Subscribe di sini

Sunday, 24 January 2016

PENELUSURAN ASAL USUL MASYARAKAT GAYO DARI SEGI ILMU BAHASA


PENELUSURAN ASAL USUL MASYARAKAT GAYO
DARI SEGI ILMU BAHASA
oleh Rajab Bahry*
1.     Latar Belakang
Untuk mengetahui asal usul suatu benda, termasuk bangsa dan etnik, dapat dikatakan bukanlah perkara yang mudah, namun ada juga masyarakat yang mengatakan  bukan suatu hal yang sulit. Hal ini bergantung pada budaya masyarakat tersebut. Jika masyarakat sudah mempunyai budaya  baca tulis (literasi), perkara ini bukanlah hal yang sulit karena catatan-catatan (berupa prasasti dan juga buku) akan mudah didapat sehingga terabadikan sepanjang sejarah. Akan tetapi, masalah ini mungkin akan menjadi pelik jika masyarakat belum berbudaya literasi karena (cerita asal usul) hanya disampaikan dari mulut ke mulut (dalam bahasa Gayo kené bekené) sehingga informasi mungkin menjadi putus, mungkin keliru, dan mungkin juga berupa dongeng. Sebagai contoh, penulis pernah mendengar cerita sewaktu kecil bahwa asal kata “gayo” berasal dari penemuan seekor “kepiting besar” dekat kampung Porang, yang oleh bahasa tertentu (menurut cerita bahasa Karo) kepiting itu disebut “gayo”. Orang yang melihat  “kepiting besar” ini kaget (mungkin karena ukurannya luar biasa) sehingga dia menyebut “gayo, gayo, gayo”. Sejak itu daerah sekitarnya disebut Gayo. Secara logika kejadian ini “bisa ditermia” karena setelah dibentuk kemukiman, daerah ini disebut juga namanya “Kemukiman Blang Pegayon” dan setelah dibentuk kecamatan masih bernama “Kecamatan Blang Pegayon” sampai saat ini. Apakah ini fakta atau dongeng? Kita belum tahu karena data tertulis belum ada.
Kegiatan menelusuri  asal usul suatu suku atau masyarakat pada zaman modern ini sudah dapat dilakukan dengan berbagai cara, walaupun keabsahan hasilnya masih berupa “dapat diduga”.  Akan tetapi, kita tidak perlu risau karena kebenaran ilmiah memang tidak mutlak. Artinya, kebenaran  ilmiah mungkin saja pada suatu saat dianggap benar, namun jika ditemukan data yang pada masa selanjutnya, kebenaran ilmiah itu akan tergantikan dengan data yang terbaru.
Uraian dalam makalah ini hanya menyoroti kemungkinan asal usul etnik Gayo dari segi bahasa. Fokus yang dikaji adalah kekerabatan bahasa Gayo dengan bahasa yang ada di Aceh, pola bahasa, dan pola berbahasa masyarakat Gayo. Kajian ini memang tidak dapat dengan tegas menentukan dari mana asal usul etnik Gayo. Akan tetapi, kajian ini paling kurang memberi gambaran beberapa aspek bahasa atau penggunaan bahasa Gayo sehingga bisa dilihat hubungannya dengan gambaran aspek bahasa dan penggunaan bahasa lain. Artinya, kecenderungan dalam aspek bahasa dan dalam penggunaan bahasa Gayo bisa menjadi salah satu alat menelusuri kemungkinan asal usul etnik Gayo.

2.     Permasalahan
Pemerintah daerah yang berpenduduk etnik Gayo sekarang ini berusaha menggali asal usul etnik Gayo. Hal ini merupakan kegiatan yang tergolong “sulit” karena budaya literasi belum berkembang di daerah Gayo pada masa dahulu. Masyarakat Gayo dahulu (sebelum Belanda datang sekitar 1908) masih belum berbudaya literasi karena memang pendidikan pada masa itu belum berjalan secara formal.
Penelusuran suatu etnik melalui bahasa tentu bukan suatu hal yang aneh karena semua masyarakat menggunakan bahasa. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penyebaran suku dari suatu daerah ke daerah lain tentu akan menggunakan bahasa asal mereka. Akan tetapi, jika penyebaran ini sudah berlangsung dalam waktu yang lama, kemungkinan perubahan bahasa bukan suatu yang mustahil. Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan bahasa dari bahasa awal mungkin saja akan semakin jauh dan mungkin saja akan terjadi perubahan pada pola bahasa dan juga pada pola berbahasa masyarakat tersebut.
            Dalam kajian linguistik bandingan, aspek yang paling sering dijadikan objek analisis, mungkin juga hal yang paling utama, adalah aspek kosakata. Kosakata yang dibandingkan adalah kosakata dasar Swadesh yang berjumlah 200 kata.  Dengan menggunakan metode leksikostatistik, para ahli dapat membuat pengelompokkan apakah suatu bahasa merupakan bagian dari bahasa lain atau merupakan bahasa terpisah dari satu bahasa. Para ahli lingustik bandingan mengatakan bahwa kesamaan kosakata dasar  antara dua bahasa sebesar 81 – 100 % berarti kedua bahasa itu bahasa yang sama (Keraf, 1996: 135). Oleh karena itu, untuk mengetahui asal usul etnik Gayo, perlu dilihat persamaan kosakata dasar bahasa Gayo dengan kosakata dasar semua bahasa yang ada di Aceh.
      Masalah bahasa yang akan dibahas dalam makalah ini ada tiga, yakni kekerabatan bahasa Gayo dengan bahasa-bahasa yang ada di Aceh; pola bahasa dalam bahasa Gayo; dan pola berbahasa masyarakat Gayo. Pertama, kekerabatan bahasa Gayo (kosakata dasar) dengan bahasa-bahasa di Aceh perlu dibahas karena dalam mencari asal usul (bahasa dan tentunya berkaitan dengan suku) harus dibandingkan terlebih dahulu dengan bahasa yang berdekatan secara geografis. Artinya, perbandingan kosakata bahasa Gayo dengan bahasa sekitar mungkin dapat merupakan indikasi bahwa kemungkinan besar etnik yang kedekatan secara geografis ini memiliki asal usul yang sama. Kedua, pengkajian pola bahasa juga perlu diperhatikan karena persamaan pola bahasa mungkin saja terjadi karena bahasa tersebut mempunyai asal yang saman. Ketiga, kesamaan pola berbahasa masyarakat juga dapat menjadi indikasi bahwa masyarakat tersebut sebenarnya adalah bagian dari masyarakat yang lain dan mereka hanya berpisah karena letak geografis saja. Artinya, perbandingan antara pola bahasa dan pola berbahasa masyarakat Gayo dan pola bahasa dan pola berbahasa masyarakat lain di Aceh akan menjadi petunjuk untuk mengetahui asal usul masyarakat Gayo.
           
