Beberapa
tokoh ekonomi klasik seperti Adam Smith (1723-1790), Thomas Robert Malthus
(1766-1834), Jean Baptiste Say (1767-1832), David Ricardo (1772-1823), Johan
Heinrich von Thunen (1780-1850), Nassau William Senior (1790-1864), Friedrich
von Herman, John Stuart Mill (1806-1873) dan John Elliot Cairnes (1824-1875)
memperoleh kehormatan dari Karl Marx (1818-1883) atas keklasikan dalam
mengetengahkan persoalan ekonomi yang dinilai tidak kunjung lapuk. Berbeda
dengan kaum Merkantilis dan Physiokrat, kaum klasik memusatkan analisis
ekonominya pada teori harga. Kaum klasik mencoba menyelesaikan persoalan
ekonomi dengan jalan penelitian faktor permintaan dan penawaran yang menentukan
harga.
John Maynard Keynes (1883-1946) berpendapat bahwa pandangan klasik yang memusatkan perhatian analisa ekonominya pada teori harga, maka perlu dipahami arah penggunaan alat produksi dengan sempurna. Dalam hubungan ini maka pengertian klasik diperluas kepada para ahli ekonomi yang tidak menganggap tidak mungkin adanya suatu pengangguran yang tidak dikehendaki (involuntary unemployment).
Salah satu hasil pemikiran kaum klasik yang sangat mempengaruhi dunia dalam era globalisasi adalah pemikiran mengenai perdagangan internasional. Pemikiran kaum klasik menentang pemikiran kaum merkantilis yang hanya mementingkan masuknya logam mulia dan berorientasi ekspor dengan meminimumkan impor barang dari luar negeri.
Kaum merkantilis meletakan tekanan pada perdagangan luar negeri. Kaum physiokrat memandang pertanian sebagai sumber segala kemakmuran. Adam Smith (1723-1790) sebagai tokoh aliran klasik menyatakan pendapatnya dalam bukunya yang berjudul ”Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” yaitu: ”Pekerjaan yang dilakukan suatu bangsa adalah modal yang membiayai keperluan hidup rakyat itu pada asal mulanya, dan dengan hasil-hasil pekerjaan tersebut dapat dibeli keperluan-keperluan hidupnya dari luar negeri.” Kapasitas produktif daripada kerja selalu bertambah dikarenakan adanya pembagian kerja yang makin mendasar dan rapi.
Adam Smith (1723-1790) menjelaskan keuntungan adanya pembagian kerja dengan memberikan contoh sebuah pabrik jarum. Di dalam pabrik jarum tersebut seorang buruh secara pasti dapat membuat 20 buah jarum sehari. Dari hasil kunjungan Smith atas suatu pabrik jarum yang telah melakukan pembagian pekerjaan, ternyata 10 orang buruh dapat membuat 48.000 buah jarum, dengan pembagian pekerjaan yaitu ada yang khusus menarik kawat, ada yang khusus memotongnya dan ada yang khusus meruncingkan jarumnya, serta lainnya. Dari keadaan tersebut dapat dikemukakan bahwa pembagiaan pekerjaan yang dilaksanakan itu dapat mempertinggi hasil produksi setiap buruh dari 20 buah menjadi 4800 buah jarum atau meningkatkan sebanyak 240 kali lipat.
Pembagian pekerjaan sering dibedakan menjadi dua pengertian, yang pertama adalah membagi pekerjaan menjadi sederhana sehingga semua buruh dengan tingkat keahlian tertentu dapat melakukan pekerjaan. Pengertian yang kedua adalah pembagian pekerjaan bersusun yang membagi pekerjaan suatu kegiatan produksi menjadi beberapa bagian. Di dalam perkembangannya, konsep pembagian pekerjaan terus berkembang dan terarah kepada kegiatan pekerjaan yang terspesialisasikan, dan di dalam kegiatan produksi yang lebih modern terjadi pembagian pekerjaan sistem ban berjalan (”conveyor system”). Produksi masal mobil oleh Ford sendiri juga terinspirasi dari konsep pembagian pekerjaan, sehingga ongkos produksi semakin murah. Dengan ongkos produksi yang lebih efisien, harga yang ditawarkan dapat lebih kompetitif dengan produk lain. Saat ini konsep pembagian pekerjaan telah digunakan secara luas di hampir seluruh sektor industri. Keuntungan pembagian pekerjaan adalah:
John Maynard Keynes (1883-1946) berpendapat bahwa pandangan klasik yang memusatkan perhatian analisa ekonominya pada teori harga, maka perlu dipahami arah penggunaan alat produksi dengan sempurna. Dalam hubungan ini maka pengertian klasik diperluas kepada para ahli ekonomi yang tidak menganggap tidak mungkin adanya suatu pengangguran yang tidak dikehendaki (involuntary unemployment).
Salah satu hasil pemikiran kaum klasik yang sangat mempengaruhi dunia dalam era globalisasi adalah pemikiran mengenai perdagangan internasional. Pemikiran kaum klasik menentang pemikiran kaum merkantilis yang hanya mementingkan masuknya logam mulia dan berorientasi ekspor dengan meminimumkan impor barang dari luar negeri.
Kaum merkantilis meletakan tekanan pada perdagangan luar negeri. Kaum physiokrat memandang pertanian sebagai sumber segala kemakmuran. Adam Smith (1723-1790) sebagai tokoh aliran klasik menyatakan pendapatnya dalam bukunya yang berjudul ”Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” yaitu: ”Pekerjaan yang dilakukan suatu bangsa adalah modal yang membiayai keperluan hidup rakyat itu pada asal mulanya, dan dengan hasil-hasil pekerjaan tersebut dapat dibeli keperluan-keperluan hidupnya dari luar negeri.” Kapasitas produktif daripada kerja selalu bertambah dikarenakan adanya pembagian kerja yang makin mendasar dan rapi.
