PENDAHULUAN
Bahasa merupakan
salah satu hasil budaya manusia yang sangat tinggi nilainya karena dengan
bahasa manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat di
sekitarnya. Komunikasi akan berjalan secara linear apabila sasaran bahasa yang
digunakan tepat. Artinya bahasa itu dipergunakan sesuai dengan situasi dan
kondisi penutur serta sifat penuturan itu dilaksanakan. Hal ini sangat
bergantung pada faktor-faktor penentu dalam tindak bahasa atau tindak
komunikasi, yaitu lawan bicara, tujuan pembicara, masalah yang dibicarakan, dan
situasi. Penggunaan bahasa seperti inilah yang disebut pragmatik.
Pragmatik
mangkaji empat hal, yaitu deiksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur
percakapan. Purwo (1984: 1) menyatakan bahwa sebuah kata dikatakan bersifat
deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, bergantung
pada siapa yang menjadi pembicara, serta saat dan tempat dituturkannya
kata-kata itu. Perpindahan leksem deiksis disebabkan oleh pengaturan leksem
tersebut oleh pembicara, bukan oleh apa yang dimaksudkan si pembicara.
Kata deiksis
berasal dari kata Yunani deiktikos yang berarti “hal menunjuk
secara 1angsung”, sedangkan istilah deiktikos yang
dipergunakan oleh tata bahasa Yunani dalam pengertian sekarang kita sebut kata
ganti demonstratif. Tata bahasa Roman (Stoics, Dionysius Trax, dan Apollonius
Dyscolus yang melekatkan dasar bagi timbulnya tata bahasa tradisional di dunia
barat) memakai kata demonstrativus untuk menerjemahkan
kata deiktikos (Lyons, 1977:639). Dalam lingustik sekarang,
kata itu dipakai untuk menggambarkan fungsi kata ganti persona, kata ganti
demonstratif, fungsi waktu, macam-macam ciri gramatikal dan leksikal 1ainnya
yang menggabungkan ujaran dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran.
Deiksis persona
adalah pemberian bentuk kepada peran peserta dalam kegiatan berbahasa. Dalam
kategori deiksis persona yang menjadi kriteria adalah peran peserta dalam
peristiwa berbahasa itu, peran kegiatan berbahasa itu dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu persona pronominal pertama, persona kedua, persona ketiga (Haliday
dan Hasan, 1984:44).
Menurut Purwo
(1984), sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah
atau berganti-ganti, bergantung siapa yang menjadi pembicara, saat, dan tempat
dituturkannya kata-kata itu. Kata-kata deiksis pada setiap bahasa jumlahnya
terbatas. Walaupun demikian, sistem deiksis justru termasuk sangat sulit
dipelajari orang yang bukan penutur asli bahasa yang bersangkutan (Purwo,
1984:12). Oleh karena itu, deiksis sebagai salah satu bidang kajian pragmatik
menjadi topik dalam penelitian ini.
Lahirnya sebuah
novel tidak pernah terlepas dari penggunaan deiksis. Sebuah novel seyogyanya
diangkat dari kehidupan manusia sehari-hari yang disampaikan dengan cara yang
berbeda oleh setiap pengarang. Novel berasal dari bahasa Italia novella, yang
dalam bahasa Jerman novelle, dan dalam bahasa Yunani novellus.
Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan
novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novel
(Inggris: novelette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya
cakupan, tidak terlalu panjang, tetapi juga tidak terlalu pendek. Novel
merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih
mendalam dan disajikan dengan halus (Nurgiyantoro, 1995:9).
Novel Lampuki merupakan
karya Arafat Nur. Ia seorang penulis prosa yang mengawali bakatnya dengan
menulis puisi, lalu mengarang cerita pendek dan kini telah terpumpun pada
novel. Novel ini terpilih sebagai salah satu pemenang unggulan Sayembara
Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta Tahun 2010. Peneliti tertarik mengkaji
novel Lampuki karya Arafat Nur karena adanya bentuk deiksis
persona. Perhatikan contoh berikut!
