PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wakaf
merupakan salah satu lembaga Islam yang bersifat sosial kemasyarakatan,
bernilai ibadah, dan sebagai pengabdian kepada Allah swt. Masalah
perwakafan ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, baik dari
segi pengelolaan, pengembangan, maupun pemanfaatannya. Bahkan sekarang harta
benda wakaf juga mengalami perkembangan dengan dibolehkannya wakif mewakafkan
dengan benda bergerak berupa uang, logam mulia, surat berharga, hak atas
kekayaan intelektual, dan lain-lain.
Berkaitan
dengan masalah wakaf, di dalam Al-Qur`an tidak terdapat ketentuan yang jelas
yang mengatur tentang masalah wakaf. Tetapi perintah dalam Al-Qur`an untuk
berbuat baik dapat dijadikan landasan umum bagi amalan wakaf. Maka dasar yang digunakan
para Ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumumuan
ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang infaq fisabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain yang artinya
:
”Hai orang-orang yang
beriman, nafkakanlah (di jalan allah) sebagian dari harta usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang kamu keluarkan dari bumi untuk kamu.
Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memancingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa allah maha kaya lagi maha terpuji.”(Q.S
al-Baqarah:267).
”Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian
harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya
allah mengetahuinya.”(Q.S ali-Imran:92)
“Perumpamaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dikehendaki. Dan Allah maha luas
(karunia-nya) lagi maha mengetahui.”(Q.S al-Baqarah:261).[1]
Sebagian
Ulama lainnya mengaitkan dasar hukum wakaf dengan ayat-ayat Al- Qur`an yang
memerintah orang-orang yang beriman untuk berbuat baik, yang terdapat dalam
ayat-ayat berikut ini. Al-Qur`an surat Āli ‘Imrān ayat 92 menentukan: “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. Al-Qur`an surat al-Hajj ayat 77
memerintahkan: “Hai orang-orang
yang beriman, ruku‘lah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat
kemenangan”. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut menurut para ahli dapat digunakan
sebagai dasar umum lembaga wakaf.[2]
Wakaf
yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW tersebut selanjutnya
diikuti oleh kaum muslimin di seluruh dunia, terutama di negara-negara Islam
atau negara-negara yang penduduknya beragama Islam, misalnya Mesir, Saudi Arabia,
Syria, Yordnia, Turki, Bangladesh, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain.
Masing-masing negara ini mengatur masalah perwakafan dalam suatu peraturan
perundang-undangan tersendiri, termasuk salah satunya di Indonesia. Az-Zuhaili
berpendapat hukum wakaf hanya sedikit diatur oleh as-Sunnah dan kebanyakan
ditetapkan oleh pendapat Ulama dengan
berpegang kepada istihsan, istilah, dan ‘urf
atau kebiasaan. Sedangkan Syaikh Mustafa
az-Zarqa, dikutip oleh Munżir Qahaf, menyatakan rincian hukum wakaf dalam fikih, keseluruhannya berdasarkan hasil
ijtihad, qiyās, karena akal berperan
dalam hal ini.[3]
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin
berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu
tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa
manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan
dengan baik.
Wakaf
adalah salah satu lembaga Islam yang potensial untuk dikembangkan, khususnya di
negara-negara berkembang. Berdasarkan pengalaman negara yang lembaga wakafnya
sudah maju, wakaf dapat dijadikan pilar ekonomi. Pada umumnya negara-negara
tersebut, wakaf dikelola secara produktif, pengelolaan wakaf secara produktif
itu sebenarnya sudah dilakukan sejak awal islam, sehingga pada waktu itu wakaf
dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan umat.[4]
Sepanjang
sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan
kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam, dilihat dari
segi bentuknya wakaf juga tidak terbatas pada benda tidak bergerak tetapi juga
benda bergerak. Di beberapa negara yang wakafnya sudah berkembang dengan baik,
wakaf yang selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga
merupakan tanah pertanian, perkebunan, uang , saham, dan lain-lain yang
semuannya dikelola secara produktif.
