Subscribe di sini

Friday 26 December 2014

apakah suara perempuan adalah uarat ?

Ulama berbeda pendapat tentang hukum suara wanita. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama, suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh saja mendengar suara seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.

Syaikh Wahbah ZuhailiHafizhahullah berkata : Suara wanita menurut jumhur (mayoritas ulama) bukanlah aurat, karena para sahabat nabi mendengarkan suara para isteri Nabi Saw untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita  yang  disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Quran, dengan sebab khawatir timbul fitnah.[1]
Dikatakan : Ada pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya, jika tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat radhiyallahu’anhum mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka (dan itu tidak mengapa).[2]
Dalil yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat sangatlah banyak, diantaranya adalah sebagai berikut :
A.   Dalil Al Qur’an
Berikut ini diantara ayat al Qur’an yang menyebutkan secara tersurat maupun tersirat bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.
1.            Allah k memerintahkan para istri Rasulullah n agar berkata-kata, namun dengan perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan istri Nabi itu akan di dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi juga para shahabat g. FirmanNya :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Meskipun konteks ayat diatas membicarakan para umahatul mukminin, tetapi sudah maklum dan ma’fum dipahami, hukum ayat ini tentunya berlaku untuk semua kaum muslimah.

2.            Allah l menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi n tentangdzihar yang dilakukan suami wanita tersebut. FirmanNya :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar  hiwar (dialog)  antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ( Al Mujadilah : 1)

Dan tentu saja pengaduan wanita tersebut kepada Nabi nmengunakan kata-kata, bukan dengan bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah n akan mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.
3.            Dalam al Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa w dengan dua wanita kakak beradik, yakni putri nabi Syu’aib, FirmanNya :