3.     Pembahasan
Untuk mengetahui asal usul satu suku atau masyarakat banyak aspek yang harus dikaji. Salah satu yang paling mudah adalah catatan sejarah yang sudah terdokumentasi secara benar. Akan tetapi,  catatan sejarah ini bisa ada jika masyarakat tersebut sudah mempunyai budaya tulis baca sehingga apa saja yang terjadi dengan mudah dicatat. Sebagai contoh, pelaut dari Eropah dapat dengan mudah menceritakan kisah perjalanan mereka ke tempat tertentu karena mereka selalu mencatat tempat, waktu, dan kejadian yang mereka alami. Hal ini dapat dibuktikan dari catatan Marcopolo (sekitar 1292) bahwa Saman (salah satu kesenian masyarakat Gayo) sudah ada pada waktu dia singgah di Kerajaan Perlak.  Artinya, jauh sebelum Marcopolo singgah di Perlak, suku Gayo telah ada karena mereka sudah bermasyarakat dan sudah mempunyai kesenian Saman.
Jika catatan sejarah dari satu suku tidak dapat ditemukan secara pasti, masih banyak faktor lain yang “dapat” memberi petunjuk untuk mengetahuinya. Sekarang sudah banyak cabang ilmu yang mampu mengetahui kejadian-kejadian yang lalu. Bidang-bidang tersebut misalnya arkeologi, filologi, antropologi, sosiologi, sastra, bahasa, lukisan, pola pikir, budaya,  kebiasaan, pola hidup, perawakan, dll. Kajian arkeologi, misalnya, dapat menguji secara ilmiah penemuan fosil dan berbagai benda purba untuk mengetahui keberadaan masyarakat, termasuk asal usul suatu etnik. Kajian aerkologi tentang suku Gayo yang terbaru adalah tentang kebudayaan manusia di Loyang Mendale dan sekitarnya yang dilakukan oleh tim Balai Arkeologi Medan.
Salah satu bidang yang tidak pernah lepas dengan manusia adalah bahasa. Artinya, setiap masyarakat pasti mempunyai dan menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan oleh etnik tertentu mungkin juga mempunyai hubungan dengan bahasa etnik lain. Hubungan yang terjadi bisa saja berbagai aspek kebahasaan misalnya kosakata, fonologi, morfologi, dan bisa juga aspek pola berbahasa. Selain itu, dalam bidang bahasa ada juga kajian filologi, yaitu ilmu yang mempelajari bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan tertulis (Kridalaksana, 1983: 43). Dengan demikian, kajian bahasa juga mempunyai peranan yang penting  dalam menelusuri  asal usul suatu suku. 
Namun demikian, perlu juga diketahui bahwa dalam perkembangan bahasa ada konsep monogenesis dan poligenesis (Ohoiwutun, 2007: 17-18). Pandangan monogenetis menyatakan bahwa semua bahasa kuno dan bahasa modern tumbuh dan berkembang dari hanya satu proto bahasa. Sementara, pandangan poligenesis beranggapan bahwa bahasa itu muncul secara spontan di berbagai tempat di bumi ini. Dalam pembahasan ini tidak secara ekstrim cenderung pada suatu pandangan pandangan yang telah disebutkan di atas karena kedua konsep ini mungkin saja bisa terjadi. Akan tetapi, tujuan pembahasan ini untuk menelusuri asal usul etnik Gayo maka konsep bahasa yang mempunyai asal dari rumpun yang lebih besar tentu akan lebih baik digunakan.
Jika membahas asal usul suatu etnik, masalah migrasi harus disinggung karena secara alami penduduk selalu berpindah dengan berbagai alasan. Migrasi itu mungkin karena faktor keamanan, ekonomi, lingkungan, dan berbagai situasi yang dialami. Selain itu, jika dikaitkan dengan kejadian manusia dari seorang Adam dan Hawa yang betempat tinggal di Arab, tentu harus ada migrasi yang berlangsung lama sehingga penyebaran manusia sampai ke Indonesia, dan di dalamnya termasuk etnik Gayo.
Wiradnyana  (2011: 79) mengatakan bahwa migrasi atas dasar budaya pada masa prasejarah ke Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode besar, yaitu Periode Paleolitik, Periode Masolitik, dan Periode Neolitik. Migrasi pada periode awal (paleolitik) ini dapat ditemukan fosilnya di Indonesia dan umurnya lebih tua dibandingkan dengan fosil yang ditemukan di Cina dan di Afrika Selatan. Peneliti ini menyebutkan bahwa umur fosil yang ditemukan di Jawa Tengah berumur sekitar 800.000 SM. Ini menandakan bahwa migrasi sudah terjadi sejak lama di Indonesia. Dengan demikian, dapat diyakini pula bahwa migrasi pada masa itu sudah juga melibatkan migrasi bahasa beserta aspek kehidupan yang lain. 
Secara logika, migrasi ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama sehingga sangat mungkin bahasa awal yang digunakan dan juga aspek yang lain perlahan-lahan akan mengalami perubahan dan mungkin saja perubahannya menjadi ekstrim. Perubahan-perubahan yang ektrim (yang dipengaruhi oleh berbagai aspek) mungkin saja membentuk sesuatu yang baru sehingga “warna dasar” berbagai aspek pun akan berubah.  Wiradnyana  (2011: 80) mengatakan bahwa  dalam perpindahan penduduk atau migrasi terjadi adaptasi terhadap alam sehingga terjadi pecampuran manusia. Kondisi ini tidak hanya dibuktikan dari ras manusia, melainkan juga dari aspek bahasa, teknologi, religi, dan aspek budaya. Dengan demikian, migrasi yang terjadi akan berpengaruh pada berbagai perkembangan dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan uraian di atas, analisis bahasa tidak diragukan lagi dalam penelusuran asal usul sebuah etnik. Alasannya adalah bahasa yang digunakan oleh orang terdahulu kemungkinan besar masih mempunyai kaitan dengan bahasa yang digunakan masyarakat sekarang, sekalipun kaitan itu kadang-kadang sudah sedikit. Dalam uraian di bawah ini, akan dijelaskan data-data tentang kekerabatan bahasa Gayo dengan bahasa-bahasa lainnya di Aceh, pola bahasa Gayo, dan pola berbahasa masyarakat Gayo.