Adam Smith (1723-1790) menjelaskan keuntungan adanya pembagian kerja dengan memberikan contoh sebuah pabrik jarum. Di dalam pabrik jarum tersebut seorang buruh secara pasti dapat membuat 20 buah jarum sehari. Dari hasil kunjungan Smith atas suatu pabrik jarum yang telah melakukan pembagian pekerjaan, ternyata 10 orang buruh dapat membuat 48.000 buah jarum, dengan pembagian pekerjaan yaitu ada yang khusus menarik kawat, ada yang khusus memotongnya dan ada yang khusus meruncingkan jarumnya, serta lainnya. Dari keadaan tersebut dapat dikemukakan bahwa pembagiaan pekerjaan yang dilaksanakan itu dapat mempertinggi hasil produksi setiap buruh dari 20 buah menjadi 4800 buah jarum atau meningkatkan sebanyak 240 kali lipat.
Pembagian pekerjaan sering dibedakan menjadi dua pengertian, yang pertama adalah membagi pekerjaan menjadi sederhana sehingga semua buruh dengan tingkat keahlian tertentu dapat melakukan pekerjaan. Pengertian yang kedua adalah pembagian pekerjaan bersusun yang membagi pekerjaan suatu kegiatan produksi menjadi beberapa bagian. Di dalam perkembangannya, konsep pembagian pekerjaan terus berkembang dan terarah kepada kegiatan pekerjaan yang terspesialisasikan, dan di dalam kegiatan produksi yang lebih modern terjadi pembagian pekerjaan sistem ban berjalan (”conveyor system”). Produksi masal mobil oleh Ford sendiri juga terinspirasi dari konsep pembagian pekerjaan, sehingga ongkos produksi semakin murah. Dengan ongkos produksi yang lebih efisien, harga yang ditawarkan dapat lebih kompetitif dengan produk lain. Saat ini konsep pembagian pekerjaan telah digunakan secara luas di hampir seluruh sektor industri. Keuntungan pembagian pekerjaan adalah:
1.
Setiap orang dapat melakukan
pekerjaan yang sesuai dengan bakatnya.
2.
Dapat meningkatkan pengetahuan di
dalam pekerjaan tersebut sehingga lebih mantap.
3.
Orang yang bersangkutan mengerjakan
pekerjaan yang sama secara berkelanjutan sehingga dapat menghindarkan
kehilangan waktu, ini berarti semakin efisien.
Pemikiran
mengenai nilai oleh kaum klasik masih relevan dengan perkembangan dunia saat
ini. Sebagai contohnya di Indonesia yang memiliki masalah dalam penentuan harga
jual beberapa BUMN yang dianggap terlalu murah.
Pandangan Adam Smith (1723-1790) atas konsep nilai dibedakan
menjadi 2 yaitu nilai pemakaian dan nilai penukaran. Hal ini menimbulkan
paradok nilai, yaitu barang yang mempunyai nilai pemakaian (nilai guna_ yang
sangat tinggi, misalnya air dan udara, tetapi mempunyai nilai penukaran yang
sangat rendah. Malahan boleh dikatakan tidak mempunyai nilai penukaran.
Sedangkan di sisi lain barang yang nilai gunanya sedikit tetapi dapat memiliki
nilai penukaran yang tinggi, seperti berlian. Hal ini baru diselesaikan oleh
ajaran nilai subyektif.
David Ricardo (1772-1823) seorang tokoh aliran klasik menyatakan bahwa nilai penukaran ada jikalau barang tersebut memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan bilamana barang tersebut dapat digunakan. Seseorang akan membuat sesuatu barang, karena barang itu memiliki nilai guna yang dibutuhkan oleh orang. Selanjutnya David Ricardo (1772-1823) juga membuat perbedaan antara barang yang dapat dibuat dan atau diperbanyak sesuai dengan kemauan orang, di lain pihak ada barang yang sifatnya terbatas ataupun barang monopoli (misalnya lukisan dari pelukis ternama, barang kuno, hasil buah anggur yang hanya tumbuh di lereng gunung tertentu dan sebagainya). Dalam hal ini untuk barang yang sifatnya terbatas tersebut nilainya sangat subyektif dan relatif sesuai dengan kerelaan membayar dari para calon pembeli. Sedangkan untuk barang yang dapat ditambah produksinya sesuai dengan keinginan maka nilai penukarannya berdasarkan atas pengorbanan yang diperlukan. David Ricardo (1772-1823) mengemukakan bahwa berbagai kesulitan yang timbul dari ajaran nilai kerja:
David Ricardo (1772-1823) seorang tokoh aliran klasik menyatakan bahwa nilai penukaran ada jikalau barang tersebut memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan bilamana barang tersebut dapat digunakan. Seseorang akan membuat sesuatu barang, karena barang itu memiliki nilai guna yang dibutuhkan oleh orang. Selanjutnya David Ricardo (1772-1823) juga membuat perbedaan antara barang yang dapat dibuat dan atau diperbanyak sesuai dengan kemauan orang, di lain pihak ada barang yang sifatnya terbatas ataupun barang monopoli (misalnya lukisan dari pelukis ternama, barang kuno, hasil buah anggur yang hanya tumbuh di lereng gunung tertentu dan sebagainya). Dalam hal ini untuk barang yang sifatnya terbatas tersebut nilainya sangat subyektif dan relatif sesuai dengan kerelaan membayar dari para calon pembeli. Sedangkan untuk barang yang dapat ditambah produksinya sesuai dengan keinginan maka nilai penukarannya berdasarkan atas pengorbanan yang diperlukan. David Ricardo (1772-1823) mengemukakan bahwa berbagai kesulitan yang timbul dari ajaran nilai kerja:
1.