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?"Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." (Al Qashash : 23)
Dan disambung diayat selanjutnya :
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu."(Al-Qashash: 25)
Demikianlah, masih banyak dalil dalam kitabullah yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Baik dalil-dalil tersebut bersifat umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu.
Seperti para wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS. Al-Baqarah: 275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah: 282), sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 6), memberikan persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan barang (rahn)(QS. Al-Baqarah: 283), menyampaikan ceramah (QS.  An-Nahl: 125; QS. As-Sajdah: 33), meminta fatwa (QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya. Yang kesemuanya itu hampir mustahil tidak menggunakan aktivitas suara/ berbicara.
B.   Hadits Nabi dan Atsar para shahabat
1. Shahabiyah (shahabat wanita) mereka berbicara dengan Rasulullah n.
Banyak hadits yang menceritakan bahwa para shahabat wanita dahulu juga bertanya kepada Rasulullah n,,, bahkan ketika Nabi n sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini :
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Dari Ibnu Abbas h, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah n, lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari no : 1852)
2. Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama.
Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan, “Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya.[3]
Al Ahnaf ibn Qais berkata : “Aku telah mendengar hadits dari mulut Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku
mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.” (HR. Al Hakim)
Musa bin Thalhah ra. berkata :
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْصَحَ مِنْ عَائِشَةَ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR. Tirmidzi)
1.   Pendapat ulama mazhab
Berikut perkataan para ulama dan yang termaktun dalam kitab-kitabmu’tabarah yang menjelaskan tentang hukum suara wanita :
-      Hanafiyah
Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berpendapat suara wanita adalah aurat. Namun, menurut khabar yang kuat adalah bahwa kalangan Hanafiyah menyatakan suara wanita bukan aurat.[4]
-      Malikiyah dan Hanabilah
Dalam al Mausu’ah Fiqihiyah al Kuwaitiyah juz 4 halaman 91 dapat disimpulkan tentang pandangan kedua mazhab ini bahwa suara wanita bukanlah aurat. Yaitu ketika mereka berpendapat dibencinya mendengarkan nyanyian wanita.
-      Syafi’iyah
 Diketahui secara pasti pendapat dari mazhab ini, bahwa suara wanita bukanlah aurat. Dan bahkan menurut syafi’iyah, boleh mendengarkan suara wanita menyanyi dengan catatan aman dari fitnah.[5]
2. Pendapat para ulama lainnya.
Umairah mengatakan  : “Suara perempuan bukan aurat berdasarkan pendapat sahih, maka tidak haram mendengarnya.”[6]
Zainuddin al-Malibary berkata : “Suara tidak termasuk aurat, karena itu tidak haram mendengarnya kecuali dikuatirkan fitnah atau berlezat-lezat dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi.”[7]
Syaikh al Jaziri Hafizhahullah berkata : “Suara wanita bukanlah aurat. Karena istri-istri Nabi dahulu juga bercakap-cakap dengan para shahabat.[8]
Kalangan Yang Mengatakan Bahwa Suara Wanita Aurat
