Subscribe di sini

Tuesday 2 February 2016

BAB WAKAF


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang bersifat sosial kemasyarakatan, bernilai ibadah, dan sebagai pengabdian kepada Allah swt.  Masalah perwakafan ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, baik dari segi pengelolaan, pengembangan, maupun pemanfaatannya. Bahkan sekarang harta benda wakaf juga mengalami perkembangan dengan dibolehkannya wakif mewakafkan dengan benda bergerak berupa uang, logam  mulia, surat berharga, hak atas kekayaan intelektual, dan lain-lain.
 Berkaitan dengan masalah wakaf, di dalam Al-Qur`an tidak terdapat ketentuan yang jelas yang mengatur tentang masalah wakaf. Tetapi perintah dalam Al-Qur`an untuk berbuat baik dapat dijadikan landasan umum bagi amalan wakaf. Maka dasar yang digunakan para Ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumumuan ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang infaq fisabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain yang artinya :
”Hai orang-orang yang beriman, nafkakanlah (di jalan allah) sebagian dari harta usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kamu keluarkan dari bumi untuk kamu. Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memancingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa allah maha kaya lagi maha terpuji.”(Q.S al-Baqarah:267).

”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya allah mengetahuinya.”(Q.S ali-Imran:92)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang  yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dikehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-nya) lagi maha mengetahui.”(Q.S al-Baqarah:261).[1]
Sebagian Ulama lainnya mengaitkan dasar hukum wakaf dengan ayat-ayat Al- Qur`an yang memerintah orang-orang yang beriman untuk berbuat baik, yang terdapat dalam ayat-ayat berikut ini. Al-Qur`an surat Āli ‘Imrān ayat 92 menentukan: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. Al-Qur`an surat al-Hajj ayat 77 memerintahkan:  “Hai  orang-orang  yang   beriman, ruku‘lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan”. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut menurut para ahli dapat digunakan sebagai dasar umum lembaga wakaf.[2]
Wakaf yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW tersebut selanjutnya diikuti oleh kaum muslimin di seluruh dunia, terutama di negara-negara Islam atau negara-negara yang penduduknya beragama Islam, misalnya Mesir, Saudi Arabia, Syria, Yordnia, Turki, Bangladesh, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain. Masing-masing negara ini mengatur masalah perwakafan dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri, termasuk salah satunya di Indonesia. Az-Zuhaili berpendapat hukum wakaf hanya sedikit diatur oleh as-Sunnah dan kebanyakan ditetapkan oleh pendapat Ulama dengan berpegang kepada istihsan, istilah, dan ‘urf atau kebiasaan.  Sedangkan Syaikh Mustafa az-Zarqa, dikutip oleh Munżir Qahaf, menyatakan rincian hukum wakaf dalam fikih, keseluruhannya berdasarkan hasil ijtihad, qiyās, karena akal berperan dalam hal ini.[3]
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik.
Wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang potensial untuk dikembangkan, khususnya di negara-negara berkembang. Berdasarkan pengalaman negara yang lembaga wakafnya sudah maju, wakaf dapat dijadikan pilar ekonomi. Pada umumnya negara-negara tersebut, wakaf dikelola secara produktif, pengelolaan wakaf secara produktif itu sebenarnya sudah dilakukan sejak awal islam, sehingga pada waktu itu wakaf dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan umat.[4]
Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam, dilihat dari segi bentuknya wakaf juga tidak terbatas pada benda tidak bergerak tetapi juga benda bergerak. Di beberapa negara yang wakafnya sudah berkembang dengan baik, wakaf yang selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga merupakan tanah pertanian, perkebunan, uang , saham, dan lain-lain yang semuannya dikelola secara produktif.
            Wakaf produktif pada umumnya berupa tanah pertanian atau perkebunan, gedung-gedung komersial, pabrik-pabrik yang dikelola demikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan yang sebagian hasilnya dipergunakan untuk membiayai berbagai kegiatan tersebut. Wakaf produktif ini kemudian dipraktikkan di berbagai negara sampai sekarang dan hasilnya dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dan ekonomi umat.[5]
Bahwa wakaf yang ada di Indonesia pada umumnya berupa mesjid, mushalla, madrasah, sekolahan, makam, rumah yatim piatu dan lain-lain.Wakaf yang ada memang belum dapat berperan dalam menaggulangi permasalahan umat khususnya masalah sosial dan ekonomi.Kondisi ini disebabkan oleh keadaan tanah wakaf yang sempit dan hanya cukup dipergunakan untuk tujuan wakaf yang diikrarkan wakif seperti untuk mushalla dan mesjid tanpa diiringi tanah atau benda yang dapat dikelola secara produktif.memang ada tanah wakaf yang cukup luas, teatapi karena nadhirnya yang kurang kreatif, tanah yang memungkinkan dikelola secara pruduktif tapi pada akhirnya tidak dimanfaatkan sama sekali. Dengan demikian lembaga pengelola wakaf di Indonesia belum terasa manfaat bagi kesejahteraan sosial