Perlu diperhatikan adanya kualitas
kerja, ada kualitas kerja terdidik dan tidak terdidik, kualitas kerja keahlian
dan lain sebagainya. Aliran yang klasik dalam hal ini tidak memperhitungkan jam
kerja yang dipergunakan untuk pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang
biasa dan semestinya diperlukan untuk memproduksi barang. Dari situ maka Carey
kemudian mengganti ajaran nilai kerja dengan ”teori biaya reproduksi.”
2.
Kesulitan yang terdapat dalam nilai
kerja itu bahwa selain kerja masih banyak lagi jasa produktif yang ikut
membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan. Selanjutnya David Ricardo
(1772-1823) menyatakan bahwa perbandingan antara kerja dan modal yang
dipergunakan dalam produksi boleh dikarakan tetap besarnya dan hanya sedikit
sekali perubahan.
Atas dasar nilai kerja, dibedakan di samping ”harga alami” (natural
price) ada pula ”harga pasaran” (market price). Menurut aliran
klasik (Adam Smith) ”harga alami” akan terjadi bilamana masing-masing warga
masyarakat memperoleh kebebasan pilihannya untuk membuat sesuatu produk
tertentu yang menurutnya lebih menguntungkan dan menukarkannya bilamana dinilai
baik olehnya. Hal ini sejalan dengan pandangan kaum physiokrat. Istilah ”harga
alami” (natural price) yang dikemukakan Smith adalah sama dengan istilah
Cantillon ”valeur intrinsique” (nilai intrinsik), Turgot ”valeur
fondamental” (harga pokok), Say ”prix reel” (harga real), Ricardo ”primery/natural/necessary
price” (harga pokok) dan Cairnes ”normal price” (harga normal).
”Harga pasaran” dapat berbeda dengan ”harga alami” di mana akan menyesuaikan dengan keadaan penawaran dan permintaan atas barang yang bersangkutan. Demikian pula atas dasar pertimbangan tertentu, adanya peraturan pemerintah yang dapat menghalangi penyesuaian harga alami dengan harga pasaran. Tetapi bagaimanapun, harga alami akan menjadi acuan (pedoman) atas penetapan harga pasaran.
Sebelum Adam Smith menulis bukunya The Wealth of Nations (1776), Adam Smith telah menulis filsafat ilmu ekonominya pada tahun 1759 yang berjudul ”The Moral Sentiments.” Seperti halnya kaum physiokrat, Adam Smith beranggapan bahwa kepentingan masyarakat dan perorangan secara alami mempunyai persesuaian di mana persesuaian ini diciptakan oleh ”invisible hands.” Sedangkan dalam buku The Wealth of Nations, Adam Smith menulis antara lain bahwa “the nature and causes of the wealth of nations is what is properly called political economy” dan cukup menjelaskan apa yang harus menjadi tujuan ekonomi.
”Harga pasaran” dapat berbeda dengan ”harga alami” di mana akan menyesuaikan dengan keadaan penawaran dan permintaan atas barang yang bersangkutan. Demikian pula atas dasar pertimbangan tertentu, adanya peraturan pemerintah yang dapat menghalangi penyesuaian harga alami dengan harga pasaran. Tetapi bagaimanapun, harga alami akan menjadi acuan (pedoman) atas penetapan harga pasaran.
Sebelum Adam Smith menulis bukunya The Wealth of Nations (1776), Adam Smith telah menulis filsafat ilmu ekonominya pada tahun 1759 yang berjudul ”The Moral Sentiments.” Seperti halnya kaum physiokrat, Adam Smith beranggapan bahwa kepentingan masyarakat dan perorangan secara alami mempunyai persesuaian di mana persesuaian ini diciptakan oleh ”invisible hands.” Sedangkan dalam buku The Wealth of Nations, Adam Smith menulis antara lain bahwa “the nature and causes of the wealth of nations is what is properly called political economy” dan cukup menjelaskan apa yang harus menjadi tujuan ekonomi.
Setelah Adam Smith menjelaskan tentang pembagian pekerjaan,
pertukaran barang, dan uang sebagai alat untuk memajukan pertukaran barang,
selanjutnya memberikan analisis gejala nilai dan harga. Ada tiga komponen harga
yaitu upah, sewa tanah dan laba. Kerja itu adalah sebab dan ukuran harga. Adam Smith
membedakan antara kerja yang produktif dan kerja yang tidak produktif. Kerja
produktif adalah kerja yang menghasilkan barang secara fisik nyata dan kerja
yang tidak produktif adalah kerja yang tidak menghasilkan barang secara fisik
nyata. Pentingnya menyimpan dinilai sebagai kewajiban dan sekaligus sebagai
kebajikan untuk memperbanyak roti yang menjadi pokok keagamaan. Dalam hubungan
ini Paul Leautaud mendefinisikan pengertian menyimpan “l’economie c’est
l’art de ne pas vivre.” Pendapat Adam Smith mengenai sewa tanah adalah
salah satu faktor yang menetapkan harga. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa
sewa tanah adalah akibat dan bukan sebab daripada tingginya harga hasil
pertanian. Adam Smith tidak mengadakan perbedaan antara bunga modal dan untung
pengusaha. Sedangkan Jean Baptiste Say (1767-1832) membagi ”profit de
l’entrepreneur de l’industrie” (laba pengusaha): Upah mereka menyerahkan
kekayaan untuk keperluan industri (jadi kaum kapitalis), penggatian ”service
capitaux.” Upah bagi pemilik tanah untuk ”service foncier.”