Wakaf
produktif pada umumnya berupa tanah pertanian atau perkebunan, gedung-gedung
komersial, pabrik-pabrik yang dikelola demikian rupa sehingga mendatangkan
keuntungan yang sebagian hasilnya dipergunakan untuk membiayai berbagai
kegiatan tersebut. Wakaf produktif ini kemudian dipraktikkan di berbagai negara
sampai sekarang dan hasilnya dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai masalah
sosial dan ekonomi umat.[5]
Bahwa wakaf yang
ada di Indonesia pada umumnya berupa mesjid, mushalla, madrasah, sekolahan,
makam, rumah yatim piatu dan lain-lain.Wakaf yang ada memang belum dapat
berperan dalam menaggulangi permasalahan umat khususnya masalah sosial dan
ekonomi.Kondisi ini disebabkan oleh keadaan tanah wakaf yang sempit dan hanya
cukup dipergunakan untuk tujuan wakaf yang diikrarkan wakif seperti untuk
mushalla dan mesjid tanpa diiringi tanah atau benda yang dapat dikelola secara
produktif.memang ada tanah wakaf yang cukup luas, teatapi karena nadhirnya yang
kurang kreatif, tanah yang memungkinkan dikelola secara pruduktif tapi pada
akhirnya tidak dimanfaatkan sama sekali. Dengan demikian lembaga pengelola
wakaf di Indonesia belum terasa manfaat bagi kesejahteraan sosial
Dalam sejarah
hukum di indonesia wakaf di atur dalam tiga instrumen hukum, yaitu Pertama dengan Istrumen Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, kemudian yang Kedua dengan Instrumen Impres yaitu
Kompilasi Hukum Islam (KHI) lalu yang Ketiga
dengan Instrumen Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.[6]
Pengelolaan dan pengembangan wakaf yang ada di Indonesia sangat diperlukan
komitmen bersama pemerintah, ulama dan masyarakat.Selain itu juga harus
dirumuskan kembali mengenai berbagai hal yang berkenan dengan wakaf, termasuk
harta yang diwakafkan.Selanjutnya wakaf
harus diserahkan kepada orang-orang atau Badan Wakaf Indonesia yang
telah mempunyai kompetensi memadai sehingga bisa mengelola secara profesional,
amanah dan produktif.
Badan yang mengawasi Wakaf Indonesia, sebagai mana telah
di atur dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf. Dengan adanya Badan Wakaf Indonesia
masyarakat mengharapkan agar dapat mengelola wakaf secara profesional dan
amanah.
Wakaf menurut fiqih
Islam adalah “menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada
seseorang atau nadhir(pengurus wakaf), atau kepada badan pengelola, dengan
ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai
dengan ajaran syari’at islam.Dalam hal tersebut benda yang diwakafkan, bukan
pula hak milik yang menyerahkan, tetapi menjadi hak Allah (hak umum)[7]
Wakaf menurut
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana tercantum di dalam
pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah
perbuatan hukum untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingan guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah.[8]
Dengan demikian
di dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan wakaf, diserahkan kepada badan
pengelola wakaf atau dengan kata lain disebut dengan Nadzir wakaf yang memiliki
kemampuan untuk mengurus dan bertanggaung jawab atas semua kekayaan wakaf serta
hasilnya. Nadzir wakaf juga mempunya kewajiban untuk membuat agenda laporan
secara berkala sebagai mana yang telah di atur didalam Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Adapun mengenai
dasar hukum nadzir wakaf dalam hukum fiqih
Islam dapat dilihat dalam hadist Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Umar yang
didalamnya terdapat perkataan : dan tidak ada halangan bagi orang yang
mengurusnya untuk memakan sebagian darinya dengan cara ma’ruf. [9]
Kondisi sistem
pengelola wakaf yang terjadi dalam masyarakat sekarang belum sepenuhnya
berjalan tertib dan efisien sehingga dalam masyarakat terdapat macam berbagai kasus harta benda
wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan
pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya
karena kelalaian atau ketidak mampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan
harta wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum
memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan
umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Faktor-faktor
yang membuat pelaksanaan wakaf ini jauh dari hasil yang diharapkan adalah
dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap manajemen wakaf sehingga banyak orang
yang mewakafkan hartanya tanpa membentuk manajemen wakaf seperti membentuk
lembaga pengawas dan pengontrol serta sistem laporan keuangan yang trasparan
dan ini merupakan tugas dari nadzir wakaf.[10]
Di negara Timur
Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Syria dan daerah-daerah lainnya berkembang
luas dan pemafaatannya juga jelas. Pengelolaan wakaf di indonesia masih belum
optimal dan menghadapi banyak kendala.[11]
Selain itu banyak tedapat wakaf untuk keluarga
di samping wakaf untuk umum, Menurut Ahmad Basyir[12]. Membagi wakaf menjadi
dua macam, yaitu pertama, Wakaf ahli
atau juga disebut wakaf keluarga adalah wakaf yang ditunjukan kepada
orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan keluarga si wakif.