Dalam sejarah hukum di indonesia wakaf di atur dalam tiga instrumen hukum, yaitu Pertama dengan Istrumen Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, kemudian yang Kedua dengan Instrumen Impres yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) lalu yang Ketiga dengan Instrumen Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.[6] Pengelolaan dan pengembangan wakaf yang ada di Indonesia sangat diperlukan komitmen bersama pemerintah, ulama dan masyarakat.Selain itu juga harus dirumuskan kembali mengenai berbagai hal yang berkenan dengan wakaf, termasuk harta yang diwakafkan.Selanjutnya wakaf  harus diserahkan kepada orang-orang atau Badan Wakaf Indonesia yang telah mempunyai kompetensi memadai sehingga bisa mengelola secara profesional, amanah dan produktif.
Badan yang  mengawasi Wakaf Indonesia, sebagai mana telah di atur dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan adanya Badan Wakaf  Indonesia masyarakat  mengharapkan agar  dapat mengelola wakaf secara profesional dan amanah.
Wakaf  menurut fiqih Islam adalah “menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadhir(pengurus wakaf), atau kepada badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at islam.Dalam hal tersebut benda yang diwakafkan, bukan pula hak milik yang menyerahkan, tetapi menjadi hak Allah (hak umum)[7]
Wakaf menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana tercantum di dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah perbuatan hukum untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[8]
Dengan demikian di dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan wakaf, diserahkan kepada badan pengelola wakaf atau dengan kata lain disebut dengan Nadzir wakaf yang memiliki kemampuan untuk mengurus dan bertanggaung jawab atas semua kekayaan wakaf serta hasilnya. Nadzir wakaf juga mempunya kewajiban untuk membuat agenda laporan secara berkala sebagai mana yang telah di atur didalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Adapun mengenai dasar hukum nadzir wakaf dalam hukum fiqih Islam dapat dilihat dalam hadist Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Umar yang didalamnya terdapat perkataan : dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusnya untuk memakan sebagian darinya dengan cara ma’ruf. [9]
Kondisi sistem pengelola wakaf yang terjadi dalam masyarakat sekarang belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam masyarakat  terdapat macam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidak mampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Faktor-faktor yang membuat pelaksanaan wakaf ini jauh dari hasil yang diharapkan adalah dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap manajemen wakaf sehingga banyak orang yang mewakafkan hartanya tanpa membentuk manajemen wakaf seperti membentuk lembaga pengawas dan pengontrol serta sistem laporan keuangan yang trasparan dan ini merupakan tugas dari nadzir wakaf.[10]
Di negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Syria dan daerah-daerah lainnya berkembang luas dan pemafaatannya juga jelas. Pengelolaan wakaf di indonesia masih belum optimal dan menghadapi banyak kendala.[11] Selain itu banyak tedapat wakaf untuk keluarga di samping wakaf untuk umum, Menurut Ahmad Basyir[12]. Membagi wakaf menjadi dua macam, yaitu pertama, Wakaf ahli atau juga disebut wakaf keluarga adalah wakaf yang ditunjukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan keluarga si wakif. Kedua, Wakaf khairi atau wakaf umum yang sejak semuala sudah ditunjukan untuk kepentingan umum yang dapat menikmati hasilnya oleh masyarakat secara luas dan merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyaraka, baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.
Dengan demikian minimnya sentuhan mekanisme kontrol dan pengabaian manajemen organisasi serta tidak kuatnya sistem pengaturan yang ada menyebabkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran serta berbagai masalah dalam pengelolaan wakaf atau yang di istilahkan dengan Nadzir yang memiliki kewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas semua kekayaan wakaf.
Lembaga pengelolaan wakaf merupakan lembaga yang berkaitan langsung dengan upaya produktif dan aset wakaf. Semakin banyak hasil harta yang dapat dinikmati orang, akan semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak wakif. berdasarkan hal tersebut, dari segi hukum fiqih, pengembangan harta wakaf secara produktif merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pengelola wakaf atau yang disebut Nadzir wakaf.
Mengenai nadzir yang ditugaskan sebagai pengelola harta wakaf dalam, manajemen dan keuangan atas harta wakaf seluruhnya pada nadzir. Dalam perwakafan pada nazhir sebagai pengelola, maka Departemen Agama atau Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai pengawas atas nadzir dan tanah wakaf.[13]
Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Posisi Nadzir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nadzir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagi mauquf alaih sangat bergantung pada nadzir wakaf. Meskipun demikian tidak berarti bahwa nadzir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang di amanahkan kepadanya.[14]
Seorang nadzir diberikan haknya apabila ia telah menjalankanya kewajibannya sesuai dengan tanggung jawab sebagai nadzir, nadzir melaksanakan kewajibannya akan mendapatkan haknya berupa upah atau imbalan, bahwa orang yang mengurus harta benda wakaf juga berhak atas hasil dari harta wakaf yang ia kelola.Sebagai mana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf disebutkan bahwa dalam melaksanaan tugas Nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atau pengelolaan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).
Dalam pelakasanaan wakaf kedudukan nadzir merupakan suatu hal yang sangat penting dan sentral. Di pundak nadzir inilah tanggung jawab untuk memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf agar dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. nadzir inilah yang bertugas untuk menyalurkan hasil wakaf dan memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat sesuai yang direncanakan. Akan tetapi sudah terlalu banyak pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh nadzir yang tidak professional, sehingga banyak  harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal dan tidak memberi manfaat sebagai mana yang diharapkan, bahkan banyak harta wakaf yang di alih fungsikan atau terjual kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab karena nadzir tidak dapat mengelola tanah wakaf itu secara professional.[15]
Berfungsi atau tidaknya harta wakaf sangat tergantung pada kemampuan seorang  nadzir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan kemaslahatan umat, wakaf dikelola oleh nadzir yang profesiaonal. Akan tetapi di Indonesia masih sedikit nadzir yang professional, bahkan ada beberapa nadzir yang kurang memahami hukum wakaf termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya. Di samping itu dalam berbagai kasus ada sebagian nadzir yang kurang memegang amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf dan kecurangan-kecurangan lainnya.
Maka untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, wakif perlu menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta yang diwakafkan itu menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf kelurga (waqf ahly), atau untuk fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (waqf khairy) yang jelas tujuannya adalah untuk kebaikan mencari ridha allah dan mendekatkan diri kepadanya.[16]
Di kecamatan samudera terdapat pendaftaran harta wakaf masih secara fiqih islam. Menurut Mazhab Imam Syafii wakaf di anggap telah berpindah tangan dengan adanya lafaz atau sigat, walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Milik semula dari wakif telah hilang atau berpindah dengan terjadinya lafaz, walaupun barang itu masih berada di tangan wakif. Dari keterangan di atas terlihat bahwa dalam hukum Islam tidak diperlukan banyak persyaratan menyangkut prosudur atau tata cara pelaksaan wakaf. [17]
 Temuan awal di kecamatan samudera terdapat nadzir wakaf  yang diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan, terhadap pemberhentian nadzir wakaf tanpa adannya alasan yang jelas terhadap kesalahan nadzir yang telah di berhentikan maka nadzir tersebut telah kehilangan hak dan kewajibannya sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Ada pula yang diberhentikan karena tidak mampu mengelola harta wakaf dengan baik dan tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai nadzir wakaf. Sampai saat ini manajemen pengelola wakaf di Kabupaten Aceh Utara masih sangat memperihatinkan karena Nadzir yang tidak professional maka akibatnya banyak harta wakaf yang terlantar dan tidak jelas hasil pengelolaan wakafnya.
Tetapi terhadap sistem pemberhentian nadzir wakaf di kabupaten Aceh Utara belum mempraktekkan sebagaimana yang sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Karena didalam masyarakat Kabupaten Aceh Utara masih berpegang pada sistem pemberhentian dalam Fiqih islam. Namun demikian peran dari nadzir wakaf tersebut tidak selamanya mulus dalam praktek, karena pada kenyataannya masih banyak terdapat harta wakaf yang belum di kelola apalagi dikembangkan dengan baik. Bahwa  mengenai profesionalisme hanya sedikit nazhir wakaf yang benar-benar mengelola harta wakaf secara penuh sehingga belum dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat banyak.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas yang merupakan masalah-masalah awal sehingga perlu adanya suatu penelitian lebih lanjut mengenai pemberhentian nazhir wakaf sebagai pihak dalam penegloala wakaf, Maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pemberhentian Nadzir Wakaf Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Studi di Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara)”.

