Penulis : Agus
Purwanto, D.Sc
Penerbit : mizan
Diturunkannya al-Quran ke muka bumi diimani sebagai panduan umat manusia (huda
al-linnas) dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena itu pula al-Quran
dipercaya sebagai sumber nilai obyektif, universal dan abadi. Ajaran al-Quran mencakup seluruh aspek kehidupan (as-Syumul). Juga
mencakup seluruh ruang lingkup kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, Negara dan bahkan global
(internasional).
Namun pengetahuan umat Islam tentang
al-Quran tidak jarang dipahami sangat dangkal dan sempit. Universalitas al-Quran
kemudian cenderung hanya menyangkut persoalan fikih,
tasawuf dan politik (siyasah) saja. Umat Islam banyak mengabaikan pesan-pesan al-Quran yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan metafisik
(kealaman). Ada kesan bahwa persoalan-persoalan kealaman bukan
bagian dari persoalan ukhrawi. Bahkan khusus untuk membincangkan “kebangkitan Islam”,
tidak dapat dipungkiri bahwa fokusnya selalu dibelokkan ke ranah politik
praktis-ideologis. Seakan-akan hanya dengan pendirian “negara khilafah”,
kejayaan Islam dapat dibangkitkan kembali. Sedangkan
ilmu pengetahuan
masih bukan
persoalan yang mendesak bagi dunia Islam.
Memperhatikan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran dan Islam sedemikian sempit, akhirnya
bapak Agus Purwanto, D. Sc., seorang doktor fisika teori
alumni Universitas Hiroshima Jepang dan kader militan Muhammadiyah yang juga
dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, berupaya keras untuk
mendobrak kesempitan tersebut. Dengan
kepakaran dalam fisika teori, ia berusaha melihat keunggulan Islam dari sisi
yang lain. kesadarannya sebagai seorang saintifik muslim, Agus Purwanto yakin bahwa
kebangkitan Islam saat ini hanya dapat diwujudkan dengan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dalam buku “Ayat-Ayat Semesta” ini,
bapak Agus Purwanto membeber bukti tentang luluh lantaknya
Afghanistan dan Irak yang justru oleh produk sains Negara-negara Barat,
khususnya AS dan Inggris. Di sisi lain, negara-negara Islam atau berpenduduk
mayoritas Muslim seperti Indonesia umumnya memiliki kekayaan sumber daya alam
melimpah. Tapi kelimpahruahan tersebut tidak kemudian berarti kemakmuran dan
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Sebabnya satu: umat Islam tidak menguasai
ilmu pengetahuan baik teoritis maupun praktis .
Beliau
juga membicarakan Fenomena
siang malam, garis edar, berpasang-pasangan, Tuhan yang supersibuk,
ketidakkekalan materi, menghunjam ke bumi, menembus langit, Isra’ Mi’raj,
teleportasi, hingga bahasa makhluk (lain) sebagaimana dimengerti Nabi Sulaiman
as. Semuanya berangkat dari ayat di dalam Al-Qur’an. Semuanya bermuara pada
satu hal: bahwa sungguh Allah telah meletakkan dasar-dasar sains di dalam
kitab-Nya yang telah diturunkan-Nya 14 abad silam.
Bapak Agus Purwanto bermaksud membankitkan kesadaran umat Islam , utamanya kalangan akademisi ,bahwa sesungguhnya ada
tak kurang dari 800 ayat
kauniyyah dalam
al-Quran yang terselip di antara 6236 ayat. Sedangkan ayat-ayat fikih tidak lebih dari 150 ayat saja.
Tapi anehnya, mengapa para ulama lebih banyak menghabiskan energinya untuk
membahas persoalan fikih – yang justru sering memicu perseteruan dan konflik
antar umat Islam – daripada membahas fenomena terbitnya matahari, beredarnya
bulan dan kelap-kelipnya bintang, gerak awan di langit, kilat dan petir yang
menyambar, malam yang gelap gulita dan fenomena keajaiban alam lainnya.