“Malam itu, sejenak sebelum pengajian usai, tiba-tiba
seisi balai menegang. Seorang lelaki bersuara nyaring dan lantang
berteriak-teriak mengucapkan salam yang seketika menyentak kami sekalian.”
Pada contoh di
atas terlihat bahwa deiksis persona pronomina pertama jamak kami mengalami
ketidakjelasan rujukan karena persona pronomina kami biasanya
mengacu kepada orang pertama jamak atau mengacu kepada orang pertama tunggal,
jadi bentuk persona pronomina kami seakan-akan menyembunyikan
beberapa orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut dan tidak ingin mengacu
dirinya secara langsung.
“Dia, lelaki yang tak lebih bermodalkan suara nyaring dan kumis
tebal, lebih terlihat sebagai sosok seorang tengku berkarisma dibandingkan
diriku ini yang semakin terpuruk dan tak berdaya”
Begitu juga pada
contoh kedua, dengan deiksis persona pronomina kedua tunggal Dia,
rujukannya kurang jelas karena bentuk persona pronomina Dia dalam
suatu pembicaraan ikut berperan serta dalam suatu tuturan, sementara dalam
kalimat tersebut tidak ada terdapat, jadi hubungannya tidak pribadi sehingga
bentuk Dia tidak diarahkan pada satu orang secara khusus.
Penelitian ini
fokus pada deiksis yang terdapat di dalam novel Lampuki karena
bahasa dalam sebuah novel itu ada keunikan dan ketidakjelasan rujukan dilihat
dari bentuk-bentuk deiksis personanya.
METODE PENELITIAN
Metode yang
dipakai dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif yaitu
menggambarkan secara sistematis dan akurat mengenai data dan fenomena yang akan
diteliti. Pendekatan kualitatif dengan teknik analisis isi merupakan jenis
penelitian ini. Penelitian yang fokus pada kajian isi ini dengan tujuan memahami bentuk, fungsi, dan pemaknaan.
Selain itu, Bogdan dan Biklen (1998:4) mengemukakan karakteristik penelitian
kualitatif meliputi: (1) naturalistik, (2) data deskriptif, (3) perhatian
dengan proses, (4) analisis data secara induktif, dan (5) makna tentang
kehidupan.
Teknik
pengabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik uraian rinci
yang menggunakan langkah-langkah analisis data sebagai berikut.
·
Mengidentifikasi data berdasarkan jenis deiksis, yaitu deiksis persona.
·
Menginterpretasikan deiksis persona dari bentuk, fungsi, dan makna.
·
Merumuskan simpulan dari analisis data.
Deskriptif adalah
cara kerja yang menguraikan atau menggambarkan objek penelitian dan menelaah
unsur-unsur yang terdapat dalam objek penelitian itu, sedangkan kualitatif adalah tingkat baik buruknya sesuatu,
berdasarkan mutu. Oleh karena
itu, deskriptif kualitatif adalah penelitian yang memberikan gambaran atau
uraian atas keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang
diteliti.
Sumber data dalam
penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data utama
dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata yang terdapat di dalam novel
Lampuki. Adapun identitas novel yang akan dijadikan sebagai sumber data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Judul
: Lampuki
b. Penulis
: Arafat Nur
c. Penyunting : Adi Toha
dan Moh. Sidik Nugraha
d. Tebal
: 436 halaman
e. Cetakan
: I, Mei 2011
Setiap penelitian
sangat ditentukan oleh kemampuan memilih serta menyusun teknik dan alat
pengumpulan data yang relevan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
digunakan analisis dokumen atau kaji dokumen. Langkah-langkah yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data deiksis adalah sebagai berikut.
(1) .
Mencari novel Lampuki karya Arafat Nur di perpustakaan
atau toko buku;
(2) .
Membaca keseluruhan novel tersebut; dan
(3) .
Mengklasifikasikan deiksis-deiksis yang terdapat di
dalamnya dan memilah serta memilih deiksis persona yang sesuai dengan rumusan
masalah peneliti.