Namun, sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa ada sebagian ulama yang memang berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat. Pendapat mereka ini didasarkan kepada beberapa dalil diantaranya :
1.    Hadits Rasulullah Saw, beliau bersabda :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya.(HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah Thabarani ; shahih)
Berdasarkan makna dzahir hadits ini, kalangan ini  menyimpulkan bahwa semua bagian dari wanita adalah aurat termasuk suaranya.
Bantahan : Dalam Ilmu fiqih tidak asing lagi diketahui adanya dalil yang bersifat ‘aam (umum) dan dalil khosh (khusus).  Jadi sebuah dalil terkadang bermakna mujmal (global) tetapi ada pula yang muqayad (terbatasi).Contohnya firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai, tetapi kemudian dikhususkan bangkai binatang laut darinya, dalil takhsisnya adalah sabda Nabi : “Dihalalkan bagi kami dua bangkai…. Yaitu (bangkai) ikan dan belalang.”
Oleh karena itu para ahli ushul membuat kaidah, Hamlul Muthlaq ilal Muqayyad (Memahami dalil yang umum harus dibatasi oleh yang khusus).
Hadits diatas adalah hadits umum yang menginformasikan secara umum bahwa tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang dikecualikan.
2.    Firman Allah ta’ala :
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
 “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (An Nuur : 31)
Menurut kalangan ini, jika gelang kaki wanita saja dilarang untuk digetarkan sehingga terdengar suaranya, maka suara wanita lebih layak dilarang karena lebih merdu dibanding suara gelang.
Namun dalil ini dibantah oleh para ulama, dan nampak dalil dengan ayat ini tidaklah tepat. Karena yang dilarang dari seorang wanita pada ayat diatas adalah pada perbuatannya yang memamerkan perhiasannya. Jika dikiaskan dengan suara wanita tentu tidak tepat, karena suara manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat penting, keharaman barulah ada apabila mempergunakannya untuk merayu dan mengundang syahwat.
3.    Cara menegur imam bagi makmum yang tidak menggunakan suara.
Dalil lainnya yang digunakan adalah dengan adanya ketentuan bagi makmum wanita yang menegur imam yang keliru, yaitu hanya diperbolehkan menggunakan tepukan tangan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah n ditanya tentang cara menegur imam yang keliru, beliau menjawab :

مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ

Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari no. 7190 dan Muslim no. 421)

Logikanya, jika bukan aurat, tentunya kaum wanita pun juga sama dengan laki-laki, yakni diperbolehkan menggunakan suaranya mengucapsubhanallah.
Namun, lagi-lagi alasan ini juga lemah dan penakwilan yang berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan dengan bertepuk tangan ketika meluruskan kekeliruan imam, itu adalah sebuah aturan baku yang ada dalam shalat yang sifatnya ta’abudiyahyang tidak ada kaitannya dengan aurat atau bukan.
Penutup
Suara wanita menurut pendapat yang shahih bukanlah aurat, karena itu tentunya tidak mengapa bila seorang wanita berkata-kata dengan siapapun dengan perkataan yang baik. Namun, untuk berbicara dengan lelaki asing maka hendaknya tidak berkata-kata dengan intonasi yang menyerupai desahan, yang akan mengundang fitnah dan keburukan.[9]
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Hendaknya ini di jauhi oleh setiap muslimah, karena Allah ta’ala telah mengingatkan : “Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)
Wallahu A’lam