B.     Perumusan Masalah
            Adapun yang menjadi permasalahan didalam penulisan tesis ini adalah:
1.      Bagaimana tata cara pemberhentian nadzir wakaf dalam perspektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
2.      Bagaimana hak dan kewajiban nadzir wakaf yang diberhentikan dalam perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
3.      Faktor-faktor yang menyebabkan nadzir wakaf diberhentikan sebelum habis masa jabatannya di Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara?


C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
1.   Untuk mengetahui bagaimana tata cara pemberhentian nadzir wakaf dalam perspektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
2.   Untuk mengetahui Bagaimana hak dan kewajiban nadzir wakaf yang diberhentikan dalam perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
3.   Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan nadzir wakaf diberhentikan sebelum habis masa jabatannya di Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara

D.    Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikkut :
1.      Secara teoritis,diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/literatur dan juga sebagai masukan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai terhadapat pemberhentian nazhir wakaf.
2.      Secara praktis sebagai bahan informasi tambahan bagi pemerintah dan penegak hukum serta memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dalam badan pengelola wakaf Indonesia.

E.     Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi pemeriksaan yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatra Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum, belum ada penelitan sebelumnya yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Pembrhentian Nadzir Wakaf Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.(Studi di kecamatan Samudera kabupaten Aceh Utara)”Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut tentang nadzir wakaf anatara lain penelitian yang di lakukan oleh:
1.       Penelitian yang dilakukan oleh H.RADEN SYAFI’I, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara dengan judul “Wewenang Nazhir Wakaf Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Dan Fiqih Islam”
Rumusan Masalah :
a.       Pihak-pihak manakah yang mengangkat nadzir wakaf menurut undang-undang wakaf nomor 41 tahun 2004 dan fiqih Islam,serta bagaimana pelaksanaanya di kota medan
b.      Hal-hal apa saja yang menjdai wewenang nadzir wakaf menurut Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dan fiqih Islam, serta bagaimana pelaksanaanya di kota medan.
c.       Sanksi apa saja yang diberikan terhadap nadzir wakaf yang melalaikan dan menyalahgunakan wewenag menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, serta bagaimana pelaksanaannya dikota medan.
2.       Penelitian yang dilakukan oleh EVIROSITA Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatra Utara dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf Yang Dikuasai Nadzir (Studi Kasus Di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh)”
Rumasan Masalah :
a.       Bagaimana kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
b.      Apakah yang menjadi kendala-kendala nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf.
c.       Bagaimana efektifitas pengelolaan pengawasan tanah wakaf.
Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut berbeda dengan berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Oleh karena itu penelitian dapat menjamin sepenuhnya tentang keaslian penelitian dan dapat di katagorikan sebagai penelitian yang  baru dan  dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

