PEMBAHASAN
A. Fitrah
Manusia
Fitrah
artinya sifat batin semula, yang dibekalkan oleh ALLAH ke dalam diri setiap
manusia sejak azali lagi. Fitrah wujud bersama lahirnya tubuh kasar manusia ke
dunia. Ia terus menjadi sifat manusia tanpa melalui proses berguru atau
pengalaman. Cuma ia tidak cukup subur semasa manusia masih bayi. Ia beransur-ansur subur bersama kesuburan
yang dialami oleh jasad lahir manusia. Contoh-contoh sifat fitrah ini ialah
takut, sayang, simpati, marah, dendam, benci, gembira, dengki, megah, sedih dan
lain-lain lagi. Rasa-rasa fitrah ini bukannya diperolehi di mana-mana sekolah
atau dari mana-mana guru. Ia sudah sedia ada. Ia menjelma dalam kalbu manusia
di waktu manusia itu berhadapan dengan keadaan yang tertentu.
Dalam
al-qur’an manusia di sebut dengan berbagai nama antara lain: al-basyr,
al-insan, al-nas, bani adam, al-ins, abd Allah, dan khalifah Allah. Nama
sebutan ini mengacu pada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia.
Sehubungan dengan hal itu maka dengan memahami peran manusia, perlu dipahami
konsep yang mengacu kepada sebutan ynag dimaksud. Pemahamna tentang peran
manusia erat kaitannya dengan sebutan yang disandangnya.
a. Al-
Basyr
Manusia
dalam konsep al-basyr adalah dipandang dari pendekatan biologis sebagia makhluk
biologis berarti manusia terdiri atas unsyr materi, sehingga menampilkan sosok
dalam bentuk fisik material, berupa tubuh kasar (ragawi). Dalam kaitan ini,
manusia merupakan makhlik jasmaniah yang secara umum terikat pada kaidah-kaidah
umum dari kehidupan dari makhluk biologis.
Dalam
konsep basyar, manusia adalah makhluk biologis. Sebagai makhluk biologis
berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan manusia dalam
bentuk fisik material (Hasan Langgulung dalam Jalaluddin, 2002: 19). Dalam
konsep al-Basyr, manusia merupakan makhluk jasmaniah yang secara umum terikat
kepada kaidah-kaidah umum dari kehidupan makhluk biologis seperti berkembang
biak, mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan
dan kedewasaan (dorongan mengembangkan diri), memerlukan makanan dan minuman
untuk hidup, memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan keturunannya (dorongan
seksual), dorongan mempertahankan diri, sebagai dorongan primer makhluk
biologis.
Adapun
penjelasan al-Qur’an tentang proses dan fase perkembangan manusia sebagai
makhluk biologis adalah:
1.
Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan
(pertemuan sel dengan sperma) didalam rahim, pembentukan fisik janin (QS.
Al-Mu’minun: 12-14).
2.
Post natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan
usia lanjut (QS. Al-Ghafir: 67)
Sebagai
makhluk biologis manusia pun mengalami proses akhirnya secara fisik yaitu,
mati. Merupakan tahap akhir dari proses pertumbuhan dan perkembangan manusia
sebagai makhluk biologis.
Al-Qur’an
mengatur peran manusia selaku makhluk biologis ciptaan Allah. Dengan adanya
hukum tata aturan didalamnya, pertumbuhan dan perkembangan, serta dorongan
biologisnya akan berjalan secara harmonis dan terarah. Mengenai kebutuhan makan
dan minum, dibuat tata aturan agar manusia dapat memenuhi kriteria halal
(absah) dan baik (bergizi) agar sesuai dengan kebutuhannya (QS.
An-an-Nahl:65-69), mengenai air (QS. An-Nahl:65), susu (QS. An-Nahl:66),
buah-buahan (QS.an-Nahl:67) dan air madu (QS. An-Nahl:69). Sedangkan untuk
menyalurkan dorongan seksual, dibuat aturan pernikahan (QS. Ar-Ruum:21).
