atu belah batu belah
bur Senubung gunung Senubung kampung Porang kampung Porang
Kata gabung yang mengandung makna memiliki, jenis, bagian dari, dan berasal
dari selalu ditambah dengan akhiran –ni,
tetapi kata gabung yang mengandung makna nama tidak harus. Kata gabung dalam bahasa Gayo yang mengandung
makna yang disebutlan di atas memiliki ciri yang mirip dengan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa juga membentuk kata gabung dengan menambahkan unsur e
dalam kata gabung, misalnya, rumah bapak à umohe
bapak
Contoh kata gabung yang mengandung makna
memiliki.
rumah bapak (rumak milik bapak) à
umahni
ama bukan umah ama
kebun kakek (kebun milik kakek) à
empusni
awan bukan empus awan
Contoh kata gabung yang mengandung arti bagian dari
gunung
(bagian dari kampung) Ketukah à burni Ketukah, tetapi jika ada
gunung yang dinamai dengan Ketukah,
bentuknya à
bur
Ketukah (nama gunung)
gunung (bagian dari kampung) Palok à
burni
Palok
gunung Palok (nama gunung) à
bur
Palok
Contoh kata gabung yang mengandung makna jenis
daun pisang (jenis tumbuhan pisang) à ulungni
awal
buah mangga (jenis tumbuhan mangga) à
uahni
rempelam
Contoh kata gabung yang mengandung makna berasal dari
sungai
(yang berasal dari) Akul à aihni Akul , tetapi sungai Akul (sebagai nama sungai) à
aih
Akul
sungai
(yang berasal dari) Bener à aihni Bener, tetapi sungai Bener
(sebagai nama) à aih Bener
Bentuk gabungan kata majemuk dalam
bahasa Gayo ada yang sama dengan bahasa Indonesia dan ada juga yang tidak. Di
bawah ini dapat dilihat beberapa contoh kata majemuk bahasa Gayo dengan
bentunya ada yang sama dengan bahasa Indonesia dan ada juga yang tidak.
anak
mata biji
mata (sama)
jema
tue orang tua (sama)
matani
aih mata
air (beda)
matani
lo matahari
(beda)
kalang
ilang elang
merah (sama)
parikni
ume parit
sawah (sama)
c.
Pola
berbahasa masyarakat Gayo
Pola berbahasa suatu masyarakat mungkin
saja mempunyai “keunikan” jika dibandingkan dengan pola berbahasa masyarakat
yang lain. Pola ini muncul dipengaruhi oleh berbagai aspek. Pola berbahasa ini
dapat dipengaruhi oleh kabiasaan lingkungan, keadaan ekonomi, tingkat
pendidikan, tradisi yang diturunkan, dan sebagainya. Alwasilah (2008: 87)
mengutip pendapat ahli, Benjamin Lee
Whorf, yang mengatakan ada tiga tesis tentang bahasa yakni (a) semua proses
berpikir itu dilakukan denga bahasa, (b) semua bahasa membentuk pandangan atas
realita dari penuturnya, dan (c) pandangan tentang realita yang dibentuk oleh
bahasa itu berbeda.
Jika diperhatikan tesis yang dikemukan
Whorf ini, dapat dipahami bahwa masyarakat berpikir dengan menggunakan bahasa,
bahasa itu membentuk pandangan (pola pikir) dan pola berpikir itu berbeda-beda.
Oleh karena itu, perbedaan pola pikir dan pola berbahasa masyarakat akan
berbeda pula. Dengan adanya pola pikir yang membentuk pandangan masyarakat,
sering terjadi pemilihan kata atau menggunaan kata berbeda dengan masyarakat
lain. Dalam kajian ini, penulis mengemukakan beberapa pola bahasa yang
berkaitan dengan pola pikir dan juga pandangan masyarakat Gayo.
a) Penamaan
orang dan tuturan
Penaman atau tuturan masyarakat Gayo
mempunyai ciri khas. Orang Gayo akan berubah panggilan jika berubah status.