a.      Kekerabatan bahasa
Untuk mengetahui kekerabatan (dalam istilah penelitian digunakan istilah pemetaan bahasa) satu bahasa  dengan bahasa lain sejak dulu sudah menjadi perhatian para ahli bahasa. Salah satu manfaat yang diperoleh dari pengkajian kekerabatan bahasa adalah untuk mengetahui apakah bahasa mempunyai kesamaan asal ususl atau mungkin saja bangsa itu berasal dari sumber yang sama. Keraf (1990: ix - x) mengatakan bahwa
Melalui perbandingan historis, dapat ditunjukkan adanya kesamaan asal usul bangsa-bangsa, dapat diperlihatkan bahwa masyarakat dunia yang dewasa ini terpisah oleh gunung dan lautan, sebenarnya diturunkan dari nenek moyang yang sama. Bila ada dua masyarakat yang sama atau lebih memiliki keteraturan bentuk makna yang bersifat lintas bahasa dan keteraturan  itu dalam jumlah yang cukup banyak, hal itu membuktikan bahwa mereka berasal dari sumber penyebaran yang sama.
Dari pernyataan yang disampaikan di atas, terlihat bahwa kekerabatan bahasa ini menjadi petunjuk bahwa ada hubungan antara satu bahasa dengan bahasa lain karena adanya saling pengaruh atau juga mempunyai asal usul yang sama. Selain itu, dalam kutipan tersebut dinyatakan bahwa bahasa yang banyak mempunyai bentuk serta makna yang sama dengan bahasa lain dipandang mereka berasal dari penyebaran yang sama. Dalam konteks ini jelas menunjukkan bahwa penduduk yang menggunakan bahasa yang mempunyai persamaan yang banyak berarti mereka berasal dari satu etnik. 
Pengkajian kekerabatan bahasa ini memang sangat penting karena hasilnya akan menjadi pedoman yang ilmiah dalam pengelompokan bahasa. menetukan apakah suatu “bahasa” yang telah dikalim oleh masyarakat tertentu merupakan suatu bahasa atau masih merupakan bagian dari bahasa lain.  Contoh dalam kasus ini ada  di Provinsi Aceh. Di Aceh ada bahasa Alas, Kluet, Singkil, Haloban, dan Julu. Dalam penelitian pemetaan bahasa yang dilakukan di Indonesia (termasuk data dari Aceh), kelima bahasa ini hanya mempunyai perbedaan yang sedikit dengan bahasa Batak. Oleh karena itu, berdasarkan analisis leksikostatistik dengan data kosakata dasar Swadesh, kelima bahasa ini digabungkan pada induknya yaitu bahasa Batak.
Dalam penelitian kekerabatan bahasa (pemetaan bahasa), hal paling utama dijadikan kajian adalah kosakata. Kosakata yang digunakan adalah kosakata dasar Swadesh yang berjumlah 200 kata. Setiap kosakata dasar ini dibandingkan bentuk, makna dan juga bunyinya, termasuk perubahan-perubahan bunyi dengan seluruh bahasa daerah yang ada di Aceh. Persentase yang dinilai adalah persamaan leksikon dan fonologi.
Penelitian pemetaan bahasa yang dilakukan di Indonesia oleh Pusat Bahasa (kini bernama Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) telah memberi gambaran tentang bahasa daerah di seluruh Indonesia. Data yang digunakan sebenarnya telah lama dikumpulkan dan dipimpin oleh Gorys Keraf dari Universitas Indonesia. Akan tetapi data yang telah terkumpul itu belum sempat diolah oleh tim peneliti di Pusat Bahasa. Akhirnya, pada tahun 2006 data ini diolah kembali oleh Pusat Bahasa dengan sistem membagi data pada masing-masing Balai Bahasa/Kantor Bahasa di seluruh Indonesia.