Penggantian untuk ”service industrial” yang diperoleh oleh pemimpin proses produksi. David Ricardo (1772-1823) menyatakan bahwa pembagian pendapatan masyarakat merupakan soal terpenting daripada soal ilmu ekonomi. Jikalau kaum physiokrat menerangkan tentang sewa tanah ada dikarenakan kapasitas produktif daripada tanah, sedangkan menurut Ricardo (1772-1823) sewa tanah timbul karena keterbatasan (kekurangan) tanah. Teori sewa tanah Ricardo (1772-1823) dikenal dengan ”Teori Sewa Tanah Diferensial” teori ini menyatakan bahwa pada tahap awal orang akan menggunakan tanah yang subur, dan karena keterbatasannya maka selanjutnya akan menggunakan tanah yang kurang subur. Masing-masing memiliki sewa tanah yang berbeda-beda. Sewa tanah adalah ganti rugi yang harus dibayar kepada pemilik tanah untuk pemakaian ”Original and indestructible powers of the soil.” Sedangkan Johan Heinrich von Thunen (1780-1850) menyatakan perbedaan tinggi rendahnya sewa tanah akibat perbedaan letak terhadap pasar penjualannya. Semakin dekat letak tanah dengan pasar produk yang dihasilkan maka akan menekan/mengurangi biaya angkut produknya ke pasar. Akibatnya sewa tanah tersebut relatif lebih tinggi daripada tanah yang letaknya lebih jauh dari pasar.
Mengenai kemiskinan, David Ricardo (1772-1823) dan Thomas Robert Malthus (1766-1834) mengemukakan bahwa kemiskinan penduduk adalah disebabkan ”kesalahan sendiri” karena tidak membentuk keluarga kecil. Hal ini dianggap sebagai perlawanan dari undang-undang orang miskin (poor law) yang saat itu berlaku di Inggris. Menurut Ricardo (1772-1823) undang-undang tersebit tidak akan memperbaiki kemiskinan, sebaliknya hanya mengurangi kemakmuran si miskin dan si kaya keduanya. Pendapat ini terutama timbul dari teori ”dana upah” yang sebelumnya telah diketengahkan oleh Cantillon, Turgot dan Smith. Menurut teori ini permintaan tenaga kerja akan tergantung daripada dana upah yang terakumulasi, daripada ”funds which are destined for the payment of wages” yang dihematkan, dan tiap jumlah uang yang dibayarkan kepada yang satu, dengan sendirinya dikurangi daripada yang lain. Itulah sebabnya bahwa bantuan kepada orang miskin adalah merugikan dana upah, jadi juga upah-upah kerja lainnya. Menurut Nasau William Senior besarnya upah rata-rata, tergantung daripada perbandingan antara jumlah yang disediakan para pengusaha bagi pembayaran upah, dan jumlah pekerja, pendapat serupa ini terdapat pula pada Stuart Mill. Namun teori dana upah ini adalah suatu pengulangan kata yang tak berarti; tidak ada yang dikemukakan selain daripada hal, bahwa upah rata-rata sama dengan dana upah, dibagi dengan jumlah pekerja dan sebaliknya dana upah itu harus dapat diketahui dari hasil kali upah rata-rata dengan jumlah orang upahan. Jika Ricardo (1772-1823) mengatakan bahwa dalam hal pertanian, pertambangan dan produksi industri, barang-barang dipertukarkan dalam bandingan jumlah kerja, yang dipergunakan untuk pembuatannya dalam keadaan marginal, maka profit sekarang dapat dipandangnya sebagai ganjaran, biarpun ia tidak banyak menaruh perhatian terhadap residu ini. Rangkuman prognosa Ricardo (1772-1823) tentang pembagian penghasilan masyarakat dapat dirumuskan ”rent naik, profit turun, sedangkan upah tetap.” Tentang profit yang menurun sehingga merupakan suatu tendensi penurunan, disambut oleh Marx (1818-1883) dengan pernyataannya yang dianggap sebagai bukti untuk menerangkan keruntuhan kapitalisme. Sedangkan menurut Keynes sebaliknya menggunakannya untuk menunjukkan perlunya politik konjungtur (bussiness cycle) tertentu. Sedangkan bagi Ricardo (1772-1823) cukup dijelaskan bahwa pengusaha-pengusaha yang pertama atau lebih awal di dalam merealisasikan pendapat barunya (invention) akan memperoleh premi kedahuluan, sedangkan pengusaha yang belakangan akan memperoleh bagian yang relatif kecil. Hal mana sejalan dengan teori keuntungan pengusaha yang dinamis yang diketengahkan oleh Joseph Schumpeter.
Atas dasar pemikiran kaum klasik mengenai profit yang menurun, negara barat berlomba-lomba untuk ”menjual” penemuan dan rela untuk membiayai penelitian. Bagi Indonesia sendiri, penelitian dianggap sebagai suatu biaya yang akan terbuang percuma, sehingga Indonesia terus ketinggalan karena tidak pernah memperoleh premi kedahuluan dan hanya memperoleh bagian yang kecil atas produksi produk teknologi lama.
Perdagangan sudah menjadi isu penting sejak jaman para filusuf yang mempermasalahkan apakah perdagangan itu secara moral diterima atau tidak. Kaum merkantilis mengangkat citra perdagangan walaupun masih sebatas memperbanyak logam mulia masuk ke dalam suatu negara (berorientasi ekspor). Kaum klasik mencoba menjelaskan keuntungan dari kerjasama perdagangan internasional. Adam Smith memulai mengajukan teori keuntungan absolut (absolute advantage), sedangkan David Ricardo memperbaikinya dengan mengajukan teori keuntungan komparatif (comparative advantage). Berbeda dengan pendapat Smith yang mengajukan perdagangan akan menguntungkan apabila suatu negara memperdagangkan barang yang secara mutlak menguntungkannya. Ricardo berpendapat bahwa suatu negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan karena masing masing pihak mengambil relative efficient tenaga kerjanya masing-masing.