F.     Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi
      1.      Kerangka Teori
Dalam penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,  teori adalah untuk menerangkang dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu.[18] Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbadingan teoriti, sedangkan suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara bagaiman mengorganisasi dan mengintrepetasi hasil-hasil penelitian dan menhubungkan dengan hasil terdahulu.[19]
Selain itu, menurut M. Solly Lubis menyatakan konsep teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus atau pun permasalahan yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan.[20]
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori amanah, hal ini sejalan dengan firman allah  yang terdapat dalam QS.An.Nisa’ ayat 58 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.sesungguhnya allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.”
Amanah menurut bahasa bersal dari kata aman yaitu kebalikan dari takut. Sedangkan amanah adalah kebalikan dari khianat. Dalam istilah syara’, Amanah artinya perilaku yang tetap dalam jiwa, dengan seorang menjaga diri dari apa-apa yang bukan haknya walaupun terdapat kesempatan untuk melakukannya tanpa merugikan dirinya dihadapan orang lain.[21] Kata “ Waaqf “ berasal dari bahasa arab “waqofa-yaqifu-waqfa” yang berati, berhenti memperlihatkan, memerhatikan, meletakkan, mengatakan, mengapdi,memahami, mencegah, menahan dan tetap berdiri.Kata “Al- waaqf” adalah bentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’ yang berate menahan sesuatu. Dalam pengertian istilah secara umum,wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaanya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Sedangkan yang dimaksud dengan “tahbisul ashli” ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, disewakan, dan digadaikan kepada orang lain.[22]
Menurut hadist Nabi yang di riwayatkan oleh Muslim berasal dari Abu Hurairah, Seorang manusia yang meninggal dunia akan berhenti semua pahala amal perbuatannya, kecuali pahala tiga amalan yaitu :
1.      Pahala amalan Shadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya tetap mengalir) yang diberikannya selama ia hidup.
2.      Pahala ilmu yang bermanfaat (bagi orang lain) yang di ajarkan selama hayatnya.
3.      Doa anak (amal) saleh yakni anak yang membalas guna orsng tuanya dan mendoakan ayah dan ibunya yang telah meninggal. Para ahli fiqih sependapat bahwa yang dimaksud dengan pahala shadaqah jariayah dalam hadist adalah wakaf yang diberikan dikala seseorang msih hidup.[23]
Menurut Imam Malik bahwa wakaf itu menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau yang di kehendaki oleh orang yang mewakafkan.[24]
Sebagai teori pendukung digunakan teori Kemaslahatan, secara etimologi kata maslahat, jamaknya mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan. Mashalahat kadang-kadang disebut dengan istilah yang berati mencari yang benar. Esensi mashlahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum[25]
2.      Kerangka Konsepsi
Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti dan di uraikan dalam karya ilmiah.[26] Menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok, atau individu tertentu[27]
1.         Wakaf adalah memberikan harta atau pokok benda yang produktif terlepas dari campur tangan pribadi,menyalurkan hasil dan manfaatnya secara khsusus sesuai dengan tujuan wakaf, baik untuk kepentingan perorangan, masyarakat, agama, maupun umum.[28]
Dalam rumusan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, pasal 1 ayat (1) yang juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 215 menyatakan, “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok aorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepenting ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam”[29] Dari definisi di atas meberikan pemahaman bahwa cakupan pengertian wakaf meliputi :
a.       Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang
b.      Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai.
c.       Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya.
d.      Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut tidak bisa dihibahkan, diwariskan atau diperjual belikan.
e.       Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum.
2.         Nazhir wakaf adalah pengurus dan pengelola wakaf. Kekuasaan nazhir atau mutawali atas waqaf ialah kekuasaan yang terbatas dalam memlihara, menjaga, mengelola, dan memanfaatkan hasil dari barang yang diwakafkan sesuai dengan maksudnya. “jika pada suatu wakaf itu tidak ada mutawali maka karena jabatannya kadhi bertindak sebagai pengawas.[30]
3.         Wakif adalah orang yang mewakafkan hartanya,orang yang mewakafkan hartanya menurut Islam disebut wakif. Yang dimaksud dengan wakif adalah subjek hukum, yakni orang yang berbuat. Menurut peraturan perundang-undangan wakif ialah orang atau badann hukum yang mewakafkan harta miliknya.
4.         Pemberhentian adalah Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengartikan bahwa pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antar pekerja dan pengusaha. Sedangkan menurut Moekijat mengartikan bahwa pemberhentian ada putusan hubungan kerja sama seseorang karyawan dengan sesuatu organisasi perusahaan.[31] Fiqih Islam adalah : Fiqih dalam bahasa Arab artinya pengertian, dan dalam istilah ulama artinya ilmu yang membahas hukum-hukum agama Islam diambil dari dalil-dalil tafsili atau dalil dalil yang terperinci.[32]