Demikian pula untuk menjaga keturunan, diatur tanggung jawab orang tua terhadap
anak dan usaha untuk memeliharanya agar terhindar dari azab neraka (QS.
At-Tahrim:6). Sebaliknya diatur pula tata krama anak terhadap orang tua (QS.
Al-Isra’: 23-25).
Dengan
demikian, dalam konsep al-Basyr ini, manusia memiliki peran sebagaimana manusia
sebagai makhluk biologis. Manusia dibedakan dari makhluk biologis lainnya
seperti hewan, yang pemenuhan kebutuhan primernya dikuasai dorongan instingtif.
Oleh karena itu, segala pemenuhan kebutuhan biologis manusia diatur dalam
syariat agama Allah.
b.
Al-insan
Al-Insan
terbentuk dari kata nasiya yang berarti lupa (M. Quraish Shihab dalam
Jalaluddin, 2003: 21). Al-Insan terulang 65 kali dalam al-Qur’an. Kata al-insan
mengacu kepada potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia berupa potensi
untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik (QS.al-Mu’minun: 12-14) dan juga
potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara mental spiritual.
Perkembangan
tersebut antara lain, meliputi kemampuan untuk berbicara (QS.ar-Rahman:4),
menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu dengan mengajarkan manusia
dengan kalam (baca tulis) dan segala apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-‘Alaq:
4-5), kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal dialam ruh,
dalam bentuk kesaksian (QS. Al-A’rof:172). Dari potensi manusia ini (yang
positif) memberi peluang manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya
insaninya.
Selain
memiliki potensi yang positif, manusia juga memiliki potensi yang mendorongnya
kearah tindakan, sikap serta perilaku negatif dan merugikan. Potensi tersebut
yakni bentuk kecenderungan manusia untuk berlaku zalim dan mengingari nikmat
(QS. Ibrahim:34), tidak berterima kasih dan putus asa (QS. Huud: 9), sombong
bila telah berkecukupan, hingga mereka sanggup mengatakan: “Sesungguhnya Allah
miskin dan kami kaya” (QS. Al-Imran :181). Perilaku manusia seperti ini
cenderung menjadikan manusia lupa diri dan melupakan harkat serta martabat
dirinya sebagai makhluk ciptaan. Menurut M. Quraish Shihab, setidaknya ada tiga
kecenderungan fitrah manusia yaitu: benar, baik dan indah. Mencari yang indah,
melahirkan seni; mencari yang baik, menimbulkan etika dan mencari yang benar
menghasilkan ilmu. (Quraish Shihab dalam Jalaluddin, 2002: 23).
Oleh
karena itu, konsep al-Insan mengacu kepada bagaimana manusia dapat memerankan
dirinya sebagai sosok pribadi yang mampu untuk mengembangkan dirinya, agar
menjadi sosok llmuan yang seniman, serta
berakhlak mulia secara utuh. Konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong
manusia untuk berekreasi dan berinovasi. Dengan demikian, manusia dapat
menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian
ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia
mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang.
c.
Al- nas
Dalam
al-Qur’an kata Al-Nas umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk
sosial. Dalam QS. Al-Hujurat: 13, manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita, kemudian
berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling kenal-mengenal. Sebagai
makhluk sosial, manusia secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak dari
bentuk satuan yang terkecil (keluarga) hingga kepalig besar dan kompleks, yaitu
bangsa dan umat manusia.
Kehidupan sosial memang diprioritaskan dalam
ajaran islam, bahwa konsep al-Nas terulang sekitar 24 kali dalam al-Qur’an.