Analisis data
merupakan upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasikan dan mengelompokkan
data. Pada beberapa tahapan melakukan upaya mengelompokkan dan menyamakan data
yang sama serta membedakan data yang berbeda, selanjutnya menyisihkan pada
kelompok lain data yang serupa, tetapi tidak sama (klasifikasi data).
Sebelum
dianalisis data yang telah terkumpul perlu diseleksi dan diklasifikasikan,
adalah sebagai berikut.
(1) Seleksi data; dilakukan untuk memilih dan menjaring data
sehingga akhirnya diperoleh data yang
benar-benar sahih dan handal. Deiksis yang ditemukan dari
novel Lampuki karya Arafat Nur
dikumpulkan dalam satu lembaran kerja,
ditulis kembali untuk pendataan, dan dibaca berulang-ulang
untuk memvalidkan data.
(2) klasifikasikan data; dilakukan untuk memilah dan
mengelompokkan data berdasarkan masalah-masalah yang ingin dibicarakan. Deiksis
personal yang sesuai dengan rumusan masalah dipilah dalam satu bagian lembar
kerja sehingga terdata secara rinci data-data yang sesuai dengan rumusan
masalah. Namun, apabila ada data yang tidak sesuai dengan rumusan masalah, maka
peneliti akan mengeliminasinya.
(3) penyajian data; dilakukan dalam bentuk deskripsi, yaitu
mendeskripsikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang jelas dan terperinci. Pada
saat penyajian data ini, deiksis yang berjenis persona dijabarkan dalam
beberapa kalimat dan diperkuat dengan kutipan sehingga pendeskripsian yang
dilakukan oleh peneliti menjadi jelas dan mudah dipahami.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengkategorian gramatikal lazimnya membedakan deiksis
persona atas persona pertama, kedua, dan persona ketiga. Persona pertama (first
person) merupakan penggramatikalan pengacuan yang dilakukan oleh penutur
terhadap dirinya; persona kedua (second person) sebagai penggramatikalan
pengacuan yang dilakukan oleh penutur terhadap satu atau dua orang mitra tutur;
sedangkan persona ketiga dimaksudkan sebagai penggramatikalan pengacuan penutur
terhadap orang atau maujud lain selain penutur dan mitra tutur pada saat
berlangsungnya tuturan.
Deiksis Persona Pertama
(1) Tunggal
(a) Aku
Pronomina persona pertama yang ditemukan dari hasil penelitian merujuk pada
orang yang sedang berbicara. Kata ganti saya dan aku digunakan
dalam forum resmi dan beberapa tempat lainnya yang sesuai dengan konteksnya.
Namun, dalam novel Lampuki Karya Arafat Nur, deiksis persona pertama aku yang
dipakai sebagai kata ganti, sedangkan saya tidak
ditemukan satu pun. Hal ini memberikan isyarat bahwa penulis sangat menghindari
keadaan resmi karena penggunaan pronominal saya. Sebaliknya, kadar
keformalan yang ada dari pronominal aku sekentara kata
ganti saya. Artinya, karya nonfiksi yang dijadikan sebagai
sumber penelitian ini hanya terdapat pronominal aku. Adapun
kata ganti yang ditemukan oleh peneliti, yaitu aku sebanyak 7
data.
(1) .
Aku tidak tahu mengapa kesannya begitu. Dan, entah bagaimana pula kaitannya, kelak orang-orang yang
tinggal di perumahan lembah bukit sana selalu saja gaduh oleh ragam persoalan
rumit dan membingungkan (Nur, 2011:11).
Penggunaan
deiksis persona pertama tunggal, yaitu aku terdapat dalam penggalan kalimat di atas. Penunjukan
sesuatu dengan menggunakan kata persona yang mengacu pada dirinya sendiri telah
sesuai dengan kaidah dan latar belakang budaya bahasa Indonesia. Kata tersebut
tidak dianggap sebagai kata yang tidak sopan, justru menjadi jelas dengan
penempatan deiksis itu pada permulaan kalimat. Pemakaian aku untuk
diri sendiri seperti pada kalimat (1) telah mengkuti kaidah karena bukan untuk
orang lain jamak kedua atau ketiga.