TABEL 1: KEKERABATAN BAHASA DI ACEH
TABEL LEKSIKOSTATISTIK




Minang
40%





Gayo
31%
32%




Jawa
30%
39%
31%



Batak
29%
34%
33%
29%


Sigulai
24%
23%
21%
19%
19%

Devayan
20%
20%
19%
16%
17%
30%

Aceh
Minang
Gayo
Jawa
Batak
Sigulai
(Team Balai Bahasa Banda Aceh, 2011: 37)
TABEL 2: KLASIFIKASI BAHASA
TINGKAT  BAHASA
WAKTU PISAH
DALAM ABAD
PERSENTASE  KATA
BERKERABAT
Bahasa  (Language)
0 – 5
100 – 81
Keluarga (Family)
5 – 25
81 – 36
Rumpun (Stock)
25 – 50
36 – 12
Mikrofilum
50 – 75
12 – 4
Mesofilum
75 – 100
4 – 1
Makrofilum
100 – ke atas
1 - <1
(Keraf, 1996: 135)
Balai bahasa Banda Aceh juga mendapat tugas menganalis data yang sudah ada dan juga menambah titik pengamatan di beberapa daerah. Analisis data dilakukan dengan metode leksikostatistik, yakni teknik dalam pengelompokan bahasa yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara statistik, untuk kemudian menetapkan pengelompokan itu berdasarkan persentase kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain (Keraf, 1996: 21). Penganalisisan data ini dilakukan mulai tahun 2006 – 2008. Setelah digabungkan hasil analisis seluruh Balai Bahasa, hasilnya disampaikan secara sewaktu Kongres Bahasa Indonesia Oktober 2008.
Hubungan  kekerabatan bahasa daerah di Aceh dapat dilihat pada tabel satu. Hasil yang ditampilkan  ini merupakan hasil analisis Balai Bahasa Banda Aceh berdasarkan data penelitian nasional yang dilakukan Pusat Bahasa dan juga sudah dengan penambahan daerah pengamatan (DP) dari beberapa daerah. Pada tabel ini terlihat hubungan kekerabatan bahasa Gayo dengan enam bahasa daerah yang terdapat di Aceh sangat renggang. Hubungan ini dikatakan renggang karena persentase kekerabatan yang dapat dikelompokkan ke dalam suatu bahasa adalah 81 - 1–0%. Sementara hubungan  persentase kekerabatan bahasa Gayo dengan bahasa daerah berkisar antara 19 – 33%. Persentase tertinggi hanya 33% yaitu kekerabatan dengan bahasa Batak dan persentase kekerabatan yang terkecil 19% yaitu dengan bahasa Devayan.
Penelitian kekerabatan bahasa daerah ini menggunakan kosakata dasar Swadesh dan belum pernah meggunakan Daftar Holle (Holle List), yaitu daftar  yang diterbitkan pada tahun 1931 yang berjumlah 1.486 kata dan 60 kalimat singkat (Keraf, 1996: 120). Jika nanti diadakan penelitian dengan daftar ini, persentase kekerabatan ini mungkin saja berbeda. Akan tetapi, penelitian yang pernah dilakukan ini dapat digunakan sementara untuk mengetahui kekerabatan antarbahasa yang ada di Aceh.
Dari data yang telah dilihat pada tabel satu di atas, ada indikasi bahwa bahasa Gayo mempunyai hubungan yang renggang dengan bahasa-bahasa yang ada di Aceh. Jika dilihat pada tabel dua (tentang klasifikasi bahasa), bahasa Gayo hanya mempunyai hubungan rumpun (stok) dengan bahasa-bahasa di Aceh. Hubungan rumpun ini mempunyai waktu pisah antara 25 – 50 abad. Dari data tabel satu dan konsep klasifikasi bahasa, dapat diduga  bahwa bahasa Gayo mempunyai hubungan yang renggang dengan bahasa di Aceh dan mengindikasikan pula bahwa etnik Gayo “tidak seasal” dengan etnik yang ada di Aceh.
Kesimpulan ini hanya berdasarkan tinjauan penelitian kekerabatan bahasa. Akan tetapi, untuk menentukan asal usul suatu etnik tidak cukup hanya dari  tinjauan kekerabatan bahasa saja karena aspek lain juga harus ada. Dalam bahasa sendiri sering terjadi perubahan sehingga membentuk bahasa baru yang “mungkin” jauh berbeda dengan bahasa asal, seperti yang diungkapkan ahli sosiolinguistik di bawah ini.