Bapak
Agus Purwanto mengingatkan bahwa fungsi al-Quran juga
berlaku bagi konstruksi ilmu pengetahuan dengan memberi petunjuk tentang
prinsip-prinsip sains yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan
spiritual. Dengan kata lain, wahyu (dan sunnah) dapat dijadikan sebagai sumber
inspirasi bagi bangunan ilmu pengetahuan .
Buku ini sebagai buku pertama yang ditulis oleh seorang
fisikawan partikel teori Indonesia. Karenanya, patut menjadi bacaan bagi siapa
saja yang ingin mengetahui pertemuan antara alam logika bebas dan
alam wahyu ilahiah, dilihat dari sisi fisika. Sedang Prof. Dr. Jalaluddin
Rahmat (Kang Jalal) menyebut buku ini sebagai buku ajakan terhadap kaum Muslim
untuk menaruh perhatian pada sains sebagai panggilan Ilahi.Akhirnya, karena
cukup komprehensifnya buku ini, tidak ada alasan bagi siapa saja untuk tidak
membacanya
Judul
Buku : Berislam secara Toleran
Penulis : Irwan
Masduqi
Penerbit :
Mizan
Buku ini ditulis
oleh bapak Irwan Masduqialumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Jurusan Ilmu
Tafsir, yang lama mondok di pesantren terkemuka, buku ini menawarkan konsep
toleransi Islam menurut perspektif 15 pemikir kontemporer dunia, Muslim dan
non-Muslim, karena ide-ide toleran mereka patut diapresiasi dan diwacanakan di
Indonesia sebagai basis teologi kerukunan antarumat beragama. buku ini
juga pantas diapresiasikan karena
mengusung spirit toleransi di tengah-tengah maraknya kekerasan atas nama agama
di Indonesia.
Buku ini juga mencoba menjawab sejumlah
pertanyaan seperti :
1.
Jika Islam menjamin kebebasan beragama, mengapa masih ada umat Muslim yang
melakukan serangan terhadap gereja?
2.
Jika benar Islam membawa rahmat bagi semua, mengapa masih ada sebagian fraksi
Muslim yang melakukan bom bunuh diri?
3.
atau betulkah ayat-ayat toleransi dalam
Al-Quran sudah dihapus hukumnya dan tidak berlaku lagi, karena sudah diganti
dengan ayat-ayat perang?
4.Salah satu pertanyaan
paling menarik adalah: Apakah toleransi itu berdasarkan nilai
Barat atau bahwa ia inheren dalam Islam? Argumentasi Irwan sangat menarik
ketika ia menyibaknya dari sudut filsafat, kepentingan politik, dan
interpretasi kitab suci.
Dan banyak pertanyaan lainnya, dengan berupaya
untuk tidak terjebak pada Islamophobia yang condong menjelek-jelekkan Islam,
pada Islamophilia yang cenderung membaik-baikkan citra Islam, atau pada
westophobia yang secara emosional mencaki-maki Barat.
Di
dalam buku ini satu sisi, bapak irwan
masduki coba menyuguhkan elemen-elemen
toleransi dalam tradisi pemikiran Islam dan, di sisi lain tanpa ragu menguak
elemen-elemen intoleran yang terkandung
di dalamnya. Inilah ikhtiar tulus yang didasari niat untuk membuka keimanan
yang tertutup, dalam rangka mewujudkan koeksistensi: kesadaran untuk hidup
berdampingan secara damai dan harmonis di tengah-tengah masyarakat Indonesia
yang beragam. Dalam buku ini juga bapak
Irwan menganalisis berbagai pandangan
para sarjana dan pemikir baik Muslim maupun non-Muslim. Walaupun demikian,
bapak Irwan tetap menunjukkan dalam kajiannya bahwa Al-Quran sebagai
sumber utama ajaran.