(2) .
Aku kehilangan hasrat menghisap rokoknya, sekalipun
gelagatnya sempat mengundang seleraku (Nur, 2011:22).
Kalimat (2)
terdiri dalam satu bangun kalimat. Namun, kalimat itu mengandung dua deiksis
yang terdapat pada permulaan dan akhiran kalimat. Pronomina persona aku yang
digunakan pada permulaan tanpa penyingkatan, tetapi yang terdapat di akhir
kalimat telah divariasikan penulisannya menjadi –ku dan ku–. Ketepatan
penggunaan dua deiksis dalam satu bangun kalimat ada fungsinya tersendiri.
Salah satunya untuk penguatan pernyataan terhadap sebuah topik yang dianggap
oleh persona pertama tunggal aku benar-benar dapat meyakinkan
lawan bicaranya.
(3) Pada dasarnya, aku tidah pernah membenci
siapa pun. Aku memahami, hanya orang-orang berjiwa besar dan
berkelebihan khusus saja yang sanggup memimpin dan meyatukan negeri celaka ini
(Nur, 2011:38).
Bentuk
persona aku lebih banyak dipakai dalam situasi yang tidak
formal dan lebih menunjuk keakraban antara pembicara dan lawan bicara. Namun,
persona aku tidak menutup kemungkinan digunakan dalam forum
resmi, walaupun sebagian daerah dianggap kurang sopan. Pemilihan persona untuk
mengacu pada suatu rujukan terhadap diri sendiri ini menjadi penting. Hal ini
untuk menghindari kesalahpahaman. Kalimat “Aku tidak pernah membenci siapa
pun” menggunakan deiksis pada tempatnya. Artinya, kalimat itu telah menggunakan
2 deiksis sekaligus dengan tepat. Ketepatan ini dibuktikan pada kesesuaian
informasi yang didapatkan ketika membaca. Pembaca tanpa pikir panjang langsung
mendapatkan maksud kalimat tersebut.
(2). Jamak
Bentuk
pronominal pertama jamak kami umumnya merujuk pada diri
penutur dan orang yang berada di pihak penutur, akan tetapi untuk mencapai
kadar kesopanan bentuk ini juga sering digunakan oleh penutur untuk merujuk
dirinya, sedangkan bentuk kita digunakan untuk merujuk
penutur dan lawan tutur dengan tujuan untuk mengakrabkan. Dalam hasil
penelitian, peneliti populasi data ini lebih sedikit dari pada bentuk personal
pertama tunggal. Data yang didapatkan hanya terdiri dari pronominal pertama
jamak kami sebanyak 5 data dan bentuk kita 3
data.
(a) Kami
(1) Malam itu kami setengah pingsan
mendengarkan khotbah Ahmadi yang panas berapi-api(Nur, 2011:37).
Kami adalah bentuk pronomina persona pertama jamak. Dikatakan jamak karena
bentuk katanya menyatakan lebih dari satu orang. Penggunaan kami dalam
percakapan merupakan hal yang lazim. Oleh sebab itu, deiksis sebagai penunjuk
menggolongkan pronominal kami sebagai deiksis personal pertama
jamak. Tergambar dengan jelas, kami dalam kalimat (1)
menyatakan lebih dari satu orang yang dimaksud. Kami, di sini, menyatakan maksud bahwa banyak orang yang hadir
dalam sebuah forum untuk mendengar khotbah. Dapat disimpulkan bahwa deiksis ini
telah berada pada tataran yang sesuai dengan konteknya.
(2) Penguasa kami di sini ada kaki tangan
mereka di seberang sana (Nur, 2011:55).