Apabila suatu bahasa mengalami perubahan penting baik dalam kosakata maupun dalam bunyi dan struktur, seluruh bahasa tersebut dapat berubah menjadi bahasa lain. Selain itu, perkembangan bahasa dapat pula terjadi bila suatu dialek minor tumbuh menjadi lebih dominan dan putus hubungan dengan dari dialek lainnya sehingga mungkin saja dialek itu tidak lagi dipahami oleh dialek lain Ohoiwutun (2007: 19).
Dari pendapat ini, harus dipahami bahwa dalam satu bahasa mungkin juga terjadi perubahan sehingga membentuk bahasa yang baru. Oleh karena itu, untuk mengetahui asal usul etnik Gayo, data bahasa ini harus digabung kembali dengan data lain, misalnya data sejarah, data arkeologi, data sosiologi, data filologi, dll., agar keakuratannya dapat dipertanggungjabkan secara ilmiah.
b.      Pola bahasa Gayo
Dalam konsep linguistik dikatakan bahwa setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya (Chaer, 2003: 51). Konsep ini menyatakan bahwa keunikan itu memang benar-benar tidak terdapat dalam bahasa lain atau bisa saja ada dalam aspek tertentu dalam suatu bahasa  yang tidak dimiliki bahasa lain.  Selanjutnya,  Chaer mengatakan bahwa kalau keunikan yang terjadi pada sekelompok bahasa yang berada dalam satu rumpun atau satu kelompok bahasa, lebih baik jangan disebut keunikan, melainkan ciri dari rumpun atau golongan bahasa itu (Chaer, 2003: 52).
Pada pembahasan ini, akan diuraikan beberapa pola bahasa yang ada dalam bahasa Gayo. Pola yang akan dibahas ada dua, yakni pola gradasi adjevtiva dan pola pembentukan kata gabung. Pola ini belum bisa dikatakan keunikan (sesuai dengan konsep keunikan yang dikemukakan Chaer di atas), tetapi ciri rumpun bahasa Gayo atau keunikan bagian aspek dalam bahasa Gayo. Yang penulis maksud keunikan bagian aspek adalah keunikan yang mungkin juga ada dalam bahasa lain, tetapi ada hal yang sangat khusus yang ada pada bahasa Gayo dan tidak ada dalam bahasa lain. Contoh, adjektiva dalam bahasa Indonesia ada gradasi dan dalam bahasa Gayo juga ada, namun  bentuk gradasinya berbeda. Bentuk gradasi adjektiva baik dalam bahasa  Indonesia adalah baik à bertambah baik à lebih baik à dan paling baik/terbaik. Bentuk gradasi adjektiva baik (jeroh) dalam bahasa Gayo adalah jeroh à mujeroh/mutamah jeroh à jerohan/lebih jeroh à pejeroh/paling jeroh. Keunikannya jelas bahawa dalam bahasa Indonesia hanya pada tingkatan paling baik dapat dibentuk dengan satu kata. Sementara itu, dalam bahasa Gayo pada setiap tingkatan dapat dibentuk dalam satu kata.
a)      Pola gradasi adjektiva
Gradasi atau derajat adjektiva adalah pola yang memperlihatkan ketidakteraturan yang makin meningkat pada batas kelas kata (Azwardi, 2011). Dalam pemakaiannya, adjektiva mempunyai tingkat yaitu biasa, tingkat lebih, tingkat paling, dan tingkat elatif (Keraf, 1996: 66).  Hampir setiap bahasa mempunyai gradasi adjektiva, namum jika diperhatikan secara detail, terdapat perbedaan gradasi adjektiva antara satu bahasa dan bahasa lain. Demikian juga halnya terdapat perbedaan antara gradasi adjektiva bahasa Gayo dan bahasa lain.
Tabel 3: Pola Gradasi Adjektiva Bahasa Gayo
jeroh
tamah jeroh/
mujeroh
lebih jeroh/
jerohan
paling jeroh/
pejeroh
ilang
tamah ilang/
muilang
lebih ilang/
ilangan
paling ilang/
perilang
dekat
tamah dekat/
mudekat
lebih dekat/
dekatan
paling dekat/
pedekat
relem
tamah relem/
murelem
lebih relem/
relemen
paling relem/
perelem

Tabel 4: Pola Gradasi Adjektiva Bahasa Indonesia
bagus
tambah bagus
lebih bagus
paling  bagus/terbagus
merah
tambah merah
lebih merah
paling merah/termerah
dekat
tambah dekat
lebih dekat
paling dekat/terdekat
dalam
tambah dalam
lebih dalam
paling dalam/terdalam