Judul
Buku : Filsafat Ilmu ”Perspektif Barat dan Islam”
Penulis : Dr. Adian Husaini
Penerbit : gema insani press
Buku
ini hadir untuk mengurai dan menjawab beberapa di antara berbagai pertanyaan
yang muncul dalam topik filsafat ilmu menurut perspektif Barat maupun Islam,
dan hubungan antara keduanya. Buku yang terdiri dari dua belas bab ini ditulis
oleh delapan penulis yang pakar di bidangnya. Bab awal buku ini, “Sekularisasi
Ilmu”, Bab ini menyinggung filsafat pada zaman Pre-Socratic hingga revolusi
ilmiah saat ini. Dijelaskan pula, terjadinya sekularisasi dan westernisasi ilmu
yang mengandalkan rasio dalam mengukur kebenaran.
Bab-bab
selanjutnya tentang konsep ilmu di dalam
Islam. Tiap-tiapnya membahas definisi, pemetaan metodologi, dan epistemologi
Islam. Dalam bab “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam” misalnya, Dr.
Syamsuddin Arif menekankan bahwa perlunya sikap kritis seorang muslim dalam
mengambil sumber ilmu. Beliau menegaskan kembali konsep ulama terdahulu bahwa
ilmu merupakan agama, maka kepada siapa kita berguru adalah hal yang wajib kita
perhatikan. Dengan kata lain, ilmu harus dicari dari sumber yang otoritatif
yang memiliki pandangan hidup Islam.
Ilmu
dan adab dalam Islam juga menjadi salah satu
topik penting dalam buku ini, karena dalam konsep Islam, ilmu dan adab
tidak bisa dipisahkan. Berilmu tanpa adab adalah dimurkai, sementara beradab
tanpa ilmu adalah kesesatan. Dalam pendidikan Islam, tujuan pendidikan
hakikatnya adalah membentuk manusia yang beradab, dan di Indonesia, konsep ini
sebenarnya adalah bagian dari pilar
bangsa, yaitu dalam sila kedua Pancasila.
Buku
ini ditutup dengan paparan mengenai islamisasi ilmu pengetahuan. Sebuah penutup
bab yang memberikan gambaran proses yang mungkin bisa dilakukan untuk
mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Dijelaskan di dalam bagian ini, islamisasi
ilmu yang dikemukakan dari berbagai pakar pendidikan Islam, seperti Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Ismail Al-Faruqi, Syed Hossein Nasr, Ja’far Syekh
idris, hingga Ziauddin Sardar. Hal yang menarik adalah, di antara kelima tokoh
tersebut, Syed Hussein Nasr tampaknya agak menyimpang dari konsep Islamisasi
Ilmu.
Jika
kita membaca ide dari keempat tokoh tersebut secara seksama di buku ini, kita
akan menemukan bahwa keempatnya sepakat dengan gagasan konsep ilmu yang lain
tidak lebih baik dari Islam. Syed Nasr, yang dikritik oleh Al-Attas dalam
bukunya Prolegomena to the Metaphysic of Islam, mengajukan ide sains sakral,
yang pada level esoteris (batin) agama dianggap sama. Padahal, Islamisasi
pengetahuan tentu saja mengedepankan keunikan agama Islam sebagai agama yang
benar. Gagasan ini disebut juga sebagai gagasan Perennialisme, sehingga di satu
sisi, gagasan ini betul kritis terhadap sains sekuler tapi sebenarnya tidak
berpihak pada proses islamisasi.
Judulbuku
: IslamdanSekularisme
Penulis : Prof.Dr.SyedMuhammadNaquibAl-Attas
Penerjemah : Dr. Khalif Muammar, M.A
Seorang ilmuwan ulung bertaraf dunia Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, menuangkan
buah-buah fikirannya yang asli tentang pertalian rapat antara pandangan alam
Barat dan kebudayaannya dengan ilmu pengetahuan dan terutama proses Islamisasi
ilmu pengetahuan masa kini, dan konsep Universitas Islam dalam sebuah karya
agung berupa buku yang berjudul Islam dan Sekularisme.Al-Attas dalam bukunya
membincangkan dan menganalisa pergerakan-pergerakan paling asas dalam
kebudayaan Barat dan Islam.