Kemampuan untuk memerankan diri dalam kehidupan sosial, sehingga dapat
mendatangkan manfaat, sebagaimana Nabi menyatakan: sebaik-baik manusia, adalah
mereka yang banyak memberi manfaat bagi sesama manusia (khair al-Nas anfa’ li
al-Nas). Dengan demikian konsep al-Nas mengacu kepada peran dan tanggung jawab
manusia sebagi makhluk sosial dalam statusnya sebagai makhluk ciptaan Allah
SWT.
Sebagai
makhluk ciptaan Allah bagaimanapun manusia dituntut untuk beriman kepada
Penciptanya. Kemudian dalam kehidupan sosial mereka dituntut untuk berbuat
kebaikan. Adapun terdapat tiga kerangka pokok peran manusia yang digariskan
Penciptanya (lihat QS.al-Imran:110); 1) mengajak masyarakat berbuat baik
(setelah dirinya terlebih dahulu melakukan kebaikan, 2) mencegah masyarakat
berbuat kemungkaran (sebelum perbuatan mungkar terjadi), dan 3) atas dasar iman
kepada Allah. Jika ketiganya dapat dilakukan manusia secara konsisten dan
berkesinambungan serta dapat dijadikan tradisi dalam kehidupan sosial, maka
kelompok masyarakat tersebut sebagaimana yang dijanjikan Allah, akan berpeluang
mencapai peringkat terbaik, yaitu predikat khair ummat. Preringkat ini telah
dicapai oleh Nabi dan para sahabat pada periode awal perkembangan masyarakat
Islam, khususnya diperiode Madinah dalam suatu
Baldat Thayyibat wa Rabb Ghafur (negara yang aman tentram dibawah
naungan pengampunan Tuhan.
d.
Bani adam
Manusia
sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh
tempat dalam al-Qur’an. Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep Bani
Adam, manusia diingatkan agar tidak tergoda oleh Syaitan sebagai mana dalam
(QS.Al-A’raf: 26-27), seperti pencegahan dari berlebih-lebihan baik itu makan
dan minum dan tata cara yang berpakaian yang pantas saat beribadah
(QS.Al-A’raf: 31), bertaqwa dan mengadakan perbaikan( QS. Al-A’raf: 35).
Bani
Adam dalam (QS: Al-A’raf: 172), menjelaskan tentang kesaksian manusia terhadap
Tuhannya , dan terakhir peringatan agar
manusia tidak terpedaya hingga menyembah
setan, dengan mewanti-wanti manusia
mengenai status setan sebagai musuh yang nyata
yang tertera (QS. Yasin: 60). Penjelasan ayat-ayat diatas mengisyaratkan bahwa, manusia selaku Bani Adam
dikaitkan dengan gambaran peran Adam as. aat awal diciptakan para malaikat seakan
menghawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan penciptaanya,
manusia akan menjadi biang kerusakan dan pertumpahan darah. Kemudian terbukti
bahwa Adam As. dan istrinya Siti
Hawa karena kekeliruan akhirnya terjebak oleh hasutan setan hingga oleh Allah,
Keduanya dikeluarkan dari surge dsebagi hukuman atas kelalaian yang mereka
perbuat. sebagaimana dikisahkan dalam (QS. Al-Baqarah: 35-36). Tampaknya
manusia selaku Bani Adam memang termasuk makhluk bermasalah. memiliki peluang
untuk digoda setan.
Dalam penjelasan
Al-Gharib al-ishfahany, bani berarti keturunan (dari darah daging ) yang
dilahirkan ( Al-Ishfahani.tt 20-21).
Menurut penafsir RI
mengartikannya segagai “Umat
manusia” Jadi “Khalifah” untuk itu selalu diperingatkan oleh Allah agar manusia
selalu waspada dan sebagai preventif
(peringatan dini) bagi dirinya. Selain Itu Bani Adam, dalam bentuk menyeluruh
mengacuh kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. meskipun dari
berbagai latar belakang sosio-kultural, agama, bangsa dan bahasanya
harus dihargai dan dimuliakan.Dan pada hakekatnya kita adalah bersaudara dari
nenek moyang sama. Yaitu Nabi Adam as.
e.