Penggantian untuk ”service industrial” yang diperoleh oleh pemimpin proses produksi. David Ricardo (1772-1823) menyatakan bahwa pembagian pendapatan masyarakat merupakan soal terpenting daripada soal ilmu ekonomi. Jikalau kaum physiokrat menerangkan tentang sewa tanah ada dikarenakan kapasitas produktif daripada tanah, sedangkan menurut Ricardo (1772-1823) sewa tanah timbul karena keterbatasan (kekurangan) tanah. Teori sewa tanah Ricardo (1772-1823) dikenal dengan ”Teori Sewa Tanah Diferensial” teori ini menyatakan bahwa pada tahap awal orang akan menggunakan tanah yang subur, dan karena keterbatasannya maka selanjutnya akan menggunakan tanah yang kurang subur. Masing-masing memiliki sewa tanah yang berbeda-beda. Sewa tanah adalah ganti rugi yang harus dibayar kepada pemilik tanah untuk pemakaian ”Original and indestructible powers of the soil.” Sedangkan Johan Heinrich von Thunen (1780-1850) menyatakan perbedaan tinggi rendahnya sewa tanah akibat perbedaan letak terhadap pasar penjualannya. Semakin dekat letak tanah dengan pasar produk yang dihasilkan maka akan menekan/mengurangi biaya angkut produknya ke pasar. Akibatnya sewa tanah tersebut relatif lebih tinggi daripada tanah yang letaknya lebih jauh dari pasar.
Mengenai kemiskinan, David Ricardo (1772-1823) dan Thomas Robert Malthus (1766-1834) mengemukakan bahwa kemiskinan penduduk adalah disebabkan ”kesalahan sendiri” karena tidak membentuk keluarga kecil. Hal ini dianggap sebagai perlawanan dari undang-undang orang miskin (poor law) yang saat itu berlaku di Inggris. Menurut Ricardo (1772-1823) undang-undang tersebit tidak akan memperbaiki kemiskinan, sebaliknya hanya mengurangi kemakmuran si miskin dan si kaya keduanya. Pendapat ini terutama timbul dari teori ”dana upah” yang sebelumnya telah diketengahkan oleh Cantillon, Turgot dan Smith. Menurut teori ini permintaan tenaga kerja akan tergantung daripada dana upah yang terakumulasi, daripada ”funds which are destined for the payment of wages” yang dihematkan, dan tiap jumlah uang yang dibayarkan kepada yang satu, dengan sendirinya dikurangi daripada yang lain. Itulah sebabnya bahwa bantuan kepada orang miskin adalah merugikan dana upah, jadi juga upah-upah kerja lainnya. Menurut Nasau William Senior besarnya upah rata-rata, tergantung daripada perbandingan antara jumlah yang disediakan para pengusaha bagi pembayaran upah, dan jumlah pekerja, pendapat serupa ini terdapat pula pada Stuart Mill. Namun teori dana upah ini adalah suatu pengulangan kata yang tak berarti; tidak ada yang dikemukakan selain daripada hal, bahwa upah rata-rata sama dengan dana upah, dibagi dengan jumlah pekerja dan sebaliknya dana upah itu harus dapat diketahui dari hasil kali upah rata-rata dengan jumlah orang upahan. Jika Ricardo (1772-1823) mengatakan bahwa dalam hal pertanian, pertambangan dan produksi industri, barang-barang dipertukarkan dalam bandingan jumlah kerja, yang dipergunakan untuk pembuatannya dalam keadaan marginal, maka profit sekarang dapat dipandangnya sebagai ganjaran, biarpun ia tidak banyak menaruh perhatian terhadap residu ini. Rangkuman prognosa Ricardo (1772-1823) tentang pembagian penghasilan masyarakat dapat dirumuskan ”rent naik, profit turun, sedangkan upah tetap.” Tentang profit yang menurun sehingga merupakan suatu tendensi penurunan, disambut oleh Marx (1818-1883) dengan pernyataannya yang dianggap sebagai bukti untuk menerangkan keruntuhan kapitalisme. Sedangkan menurut Keynes sebaliknya menggunakannya untuk menunjukkan perlunya politik konjungtur (bussiness cycle) tertentu. Sedangkan bagi Ricardo (1772-1823) cukup dijelaskan bahwa pengusaha-pengusaha yang pertama atau lebih awal di dalam merealisasikan pendapat barunya (invention) akan memperoleh premi kedahuluan, sedangkan pengusaha yang belakangan akan memperoleh bagian yang relatif kecil. Hal mana sejalan dengan teori keuntungan pengusaha yang dinamis yang diketengahkan oleh Joseph Schumpeter.
Atas dasar pemikiran kaum klasik mengenai profit yang menurun, negara barat berlomba-lomba untuk ”menjual” penemuan dan rela untuk membiayai penelitian. Bagi Indonesia sendiri, penelitian dianggap sebagai suatu biaya yang akan terbuang percuma, sehingga Indonesia terus ketinggalan karena tidak pernah memperoleh premi kedahuluan dan hanya memperoleh bagian yang kecil atas produksi produk teknologi lama.