Yang ditunjukan oleh Al-Attas berbeda dengan
gerakan tradisional dan konservatif yang gigih mempertahankan segala pemikiran
tanpa memperhatikan keperluan perubahan yang sah sehingga menimbulkan kejumudan
yang merugikan. Akan tetapi disini Al-Attas meneguhkan dengan mengembalikan
atau menjadikan Islam sebagai pandangan hidup bagi manusia serta meneguhkan
keyakinan kepada struktur dan dasar akhlak dan perundangan (aturan) dalam
menghadapi tantangan-tantangan masa kini.
Syed
Al-Attas menilai bahwa memang kemajuan zaman tidak dapat dihindari seperti apa
yang telah diramalkan August Comte di awal abad 19 tentang kebangkitan sains
dan kejatuhan agama. Dan itu disadari akan berekses buruk terhadap lunturnya
niai-nilai agama dan kebudayaan. Krisis ini disebut dengan secularization (sekularisasi).
Manusia berevolusi dan berkembang dari tahap primitif ke modern, sehingga
adanya pergeseran nilai dari teologi kepada sains.
Sekular
berasal dari bahasa latin saeculum yang memiliki pengertian yaitu waktu
dan tempat. Kedua pengertian tersebut satu makna sebenarnya, dalam artian waktu
menunjukan sekarang atau kini sedangkan tempat menunjukan dunia. Jadi saeculum
bermakna zaman kini atau masa kini. Sedangkan sekular sendiri dapat
diartikan penekanan waktu tertentu dunia yang dipandang sebagai suatu proses
kesejahteraan. Artinya konsep sekular merujuk kepada dunia pada waktu tertentu,
sehingga konsep itu telah meracuni pemikiran umat yang mana memandang atau
menjadikan eksistensial dunia selalu berubah, dunia menjadi tempat munculnya
faham relativitas manusia. dan manusia terlena dan hanyut kepada arus
globalisasi yang di hasilkan daripada sekularisasi.
didalam buku ini di jelaskan bahwa sekularisasi adalah proses pembangunan yang membebaskan pikiran manusia dari kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya. Artinya manusia dibebaskan dari bimbingan agama serta pandangan alam metafisika yang dinilai tertutup dan tidak mengikuti zaman..
didalam buku ini di jelaskan bahwa sekularisasi adalah proses pembangunan yang membebaskan pikiran manusia dari kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya. Artinya manusia dibebaskan dari bimbingan agama serta pandangan alam metafisika yang dinilai tertutup dan tidak mengikuti zaman..
Paham
sekularisme menganggap bahwa keberadaan manusia dan tujuan akhir manusia di
atur oleh manusia itu sendiri tanpa mempercayai sudah di aturnya pola serta
tujuan hidup manusia di ciptakan. Kalau di dalam islam kita sering mendengar
istilah Qadha dan Qadar, hal itu di nafiqkan oleh sekularisme. Jadi mereka
(sekularis) tetap mengatakan bahwa pemahaman dogmatis dan doktriner itu
berkembang, tetapi perkembangannya itu bukan disebabkan karena sejak awal
mulanya tidak memadai, tetapi oleh karena manusia berkembang maka pemahaman itu
menjadi tidak memadai jika tidak mampu berkembang mengikuti perkembangan
manusia.
Al-Attas menilai konsep agama yang difahami dan ditafsirkan dalam konteks barat sangat berbeda dengan konteks Islam. Agama dalam Islam diartikan sebagai Din, itu difahami dan membentuk kesatuan makna yang bersepadu, seperti tergambar dalam Al-Qur’an dan berasal dari bahasa Arab. Jika kta terjemahkan secara bahasa akan banyak pemaknaan dari Din itu sendiri, walaupun sepertinya bertentangan satu sama lain namun sebenarnya memiliki hubungan konseptual dan filosofis.