Salah satu fungsi
penggunaan pronominal persona pertama jamak, yaitu kami untuk
mengakrabkan diri. Kata ganti kami digunakan lawan bicara apabila berada pada ruang lingkup pembicara. Kalimat (2)
menggunakan kami sebagai deiksis persona pertama jamak karena
tujuan pembicara untuk mewakilkan semua rakyat yang dipimpin oleh seorang
presiden. Deiksis ini sudah tepat digunakan dalam kalimat di atas. Salah satu
dasar untuk melihat tepat atau tidaknya sebuah deiksis dengan cara merujuk pada
sisi makna dari kalimat itu dan kaidah bahasa dalam penggunaan pronomina.
(3) Sambil berjalan berdampingan, kami bercakap-cakap
perihal kedatangan tentara empat hari yang lewat (Nur, 2011:129)
Ada hal yang diungkapkan melalui kalimat (3) tentang deiksis. Hal ini
berhubungan dengan sikap pemakai bahasa yang sopan mengemukakan dirinya dan
karenanya menghindari bentuk saya supaya tidak kelihatan formal. Oleh karena
itu, bentuk kami biasanya digunakan oleh pembicara sebagai usaha
untuk mengakrabkan atau mengeratkan hubungan dengan lawan bicara. Hubungan
sikap inilah deiksis telah berperan penting dalam membangun sebuah kalimat
untuk menunjuk sesuatu di luar bahasa.
(b) Kita
(1) Kita sekalian wajiblah berperang melawan kaum perusak yang sudah
menginjak-injak tanah ini (Nur, 2011:31).
Penggunaan
pronominal kita dalam kalimat (1) menggambarkan penunjuk yang
menyatakan keakraban. Pronomina itu sebagai deiksis persona yang berfungsi untuk
menunjukkan sesuatu di luar bahasa. Penunjuk di sini bisa saja berubah
tergantung situasinya. Penggunaan pronominal persona pertama, yaitu kita sudah
tepat. Hal ini terlihat dalam kalimat (1) tidak terjadi ketidaknyamanan dalam pembacaan dan nilai rasa
berbahasa.
(2) Kalau sudah merdeka nanti, kita bisa
mengatur negera ini dengan sesuka hati (Nur, 2011:48).
Penggunaan pronomina kita di atas menunjukkan bahwa sesama
pembicara dan pendengar saling menghormati, tegas, dan terkesan
bersahabat. Hal inilah yang dapat diamati dari kalimat (2) di atas. Oleh karena itu, deiksis persona pertama kita pada
kalimat di atas adalah sebuah bentuk bahasa yang bersifat deiksis karena
rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti pada siapa yang menjadi
pembicara dan bergantung pula pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.
(3) Kita membantu mereka dengan sepenuh hati, tanpa sedikit pun menghiraukan
kemelaratan hidup kita sendiri (Nur, 2011:61)
Penggunaan
pronomina kita selalu berhubungan dengan sikap pemakai bahasa
yang sopan. Deiksis pada kalimat (3) ada gejala semantik yang terdapat pada
kata atau konstruksi yang dapat ditafsirkan acuannya menurut situasi pembicara.
Kata yang mempunyai acuan itu dapat diidentifikasi melalui pembicara, waktu,
dan tempat diucapkan tuturan tersebut. Jadi, pronomina persona kita dalam
kalimat itu mempunyai makna deiksis karena tersebut jelas dari segi konteksnya.
Deiksis Persona Kedua
Bentuk pronomina kedua terdiri atas bentuk tunggal kamu dan engkau dan
bentuk jamak dengan menambah kata sekalian pada bentuk
tunggal serta bentuk-bentuk ketakziman anda dan saudara termasuk
leksim kekerabatan seperti ibu, bapak, dan kakak.
Dalam novel Lampuki karya Arafat Nur tidak ditemukan satu pun data yang
merupakan bentuk pronominal kedua, baik itu jamak maupun tunggal. Hal ini
dikarenakan bentuk kamu dan engkau digunakan
oleh orang tua kepada yang lebih muda atau mereka yang memiliki hubungan akrab.
Oleh karena itu dalam bahasa Indonesia tidak akan mungkin diterima bentuk
tersebut digunakan untuk merujuk ayah atau ibu. Sebagai gantinya biasanya
digunakan leksem kekerabatan seperti ayah dan ibu.