Kedua, Wakaf khairi atau wakaf umum
yang sejak semuala sudah ditunjukan untuk kepentingan umum yang dapat menikmati
hasilnya oleh masyarakat secara luas dan merupakan salah satu sarana untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyaraka, baik dalam bidang sosial, ekonomi,
pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.
Dengan demikian
minimnya sentuhan mekanisme kontrol dan pengabaian manajemen organisasi serta
tidak kuatnya sistem pengaturan yang ada menyebabkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran
serta berbagai masalah dalam pengelolaan wakaf atau yang di istilahkan dengan
Nadzir yang memiliki kewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas semua
kekayaan wakaf.
Lembaga
pengelolaan wakaf merupakan lembaga yang berkaitan langsung dengan upaya
produktif dan aset wakaf. Semakin banyak hasil harta yang dapat dinikmati
orang, akan semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak wakif.
berdasarkan hal tersebut, dari segi hukum fiqih, pengembangan harta wakaf
secara produktif merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pengelola wakaf
atau yang disebut Nadzir wakaf.
Mengenai nadzir
yang ditugaskan sebagai pengelola harta wakaf dalam, manajemen dan keuangan
atas harta wakaf seluruhnya pada nadzir. Dalam perwakafan pada nazhir sebagai
pengelola, maka Departemen Agama atau Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai
pengawas atas nadzir dan tanah wakaf.[13]
Nadzir adalah
pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Posisi Nadzir sebagai pihak yang
bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang
penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nadzir dalam
perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagi mauquf alaih sangat bergantung pada nadzir wakaf. Meskipun demikian
tidak berarti bahwa nadzir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang di
amanahkan kepadanya.[14]
Seorang
nadzir diberikan haknya apabila ia telah menjalankanya kewajibannya sesuai
dengan tanggung jawab sebagai nadzir, nadzir melaksanakan kewajibannya akan
mendapatkan haknya berupa upah atau imbalan, bahwa orang yang mengurus harta
benda wakaf juga berhak atas hasil dari harta wakaf yang ia kelola.Sebagai mana
diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf disebutkan
bahwa dalam melaksanaan tugas Nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih
atau pengelolaan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh
persen).
Dalam
pelakasanaan wakaf kedudukan nadzir merupakan suatu hal yang sangat penting dan
sentral. Di pundak nadzir inilah tanggung jawab untuk memelihara, menjaga dan
mengembangkan wakaf agar dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. nadzir
inilah yang bertugas untuk menyalurkan hasil wakaf dan memanfaatkannya untuk
kepentingan masyarakat sesuai yang direncanakan. Akan tetapi sudah terlalu
banyak pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh nadzir yang tidak
professional, sehingga banyak harta
wakaf tidak berfungsi secara maksimal dan tidak memberi manfaat sebagai mana
yang diharapkan, bahkan banyak harta wakaf yang di alih fungsikan atau terjual
kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab karena nadzir tidak dapat
mengelola tanah wakaf itu secara professional.[15]
Berfungsi atau
tidaknya harta wakaf sangat tergantung pada kemampuan seorang nadzir. Di berbagai negara yang wakafnya
dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan kemaslahatan umat, wakaf
dikelola oleh nadzir yang profesiaonal. Akan tetapi di Indonesia masih sedikit
nadzir yang professional, bahkan ada beberapa nadzir yang kurang memahami hukum
wakaf termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya. Di samping itu dalam
berbagai kasus ada sebagian nadzir yang kurang memegang amanah, seperti
melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf dan
kecurangan-kecurangan lainnya.