Dalam buku ini dijelaskan makna-makna utama dalam kata Din dapat disimpulkan menjadi empat : (1) keadaan berhutang, (2) penyerahan diri, (3) kuasa peradilan, (4) kecenderungan alami. Di dalam konteks keagamaan, pemaknaan secara spesifik keadaan eksistensi alamiah yang di sebut ftrah. Ftrah adalah pola yang mendasari segala sesuatu yang mendasari segala sesuatu yang diciptakan Alloh. Tata cara Alloh menciptakan, Sunnat Alloh, dan segala sesuatu mengikuti pola yang telah dibentuk baginya dan berada dalam tempatnya yang sewajarnya. Ini yang disebut dengan hukum Alloh. Ketika Alloh berfirman : ‘Bukankah Aku Tuhanmu?’, dan diri manusia dengan sejujurnya, bersaksi atas dirinya, menjawab : “Ya!” dalam pengakuan atas kebenaran keutuhan Alloh, ia dengan itu secara resmi melakukan perjanjian dengan Alloh.Dengan demikian ketika manusia terlahir kedunia ini, apabila ia terbimbing dengan benar maka ia akan teringat akan perjanjian itu dan berbuat sesuai dengannya. Maka ibadahnya, tindakannya, hidup, dan matinya hanya untuk Alloh semata. Islam sebagai sistem kehidupan dan penghidupan manusia sangat lah sempurna.
Ilmu yang benar ialah ilmu yang dapat membawa
manusia untuk mengenali penciptanya (Sang Khalik) yang dengan ilmu itu pula
manusia melaksanakan kesempurnaan tugas menjadi hamba dan khalifah Allah. Dalam
maksud ini ilmu berorientasi pada kehidupan akhirat. Ilmu didapat bukan karena
keuntungan duniawi. Islamisasi ilmu sebagai alat untuk menuju dan memahami
sistem kehidupan dan penghidupan manusia, contoh ; syari’ah,
muamalah,danaqidah.
Keunggulаn buku ini adalah : * Informаtif, lengkаp, dаn kronologis. Kelemаhаnnya kekurangan * Bahasanya terlalu filosofis
* Digunakan hanya untuk kalangan Akademis
JudulBuku : SeriGerakanWahhabi
Penulis : Nur Khalik Ridwan
Penerbit : Tanah Air, Jogjakarta
Kekhawatiran dan kecurigaan banyak orang terhadap ideologi wahhabi yang diduga menjadi induk semang atas tindak kekerasan atau teror atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan, aktivis sosial, dan bahkan pengamat politik. Gerakan wahhabi sebenarnya merupakan langgam lawas, tetapi pemunculannya selalu aktual, karena dikait-kaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantahkan WTC, gedung kebanggaan negeri Paman Sam, sepertinya menjadi ''perantara positif'' sekaligus ''hikmah''. Pascaperistiwa September kelabu itu, sejumlah analisis kritis membuka tirai ideologi wahhabi yang ternyata mempunyai andil dalam mendoktrinisasi kelompok Islam tertentu yang secara sosiologis dikategorikan ''keras'' dan ''ekstrem''. Buku ini selain memberikan informasi penting tentang seluk-beluk yang menyangkut gerakan wahhabi, juga menyediakan ruang dialektika-kritis bagi pembacanya -bagaimana mestinya kita menyikapi gerakan yang mewabah bernama wahhabi itu.
Buku ini adalah satu-satunya karya di Indonesia yang berhasil merekam dan memotret keberadaan gerakan wahhabi secara kritis dan komprehensif. Pada buku pertama, diterangkan aspek historisitas, doktrin, dan penamaan istilah ''wahhabi'', yang dinisbatkan pada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab. Dua kritikus legendaris atas wahhabi, Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Hanbali dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan as-Safi'i, juga tak luput dari perhatian Nur Khalik Ridwan yang ditampilkan secara dramatis. Buku pertama ini diberi judul Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam.