Tabel 5: Pola Gradasi Adjektiva Bahasa Aceh
Jroh
meutamah jroh
lebéh jroh
jroh that
mirah
meutamah mirah
lebéh mirah
mirah that
Rab
meutamah rab
lebéh rab
rab that
lhok
meutamah lhok
lebéh lhok
lhok that

Tabel 6: Pola Gradasi Adjektiva Bahasa Alas
mejilé
tambah mejilé
lebih mejilé /mejilénen
paling jilé/
pejilé
mugaRe
tambah mugaRe
lebih mugaRe/
mugaRen
paling mugaRe/
pemugaRe
dohoR
tambah dohoR
lebih dohoR/
dohoRen
paling dohoR/
pedohoR
bagas
tamabah bagas
lebih bagas/
bagasen
paling bagas/
pebagas

Pola gradasi adjektiva bahasa Gayo mempunyai “keunikan” jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia dan juga dengan bahasa daerah lain di Aceh. Coba perhatikan gadasi adjektiva bahasa Gayo, bahasa Indonesia, bahasa Aceh, dan bahasa Alas di atas. Gradasi adjektiva ini mempunyai tingkat positif, bertambah (tidak ada dalam gradasi Keraf), lebih, dan paling.  Gradasi adjektiva pada semua tingkat, kecuali tingkat positif, dalam bahasa Indonesia selalu berbentuk dua kata, kecuali pada tingkat paling (lihat tabel 4). Sementara itu, gradasi adjektiva bahasa Gayo pada semua tingkatnya bisa dibentuk dalam satu kata (lihat tabel 3) dan juga bisa dibentuk menjadi dua kata. Kata jeroh pada tingkat bertambah dapat dibentuk menjadi tamah jeroh dan mujeroh, pada tingkat lebih dapat dibentuk menjadi lebih jeroh dan jerohan, dan pada tingkat paling dapat dibentuk menjadi paling jeroh dan pejeroh. Gradasi adjektiva bahasa Aceh juga dibentuk dua kata dan sama dengan pola pembentukan gradasi adjektiva bahasa Indonesia.
Gradasi adjektiva bahasa Gayo hampir mirip dengan gradasi bahasa Alas, hanya pada tingkat bertambah tidak bisa dibentuk dalam satu kata (bandingkan tabel 3 dan tabel 6). Gradasi adjektiva bahasa Alas pada tingkat bertambah pada kata mejilé harus dibentuk menjadi tambah mejilé dan tidak bisa dibentuk satu kata, sementara dalam bahasa Gayo bisa dibentuk dua kata, misalnya, kata jeroh dapat dibentuk menjadi mujeroh dan tamah jeroh (pada tingkat bertambah). Jadi, gradasi adjektiva bahasa Gayo hampir mirip dengan gradasi adjektiva bahasa Alas, tetapi ada tingkatan tertentu yang berbeda.
Data pola gradasi adjektiva bahasa Gayo ini menunjukkan salah satu “keunikan” bahasa Gayo dibandingkan dengan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah lainnya. Data ini juga akan dapat dijadikan rujukan dalam penelusuran asal usul etnik Gayo. Artinya, keunikan pola gradasai adjektiva ini memberi sinyal bahwa salah satu aspek bahasa berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya di daerah Aceh.

b)      Pola kata gabung
Kata gabung yang dimaksud di sini adalah gabungan dua kata yang membentuk satu kesatuan arti (Keraf, 1996: 124) dan juga gabungan kata yang mengandung makna milik, jenis, bagian dari, dan berasal dari. Kata gabung bahasa Gayo, yang dalam bahasa Indonesia dinamakan kata majemuk, bentuknya ada yang sama dengan bahasa Indonesia dan ada juga yang tidak. Oleh karena itu, kata gabung yang dimaksudkan di sini kadang-kadang bisa juga disamakan dengan kata majemuk dalam bahasa Indonesia dan mungkin juga tidak karena hanya dalam bentuk berupa frasa.  Kata gabung yang menunjukkan nama benda bentuknya sama dengan bahasa Indonesia. Contohnya
aih Badak                   sungai Badak                atu belah                    batu belah
bur Senubung                        gunung Senubung          kampung Porang       kampung Porang          
Kata gabung yang mengandung makna memiliki, jenis, bagian dari, dan berasal dari selalu ditambah dengan akhiran –ni, tetapi kata gabung yang mengandung makna nama tidak harus.  Kata gabung dalam bahasa Gayo yang mengandung makna yang disebutlan di atas memiliki ciri yang mirip dengan bahasa Jawa. Bahasa Jawa juga membentuk kata gabung dengan menambahkan unsur e dalam kata gabung, misalnya, rumah bapak à umohe bapak
Contoh kata gabung yang mengandung makna memiliki.
rumah bapak (rumak milik bapak) à umahni ama bukan umah ama             
kebun kakek (kebun milik kakek) à empusni awan bukan empus awan
Contoh kata gabung yang mengandung arti bagian dari
gunung (bagian dari kampung) Ketukah à burni Ketukah, tetapi jika ada gunung yang dinamai dengan Ketukah, bentuknya à bur Ketukah (nama gunung)
gunung (bagian dari kampung) Palok à burni Palok
gunung Palok (nama gunung) à bur Palok
Contoh kata gabung yang mengandung makna jenis
daun pisang (jenis tumbuhan  pisang) à ulungni awal
buah mangga (jenis tumbuhan mangga) à uahni rempelam    
Contoh kata gabung yang mengandung makna berasal dari
sungai (yang berasal dari) Akul à aihni Akul , tetapi sungai Akul (sebagai nama sungai) à aih Akul
sungai (yang berasal dari) Bener à aihni Bener, tetapi sungai Bener (sebagai nama) à aih Bener
Bentuk gabungan kata majemuk dalam bahasa Gayo ada yang sama dengan bahasa Indonesia dan ada juga yang tidak. Di bawah ini dapat dilihat beberapa contoh kata majemuk bahasa Gayo dengan bentunya ada yang sama dengan bahasa Indonesia dan ada juga yang tidak. 
anak mata                         biji mata (sama)
jema tue                            orang tua (sama)
matani aih                                    mata air (beda)
matani lo                          matahari (beda)
kalang ilang                     elang merah (sama)
parikni ume                      parit sawah (sama)
           