Maka
untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, wakif
perlu menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta yang diwakafkan itu menolong
keluarganya sendiri sebagai wakaf kelurga (waqf
ahly), atau untuk fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum
(waqf khairy) yang jelas tujuannya
adalah untuk kebaikan mencari ridha allah dan mendekatkan diri kepadanya.[16]
Di
kecamatan samudera terdapat pendaftaran harta wakaf masih secara fiqih islam.
Menurut Mazhab Imam Syafii wakaf di
anggap telah berpindah tangan dengan adanya
lafaz atau sigat, walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Milik semula dari wakif telah hilang atau berpindah dengan
terjadinya lafaz, walaupun barang itu
masih berada di tangan wakif. Dari
keterangan di atas terlihat bahwa dalam hukum Islam tidak diperlukan banyak
persyaratan menyangkut prosudur atau tata cara pelaksaan wakaf. [17]
Temuan awal di kecamatan samudera terdapat
nadzir wakaf yang diberhentikan sebelum
berakhirnya masa jabatan, terhadap pemberhentian nadzir wakaf tanpa adannya
alasan yang jelas terhadap kesalahan nadzir yang telah di berhentikan maka
nadzir tersebut telah kehilangan hak dan kewajibannya sebagaimana yang telah di
atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Ada pula yang diberhentikan
karena tidak mampu mengelola harta wakaf dengan baik dan tidak amanah dalam
menjalankan tugasnya sebagai nadzir wakaf. Sampai saat ini manajemen pengelola
wakaf di Kabupaten Aceh Utara masih sangat memperihatinkan karena Nadzir yang
tidak professional maka akibatnya banyak harta wakaf yang terlantar dan tidak
jelas hasil pengelolaan wakafnya.
Tetapi
terhadap sistem pemberhentian nadzir wakaf di kabupaten Aceh Utara belum
mempraktekkan sebagaimana yang sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf. Karena didalam masyarakat Kabupaten Aceh Utara masih
berpegang pada sistem pemberhentian dalam Fiqih
islam. Namun demikian peran dari nadzir wakaf tersebut tidak selamanya mulus
dalam praktek, karena pada kenyataannya masih banyak terdapat harta wakaf yang
belum di kelola apalagi dikembangkan dengan baik. Bahwa mengenai profesionalisme hanya sedikit nazhir wakaf yang
benar-benar mengelola harta wakaf secara penuh sehingga belum dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat
banyak.
Berdasarkan
uraian-uraian tersebut di atas yang merupakan masalah-masalah awal sehingga
perlu adanya suatu penelitian lebih lanjut mengenai pemberhentian nazhir wakaf
sebagai pihak dalam penegloala wakaf, Maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pemberhentian
Nadzir Wakaf Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf (Studi di Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara)”.
B.
Perumusan Masalah
Adapun
yang menjadi permasalahan didalam penulisan tesis ini adalah:
1. Bagaimana tata cara pemberhentian nadzir
wakaf dalam perspektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf?
2. Bagaimana hak dan kewajiban nadzir wakaf
yang diberhentikan dalam perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf?
3. Faktor-faktor yang menyebabkan nadzir
wakaf diberhentikan sebelum habis masa jabatannya di Kecamatan Samudera
Kabupaten Aceh Utara?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas
maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
1.
Untuk
mengetahui bagaimana tata cara pemberhentian nadzir wakaf dalam perspektif
Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
2.
Untuk
mengetahui Bagaimana hak dan kewajiban nadzir wakaf yang diberhentikan dalam
perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
3.
Untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan nadzir wakaf diberhentikan sebelum
habis masa jabatannya di Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara
D.