Misalanya, seseorang laki-laki yang baru menikah panggilannya berubah menjadi aman
mayak dan wanita yang baru menikah panggilanya berubah menjadi inen
mayak. Kedua pengantin ini akan berubah lagi pangilannya jika sudah
memiliki anak. Misalnya, anak pertama mereka bernama Ridwan maka aman
mayak tadi berubah panggilannya menjadi aman Ridwan dan inen
mayak tadi berubah menjadi inen Ridwan dan juga bisa dipanggil aman
win dan inen win jika anak pertama mereka laki-laki dan akan dipanggil aman
ipak dan inen ipak jika anak pertama mereka perempuan.
Selain itu, Masyarakat Gayo merasa
“tidak baik atau tidak sopan” menyebut nama orang tua (keadaan tahun 60-an) dan
pantang kata lakun (ipar) dijadikan kata sapaan. Masyarakat Gayo merasa
tidak sopan menyebut nama orang tua (sekarang sudah berubah) sehingga pada masa
dahulu siswa sering berkelahi karena nama orang tuanya disebut oleh orang lain.
Kebiasaan seperti ini (mungkin) jarang ditemukan pada masyarakat lain. Jika
dikaji secara agama, tidak ada salahnya menyebut nama orang tua, dan juga
secara logika seharusnya anak merasa “bangga” jika nama orang tuanya disebut
orang karena orang tuanya dikenal orang lain. Jadi, mengapa hal ini terjadi
pada masyarakat Gayo? Jawabannya mungkin karena pola pikir ini yang
dikembangkan oleh orang tua pada masa dahulu.
Kata lakun (ipar) dalam bahasa Gayo ada,
tetapi penggunaannya tidak bisa dijadikan sebagai kata sapaan. Kata sapaan lakun memang ada dignakan oleh
masyarakat Gayo, tetapi digunakan bukan untuk lakun yang asli atau yang memiliki kaitan langsung. Artinya,
digunakan untuk kata spaan bercanda. Orang Gayo boleh mengatakan “ Hana emah ko laku?” (Apa yang kamu bawa
abang/adik ipar?). Jika ini yang digunakan, sudah dapat dipastikan bahwa lawan
tuturnya bukan ipar yang mempunyai kaitan keluarga (mungkin ini bercanda atau
sengaja mengolok-olok). Jika ungkapan ini yang digunakan dalam kontek tuturan
kepada ipar yang mempunyai hubungan keluarga, akan ada pihak yang merasa
tersinggung. Namun, jika ada orang sedang berdekatan dengan iparnya lalu ada
orang lain bertanya kepada dia siapa orang ini, penutur akan menjawab “Ini
lakunku” (ini iparku). Hal ini tidak masalah karena kata lakun dalam konteks ini tidak digunakan sebagai sapaan.
b) Pilihan
kata
Pemilihan kata tentang letak masih
dipengaruhi pola pikir orang dahulu. Orang tua dahulu sering menggunakan
kalimat “Mokot nge we minah ku lah ho”
(sudah lama dia pindah ke tengah sana). Makna yang terkandung dalam ungkapan
ini adalah orang yang sudah pindah dari daerah Gayo ke daerah lain (yang
kotanya lebih besar dan masyarakatnya maju). Namun, jika kita analisis kata “lah” (tengah), sebenarnya salah jika dimaksudkan pindah ke Medan atau Jakarta karena daerah
ini terletak di pinggir pantai dan di pinggir pulau. Oleh karena itu, kata lah mungkin dianggap sebagai ungkapan
yang menyatakan maju atau kota besar. Jika yang diamksud tengah, tentu ini pengaruh pola pikir masyarakat yang memposisikan
daerah Gayo sebagai daerah pinggir, padahah secara geografi daerah Gayo berada
di tengah/pedalaman pulau.
