A. Latar Belakang
Pada dasarnya karya sastra terbagi
menjadi tiga genre, yaitu prosa, puisi, dan drama. Ketiga genre sastra ini
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Namun perkembangan antara ketiga
genre sastra ini tidak sama, ada yang berkembang dengan pesat dan adapun yang
berkembang tahap demi tahap. Seperti perkembangan drama misalnya.
Pementasan
Drama kelas B, berjudul Dg. Suro
|
Perkembangan drama di Indonesia tak
sesemarak dan setua perkembangan puisi dan prosa. Jika puisi dan prosa mengenal
puisi lama dan porsa lama, tak demikianlah dengan drama. Genre sastra drama di
Indonesia benar-benar baru, seiring dengan perkembangan pendidikan di
Indonesia, muncul pada tahun 1900-an.
Drama adalah karya sastra yang ditulis
untuk dipentaskan. Orang seringkali bingung membedakan antara drama,
yang berkaitan dengan teks tertulis, atau naskah, atau script, untuk
pementasan, dengan teater, yang menyangkut pementasan naskah drama atau
script tersebut. Banyak sekali karya sastra terkenal, berpengaruh besar, serta
bergengsi, ditulis dalam bentuk drama. Mulai dari tragedi-tragedi Yunani
tentang Aeschylus, Sopochles, dan Euripides dan berkembang terus hingga
drama-drama besar karya William Shakespeare dari Inggris, Moliere dari
Perancis, Johan Wolfgang von Goethe dari Jerman, Henrik Ibsen dari Norwegia,
dan August Strindberg dari Swedia. Di Barat, penghargaan terhadap drama begitu
tinggi. Dalam perkembangannya drama semakin mendapat tempat karena
naskah-naskah tidak lagi hanya dipentaskan di panggung seperti Broadway, tetapi
juga diangkat ke layar kaca atau layar lebar. Dengan semakin canggihnya
perfilman, para penulis drama atau script film mendapat penghargaan yang tinggi
pula karena sehebat apapun sebuah film, pada mulanya dia adalah sebuah
screenplay atau script yang digarap sedemikian rupa oleh seorang sutradara
beserta seluruh crew pembuat film (film maker). Jadi sebuah film dibuat oleh
banyak orang, mulai dari penulis naskah dramanya (script writer), produser,
sutradara, kameraman, hingga sopir yang membantu team pergi syuting ke sana
kemari.
Istilah drama dan teater seyogianya dibedakan artinya. Drama
dimaksudkan sebagai karya sastra yang dirancang untuk dipentaskan di panggung
oleh para aktor di pentas, sedangkan teater adalah istilah lain untuk drama
dalam pengertian yang lebih luas, termasuk pentas, penonton, dan tempat lakon
itu dipentaskan. Di samping itu salah satu unsur penting dalam drama adalah
gerak dan dialog. Lewat dialoglah, konflik, emosi, pemikiran dan karakter hidup
dan kehidupan manusia terhidang di panggung. Dengan demikian hakikat drama
sebenarnya adalah gambaran konflik kehidupan manusia di panggung lewat gerak
A. Perkembangan Taraf Awal
Sastra drama di Indonesia ditulis
pada awal abad 19, tepatnya tahun 1901, oleh seorang peranakan Belanda bernama
F. Wiggers, berupa sebuah drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio
Retno. kemudian bermunculanlah naskah-naskah drama dalam bahasa Melayu Rendah
yang ditulis oleh para pengarang peranakan Belanda dan/ atau Tionghoa.
Di Indonesia pada awalnya dikenal
ada dua jenis teater, yaitu:
1.
Teater klasik
Teater kalsik lahir dan berkembang dengan ketat di
lingkungan istana, jenis teater klasik lebih terbatas, dan berawal dari teater boneka
dan wayang orang. Teater boneka sudah dikenal sejak zaman prasejarah Indonesia
(400 Masehi). Teater klasik sarat dengan aturan-aturan baku, membutuhkan
persiapan dan latihan suntuk, membutuhkan referensi pengetahuan, dan nilai
artistik sebagai ukuran utamanya.
2.
Teater rakyat
Teater rakyat tak dikenal kapan munculnya. Teater rakyat
lahir dari spontanitas kehidupan masyarakat pedesaan, jauh lebih longgar
aturannya dan cukup banyak jenisnya. Teater rakyat diawali dengan teater tutur.
Pertunjukannya berbentuk cerita yang dibacakan, dinyanyikan dengan tabuhan
sederhana, dan dipertunjukkan di tempat yang sederhana pula. Teater tutur
berkembang menjadi teater rakyat dan terdapat di seluruh Indonesia sejak Aceh
sampai Irian. Meskipun jenis teater rakyat cukup banyak, umumnya cara
pementasannya sama. Perlengkapannya disesuaikan dengan tempat bermainnya,
terjadi kontak antara pemain dan penonton, serta diawali dengan tabuhan dan
tarian sederhana. Dalam pementasannya diselingi dagelan secara spontan yang
berisi kritikan dan sindiran. Waktu pementasannya tergantung respons penonton,
bisa empat jam atau sampai semalam suntuk.