G.    Metode Penelitian
           1.      Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yaitu penelitian pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan, membandingkan dengan penerapan hukum dan peraturan didalam masyarakat.
Sedangkan Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis maksudnya dari penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.[33]

2.      Sumber dan Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan menggunakan bahan hukum :

1)      Bahan hukum primer
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya adalah ketetuan-ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, Ijma’ Ulama, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf.
            2)      Bahan hukum sekunder.
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan dengan bahan primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah wakaf.
            3)      Bahan hukum tertier.[34]
Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum dan bahan-bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, jurnal ilmiah, ensiklopidia.yang berhubungan atau berkaitan dengan materi penelitian.

              3.      Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapat data yang diperluka, pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap penelitian antara lain sebagai berikut :
a.       Studi Kepustakaan (Library Research).
Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk menguraikan sistematika tentang teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti terdahulu yang ada hubungannya dengan permasalahan dan tujuan penelitian.[35]
b.      Wawancara
Hasil wawancara dapat dijadikan bahan hukum sebagaiman data dalam penelitian,[36] Data tersebut di peroleh dari pihak-pihak informan atau narasumber yang dianggap mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan masalah pemberhentian  Nazhir wakaf.

4.      Populasi dan Sampel
Populasi atau Universel adalah sejumlah manusia atau unit yang memiliki cirri-ciri atau karakteristik yang sama.[37] Populasi dalam penelitian ini adalah pihak yang terkait dalam pemberhentian nadzir wakaf, sehingga penarikan sampel secara purposive yaitu penentuan responden yang berdasarkan atas pertimbangan tujuan tertentu dengan alasan responden adalah orang-orang yang berdasarkan kewenangan yang di anggap dapat memberikan data informasi yang terkait dalam pemberhentian nadzir wakaf di Kabupaten Aceh Utara. Dikarenakan sampel yang akan di gunakan bersifat homogen maka sampel tersebut, dapat dibagi menjadi 4 orang nadzir wakaf sebagai nara sumber, 1 orang Kantor Urusan Agama Kecamatan Samudera, dan 2 orang Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten Aceh Utara.