c.       Pola berbahasa masyarakat Gayo
Pola berbahasa suatu masyarakat mungkin saja mempunyai “keunikan” jika dibandingkan dengan pola berbahasa masyarakat yang lain. Pola ini muncul dipengaruhi oleh berbagai aspek. Pola berbahasa ini dapat dipengaruhi oleh kabiasaan lingkungan, keadaan ekonomi, tingkat pendidikan, tradisi yang diturunkan, dan sebagainya. Alwasilah (2008: 87) mengutip pendapat ahli,  Benjamin Lee Whorf, yang mengatakan ada tiga tesis tentang bahasa yakni (a) semua proses berpikir itu dilakukan denga bahasa, (b) semua bahasa membentuk pandangan atas realita dari penuturnya, dan (c) pandangan tentang realita yang dibentuk oleh bahasa itu berbeda.
Jika diperhatikan tesis yang dikemukan Whorf ini, dapat dipahami bahwa masyarakat berpikir dengan menggunakan bahasa, bahasa itu membentuk pandangan (pola pikir) dan pola berpikir itu berbeda-beda. Oleh karena itu, perbedaan pola pikir dan pola berbahasa masyarakat akan berbeda pula. Dengan adanya pola pikir yang membentuk pandangan masyarakat, sering terjadi pemilihan kata atau menggunaan kata berbeda dengan masyarakat lain. Dalam kajian ini, penulis mengemukakan beberapa pola bahasa yang berkaitan dengan pola pikir dan juga pandangan masyarakat Gayo.
a)      Penamaan orang dan tuturan
Penaman atau tuturan masyarakat Gayo mempunyai ciri khas. Orang Gayo akan berubah panggilan jika berubah status. Misalanya, seseorang laki-laki yang baru menikah panggilannya berubah menjadi aman mayak dan wanita yang baru menikah panggilanya berubah menjadi inen mayak. Kedua pengantin ini akan berubah lagi pangilannya jika sudah memiliki anak. Misalnya, anak pertama mereka bernama Ridwan maka aman mayak tadi berubah panggilannya menjadi aman Ridwan dan inen mayak tadi berubah menjadi inen Ridwan dan juga bisa dipanggil aman win dan inen win jika anak pertama mereka laki-laki dan akan dipanggil aman ipak dan inen ipak jika anak pertama mereka perempuan.
Selain itu, Masyarakat Gayo merasa “tidak baik atau tidak sopan” menyebut nama orang tua (keadaan tahun 60-an) dan pantang kata lakun (ipar) dijadikan kata sapaan. Masyarakat Gayo merasa tidak sopan menyebut nama orang tua (sekarang sudah berubah) sehingga pada masa dahulu siswa sering berkelahi karena nama orang tuanya disebut oleh orang lain. Kebiasaan seperti ini (mungkin) jarang ditemukan pada masyarakat lain. Jika dikaji secara agama, tidak ada salahnya menyebut nama orang tua, dan juga secara logika seharusnya anak merasa “bangga” jika nama orang tuanya disebut orang karena orang tuanya dikenal orang lain. Jadi, mengapa hal ini terjadi pada masyarakat Gayo? Jawabannya mungkin karena pola pikir ini yang dikembangkan oleh orang tua pada masa dahulu.
Kata lakun (ipar) dalam bahasa Gayo ada, tetapi penggunaannya tidak bisa dijadikan sebagai kata sapaan. Kata sapaan lakun memang ada dignakan oleh masyarakat Gayo, tetapi digunakan bukan untuk lakun yang asli atau yang memiliki kaitan langsung. Artinya, digunakan untuk kata spaan bercanda. Orang Gayo boleh mengatakan “ Hana emah ko laku?” (Apa yang kamu bawa abang/adik ipar?). Jika ini yang digunakan, sudah dapat dipastikan bahwa lawan tuturnya bukan ipar yang mempunyai kaitan keluarga (mungkin ini bercanda atau sengaja mengolok-olok). Jika ungkapan ini yang digunakan dalam kontek tuturan kepada ipar yang mempunyai hubungan keluarga, akan ada pihak yang merasa tersinggung. Namun, jika ada orang sedang berdekatan dengan iparnya lalu ada orang lain bertanya kepada dia siapa orang ini, penutur akan menjawab “Ini lakunku” (ini iparku). Hal ini tidak masalah karena kata lakun dalam konteks ini tidak digunakan sebagai sapaan.
b)      Pilihan kata