[1] Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 1/647, Darr al Fikr.
[2] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 4/91.
                                                                                                                                                          
[3] Allah ta’ala berfirman :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ

“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.
Diantara bentuk perlakuan yang lebih ‘keras’ bila dibandingkan dengan wanita lain pada umumnya adalah kewajiban untuk berbicara dengan mereka dipisah oleh tabir. Sebagaimana yang ditegaskan dalam al Qur’an :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا

“Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, (istri-istri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi allah.” ( Al-ahzab: 53)
[4] Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 1/647, Darr al Fikr.
[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah31/47.
[6] Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, I/ 177.
[7] Fath al-Mu’in, Thaha Putra, Semarang, III/260.
[8] Fiqh ‘Ala Mazhabil ‘Arba’ah, I/170.
[9]  Ada pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya, jika tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat –semoga Allah meridhai mereka- mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka. Janganlah wanita memerdukan suaranya, mengeraskan, dan melembutkannya, karena di dalamnya memiliki dampak lahirnya fitnah. Hal itu ditegaskan dalam  firmanNya: Maka janganlah kamu tunduk  dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. {Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, (4/90)}

Thursday 18 December 2014

Hukum Menikahi Wanita Tidak Perawan Karena Zina


Hukum Menikahi Wanita Tidak Perawan Karena Zina. Ketika malam pertama perkawinan anda menjumpai istri tidak perawan, apa respons anda? Marah dan kecewa itu pasti. Tapi tunggu dulu, adakalanya ketidakperawanan disebabkan oleh ketidaksengajaan seperti jatuh, olahraga, diperkosa. Tapi banyak juga disebabkan karena pernah berbuat zina dengan pacar atau siapapun. Bagaimana hukum pernikahan wanita pezina, apakah sah? Perlukah diulangi?
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
Ada dua kategori wanita yang tidak perawan, yaitu karena berstatus janda atau pernah berzina. Yang dimaksud dalam judul tulisan ini adalah makna yang kedua. Tulisan ini berasal dari sebuah pertanyaan yang dikirim ke info@alkhoirot.com sebagai berikut: “Apakah hukum dalam agama Islam menikah dengan wanita yang pernah berzina atau sudah tidak perawan lagi akibat pergaulan bebas?”
Pertanyaan itu timbul karena ada firman Allah dalam QS An-Nur 24:3 yang menyatakan:  “Seorang lelaki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Seorang wanita pezina tidak boleh menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Hal itu diharamkan bagi seorang mukmin.”[1] Secara eksplisit ayat ini jelas menyatakan larangan menikah dengan wanita yang pernah berzina. Itulah sebabnya si penanya menjadi ragu-ragu ketika hendak menikahi seorang perempuan yang ternyata sudah tidak perawan lagi karena pernah melakukan hubungan zina dengan lelaki yang dikenal sebelumnya.
Ismail bin Umar Ibnu Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi dalam Tafsir Ibnu Katsir membandingkan ayat ini dengan QS An-Nisa’ 4:25 di mana Allah berfirman “…sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;”[2] Dalam konteks inilah Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal demikian:
ذهب الإمام أحمد بن حنبل ، رحمه الله ، إلى أنه لا يصح العقد من الرجل العفيف على المرأة البغي ما دامت  كذلك حتى تستتاب ، فإن تابت صح العقد عليها وإلا فلا وكذلك لا يصح تزويج المرأة الحرة العفيفة بالرجل الفاجر المسافح ، حتى يتوب توبة صحيحة; لقوله تعالى : وحرم ذلك على المؤمنين
(Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwasanya tidak sah akad nikah laki-laki saleh yang menikahi wanita nakal (pezina)  kecuali setelah bertaubat. Apabila wanita itu bertaubat maka sah akad nikahnya. Begitu juga tidak sah perkawinan wanita salihah dengan laki-laki pezina kecuali setelah melakukan taubat yang benar karena berdasar pada firman Allah dalam akhir ayat QS An-Nur 24:3.)[3]