5.      Lokasi Penelitian
Lokasi  penelitian ini merupakan cermin kelayakan akan terungkapnya data primer atau data dasa.[38] Penelitian lapangan ini di lakukan di Kabupaten Aceh Utara yaitu di kantor Badan Wakaf Indonesia dan Kantor Urusan Agama Kabupaten Aceh Utara, pengambilan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kantor tersebut berkaitan langsung dengan penelitian yang akan dilakukan, hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan untuk mendapatkan informasi yang berkenaan dengan judul penelitian yang akan diteliti berjudul Analisis Yuridis Terhadap Pemberhentian Nadzir Wakaf Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Studi di Kabupaten Aceh Utara)

6.      Analisis Data
            Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari dari asumsi tentang ralitas atau fenomena sosial bersifat unik dan konpleks.padanya terdapat regularitas atau pola tertentu.[39]
            Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang tekumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek penelitian.[40] Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.      






[1]Abdul Manan, Aneka Masahal Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, Preneda Media Group, 2006) Hal 239
[2]Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonimi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1988), Hal 80
[4] Suhrawardi K.Lubis, Wakah dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010), Hal 22
[5]Ibid, Hal. 21
[6]Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta, Darul Ulum Press,1994), Hal.1
[7]H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta, Djambatan,1998), Hal.321
[8]Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 204 Tentang Wakaf
[9] Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, (Terjemahan Mudzakir A.S., Alma’arief), Hal 161
[10] H.M Hasbalhal Thaib, Fiqih Wakaf, Konsentrasi Hukum Islam, (Program Paska Sarjana Hukum USU), Hal 82
[11]Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset),Hal 330
[12] Abdul Manan, Op.Cit, Hal 242
[13]Ahmad Rofiq, Op.Cit., Hal 10
[14]Quantum Husna http://hidayatfirtson.blogspot.com/2014/03/nazhir-wakaf.html, diakses pada tanggal 19 September 2014.
[15]Abdul Manan, Op.Cit, Hal 269
[16] Ahmad Rofiq, Op.Cit, Hal 323
[17] Adijani Al-Alabij, Op.Cit, Hal 38
[18] Soejono Soekarto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta,  Universitas Indonesia Press, 1986), Hal 112
[19] Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Bhineka Cipta, 1996), Hal 19
[20] M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Medan, Sofmedia,2012), Hal 80
[21] Hasbalhal Thaib, La’allakum Tattaquun, Medan, (Wal Ashari Publishing), 2014, Hal 83
[22] Abdul Manan, Op.Cit, Hal 237
[23] Muhammad Daud Ali, Op.Cit, Hal 81
[24] Abdul Manan, Op.Cit, Hal 235
[25] H.M. Hasbalhal Thaib,Tajdid Reaktualisasi Dan Elastisitashukum Islam, Konsentrasi Hukum Islam, (Medan, Program Pasca Sarjana USU, 2002)
[26] Zinuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta, Sinar Grafika, 2009), Hal 96
[27] Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, Rineka Cipta,( Jakarta, 1996), Hal 19
[28]Mundzir Qahar Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa,( Jakarta Timur, 2005),Hal :3
[29] Ahmad Rofiq, Op.Cit, Hal 320
[30] Ali Ridho, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan Perkumpulan,Koprasi, Yayasan, Wakaf.( Bandung, 1986) Hal 128
[32] Quantum Husna, http://hasansaggaf.wordpress.com/2012/02/26/hukum-agama/,  Di akses pada tanggal 30 Oktober 2014.
[33] Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad Ke 20, (Bandung, Alumni, 1994), Hal 101
[34] Ronny Hanitijo Soemitro, Metedologi Penemuan Hukum, Ghalia Indonesia,(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990) Hal 52
[35]I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi, Dan Tesis,(Yogjakarta, Cv. Andi Offset, 2005), Hal 21
[36] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal  164
[37] Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1998), Hal 39
[38] Soerjono Soekarto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal 37
[39] Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian, Pemahaman Filosofis, Dan Metodelogi Kearah Pengusaha Modal Aplikasi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal 53
 [40]Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju, Jambi, 2008, Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju, Jambi, 2008, hal 174.

No comments:

Post a Comment

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...