Namun, kedua leksem ini tidak dipakai oleh penulis. Sedangkan
bentuk anda dan saudara digunakan untuk
menandai hubungan yang kurang akrab dan ada jarak antara penutur dan lawan
tutur. Bentuk ini sekaligus untuk menghormat lawan tutumya. Sementara bentuk
jamak untuk merujuk lawan tutur yang lebih dari satu dan dalam hal ini penutur
lebih tua dari lawan tutur. Keseluruhan pronominal ini absen di dalam novel
Lampuki.
Deiksis Persona Ketiga
Bentuk pronomina ketiga memiliki bentuk tunggal dia,
nama orang, dan ia serta
jamak mereka dan beliau. Bentuk dia,
nama orang, dan ia merujuk
pada orang ketiga tunggal dan digunakan dalam hubungan netral untuk
pernghormatan. Bilamana penutur akan menghormati pada orang ketiga, maka akan
digunakan bentuk beliau. Berbeda dengan bentuk mereka sebagai
bentuk jamak persona ketiga digunakan untuk hubungan yang netral artinya tidak
digunakan untuk lebih menghormati atau sebaliknya. Dalam hasil penelitian,
peneliti menemukan persona ketiga tunggal dia sebanyak 6 data, nama
orang 11 data dan mereka 6
data. Hal menunjukkan bahwa persona ketiga tunggal dan jamak sama-sama
dibutuhkan dalam penggunaan deiksis persona pada novel Lampuki karya Arafat Nur.
1) Tunggal
(a) Dia
(1) Dia menunjukkan kumisnya kepada kepala sekolah dan guru-guru; dan memang,
tak ada seorang pun di antara mereka yang sanggup menyaingi ketebalan kumisnya
(Nur, 2011:45).
Pronomina persona
ketiga tunggal dia digunakan dalam kalimat (1) dan ini
dikatakan sebagai deiksis. Hal ini dikarenakan pemakaian deiksis orang ketiga memakai istilah kata ganti diri
karena fungsinya untuk menggantikan diri orang tersebut. Penggunaan dia dalam suatu pembicaraan
sebab bersifat netral dan sebagai penghormatan saja. Kenetralan dan
penghormatan ini terlihat dari makna yang ditimbulkan oleh deiksis persona
ketiga tunggal di atas. Dapat disimpulkan bahwa data (1) telah menggunakan
deiksis pada tempat yang sangat tepat.
(2) Selama dia kembali ke kampong,
kerjaannya tidak lain adalah berkeliaran saja, menghampiri sejumlah orang guna menghasut dan membujuk
mereka (Nur, 2011:49).
Kalimat (2)
terdapat deiksis persona ketiga tunggal. Dikatakan mengandung deiksis karena adanya suatu cara
untuk mengacu ke hakikat tertentu dengan menggunakan pronominal persona
ketiga dia yang dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu
oleh penutur kalimat di atas dan dipengaruhi oleh situasi pembicaraannya.
(3) Dia mengajukan alasan bahwa sebelum pengepungan terjadi, mereka sibuk
bersenda gurau dan bersenang-senang menghisap darah (Nur, 2011:109).
Kalimat (3) mengandung dua deiksis persona ketiga, yaitu dia dan mereka.
Deiksis dia merupakan sebuah kata ganti yang digunakan untuk
menghormati di luar konteks bahasa. Konteks adalah bagian suatu uraian
atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna situasi yang
ada hubungannya dengan suatu kejadian. Ketepatan penggunaan deiksis yang
sesuai dengan konteks, maka kalimat (3) telah menggunakan deiksis pada tempatnya.
(b) Nama orang
(1) Sebandel apapun Musa si mata sipit,
tentu saja di tidak akan berani bertindak lancang di depan wajah lelaki garang
itu (Nur, 2011:22).
Nama diri
digunakan sebagai kata sapaan atau panggilan jika hendak mulai suatu
percakapan, atau ingin minta perhatian kawan bicara. Musa adalah
nama diri sebagai deiksis yang dikategorikan dalam pronominal persona ketiga
tunggal. Dengan menggunakan nama diri, kalimat itu menjadi jelas rujukannya.