Pemilihan kata tentang letak masih dipengaruhi pola pikir orang dahulu. Orang tua dahulu sering menggunakan kalimat “Mokot nge we minah ku lah ho” (sudah lama dia pindah ke tengah sana). Makna yang terkandung dalam ungkapan ini adalah orang yang sudah pindah dari daerah Gayo ke daerah lain (yang kotanya lebih besar dan masyarakatnya maju). Namun,  jika kita analisis kata “lah” (tengah), sebenarnya salah jika dimaksudkan  pindah ke Medan atau Jakarta karena daerah ini terletak di pinggir pantai dan di pinggir pulau. Oleh karena itu, kata lah mungkin dianggap sebagai ungkapan yang menyatakan maju atau kota besar. Jika yang diamksud tengah, tentu ini pengaruh pola pikir masyarakat yang memposisikan daerah Gayo sebagai daerah pinggir, padahah secara geografi daerah Gayo berada di tengah/pedalaman pulau.
Selain itu, pemahaman tentang letak bumi masih berbentuk tradisional sekali. Masyarakat Gayo dahulu masih belum mengenal barat, timur, utara, dan selatan. Hal ini dibuktikan dengan bahasa yang digunalkan tentang letah daerah adalah bur, paluh, uken, dan toa (gunung, lembah, hulu, dan hilir).  Dengan demikian, jika masyarakat menyebut daerah toa, ini bermakna daerah yang berada di hilir sungai dan belum bisa dipastikan letaknya sebelah barat, timur, utara, dan selatan tempat pembicaraan berada. Artinya, daerah toa mungkin saja terletak di sebelah barat, timur, utara, dan selatan. 
Hal lain yang menggunakan pilihan kata yang salah adalah tentang bentuk langit dan bumi. Masyarakat Gayo memperkirakan (dahulu) bahwa langit dan bumi luasnya sama. Hal ini dapat dibuktikan dari ungkapan pepatah Gayo yang mengibaratkan dua benda atau orang yang persis sama.  “Langit urum bumi, birah urum keladi, disne we” (langit dan bumi, keladi hutan dan keladi, sama saja). Pengibaratan ini tentu keliru karena langit dan bumi tidak sama (mungkin dipersepsikan bumi ini datar). Jadi, pemilihan kata seperti ini berdasarkan cara pandang masyarakat sehingga digambarkan dengan pilihan kata atau bahasa yang keliru.
Selain itu, ada pilihan kata yang keliru juga yang sering digunakan masyarakat Gayo. Orang Gayo selalu menyebut langit ijo dan yang tap tup (berdebar) uluni ateku (ulu hatiku, bukan jantung). Jika diperhatikan secara teliti, langit berwarna biru bukan berwarna hijau. Penggunaan kata hijau untuk warna langit bukan hanya digunakan oleh masyarakat Gayo, melainkan juga digunakan oleh penutur bahasa lain, misalnya, penutur bahasa Aceh. Walaupun sekarang kita sudah sama-sama mengetahui bahwa warna langit biru, masyarakat Gayo dan mungkin beberapa bahasa yang menggunkannya tidak mengubah warna hijau ini menjadi warna biru. Demikian juga kata berdebar ulu hati keliru karena yang berdebar adalah jantung, tetapi sampai kini pilihan kata maasyarakat Gayo tidak berubah. 
Inilah beberapa “keunikan” atau kekhasan pola bahasa Gayo dan pola berbahasa masyarakat Gayo. Dari pola bahasa terdapat perbedaan, walaupun tidak mencolok, dengan bahasa-bahasa yang ada di Aceh dan juga dengan bahasa Indonesia. Pola bahasa dan pola berbahasa dalam bahasa Gayo ini dapat digunakan untuk menelusuri asal usul masyarakat Gayo. Artinya, bagaimana hubungannya dengan pola bahasa dan pola berbahasa masyarakat lain, baik yang berdekatan secara geografis maupun yang jauh. Usaha untuk ini memang harus dilakukan penelitian yang mendalam bahasa dari masyarakat lain sehingga sejauh mana terjadi pola bahasa dan pola berbahasa yang sama.









Rujukan
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung:  Remaja Rosdakarya
Azwardi. 2013. ”Gejala Gradasi Adjektiva dalam Bahasa Aceh”. Jurnal Master Bahsa, Volume 1 nomor 2
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Keraf, Gorys. 1996. Tata Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah.
-----------------  1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia
------------------ 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: Gramedia
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Lingistik. Jakarta: Gramedia
Ohoiwitun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Koneks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc
Tim Balai Bahasa Banda Aceh. 2011. Inilah Bahasa-Bahsa di Aceh. Balai Bahasa Banda Aceh
Wiradnyana, Ketut. dan Taufikurrahman Setiawan. 2011. Merangkai Identitas Gayo. Jakarta: Pustaka Obor.



No comments:

Post a Comment

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...