Manfaat Penelitian
Tujuan
penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai
bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikkut :
1. Secara teoritis,diharapkan penelitian
ini dapat menambah bahan pustaka/literatur dan juga sebagai masukan ilmu
pengetahuan, khususnya mengenai terhadapat pemberhentian nazhir wakaf.
2. Secara praktis sebagai bahan informasi
tambahan bagi pemerintah dan penegak hukum serta memberikan sumbangan pemikiran
bagi pihak-pihak yang terkait dalam badan pengelola wakaf Indonesia.
E.
Keaslian Penulisan
Berdasarkan
informasi pemeriksaan yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada
di lingkungan Universitas Sumatra Utara, khususnya di lingkungan Magister
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum, belum ada penelitan sebelumnya yang
berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Pembrhentian
Nadzir Wakaf Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.(Studi di kecamatan Samudera kabupaten Aceh Utara)”Akan tetapi
ada beberapa penelitian yang menyangkut tentang nadzir wakaf anatara lain
penelitian yang di lakukan oleh:
1. Penelitian yang dilakukan oleh H.RADEN
SYAFI’I, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara dengan judul
“Wewenang Nazhir Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Dan Fiqih Islam”
Rumusan
Masalah :
a. Pihak-pihak manakah
yang mengangkat nadzir wakaf menurut undang-undang wakaf nomor 41 tahun 2004
dan fiqih Islam,serta bagaimana pelaksanaanya di kota medan
b. Hal-hal apa saja yang
menjdai wewenang nadzir wakaf menurut Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004
dan fiqih Islam, serta bagaimana pelaksanaanya di kota medan.
c. Sanksi apa saja yang
diberikan terhadap nadzir wakaf yang melalaikan dan menyalahgunakan wewenag
menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, serta bagaimana pelaksanaannya
dikota medan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh EVIROSITA
Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatra Utara dengan judul
“Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf Yang Dikuasai Nadzir (Studi Kasus Di Kecamatan
Lueng Bata Kota Banda Aceh)”
Rumasan
Masalah :
a. Bagaimana kedudukan
nadzir sebagai pengelola tanah wakaf menurut hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
b. Apakah yang menjadi
kendala-kendala nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf.
c. Bagaimana efektifitas
pengelolaan pengawasan tanah wakaf.
Permasalahan-permasalahan
yang dibahas dalam penelitian tersebut berbeda dengan berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Oleh karena
itu penelitian dapat menjamin sepenuhnya tentang keaslian penelitian dan dapat
di katagorikan sebagai penelitian yang
baru dan dapat dipertanggung
jawabkan secara akademik.
F.
Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Dalam penelitian
harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkang dan
menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu.[18]
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis
mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbadingan
teoriti, sedangkan suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara
bagaiman mengorganisasi dan mengintrepetasi hasil-hasil penelitian dan
menhubungkan dengan hasil terdahulu.[19]
Selain itu,
menurut M. Solly Lubis menyatakan konsep teori merupakan kerangka pemikiran
atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus atau pun permasalahan yang bagi
si pembaca menjadi bahan perbandingan.[20]
Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori amanah, hal ini sejalan dengan
firman allah yang terdapat dalam
QS.An.Nisa’ ayat 58 yang artinya:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.sesungguhnya allah
adalah maha mendengar lagi maha melihat.”
Amanah menurut
bahasa bersal dari kata aman yaitu kebalikan dari takut. Sedangkan amanah
adalah kebalikan dari khianat. Dalam istilah syara’, Amanah artinya perilaku yang tetap dalam jiwa, dengan
seorang menjaga diri dari apa-apa yang bukan haknya walaupun terdapat
kesempatan untuk melakukannya tanpa merugikan dirinya dihadapan orang lain.[21]
Kata “ Waaqf “ berasal dari bahasa
arab “waqofa-yaqifu-waqfa” yang
berati, berhenti memperlihatkan, memerhatikan, meletakkan, mengatakan, mengapdi,memahami,
mencegah, menahan dan tetap berdiri.Kata “Al-
waaqf” adalah bentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’ yang berate menahan sesuatu. Dalam pengertian
istilah secara umum,wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaanya dilakukan
dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Sedangkan yang dimaksud
dengan “tahbisul ashli” ialah menahan
barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, disewakan, dan digadaikan
kepada orang lain.[22]
Menurut hadist
Nabi yang di riwayatkan oleh Muslim berasal dari Abu Hurairah, Seorang manusia
yang meninggal dunia akan berhenti semua pahala amal perbuatannya, kecuali
pahala tiga amalan yaitu :
1. Pahala amalan Shadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya tetap mengalir) yang
diberikannya selama ia hidup.