Selain itu, acuan ciri-ciri yang telah diberikan seperti si bandel dan mata
sipit mempertegas penggunaan deiksis nama diri yang
terdapat dalam kalimat (1).
(2) Selagi Ahmadi berbicara, tiada sepatah
kata pun keluar dari mulut mereka (Nur, 2011:31).
Kalimat (2)
tergambar bahwa sedang terjadi pembicaraan dari satu arah. Ahmadi adalah
rujukan yang dimaksud sebagai pembicara di dalam kalimat itu. Nama diri Ahmadi disebutkan
guna menunjukkan kejelasan deiksis yang dipakai. Nama acuan
bentuknya dapat sama dengan sapaan, yakni nama diri dan nama tingkat
kekerabatan. Sebagai tutur acuan nama diri hanya mengacu dan menunjuk (tidak
menyapa) kepada pembicara dan yang dibicarakan. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa Ahmadi sebagai deiksis persona ketiga tunggal yang dapat
menjadi satu sasaran dalam sebuah percakapan.
(3) Amanah dan tanggung jawab itu lantas diteruskan
oleh Harto sehingga kemudian mampu mengubah negeri ini
sedemikian rupa, juga sedemikian parahnya (Nur, 2011).
Dalam kalimat
(3), nama diri Harto dijadikan sasaran pembicaraan yang
dituturkan oleh penulis. Rujukan Harto di luar konteks bahasa
sebagai acuan berupa pronominal persona ketiga dapat memperjelas maksud dari
kalimat itu sendiri.
2) Jamak
(a) Mereka
(1) Mereka pun punya hak untuk menentang dan melawan (Nur, 2011:40).
Kata ganti persona ketiga adalah kategorisasi rujukan
pembicara kepada orang yang berada di luar tindak komunikasi. Dengan kata lain,
bentuk kata ganti persona ketiga merujuk orang yang tidak berada pada pihak
pembicara maupun lawan bicara. Mereka sebagai persona ketiga jamak pada kalimat
(1) dipakai sesuai
dengan konteks pembicaraan dan stuasi berbicara yang lazimnya dituju pada orang
yang berada diluar pembicaraan.
(2) Mereka saling membusuk-busukkan, diam-diam membayar tentara untuk
melenyapkan saingan (Nur, 2011:41).
Suatu gejala
semantis terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan
sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa
seperti pronomina dan sebagainya disebut deiksis. Dalam novel, deiksis
menggunakan gaya fiksi. Kata personal ketiga jamak mereka
kadang-kadang juga dipakai untuk mengacu benda yang dianggap bernyawa. Pada
kalimat (3) pronominal mereka dipakai untuk menyatakan sekelompok manusia yang
telah membayar tentara untuk membunuh kelompok yang lain.
(3) Mereka mengisi malam dengan gelak tawa dan dunia pun bagaikan tiada akhirnya
(Nur, 2011:62).
Sebuah bentuk bahasa dapat dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya
berpindah-pindah atau berganti-ganti pada siapa yang menjadi si pembicara dan
bergantung pula pada saat dan tempat dituturkannya kata itu, seperti pada
kalimat (4). Penggunaan mereka sebagai kata ganti sangat
terikat pada situasi yang tergambar dalam kalimat tersebut. Hubungan itu ada
kaitannya dengan situasi dan si penutur secara tidak langsung. Oleh karena
itu, mereka adalah hakikat deiksis persona ketiga jamak yang
ada dalam cuplikan di atas.
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat
disimpulkan beberapa hal, adalah sebagai berikut.
(1) Deiksis sebagai subbidang pragmatik dapat membuka
pemahaman konseptual arti suatu istilah yang tidak selalu diperoleh dari satu
definisi.
(2) Lampuki merupakan hasil karya yang sangat menggugah
karena jenis deiksisnya menarik dijadikan sebagai topik penelitian pragmatik
dari segi struktur bahasa dengan konteks penggunaannya.