Contoh-contoh teater rakyat adalah sebagai berikut:
1) Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat,
2) Randai dan Bakaba di Sumatera Barat,
3) Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan,
4) Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali,
5) Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk
Tilu di Jawa Barat,
6) Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah,
7) Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan
Jemblung di Jawa Timur,
8) Cekepung di Lombok
Pada dasarnya, drama pada perkembangan taraf awal hanya berupa:
- Kegiatan
ritual keagamaan (bersifat puitis, melafalkan mantra-mantra).
- Pemvisualan
dalam bentuk tari dan musik.
- Jenis
tontonan, pertunjukan, hiburan tetapi cerita bukan masalah utama, cerita
berupa mitos atau legenda. Drama bukan cerita tetapi penyampaian cerita
yang sudah ada.
- Dilakukan oleh
kalangan tertentu karena sebagai kegiatan yang khidmat dan serius.
- Kekaguman
terhadap pemain karena sifat supernatural.
- Cerita
bersifat sakral, maka diperlukan seorang pawang ada persyaratan dan aturan
ketat bagi pemain dan penonton tidak boleh melanggar pantangan, pamali,
dan tabu.
- Sebagai
pelipur lara.
- Sebagai
sarana mengajarkan ajaran agama (Hindu, Budha, Islam).
- Melahirkan
kesenian tradisional. Ciri-ciri kesenian tradisional menurut Kayam 1981:
44 kesenian tradisional-termasuk didalamnya teater-yaitu bentuk kesenian
yang yang hidup dan berakar dalam masyarakatdaerah yang memelihara suatu
tradisi bidaya daerah, akan memiliki ciri-ciri ketradisionalan dan
kedaerahan. Ciri-ciri kesenian tradisional, yang di dalam pembicaraan ini
dimaksudkan sebagai teater tradisional, menurut Umar Kayam adalah:
a.
Ruang lingkup
atau jangkauan terbatas pada lingkungan budaya yang mendukungnya.
b.
Berkembang
secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban dari masyarakat
tradisional.
c.
Tidak spesialis.
d.
Bukan merupakan
hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat
kolektivitas masyarakat yang mendukungnya.
- Sebagai
konsekuensi kesenian tradisional, teater tradisional mempunyai fungsi bagi
masyarakat. Fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnyalah yang
menyebabkan salah satu faktor mengapa teater tradisional ini tetap
bertahan di dalam masyarakatnya. Fungsi teater tradisional sebagaimana
kesenian lainnya bagi masyarakat pendukungnya adalah seperti dirumuskan
berikut ini:
a.
Sebagai alat
pendidakan (topeng jantu dari Jakarta untuk nasehat perawinan/rumah tangga)
b.
Sebagai alat
kesetiakawanan sosial.
c.
Sebagai sarana
untuk menyampaikan kritik sosial.
d.
Alat melarikan
diri sementara dari dunia nyata yang membosanakan.
e.
Wadah
pengembangan ajaran agama
B. Pengaruh Kepercayaan (
Hindu, Buddha, Kristen, dan Islam) pada Drama
Tradisi teater sudah ada sejak dulu dalam masyarakat
Indonesia,karena pada saat itu masyarakat Indonesia yang masih menganut
paham/kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme, maka dari itu setiap
upacara adat dan keagamaan teater selalu dipentaskan untuk mengiringi upacara
tersebut. Teater biasanya dipertunjukkan di pesta perkawinan,selamatan dan
sebagainya. Adapun fungsi teater saat itu adalah sebagai:
1. pemanggil kekuatan gaib,
2. menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat
pertunjukan,
3. memanggil roh baik untuk mengusir roh jahat,
4. peringatan nenek moyang dengan mempertontonkan
kegagahan/kepahlawanan,
5. pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat hidup
seseorang, dan
6. pelengkap upacara untukk saat tertentu dalam siklus waktu.
C.Perkembangan Drama Pada Masa Kolonial dan
Jepan
1.
Belanda
Sepanjang tahun 1930-an para dramawan pribumi kita umumnya
adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan seni pertunjukan sehingga
naskah-naskah yang mereka buat digolongkan dalam drama kamar, jenis yang lebih
merupakan bacaan daripada bahan pementasan. Para sastrawan muda angkatan Sanusi
Pane mendapatkan pendidikan di sekolah menengah Belanda yang memberikan
pengetahuan mengenai kesenian sekitar tahun 1880-an di negeri itu. Itulah
sebabnya angkatan 1880-an yang muncul di negeri Belanda menjadi acuan bagi
perkembangan drama romantic di Indonesia. Dalam rangka pengaruh itu, muncullah
drama-drama yang menunjukkan perhatian mereka terhadap masa lampau dan negeri
asing seperti Sandyakalaning Majapahit yang berlatar zaman klasik dan Manusia
baru yang berlatar negeri asing untuk mengungkapkan idialisme dan simpati
mereka terhadap kaum tertindas.
2.
Jepang
Dalam Periode Drama Zaman Jepang setiap pementasan drama
harus disertai naskah lengkap untuk disensor terlebih dulu sebelum dipentaskan.
