A. PENGERTIAN MUTU PENDIDIKAN
Dalam pengertian umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu
produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, baik yang tangible
maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini
mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan”
yang bermutu terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif
atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai dengan kemampuan guru),
sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya
lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
Suryosubroto dalam bukunya Manajemen Pendidikan di Sekolah (2004: 197) mengutip
pernyataan Umaedi menyatakan bahwa sekolah harus menentukan target mutu (dalam
arti luas) yang ingin dicapai untuk setiap kurun waktu, merencanakannya,
melaksanakan dan mengevaluasi dirinya, untuk kemudian menentukan target mutu
untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah dapat mandiri tetapi masih
dalam rangka acuan kebijakan nasional, dan bertanggung jawab (memiliki
akuntabilitas) terhadap kebutuhan belajar dan masyarakat (Umaedi, 2000: 75-76).
Sebagaimana diketahui bahwa kompleksitas permasalahan pengelolaan pendidikan di
sekolah menengah (SLTA dan SLTP) berbeda dengan permasalahan yang yang dihadapi
dalam pengelolaan SD-MI. Bank Dunia (1998: xi, 69-73) dalam laporannya
mengungkapkan ada 4 (empat) hambatan kelembagaan yang mempengaruhi pencapaian
mutu pendidikan dasar, yakni:
First, the organizational set up at primary level is complex because
responsibilities are split among various ministries. Second, at the junior
secondary level, operations are overly centralized. Third, budgeting for basic
education is rigid and fragmented. Finally, management is ineffective at the
school level because public school principals have little autonomy in running
the school or allocating resources and hence have little incentive to use
resources efficiently.
Dalam rangka ingin membantu mensosialisasikan (menyebarluaskan) konsep dasar
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah pada kalangan masyarakat luas,
terutama pada para pendidik dan administrator pendidikan, maka Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah menurut Direktorat Pendidikan Menengah Umum
Depdiknas RI menyampaikan:
Faktor yang menjelaskan upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau
tidak berhasil:
1) Strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented.
Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education
production function (Hanushek, 1979, 1981) tidak berfungsi sepenuhnya di
lembaga pendidikan (sekolah) melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi
dan industry.
2) Pengelolaan pendidikan selama ini masih bersifat macro-oriented, diatur oleh
jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya banyak faktor yang diproyeksikan
ditingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya
ditingkat mikro (sekolah). Atau dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan
permasalahan pendidikan, kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan
siswa dalam belajar, serta aspirasi masyarakat terhadap pendidikan seringkali
tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Dengan mendasarkan diri pada pendekatan. Total Quality Management (TQM) yang
dikembangkan pertama kali oleh Edward Deming, Paine dkk. (1992: 10-13), lihat
juga (Glasser, 1992) menyarankan 14 butir untuk mencapai mutu pendidikan prima,
yang termasuk dalam strategi Total Quality Education (TQE), yaitu:
1. Merancang secara terus-menerus berbagai tujuan pengembangan siswa, pegawai
dan layanan pendidikan.
2. Mengadopsi filosofi baru, yang mengedepankan kualitas sekolah. Manajemen
pendidikan harus mengambil peakarsa dalam gerakan peningkatan mutu ini.
3. Guru harus menyediakan pengalaman pembelajaran yang menghasilkan kualitas
kerja. Peserta didik harus berusaha mengejar kualitas, dan menyadari jika tidak
menghasilkan output yang baik, customers mereka (guru, orang tua, lapangan
kerja) tidak akan menyukainya.
4. Menjalin kerja sama yang baik dengan pihak-pihak yang berkepentingan (stake
holders) untuk menjamin bahwa input yang diterima berkualitas.
5. Melakukan evaluasi secara kontinu dan mencari terobosan-terobasan
pengembangan system dan proses untuk meningkatkan mutu dan produktivitas.
6. Para guru, staf lain dan murid harus dilatih dan dilatih kembali dalam
pengembangan mutu.
7. Kepemimpinan lembaga, yang mengarahkan guru, staf dan siswa mengerjakan
tugas pekerjaanya dengan lebih baik.
8. Mengembangkan ketakutan, yakni semua staf harus merasa mereka dapat
menemukan masalah dan cara pemecahannya, guru mengembangkan kerja sama dengan
siswa untuk meningkatkan mutu.
9. Menghilangkan penghalang kerja sama di antara staf, guru, dan murid atau
antar ketiganya.
10. Hapus slogan, desakan atau target yang bernuansa pemaksaan dari luar.
11. Kurangi angka-angka kuota, ganti dengan penerapan kepemimpinan, karena
penetapan kuota justru akan mengurangi produktivitas dan kualitas.
12. Hilangkan perintang-perintang yang dapat menghilangkan kebanggaan para guru
atau siswa terhadap kecakapan kerjanya.