Selain itu, pemahaman tentang letak bumi
masih berbentuk tradisional sekali. Masyarakat Gayo dahulu masih belum mengenal
barat, timur, utara, dan selatan. Hal ini dibuktikan dengan bahasa yang
digunalkan tentang letah daerah adalah bur, paluh, uken, dan toa (gunung,
lembah, hulu, dan hilir). Dengan
demikian, jika masyarakat menyebut daerah
toa, ini bermakna daerah yang berada di hilir sungai dan belum bisa
dipastikan letaknya sebelah barat, timur, utara, dan selatan tempat pembicaraan
berada. Artinya, daerah toa mungkin saja terletak di sebelah barat, timur,
utara, dan selatan.
Hal lain yang menggunakan pilihan kata
yang salah adalah tentang bentuk langit dan bumi. Masyarakat Gayo memperkirakan
(dahulu) bahwa langit dan bumi luasnya sama. Hal ini dapat dibuktikan dari
ungkapan pepatah Gayo yang mengibaratkan dua benda atau orang yang persis sama. “Langit urum bumi, birah urum keladi, disne
we” (langit dan bumi, keladi hutan dan keladi, sama saja). Pengibaratan
ini tentu keliru karena langit dan bumi tidak sama (mungkin dipersepsikan bumi
ini datar). Jadi, pemilihan kata seperti ini berdasarkan cara pandang
masyarakat sehingga digambarkan dengan pilihan kata atau bahasa yang keliru.
Selain itu, ada pilihan kata yang keliru
juga yang sering digunakan masyarakat Gayo. Orang Gayo selalu menyebut langit ijo
dan yang tap tup (berdebar) uluni ateku (ulu hatiku, bukan
jantung). Jika diperhatikan secara teliti, langit berwarna biru bukan berwarna
hijau. Penggunaan kata hijau untuk warna langit bukan hanya digunakan oleh
masyarakat Gayo, melainkan juga digunakan oleh penutur bahasa lain, misalnya,
penutur bahasa Aceh. Walaupun sekarang kita sudah sama-sama mengetahui bahwa
warna langit biru, masyarakat Gayo dan mungkin beberapa bahasa yang
menggunkannya tidak mengubah warna hijau ini menjadi warna biru. Demikian juga
kata berdebar ulu hati keliru karena
yang berdebar adalah jantung, tetapi sampai kini pilihan kata maasyarakat Gayo
tidak berubah.
Inilah beberapa “keunikan” atau kekhasan
pola bahasa Gayo dan pola berbahasa masyarakat Gayo. Dari pola bahasa terdapat
perbedaan, walaupun tidak mencolok, dengan bahasa-bahasa yang ada di Aceh dan
juga dengan bahasa Indonesia. Pola bahasa dan pola berbahasa dalam bahasa Gayo
ini dapat digunakan untuk menelusuri asal usul masyarakat Gayo. Artinya,
bagaimana hubungannya dengan pola bahasa dan pola berbahasa masyarakat lain,
baik yang berdekatan secara geografis maupun yang jauh. Usaha untuk ini memang
harus dilakukan penelitian yang mendalam bahasa dari masyarakat lain sehingga
sejauh mana terjadi pola bahasa dan pola berbahasa yang sama.
Rujukan
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Azwardi. 2013. ”Gejala Gradasi Adjektiva dalam Bahasa Aceh”. Jurnal Master Bahsa,
Volume 1 nomor 2
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Keraf, Gorys. 1996. Tata Bahasa
Indonesia. Ende: Nusa Indah.
----------------- 1996. Linguistik
Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia
------------------ 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta:
Gramedia
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Lingistik. Jakarta: Gramedia
Ohoiwitun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam
Koneks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc
Tim Balai Bahasa Banda Aceh. 2011. Inilah Bahasa-Bahsa di Aceh. Balai
Bahasa Banda Aceh
Wiradnyana, Ketut. dan Taufikurrahman
Setiawan. 2011. Merangkai Identitas Gayo.
Jakarta: Pustaka Obor.
No comments:
Post a Comment