Sementara itu Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menguraikan sejumlah perbedaan penafsiran dan ikhtilaf ulama dalam memahami ayat QS An-Nur 24:3 tersebut.  Dari pendapat Ibnu Mas’ud yang mengharamkan menikahi wanita perzina sampai pendapat Said bin Al-Musayyab dan segolongan ulama yang membolehkan wanita pezina secara mutlak karena menganggap ayat 24.3 sudah di-naskh oleh QS Annur 24:23 yang berbunyi ” Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu…” .[4] Selain itu, ulama yang membolehkan menikahi wanita pezina berargumen adanya hadits dari Sahabat Jabir sebagai berikut:
أن رجلا أتى النبي – صلى الله عليه وسلم – فقال يا رسول الله إن امرأتي لا تدفع يد لامس ؟ قال : طلقها ، قال : فإني أحبها وهي جميلة ، قال : استمتع بها . وفي رواية غيره ” فأمسكها إذا
Artinya: Seorang laki-laki datang pada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, istri saya tidak pernah menolak sentuhan tangan lelaki.” Nabi menjawab, “Ceraikan dia!”. Pria itu berkata: “Tapi saya mencintainya karena dia cantik”. Nabi menjawab: “Kalau begitu jangan dicerai.”[5]
Dari hadits ini, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk menyimpulkan:
وإن زنى رجل بزوجة رجل لم ينفسخ نكاحها، وبه قال عامة العلماء ، وقال على بن أبى طالب: ينفسخ نكاحها وبه قال الحسن البصري دليلنا حديث ابن عباس في الرجل الذى قال للنبى صلى الله عليه وسلم: إن امرأتي لا ترد يد لامس
(Apabila seorang lelaki berzina dengan istri orang lain, maka nikah perempuan itu tidak rusak (tidak batal). Ini pendapat kebanyakan ulama. Ali bin Abi Talib berkata: nikahnya rusak (batal) pendapat ini diikuti Al-Hasan Al-Bishri. Dalil kita adalah hadits Ibnu Abbas di mana seorang laki-laki yang istrinya berzina diberi pilihan oleh Nabi untuk mentalak atau tidak.)[6]
Pendapat Imam Nawawi di atas senada dengan pendapat Imam Syafi’i dalam Al-Umm yang menyatakan:[7]
فالاختيار للرجل أن لا ينكح زانية وللمرأة أن لا تنكح زانيا فإن فعلا فليس ذلك بحرام على واحد منهما ليست معصية واحد منهما في نفسه تحرم عليه الحلال إذا أتاه قال وكذلك لو نكح امرأة لم يعلم أنها زنت فعلم قبل دخولها عليه أنها زنت قبل نكاحه أو بعده لم تحرم عليه ولم يكن له أخذ صداقه منها ولا فسخ نكاحها وكان له ان شاء أن يمسك وإن شاء أن يطلق وكذلك إن كان هو الذى وجدته قد زنى قبل أن ينكحها أو بعدما نكحها قبل الدخول أو بعده فلا خيار لها في فراقه وهى زوجته لحالها ولا تحرم عليه وسواء حد الزانى منهما أو لم يحد أو قامت عليه بينة أو اعترف لا يحرم زنا واحد منهما ولا زناهما ولا معصية من المعاصي الحلال إلا أن يختلف ديناهما بشرك وإيمان.
(Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan.            Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar [pilihan] untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.)
Pernikahan Wanita Hamil Zina
Masalah kedua yang timbul dan banyak terjadi dewasa ini adalah bagaimana apabila wanita pezina tadi ternyata dalam keadaan hamil, bolehkah dinikahi?  Ulama fiqih madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa tidak boleh menikahi wanita hamil zina berdasarkan pada hadits sahih riwayat Abu Daud dan Hakim di mana Nabi bersabda: “Wanita hamil tidak boleh dijimak (dinikahi) kecuali setelah melahirkan.”[8]
Madzhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan bahwa boleh hukumnya menikahi wanita hamil karena zina. Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alwi, seorang ulama madzhab Syafi’i, dalam kitabBughiyatul Mustarsyidin menyatakan: “boleh menikahi wanita hamil karena zina baik oleh yang menzinahinya maupun pria lain. Begitu juga boleh melakukan hubungan intim tapi makruh.”[9]
Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzab juga menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil zina karena kehamilannya tidak dinasabkan kepada siapapun karena itu adanya janin dianggap tidak ada.”[10] Senada dengan pendapat ini adalah Zakaria Al-Anshari dalam kitab Asnal Mathalib di mana ia menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil karena zina dan berhubungan intim dengannya seperti halnya wanita yang tidak hamil karena tidak ada keharaman bagi wanita itu.”[11]
ٍIbnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyah  secara ringkas menguraikan sejumlah pendapat antar-madzhab yang berbeda-beda sebagai berikut: [12]
ِ وَأَمَّا نِكَاحُ الْحَامِلِ من الزِّنَا فَفِيهِ خِلَافٌ مُنْتَشِرٌ أَيْضًا بَيْن أَئِمَّتِنَا وَغَيْرِهِمْ وَالصَّحِيحُ عِنْدَنَا الصِّحَّةُ وَبِهِ قال أبو حَنِيفَةَ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه لِأَنَّهَا لَيْسَتْ في نِكَاحٍ وَلَا عِدَّةٍ من الْغَيْر وَعَنْ مَالِكٍ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه قَوْلٌ بِخِلَافِهِ
 ثُمَّ إذَا قَلَّدَ الْقَائِلِينَ بِحِلِّ نِكَاحِهَا وَنَكَحَهَا فَهَلْ له وَطْؤُهَا قبل الْوَضْعِ الذي صَحَّحَهُ الشَّيْخَانِ نعم قال الرَّافِعِيُّ أَنَّهُ لَا حُرْمَة لِحَمْلِ الزِّنَا وَلَوْ مُنِعَ الْوَطْءُ لِمَنْعِ النِّكَاحِ كَوَطْءِ الشُّبْهَةِ وقال ابن الْحَدَّادِ من أَئِمَّتِنَا لَا يَجُوزُ له الْوَطْءُ وَبِهِ قال أبو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَدَاوُد رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى وَاسْتَدَلُّوا بِخَبَرِ أبي دَاوُد وَالتِّرْمِذِيِّ وَلَفْظُهُ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخَرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ وَيُجَابُ بِأَنَّ ذلك إنَّمَا وَرَدَ لِلتَّنْفِيرِ عن وَطْءِ الْمَسْبِيَّةِ الْحَامِلِ لِأَنَّ حَمَلَهَا مُحْتَرَمٌ فَحُرِّمَ الْوَطْءُ لِأَجْلِ احْتِرَامِهِ بِخِلَافِ حَمْلِ الزِّنَا فإنه لَا حُرْمَةَ له تَقْتَضِي تَحْرِيمَ الْوَطْءِ وَعَلَى الْقَوْلِ بِحِلِّهِ هو مَكْرُوهٌ كما في الْأَنْوَارِ وَغَيْرِهِ خُرُوجًا من خِلَافِ من حَرَّمَهُ هذا كُلُّهُ فِيمَا تُحُقِّقَ أَنَّهُ من الزِّنَا
(Adapun menikahi wanita hamil zina terdapat perbedaan ulama. Yang sahih adalah pendapat yang mengesahkan. Abu Hanifah berkata wanita hamil itu tidak dalam keadaan nikah dan tidak dalam keadaan iddah dari pria lain. Sedang dari Imam Malik terdapat pendapat yang berbeda.
Kemudian apabila orang bertaklid pada pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil lalu menikah dengannya apakah boleh berhubungan intim sebelum wanita itu melahirkan?  Pendapat yang sahih menurut Syaikhain [Nawawi – Rafi’i] adalah boleh.  Sedangkan menurut pendapat Ibnul Haddad tidak boleh hubungan intim selama hamil. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, Malik, dan Dawud… Bagi pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil zina, maka makruh melakukan hubungan intim sebelum melahirkan seperti keterangan dalam kitab Al-Anwar dan lainnya).
Seperti dijelaskan di muka bahwa dalam tinjauan fiqih sah hukumnya pernikahan wanita pezina baik dalam keadaan hamil atau tidak. Baik pria yang menikahi sama-sama perzina atau orang salih Namun demikian, bagi lelaki dan wanita salih, menikah dengan pasangan yang pernah berzina hendaknya menjadi pilihan terakhir kecuali kalau memang sudah betul-betul taubat. Karena hal itu akan memiliki efek psikologis dan sosial kelak di kemudian hari dalam kehidupan berumahtangga.Kalau bisa memilih pasangan yang salih dan salihah mengapa harus memilih pasangan yang punya masa lalu kelam?[]
________________
CATATAN KAKI
[1]  الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين
[2]  محصنات غير مسافحات ولا متخذات أخدان. Lihat Tafsir Ibnu Katsir.dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[3] Ibid.
[4] Lihat Tafsir Al-Baghawi dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[5] Ibid
[6] Imam Nawawi dalam Al-Majmuk 6/223
[7] Imam Syafi’i dalam Al-Umm , 5/13.
[8] Teks hadits: لا توطأ حامل حتى تضع
[9] Teks asal: يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة. Lihat Bughiyatul Mustarsyidin 1/419.
[10] Teks asal: ويجوز نكاح الحامل من الزنا لان حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه. Lihat Al-Muhadzab 2/45.
[11] Teks asal: َ. يَجُوزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ من الزِّنَا وَكَذَا وَطْؤُهَا كَالْحَائِلِ إذْ لَا حُرْمَةَ له Lihat Asnal Matalib, 3/393.
[12] Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyah, 4/93.