2. Pahala ilmu yang bermanfaat (bagi orang
lain) yang di ajarkan selama hayatnya.
3. Doa anak (amal) saleh yakni anak yang
membalas guna orsng tuanya dan mendoakan ayah dan ibunya yang telah meninggal.
Para ahli fiqih sependapat bahwa yang dimaksud dengan pahala shadaqah jariayah dalam hadist adalah
wakaf yang diberikan dikala seseorang msih hidup.[23]
Menurut Imam
Malik bahwa wakaf itu menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa
atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk
penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau yang di
kehendaki oleh orang yang mewakafkan.[24]
Sebagai teori
pendukung digunakan teori Kemaslahatan, secara etimologi kata maslahat, jamaknya mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan
lawan dari keburukan atau kerusakan. Mashalahat
kadang-kadang disebut dengan istilah yang berati mencari yang benar. Esensi mashlahat adalah terciptanya kebaikan
dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat
merusak kehidupan umum[25]
2. Kerangka Konsepsi
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka
konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep yang merupakan kumpulan
dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti dan di uraikan
dalam karya ilmiah.[26]
Menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena
yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok, atau individu tertentu[27]
1.
Wakaf
adalah memberikan harta atau pokok benda yang produktif terlepas dari campur
tangan pribadi,menyalurkan hasil dan manfaatnya secara khsusus sesuai dengan
tujuan wakaf, baik untuk kepentingan perorangan, masyarakat, agama, maupun
umum.[28]
Dalam rumusan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf, pasal 1 ayat (1) yang juga ditegaskan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 215 menyatakan, “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau kelompok aorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda
miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepenting ibadat atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam”[29]
Dari definisi di atas meberikan pemahaman bahwa cakupan pengertian wakaf
meliputi :
a. Harta benda milik seseorang atau
sekelompok orang
b. Harta benda tersebut bersifat kekal
zatnya, tidak habis apabila dipakai.
c. Harta tersebut dilepas kepemilikannya
oleh pemiliknya.
d. Harta yang dilepas kepemilikannya
tersebut tidak bisa dihibahkan, diwariskan atau diperjual belikan.
e. Manfaat dari harta benda tersebut untuk
kepentingan umum.
2.
Nazhir wakaf adalah
pengurus dan pengelola wakaf. Kekuasaan nazhir atau mutawali atas waqaf ialah kekuasaan yang terbatas dalam memlihara,
menjaga, mengelola, dan memanfaatkan hasil dari barang yang diwakafkan sesuai
dengan maksudnya. “jika pada suatu wakaf itu tidak ada mutawali maka karena jabatannya kadhi bertindak sebagai pengawas.[30]
3.
Wakif adalah orang
yang mewakafkan hartanya,orang yang mewakafkan hartanya menurut Islam disebut wakif. Yang dimaksud dengan wakif adalah subjek hukum, yakni orang
yang berbuat. Menurut peraturan perundang-undangan wakif ialah orang atau badann hukum yang mewakafkan harta
miliknya.
4.
Pemberhentian
adalah Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengartikan
bahwa pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antar pekerja dan pengusaha. Sedangkan menurut Moekijat mengartikan
bahwa pemberhentian ada putusan hubungan kerja sama seseorang karyawan dengan
sesuatu organisasi perusahaan.[31]
Fiqih Islam adalah : Fiqih dalam bahasa Arab artinya pengertian, dan dalam
istilah ulama artinya ilmu yang membahas hukum-hukum agama Islam diambil dari
dalil-dalil tafsili atau dalil dalil yang terperinci.[32]
G. Metode Penelitian
G. Metode Penelitian
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian
yang digunakan adalah dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris yaitu penelitian pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan
dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan, membandingkan dengan penerapan hukum dan peraturan didalam
masyarakat.