(3) Hubungan antara struktur bahasa dengan konteks
penggunaannya, deiksis berada di antara kedua itu dan pengkategorian
gramatikalnya dapat membedakan deiksis persona atas persona pertama, kedua, dan
persona ketiga.
(4) Deiksis persona pertama tunggal aku yang
ditemukan oleh peneliti sebanyak 7 data dari data yang dijadikan sebagai sampel
penelitian. Bentuk persona pertama aku dapat merujuk pada
pembicara atau penulis dan orang lain dipihaknya, akan tetapi tidak mencakup
orang lain dipihak lawan bicara. Namun, rujukan untuk orang lain yang berada
dalam pihak tokoh aku tidak ditemukan dalam Novel Lampuki.
Selain itu, Deiksis aku tidak digunakan untuk mengatakan
sesuatu di depan orang banyak suatu hal yang bersifat formal, melainkan
peristiwa/keadaan yang sedang dialami dirinya sendiri.
(5) Populasi data persona jamak lebih sedikit dari pada
bentuk personal pertama tunggal. Data yang didapatkan hanya terdiri dari
pronominal pertama jamak kami sebanyak 5 data dan bentuk kita 3
data. Penyebab sedikitnya data itu dikarenakan bentuk persona pertama jamak
bersifat inkIusif. Maksudnya dapat membentuk pronomina tersebut merujuk pada
pembicara/penulis, sehingga dengan menggunakan kata ganti aku saja
sudah mewakili. Jadi, kata ganti personal pertama jamak tidak begitu penting
untuk dipakai, kecuali pada konteks-konteks yang dibutuhkan
(6) Pronominal kedua tunggal dan jamak absen di dalam
Novel Lampuki. Hal ini dikarenakan bentuk pronominal kedua tunggal
dan jamak kerap digunakan oleh orang tua kepada yang lebih muda
atau mereka yang memiliki hubungan akrab. Namun, bukan berarti di dalam
Novel Lampuki tidak ada sebuah jalinan yang akrab antara satu
tokoh dengan tokoh yang lain, melainkan konteks untuk penggunaan deiksis
personal kedua tunggal dan jamak tidak ada yang tepat.
(7) Peneliti menemukan Deiksis persona ketiga tunggal dia 6
data; orang ketiga yang disematkan nama orang 11 data; dan
persona ketiga jamak mereka 6 data dari keseluruhan sampel
penelitian. Hal menunjukkan bahwa persona ketiga tunggal dan jamak rujukan
pembicaranya kepada orang yang berada di luar tindak komunikasi. Pronominal persona
ketiga tunggal digunakan oleh penulis Novel Lampuki dua
variasi. Ada yang menggunakan nama dan tidak menggunakan nama atau langsung
menyebutkan dia.
4.2 Saran
Beberapa saran dapat penulis disampaikan berhubungan
dengan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut.
(1) Penelitian ini belum mencapai pada keseluruhan kajian
pragmatik. Peneliti baru menyentuh tentang penggunaan deiksis persona. Jadi,
apabila ada penelitian lain yang ingin melanjutkan penelitian ini, diharapkan
untuk mengambil tema penelitian tentang penggunaan jenis deiksis-deiksis lain
selain deiksis persona.
(2) Sebuah penelitian sifatnya seperti mata rantai. Kajian
penggunaan deiksis persona di dalam penelitian ini tidak terjamah pada deiksis
persona kedua. Jadi apabila ada peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian
deiksis persona, diharapkan untuk memilih novel lain karena di dalam novel ini
tidak mengandung deiksis persona kedua.
DAFTAR PUSTAKA
Haliday dan
Ruqaiya Hasan. 1984. Bahasa Konteks dan Teks: Apek-Aspek Bahasa dalam Semiotik
Sosial (terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Prees
Lyons, John.
1995. Pengantar Teori Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro,
Burhan. 1995. Teori Pengakajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Purwo, Bambang
Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
No comments:
Post a Comment