Al-ins
al-
ins adalah homonin dari al-jins dan al-nufur. Al-ins terbentuk dari akar kata
berarti senang, jinak dan harmonis atau kar kata nisy yang berarti lupa, serta
dari kara kta naus berarti penggerakan tau dinamis. Dalam kaitan dengan jin,
maka manusia adalah makhluk yang ksada mata. Sedangkan jin adalah makhluk halus
yang tidak nampak. Selain itu, makna ini dihadapkan dengan an-nufur
(perjalanan) karena manusia(al-ins) termasuk makhluk yang jinak, senang
menetap.
Untuk
melihat bagaimana konsep al-ins ii dipahami, seperti dikemukakan oleh
al-qur’an, bahwa jin dan manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah.
Berdasarkan dari hakikat penciptanya ini nampaknya manusia dalam konteks al-ins
berstatus selaku pengabdi Allah. Adapun upaya untuk menyalaraskan pola tingkah
laku manusia dengan tuntutan ini, diharapkan dia harus selalu mengingat Allah.
Sebagai pemantapan ingatan kepada Allah ini pula, barangkali dianjurkan kepada
manusia agar mengawali setiap aktivitasnya dengan menyebut bismillah.
Ucapan
bismillah mengandung arti bahwa aktivitas manusia tidak bebas nilai, semuanya
tergantung kepada penciptaanya. Demikian melalui ucapan bismillha yang
dilafzkannya, sekaligus mengandung arti, manusia berupaya memasukkan
nilai-nilai illahiyat pada segenap kegiatan dan aktivitasnya. Ucupan tersebut
seakan mempertalikan dirinya melalui keteringatannya kepada sang pencipta, sehimgga
segala bentuk aktivitas yang akan dilakukannya senantiasa berada dalam garis
tuntunan serta ridanya.
f.
Abd Allah
Al-Qur’an
juga menamakan manusia dengan Abd Allah yang berarti abdi atau hamba Allah. Menurut Prof Quraish
Shihab, seluruh makhluk memiliki potensi
berperasaan dan berkehendak adalah Abd
Allah dalam arti dimiliki Allah.
Kepemilikan Allah terhadapa makhluk tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan
sempurna. Dengan demikian Abd Allah
tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktifitasnya dalam kehidupan itu.
Al-Ishfahani
memaknai kata Abd juga berarti ibadah,sebagai pernyataan kerendahan diri.
Kemudian ibadah itu sendiri hanya diperuntukkan
kepada Allah semata (QS. Yusuf: 40)yang menunjukkan sikap kerendahan diri paling puncak dan
sempurna dari seorang pengabdian kepada Allah baru dapat terwujud bila
seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1.
Menyadari bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan berada di
bawah kekuasaan Allah.
2. Menjadikan segala bentuk sikap dan
aktivitas selalu mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
3.
Dalam mngambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah, manusia merupakan hamba
yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah. Yaitu dengan menta’ati segala
aturan-aturan Allah.
g.
Khalifah Allah
Pada
hakikatnya eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk
melaksanakan kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya
ini., sesuai dengan kehendak Penciptanya. peran yang dilakonkan oleh manusia
menurut statusnya sebagai khalifah Allah setidak-tidaknya terdiri dari dua
jalur, yaitu jalur horizontal dan jalur vertikal.
Peran
dalam jalur horizontal mengacu kepada bagaimana manusia mengatur hubungan yang
baik dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan peran dalam jalur
vertikal menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandataris Allah.
Dalam peran ini manusia penting menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya
untuk menguasai alam dan sesama manusia adalah karena penegasan dari
Penciptanya.
M.
quraish shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah mencakup pengertian :
1.
orang yang memberi kekuasaan untuk mengelolah wilayah, baik luas maupun
terbatas.
2. khalifah memiliki potensi untuk
mengembang tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
No comments:
Post a Comment