Sedangkan Sifat
dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis maksudnya dari
penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis
tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan
gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk
menjawab permasalahan.[33]
2. Sumber dan Data Penelitian
2. Sumber dan Data Penelitian
Sumber data
dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan menggunakan bahan hukum :
1) Bahan hukum primer
1) Bahan hukum primer
Yaitu
bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang
dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya adalah ketetuan-ketentuan
dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, Ijma’ Ulama, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 Tentang wakaf.
2) Bahan hukum sekunder.
Yaitu
bahan-bahan yang erat hubungannya dengan dengan bahan primer dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian,
hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen dan
buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah wakaf.
3) Bahan hukum tertier.[34]
Yaitu
bahan-bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum dan bahan-bahan
hukum sekunder, seperti kamus hukum, jurnal ilmiah, ensiklopidia.yang
berhubungan atau berkaitan dengan materi penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mendapat data yang diperluka, pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap
penelitian antara lain sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan (Library Research).
Studi Kepustakaan ini
dilakukan untuk menguraikan sistematika tentang teori-teori dan hasil-hasil
penelitian yang didapatkan oleh peneliti terdahulu yang ada hubungannya dengan
permasalahan dan tujuan penelitian.[35]
b. Wawancara
Hasil wawancara dapat
dijadikan bahan hukum sebagaiman data dalam penelitian,[36]
Data tersebut di peroleh dari pihak-pihak informan atau narasumber yang
dianggap mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan masalah
pemberhentian Nazhir wakaf.
4. Populasi dan Sampel
4. Populasi dan Sampel
Populasi atau
Universel adalah sejumlah manusia atau unit yang memiliki cirri-ciri atau
karakteristik yang sama.[37]
Populasi dalam penelitian ini adalah pihak yang terkait dalam pemberhentian
nadzir wakaf, sehingga penarikan sampel secara purposive yaitu penentuan
responden yang berdasarkan atas pertimbangan tujuan tertentu dengan alasan
responden adalah orang-orang yang berdasarkan kewenangan yang di anggap dapat
memberikan data informasi yang terkait dalam pemberhentian nadzir wakaf di
Kabupaten Aceh Utara. Dikarenakan sampel yang akan di gunakan bersifat homogen
maka sampel tersebut, dapat dibagi menjadi 4 orang nadzir wakaf sebagai nara
sumber, 1 orang Kantor Urusan Agama Kecamatan Samudera, dan 2 orang Majelis
Permusyawaratan Ulama Kabupaten Aceh Utara.
5. Lokasi Penelitian
5. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini merupakan cermin kelayakan
akan terungkapnya data primer atau data dasa.[38]
Penelitian lapangan ini di lakukan di Kabupaten Aceh Utara yaitu di kantor
Badan Wakaf Indonesia dan Kantor Urusan Agama Kabupaten Aceh Utara, pengambilan
lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kantor tersebut berkaitan
langsung dengan penelitian yang akan dilakukan, hal ini bertujuan untuk
memberikan kemudahan untuk mendapatkan informasi yang berkenaan dengan judul
penelitian yang akan diteliti berjudul Analisis
Yuridis Terhadap Pemberhentian Nadzir Wakaf Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Studi di Kabupaten Aceh Utara)
6. Analisis Data
6. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat
diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap
permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan
metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak
dari dari asumsi tentang ralitas atau fenomena sosial bersifat unik dan
konpleks.padanya terdapat regularitas atau pola tertentu.[39]
Analisis data penelitian berisi
uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data
dianalisis dan apa manfaat data yang tekumpul untuk dipergunakan memecahkan
masalah yang dijadikan objek penelitian.[40]
Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif,
yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya
menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan
pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam
bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang
bersifat khusus.