hukum merokok


Tembakau yang merupakan bahan baku rokok telah dikenal oleh umat Islam pada akhir abad ke-10 Hijriyah, yang dibawa oleh para pedagang Spanyol. Semenjak itulah kaum muslimin mulai mengenal rokok. Sebagian kalangan berpendapat bahwa merokok hukumnya boleh.
Mereka berdalil bahwa segala sesuatu hukum asalnya mubah kecuali terdapat dalil yang melarangnya, berdasarkan firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Dia-lah Allah, yang telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 29).
Ayat di atas menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah di atas bumi ini halal untuk manusia termasuk tembakau yang digunakan untuk bahan baku rokok.
Sanggahan:
Berdalil dengan ayat ini tidak kuat, karena segala sesuatu yang diciptakan Allah hukumnya halal bila tidak mengandung hal-hal yang merusak dan membahayakan tubuh.
Sementara rokok mengandung ribuan racun yang secara kedokteran telah terbukti merusak dan membahayakan kesehatan. Bahkan membunuh penggunanya secara perlahan, padahal Allah telah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa: 29).
Lebih dari itu, mengapa tidak ada dalil khusus yang melarang rokok?
Karena rokok baru ada 500 tahun yang lalu, dan tidak dikenal di masa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin, maupun ulama penulis hadis setelahnya. Bagaimana mungkin akan dicari dalil khusus yang melarang rokok?
Sebagian kalangan yang lain berpendapat bahwa merokok hukumnya makruh, karena orang yang merokok mengeluarkan bau tidak sedap. Hukum ini diqiyaskan dengan memakan bawang putih mentah yang mengeluarkan bau yang tidak sedap. Sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من أكل البصل والثوم والكراث فلا يقربن مسجدنا، فإن الملائكة تتأذى مما يتأذى منه بنو آدم
Barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih (mentah) dan karats, maka janganlah dia menghampiri masjid kami, karena para malaikat terganggu dengan hal yang mengganggu manusia (yaitu: bau tidak sedap).” (HR. Muslim).
Sanggahan:
Analogi ini sangat tidak kuat, karena dampak negatif dari rokok bukan hanya sekedar bau tidak sedap. Lebih dari itu menyebabkan berbagai penyakit berbahaya diantaranya kanker paru-paru. Mengingat keterbatasan ulama masa silam dalam memahami dampak kesehatan ketika morokok, mereka hanya melihat bagian luar yang nampak saja. Itulah bau rokok dan bau mulut perokok. Jelas ini adalah tinjauan yang sangat terbatas.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa merokok hukumnya haram, pendapat ini ditegaskan oleh Qalyubi (Ulama Mazhab Syafi’i, wafat: 1069 H). Dalam kitab Hasyiyah Qalyubi ala Syarh al-Mahalli (jilid I, Hal. 69), beliau mengatakan: “Ganja dan segala obat bius yang menghilangkan akal, zatnya suci sekalipun haram untuk dikonsumsi, oleh karena itu para ulama kami berpendapat bahwa rokok hukumnya juga haram, karena rokok dapat membuka jalan agar tubuh terjangkit berbagai penyakit berbahaya”.
Ibnu Allan (ulama Madzhab Syafi’i, wafat: 1057H), as-Sanhury (Mufti Mazhab Maliki di Mesir, wafat 1015 H), al-Buhuty (Ulama Mazhab Hanbali, wafat: 1051 H), as-Surunbulaly (Ulama Madzhab Hanafi, wafat: 1069 H) juga menfatwakan haram hukumnya merokok.
Merokok juga pernah dilarang oleh penguasa khilafah Utsmani pada abad ke-12 Hijriyah dan orang yang merokok dikenakan sanksi, serta rokok yang beredar disita pemerintah, lalu dimusnahkan.
Para ulama menegaskan haramnya merokok berdasarkan kesepakatan para dokter di masa itu, yang menyatakan bahwa rokok sangat berbahaya terhadap kesehatan tubuh. Ia dapat merusak jantung, penyebab batuk kronis, mempersempit aliran darah yang menyebabkan tidak lancarnya darah dan berakhir dengan kematian mendadak.
Padahal Allah telah mengharamkan seseorang untuk membinasakan dirinya melalui firman-Nya:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah: 195).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh melakukan perbuatan yang membuat mudharat bagi orang lain baik permulaan ataupun balasan.” (HR. Ibnu Majah. Hadis ini di shahihkan oleh Albani).
Hasil penelitian kedokteran di zaman sekarang memperkuat penemuan dunia kedokteran di masa lampau bahwa merokok menyebabkan berbagai jenis penyakit kanker, penyakit pernafasan, penyakit jantung, penyakit pencernaan, berefek buruk bagi janin, juga merusak sistem reproduksi, pendeknya merokok merusak seluruh sistem tubuh.
Oleh karena itu, seluruh negara menetapkan undang-undang yang mewajibkan dicantumkannya peringatan bahwa merokok dapat mebahayakan kesehatan tubuh pada setiap bungkus rokok.
Karena itu, sangat tepat fatwa yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga fatwa di dunia Islam, seperti fatwa MUI yang mengharamkan rokok, begitu juga Dewan Fatwa Arab Saudi yang mengharamkan rokok, melalui fatwa nomor: (4947), yang menyatakan, “Merokok hukumnya haram, menanam bahan bakunya (tembakau) juga haram serta memperdagangkannya juga haram, karena rokok menyebabkan bahaya yang begitu besar”.
Keterangan di atas disadur dari artikel Dr. Erwandi Tarmidzi yang diterbitkan di Majalah Pengusaha Muslim edisi September 2011. Bagi Anda yang berminat mendapatkan rujukan aslinya, Anda bisa mengunjungi : shop.pengusahamuslim.com

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...