Perdagangan sudah menjadi isu penting sejak jaman para filusuf yang mempermasalahkan apakah perdagangan itu secara moral diterima atau tidak. Kaum merkantilis mengangkat citra perdagangan walaupun masih sebatas memperbanyak logam mulia masuk ke dalam suatu negara (berorientasi ekspor). Kaum klasik mencoba menjelaskan keuntungan dari kerjasama perdagangan internasional. Adam Smith memulai mengajukan teori keuntungan absolut (absolute advantage), sedangkan David Ricardo memperbaikinya dengan mengajukan teori keuntungan komparatif (comparative advantage). Berbeda dengan pendapat Smith yang mengajukan perdagangan akan menguntungkan apabila suatu negara memperdagangkan barang yang secara mutlak menguntungkannya. Ricardo berpendapat bahwa suatu negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan karena masing masing pihak mengambil relative efficient tenaga kerjanya masing-masing.
Teori perdagangan internasional diketengahkan oleh David
Ricardo (1772-1823) yang mulai dengan anggapan bahwa lalu lintas pertukaran
internasional hanya berlaku antara dua negara yang diantara mereka tidak ada
tembok pabean, serta kedua negara tersebut hanya beredar uang emas. Ricardo
(1772-1823) memanfaatkan hukum pemasaran bersama-sama dengan teori kuantitas
uang untuk mengembangkan teori perdagangan internasional. Walaupun suatu negara
memiliki keunggulan aboslut, akan tetapi apabila dilakukan perdagangan tetap
akan menguntungkan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan.
Teori perdagangan telah mengubah dunia menuju globalisasi dengan lebih cepat. Kalau dahulu negara yang memiliki keunggulan absolut enggan untuk melakukan perdagangan, berkat ”law of comparative costs” dari Ricardo (1772-1823), Inggris mulai kembali membuka perdagangannya dengan negara lain.
Pemikiran kaum klasik telah mendorong diadakannya perjanjian perdagangan bebas antara beberapa negara. Teori comparative advantage telah berkembang menjadi dynamic comparative advantage yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan. Oleh karena itu penguasaan teknologi dan kerja keras menjadi faktor keberhasilan suatu negara. Bagi negara yang menguasai teknologi akan semakin diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas ini, sedangkan negara yang hanya mengandalkan kepada kekayaan alam akan kalah dalam persaingan internasional. Globalisasi merupakan hal yang tidak terhindarkan lagi. Mau tidak mau, Indonesia harus siap menghadapinya. Kebijakan pemerintah yang salah akan membuat Indonesia semakin terpuruk. Untuk itu penguasaan teknologi dan pengembangan sumber daya manusia harus diperhatikan.
Teori perdagangan telah mengubah dunia menuju globalisasi dengan lebih cepat. Kalau dahulu negara yang memiliki keunggulan absolut enggan untuk melakukan perdagangan, berkat ”law of comparative costs” dari Ricardo (1772-1823), Inggris mulai kembali membuka perdagangannya dengan negara lain.
Pemikiran kaum klasik telah mendorong diadakannya perjanjian perdagangan bebas antara beberapa negara. Teori comparative advantage telah berkembang menjadi dynamic comparative advantage yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan. Oleh karena itu penguasaan teknologi dan kerja keras menjadi faktor keberhasilan suatu negara. Bagi negara yang menguasai teknologi akan semakin diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas ini, sedangkan negara yang hanya mengandalkan kepada kekayaan alam akan kalah dalam persaingan internasional. Globalisasi merupakan hal yang tidak terhindarkan lagi. Mau tidak mau, Indonesia harus siap menghadapinya. Kebijakan pemerintah yang salah akan membuat Indonesia semakin terpuruk. Untuk itu penguasaan teknologi dan pengembangan sumber daya manusia harus diperhatikan.
TEORI MODERN
Perdagangan antar negara maju pesat sejak pertengahan abad
19 sampai dengan permulaan abad 20. Keamanan serta kedamaian dunia ( sebelum
perang dunia I ) memberikan saham yang besar bagi perkembangan perdagangan
internasional yang pesat. Teori klasik nampaknya mampu memberikan dasar serta
penjelasan bagi kelangsungan jalannya perdagangan dunia. Hal itu terlihat dari
usaha masing-masing negara yang ikut didalamnya untuk melakukan spesialisasi
dalam produksi, serta berusaha mengekspor barang-barang yang paling sesuai /
menguntungkan bagi mereka. Negara-negara / daerah- daerah tropik berusaha untuk
menspesialisasikan diri mereka dalam produksi serta ekspor barang-barang yang
berasal dari pertanian, perkebunan, dan pertambangan, sedangkan Negara-negara /
daerah-daerah sedang, yang relatif kaya akan modal, berusaha untuk
menspesialisasikan diri mereka dalam produksi serta ekspor barang-barang
industri. Heckscher-Ohlin mengemukakan konsepsinya yang dapat disimpulkan
sebagai berikut :
a.
Bahwa perdagangan internasional /
antar negara tidaklah banyak berbeda dan hanya merupakan kelanjutan saja dari
perdagangan antar daerah. Perbedaan pokoknya terletak pada masalah jarak. Atas
dasar inilah maka Ohlin melepaskan anggapan ( yang berasal dari teori klasik )
bahwa dalam perdagangan internasional ongkos transport dapat diabaikan.
b. Bahwa barang-barang yang
diperdagangkan antar negara tidaklah didasarkan atas keuntungan alamiah atau
keuntungan yang diperkembangkan ( natural and acquired advantages dari Adam
Smith ) akan tetapi atas dasar proporsi serta intensitas faktor- faktor
produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang itu.
Masing-masing
negara memiliki faktor-faktor produksi neo-klasik ( tanah, tenaga kerja, modal
) dalam perbandingan yang berbeda-beda, sedang untuk menghasilkan sesuatu
barang tertentu diperlukan kombinasi faktor-faktor produksi yang tertentu pula.