13. Selain dengan kebutuhan penguasaan materi baru, metode-metode atau
teknik-teknik baru, maka harus disediakan program pendidikan atau pengembangan
diri bagi setiap orang dalam lembaga sekolah tersebut.
14. Pengelola harus memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mengambil
bagian atau peranan dalam pencapaian kualitas.
B. KONSEP DASAR PENDIDKAN
Pendidikan menurut Ki hajar Dewantara diartikan sebagai daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita
dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Pendidikan karakter
merupakan bagian penting dan hendaknya terintegral dalam perilaku pendidikan di
negara ini. Namun menilik fakta pelaksanaan pendidikan yang selama ini di
Indonesia sepertinya belum mengarah kepada pembentukan karakter sebagaimana
jati diri bangsa Indonesia dan bahkan cenderung menurun.
Sedangkan John Dewey dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education John
Dewey mengemukakan empat konsep pokok dalam belajar yang harus dilalui oleh
seorang pembelajar sehingga dapat menjadi manusia yang memiliki karakter dan
berperilaku sehat. Keempat aspek tersebut adalah: (1) Learning to know, (2)
Learning to do, (3) Learning to be, dan (4) Learning to live together. Dua
konsep terakhir sangat dekat dengan upaya pendidikan karakter dan itulah corak
akhir dari kehidupan manusia. Sedangkan untuk mencapai dua yang terakhir, maka
siswa perlu melewati dua jenis belajar sebelumnya yaitu learning to know dan
learning to do.
Ditambahkan oleh Jacques Delors( 1996) dalam bukunya: Learning : The Treasure
Within, menulis bahwa the essential features of basic education that teaches
pupils how to improve their lives through knowledge, through experiment, and
through the development of their own personal cultures are preserved. Hal ini
mengandung makna bahwa pendidikan itu hanya akan bermakna jika pembelajar
selain memiliki kemampuan otak, juga memiliki kemampuan memaknai nilai-nilai
dari belajarnya.
Mencermati konsep dasar pendidikan diatas, permasalahan pendidikan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia yang salah satunya adalah rendahnya mutu
pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan
dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal,
peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat
pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan
peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu
pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah,
terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup
menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah kebijakan dan penyelenggaraan
pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output
analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa
lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua
input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga
ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa
apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan
perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya, dipenuhi, maka mutu
pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu
pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam
menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada
input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal,
proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Konsepsi input dan output pendidikan sejauh ini merupakan gambaran mutu
pendidikan adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa
yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau
yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses,
dan output pendidikan.
C. INPUT PENDIDIKAN
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan
untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan
perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya
proses. Input sumber daya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru
termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan,
perlengkapan, uang, bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur
organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana,
program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran-
sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar
proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu
input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan
input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
D. PROSES PENDIDIKAN
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu
yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input sedangkan sesuatu
dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat
sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang
dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan,
proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan
evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan
tertinggi dibanding dengan proses- proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta
pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dsb) dilakukan
secara harmonis, sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang
menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar,
dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdaykan mengandung
arti bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan
oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani
peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lebih
penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu
mengembangkan dirinya)
E. OUTPUT PENDIDIKAN
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah
prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah
dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiendinya,
inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang
berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah
dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya prestasi
belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam : (1) prestasi
akademik, berupa nilai ulangan umum, UNAS, karya ilmiah, lomba akademik, dan
(2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah
raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler
lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling
berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Sehingga kesimpulannya adalah bukan konsepsi input output yang salah namun cara
pandang atau fokus dari pengembangan pendidikan yang selama ini berjalan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan pendidikan terlalu terfokus
pada input (berapa siswa yang bersekolah) dan output (berapa siswa yang lulus
UNAS). Kedepan ,perlu fokus itu lebih pada pelaksanaan (proses) pendidikan
disekolah, tentang bagaimana pembelajaran dilaksanakan, media pembelajaran, dan
ketersediaan sumber belajar bagi siswa. Sekaligus sejauhmana kompetensi guru
dan tenaga pengajar lainnya beserta alat evaluasi proses pembelajaran yang
dilakukan sekolah.
Untuk memulai hal tersebut perbaikan awal yang harus dilakukan adalah
pembenahan pola manajemen sekolah. Dalam pada pola lama, tugas dan fungsi
sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif
merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh
sekolah. Sedang pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam
pengelolan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipasif dan
partisipasi masyarakt makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola
lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan
birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah didorong
oleh motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi
pendidikan lebih sederhana peranan pusat bergesr dari mengontrol menjadi
mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko
menjadi mengolah resiko, pengunaan uang lebih efesien karena sisa anggaran
tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (Effesiensi-based
budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga
sekolah, lebih mengutamakan.
No comments:
Post a Comment