Dengan adanya sensor ini, di satu pihak dapat menghambat kreativitas, tetapi di
pihak lain justru memacu munculnya naskah drama. Perkembangan drama boleh
dikatakan praktis berubah ke arah lain ketika pada awal tahun 1940-an para
pemerintah Jepang menguasai militer Indonesia dan menentukan dengan tegas bahwa
segala jenis seni, tak terkecuali pertunjukkan, harus dipergunakan sebagai alat
propaganda untuk mendukung gagasan Asia Timur Raya. Sensor sangat ketat dari
pemerintah militer Jepang menyebabkan dramawan kita tidak bias berbuat lain
kecuali mematuhinya dengan menghasilkan sejumlah drama yang dianggap bisa
menyebarluaskan gagasan dasar Asia Timur Raya, tujuan utama Jepang dalam
melakukan ekspansi ke Asia Timur dan Tenggara. Dengan demikian muncullah
drama seperti karya Merayu Sukma, Pandu Pertiwi. Karya Merayu Sukma jelas-jelas
menggunakan simbol-simbol dalam rangka menyebarluaskan gagasan militerisme,
suatu hal yang pada dasarnya dilakukan juga oleh Rustam Efendi dalam Bebasari,
tetapi tujuan penulisannya berbeda, bahkan berlwanan. Bebasari adalah drama
yang mempropogandakan gagasan kemerdekaan sebagai lakon simbolis sementara
Pandu Pertiwi adalah drama yang memaksakan pelaksanaan gagasan militerisme
Jepang. Persamaannya adalah keduanya menggunakan simbol-simbol dalam teknik
penulisannya.
C. Perkembangan Drama
Pada Masa Modern
Pada Periode Drama Sesudah Kemerdekaan naskah-naskah drama
yang dihasilkan sudah lebih baik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sudah
meninggalkan gaya Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama yang produktif dan
berkualitas baik adalah Utuy Tatang Sontani, Motinggo Boesye dan Rendra. Pada
Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi sangat menonjol. Terjadi pembaruan
dalam struktur drama. Pada umumnya tidak memiliki cerita, antiplot, nonlinear,
tokoh-tokohnya tidak jelas identitasnya, dan bersifat nontematis.
Penulis-penulis dramanya yang terkenal antara lain Rendra, Arifin C. Noer, Putu
Wijaya, dan Riantiarno.
Kini kita berpaling ke drama-drama modern yang menggunakan
naskah. Kiranya sukses drama tradisional dalam kemandiriannya tidak dapat
diwarisi oleh grup-grup drama modern. Walaupun begitu kehadiran mereka dalam
khasanah sastra Indonesia merupakan fenomena yang tidak dapat dilupakan. Kita
kenal nama-nama besar seperti Bengkel Teater, Teater Populer, Teater Starka,
Teater Alam, dan sebagainya. Profesionalisme dalam berkesenian belum cukup
untuk menjawab tantangan jaman. Dibutuhkan pengelola keuangan dan organisator
yang mampu memanjangkan nafas hidup group-group teater modern. Paling tidak
teater modern membutuhkan impresario atau tokoh semacam itu.
Di berbagai kota, banyak dramawan-dramawan muda yang masih memiliki idealisme tinggi meneruskan kegiatan berteater meskipun secara finansial tidak menjajikan perbaikan nasib. Di Surakarta, kehidupan Taman Budaya Surakarta (TBS) dimotori oleh dramawan-dramawan muda, seperti Hanindrawan, Sosiawan Leak, dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas di UNS, serta dari perguruan tinggi lain di Surakarta.
Di berbagai kota, banyak dramawan-dramawan muda yang masih memiliki idealisme tinggi meneruskan kegiatan berteater meskipun secara finansial tidak menjajikan perbaikan nasib. Di Surakarta, kehidupan Taman Budaya Surakarta (TBS) dimotori oleh dramawan-dramawan muda, seperti Hanindrawan, Sosiawan Leak, dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas di UNS, serta dari perguruan tinggi lain di Surakarta.
A. Simpulan
1.
Di Indonesia pada awalnya ada dua
jenis teater, yaitu teater klasik yang berkembang dengan sangat ketat di
lingkungan istana, dan teater rakyat.
2.
Teater memilki kaitan penting dengan
keagamaan pada masyarakat Indonesia pada saat dulu karena teater seringkali di pentaskan
pada upacara adat dan keagamaan
3.
Naskah drama yang dibuat pada masa
kolonial disebut sebagai drama dalam kamar.
4.
Dalam periode drama masa jepan
setiap pementasan harus vdisertai naskah lengkap untuk disensor terlebih
dahulu untuk di pentaskan.
5.
Pada Periode Drama Sesudah
Kemerdekaan naskah-naskah drama yang dihasilkan sudah lebih baik dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang sudah meninggalkan gaya Pujangga Baru.
B. Saran
Berdasarkan pada simpulan di atas,
maka disarankan kepada mahasiswa agar membaca makalah ini dengan jelas yang
nantinya dapat dijadikan sebagai bahan penunjang dalam proses pembelajaran di
kelas khususnya ketika berusaha mengkaji perkembangan drama di Indonesia.
No comments:
Post a Comment