Namun demikian tidaklah berarti bahwa kombinasi faktor-faktor produksi itu
adalah tetap. Jadi untuk menghasilkan sesuatu macam barang tertentu fungsi
produksinya dimanapun juga sama, namun proporsi masing-masing faktor produksi
dapatlah berlainan ( karena adanya kemungkinan penggantian / subtitusi faktor
yang satu dengan faktor yang lainnya dalam batas-batas tertentu ). Jadi teori
Heckscher-Ohlin dalam batas-batas definisinya menyatakan bahwa : a. Sesuatu
negara akan menghasilkan barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang
relatif banyak ( dalam arti bahwa harga relatif faktor produksi itu murah ),
sehingga harga barang-barang itu relatif murah karena ongkos produksinya
relatif murah. Karena itu Indonesia yang memiliki relatif banyak tenaga kerja
sedang modal relatif sedikit sebaiknya menghasilkan dan mengekspor
barang-barang yang relatif padat karya. b. Dengan mengutamakan produksi dan
ekspornya pada barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif
banyak, maka harga faktor produksi yang relatif banyak akan naik. Dalam hal ini
“relatif banyak”menunjuk kepada jumlah phisiknya, bukan harga relatifnya.
Karena harga relatif kedua macam barang itu sebelum perdagangan berjalan adalah
berlainan, maka negara yang memiliki faktor produksi tenaga kerja relatif
banyak akan cenderung untuk menaikan produksi barang yang padat karya dan
mengurangi produksi barangnya yang padat modal. Negara itu akan mengekspor
barangya yang padat karya dan mengimpor barang yang padat modal. Dengan
demikian perdagangan internasional akan mendorong naik harga faktor produksi
yang relatif sedikit. Sebagai akibatnya untuk negara yang memiliki faktor
produksi modal relatif banyak, upah akan turun sedang harga modal – tingkat
bunga – akan naik. Jadi perdagangan internasional cenderung untuk mendorong
harga faktor produksi yang sama, antar negara menjadi sama pula (equalization
of factor price).
Perdagangan
internasional terjadi karena masing-masing pihak yang terlibat didalamnya
merasa memperoleh manfaat dari adanya perdagangan tersebut. Dengan demikian
perdagangan tidak lain adalah kelanjutan atau bentuk yang lebih maju dari
pertukaran yang didasarkan atas kesukarelaan masing-masing pihak yang terlibat.
Tentu saja pengertian “kesukarelaan” dalam perdagangan internasional harus
diberi tanda petik, karena realitasnya kesukarelaan ini sebenarnya tidak selalu
terjadi, namun paksaan yang mendorong terjadinya perdagangan internasional
tersebut tidaklah selalu terlihat jelas. Salah satu bentuk paksaan ini
misalnya, terlihat pada perdagangan yang timbul sebagai akibat bantuan luar
negeri yang mengikat (Tied aid).
Apabila negara A menerima bantuan dari negara B tetapi dengan ketentuan bahwa
bantuan (kredit) itu harus dibelanjakan di negara B, maka perdagangan yang
timbul antara A dan B sebagai akibat pemberian bantuan itu jelas tidak
sepenuhnya didasarkan atas kesukarelaan kedua belah pihak. Paksaan yang lebih
halus lagi terlihat pada bentuk-bentuk perdagangan internasional yang merupakan
ikutan dari perkembangan industrialisasi dalam negara-negara yang sedang
berkembang yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang mempunyai
cabang di berbagai negara dan berinduk di negara maju (perusahaan-perusahaan
multinasional).
Harga
barang yang sama dapat berlainan di negara yang berlainan karena harga
dicerminkan oleh ongkos produksi (apabila permintaan dianggap sama), sehingga
perbedaan harga timbul karena perbedaan ongkos produksi. Menurut Ricardo &
Mill, Ongkos produksi ditentukan oleh banyaknya jam kerja yang dicurahkan untuk
membuat barang itu. Jadi apabila untuk membuat barang yang sama diperlukan
banyak jam yang berlainan bagi negar yang berlainan tersebut, maka ongkos
produksinya juga akan berlainan. Perbedaan dalam banyak jam kerja menurut teori
Ricardian (klasik) disebabkan karena perbedaan dalam teknik produksi (atau
tingkat teknologi), perbedaan dalam ketrampilan kerja (produktivitas tenaga
kerja), perbedaan dalam penggunaan faktor produksi atau kombinasi antar mereka.
Dengan kata lain ongkos produksi untuk membuat barang yang sama berlainan
karena fungsi produksinya lain. Menurut Heckscher – Ohlin, ongkos produksi
ditentukan oleh penggunaan faktor produksi atau sumber daya. Jadi apabila
faktor produksi itu digunakan dalam proporsi dan intensitas yang berlainan,
walaupun tingkat teknologi dan produktivitas tenaga kerja sama, ongkos produksi
untuk membuat barang yang sama di negara yang berlainan juga akan lain.
Perbedaan dalam penggunaan proporsi dan intensitas faktor produksi yang
disebabkan karena perbedaan dalam hadiah alam (factor endowment) yang diterima
oleh masing- masing negara. Dengan kata lain ongkos produksi untuk membuat
barang yang sama berlainan karena perbedaan hadiah alam, bukan karena fungsi
produksinya lain.