[1]Abdul Manan, Aneka Masahal Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, Preneda
Media Group, 2006) Hal 239
[2]Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonimi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta,
Universitas Indonesia Press, 1988), Hal 80
[3],http://lsi.unisba.ac.id/index.php/component/content/article/61-wakap/83-wakaf-dan-islam,
diakses pada tanggal
20 September 2014.
[4] Suhrawardi K.Lubis, Wakah dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta,
Sinar Grafika, 2010), Hal 22
[5]Ibid, Hal. 21
[6]Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta, Darul Ulum Press,1994),
Hal.1
[7]H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta,
Djambatan,1998), Hal.321
[8]Lihat
Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 204 Tentang Wakaf
[9] Sayyid
sabiq, Fiqih Sunnah, (Terjemahan
Mudzakir A.S., Alma’arief), Hal 161
[10] H.M Hasbalhal Thaib, Fiqih Wakaf, Konsentrasi Hukum Islam,
(Program Paska Sarjana Hukum USU), Hal 82
[11]Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset),Hal 330
[12] Abdul Manan, Op.Cit, Hal 242
[13]Ahmad Rofiq,
Op.Cit., Hal 10
[14]Quantum Husna http://hidayatfirtson.blogspot.com/2014/03/nazhir-wakaf.html, diakses pada tanggal 19
September 2014.
[15]Abdul Manan, Op.Cit, Hal 269
[16] Ahmad Rofiq, Op.Cit, Hal 323
[17] Adijani
Al-Alabij, Op.Cit, Hal 38
[18] Soejono
Soekarto,Pengantar Penelitian Hukum,
(Jakarta, Universitas Indonesia Press,
1986), Hal 112
[19] Burhan
Ashofa, Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta, Bhineka Cipta, 1996), Hal 19
[20] M. Solly
Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian,
(Medan, Sofmedia,2012), Hal 80
[21] Hasbalhal
Thaib, La’allakum Tattaquun, Medan,
(Wal Ashari Publishing), 2014, Hal 83
[22] Abdul Manan, Op.Cit, Hal 237
[23] Muhammad Daud Ali,
Op.Cit, Hal 81
[24] Abdul Manan, Op.Cit, Hal 235
[25] H.M.
Hasbalhal Thaib,Tajdid Reaktualisasi Dan
Elastisitashukum Islam, Konsentrasi Hukum Islam, (Medan, Program Pasca
Sarjana USU, 2002)
[26] Zinuddin
Ali, Metode Penelitian Hukum, (
Jakarta, Sinar Grafika, 2009), Hal 96
[27] Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, Rineka
Cipta,(
Jakarta, 1996),
Hal
19
[28]Mundzir
Qahar Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa,(
Jakarta Timur, 2005),Hal :3
[29] Ahmad Rofiq, Op.Cit, Hal 320
[30] Ali
Ridho, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan
Hukum Perseroan Perkumpulan,Koprasi, Yayasan, Wakaf.( Bandung, 1986) Hal
128
[31]Http://ranjidsuranta.wordpress.com/pemberhentian-tenaga-kerja-pada-perusahaan/, Di
akses pada tanggal 30 Oktober 2014.
[32] Quantum Husna, http://hasansaggaf.wordpress.com/2012/02/26/hukum-agama/, Di akses pada tanggal 30 Oktober 2014.
[33] Sunaryati
Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada
Akhir Abad Ke 20, (Bandung, Alumni, 1994), Hal 101
[34] Ronny
Hanitijo Soemitro, Metedologi Penemuan
Hukum, Ghalia Indonesia,(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990) Hal 52
[35]I
Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan
Penelitian, Skripsi, Dan Tesis,(Yogjakarta, Cv. Andi Offset, 2005), Hal 21
[36] Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
(Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 164
[37] Bambang
Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum,
(Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1998), Hal 39
[38]
Soerjono Soekarto Dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2003), Hal 37
[39] Burhan
Bungin, Analisa Data Penelitian,
Pemahaman Filosofis, Dan Metodelogi Kearah Pengusaha Modal Aplikasi,
(Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal 53
No comments:
Post a Comment