Salah
satu kesimpulan utama teori H-O adalah bahwa perdagangan internasional
cenderung untuk menyamakan tidak hanya harga barang-barang yang diperdagangkan
saja, tetapi juga harga faktor-faktor produksi yang digunakan untuk
menghasilkan barang-barang tersebut. Kesimpulan ini sebenarnya merupakan akibat
dari konsepsi mereka mengenai hubungan antara spesialisasi dengan proporsi
faktor-faktor poduksi yang digunakan. Dalam hal-hal khusus, bahkan tidak
mungkin untuk mengenali apakah barang-barang itu barang-barang padat karya
ataukah barang-barang padat modal dipandang dari dunia seabagai satu
keseluruhan. Negara yang memiliki tenaga kerja relatif banyak mungkin saja
mempunyai keuntungan komparatif dalam barang-barang yang padat modal dan
sebaliknya. Karena akibat adanya perdagangan internasional adalah naiknya harga
relatif barang-barang yang dihasilkan dengan menggunakan prinsip keuntungan
komparatif itu dan dengan demikian juga faktor produksi yang digunakanya secara
intensif, maka akibat pada harga relatif faktor-faktor produksinya mungkin
berupa perubahan yang menuju ke arah yang sama tetapi dapat juga berlawanan,
lagi pula dalam keseimbangan, kedua negara dapat terus menghasilkan kedua macam
barang itu walaupun harga faktor-faktor produksinya berlainan di kedua negara
tersebut.
Pada
tahun 1920-an para ahli ekonomi mulai mempertimbangkan fakta bahwa kebanyakan
industri memperoleh keuntungan dari skala ekonomi (economies of scale) yaitu
dengan semakin besarnya pabrik dan meningkatnya keluaran, biaya produksi per
unit menurun. Ini terjadi karena peralatan yang lebih besar dan lebih efisien
dapat digunakan, sehingga perusahaan dapat memperoleh potongan harga atas
pembelian-pembelian mereka dengan volume yang lebih besar dan biaya-biaya tetap
seperti biaya
penelitian dan pengembangan
sertaoverhead administratif dapat dialokasikan pada kuantitas keluaran yang lebih besar. Biaya-biaya produksi
juga menurun karena kurva belajar
(learning curve). Begitu perusahaan memproduksi produk lebih banyak, mereka mempelajari cara-cara untuk meningkatkan efisiensi produksi,
yang menyebabkan biaya poduksi
berkurang dengan suatu jumlah yang dapat diperkirakan. Skala ekonomi dan kurva pengalaman (experience curve) mempengaruhi perdagangan
internasional karena
memungkinkan industri-industri suatu
negara menjadi produsen biaya rendah tanpa memiliki faktor-faktor produksi yang berlimpah. Perdagangan
internasional timbul
utamanya karena perbedaan-perbedaan
harga relatif diantara negara. Perbedaan- perbedaan ini berasal dari perbedaan dalam biaya produksi,
yang diakibatkan oleh : 1. perbedaan-perbedaan
dalam perolehan atas faktor produksi. 2. Perbedaan-perbedaan dalam tingkat teknologi yang menentukan intensitas faktor
yang digunakan. 3.
Perbedaan-perbedaan dalam efisiensi
pemanfaatan faktor-faktor. 4. Kurs valuta asing. Meskipun demikian perbedaan selera dan variabel pemintaan
dapat membalikkan arah perdagangan.
Teori perdagangan internasional jelas menunjukan bahwa bangsa-bangsa akan memperoleh suatu tingkat kehidupan yang lebih tinggi
dengan melakukan
spesialisasi dalam barang-barang
dimana mereka memiliki keunggulan komparatif dan mengimpor barang-barang yang mempunyai kerugian secara
komparatif. Pada umumnya hambatan-hambatan
perdagangan yang memberhentikan mengalirnya barang-barang dengan bebas akan membahayakan kesejahteraan suatu bangsa.
A. KESIMPULAN
Teori Keynesian, adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes. Teori ini mempromosikan suatu
ekonomi campuran, di mana baik negara maupun sektor swasta
memegang peranan penting. Kebangkitan ekonomi Keynesianisme menandai
berakhirnya ekonomi laissez-faire, suatu teori ekonomi yang berdasarkan pada keyakinan bahwa
pasar dan sektor swasta dapat berjalan sendiri tanpa campur tangan negara.
Teori ini menyatakan bahwa trend ekonomi makro
dapat memengaruhi perilaku individu ekonomi mikro. Berbeda dengan teori ekonom klasik
yang menyatakan bahwa proses ekonomi didasari oleh pengembangan output potensial, Keynes menekankan pentingnya permintaan agregat sebagai faktor utama penggerak perekonomian, terutama dalam
perekonomian yang sedang lesu. Ia berpendapat bahwa kebijakan pemerintah dapat
digunakan untuk meningkatkan permintaan pada level makro, untuk mengurangi pengangguran dan deflasi. Jika pemerintah meningkatkan
pengeluarannya, uang yang beredar di masyarakat akan bertambah sehingga
masyarakat akan terdorong untuk berbelanja dan meningkatkan permintaannya
(sehingga permintaan agregat bertambah). Selain itu, tabungan juga akan
meningkat sehingga dapat digunakan sebagai modal investasi, dan kondisi perekonomian
akan kembali ke tingkat normal.
Sedangkan Teori Klasik, adalah suatu teori ekonomi yang di
dasarkan pada ide bapak ekonomi dunia, Adam Smith. Teori ini lebih membahas
ekonomi yang bersifat mikro dengan penekanan pada penentuan harga.
Pandangan-pandangan Smith kemudian telah menandai perubahan yag sangat
revolusioner dalam pemikiran ekonomi.
Pada dasarnya dalam teori Keynes tidak ada kecenderungan
otomatis untuk menggerakan output dan lapangan pekerjaan ke kondisi full employment (lapangan kerja penuh). Ini bertentangan dengan prinsip
ekonomi klasik seperti ekonomi supply-side yang menganjurkan untuk tidak
menambah peredaran uang di masyarakat untuk menjaga titik keseimbangan di titik yang ideal.
No comments:
Post a Comment