Menurut Nur Khalik Ridwan, penulisan buku ini dilandasi beberapa faktor penting, yaitu adanya pengaruh wahhabisme yang begitu besar terhadap banyak gerakan Islam dan radikalisasi-radikalisasi lain berbasis agama; belum ada kajian di Indonesia yang secara khusus membahas wahhabi dari akar sejarah hingga soal bagaimana posisinya di negara Arab; terjadinya tren pergeseran dan penolakan wahhabisme justru di kalangan ormas yang dulu terpengaruh ide-ide wahhabi; semakin gencarnya transnasionalisasi ide-ide wahhabi dan ekspansi yang bertubi-tubi, hingga ke berbagai negara, termasuk Indonesia; dan menjamurnya web blog yang dikuasai para wahhabi untuk menyebarkan wacana, ideologi, dan gerakannya.
Buku kedua, yang bertitel Perselingkuhan Wahhabi dalam Agama, Bisnis, dan Kekuasaan, memuat analisis tajam persoalan relasi gerakan wahhabi dengan kekuasaan -dalam hal ini Kerajaan Arab Saudi. Hamid Algar menulis komentar menarik dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), yang sayangnya, tidak dirujuk oleh Nur Khalik. Menurut Algar, dalam sejarah pemikiran Islam yang berlangsung lama dan sangat kaya, wahhabisme tidak menempati posisi yang memiliki arti penting. Gerakan wahhabi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (Najad, sebuah tempat yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia muslim.
Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan wahhabi, sangat mujur ketika pada abad ke-20 memperoleh kekayaan minyak luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan paham wahhabisme di dunia Islam dan wilayah-wilayah lain. Jika kedua faktor itu tidak ada, wahhabisme mungkin hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marginal dan berumur pendek.
Pada buku ketiga, Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi, Nur Khalik mencurahkan tenaga dan pikiran untuk melakukan kajian kritis terhadap ajaran atau doktrin, serta cara berpikir wahhabi yang sangat eksklusif dan menekankan absolutisme. Nur Khalik mencatat, di ranah ini tidak jarang mereka (kelompok wahhabi) mengafirkan umat Islam di luar kelompoknya, seperti tuduhan takfir (pengafiran) kepada umat Islam salaf dan khalaf yang ber-tawassul dengan para nabi, sahabat, tabi'in, dan wali-wali Allah yang saleh (Jld III, hlm 129). Ini sekaligus menjadi salah satu ciri seseorang sebagai anggota kelompok wahhabi.
Karena itu, ajaran dan doktrin-doktrin wahhabi sungguh bertentangan dengan keyakinan mayoritas muslim dunia (Sunni). Memang, sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok wahhabi tidak termasuk bagian dari ahlu sunnah wal jamaah. Hal itu karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam Muhammad bin Abdul Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni, yang dipelihara dalam berbagai literatur yang sangat kaya dan diterima mayoritas kaum muslim.
Di buku ketiga ini, diskusi tentang bagaimana gerakan wahhabi bergerilya ke wilayah-wilayah Islam, termasuk di Indonesia, terasa semakin lengkap dan menemukan pijakan relevansi dengan kenegaraan kita. Namun, Nur Khalik belum tuntas menganalisisnya. Sebab, menurut pengakuannya, dia masih dalam proses mengimajinasikan, dan direncanakan disusun menjadi buku tersendiri di lain waktu.
Penulis : Nur Khalik Ridwan
Penerbit : Tanah Air, Jogjakarta
Kekhawatiran dan kecurigaan banyak orang terhadap ideologi wahhabi yang diduga menjadi induk semang atas tindak kekerasan atau teror atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan, aktivis sosial, dan bahkan pengamat politik. Gerakan wahhabi sebenarnya merupakan langgam lawas, tetapi pemunculannya selalu aktual, karena dikait-kaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantahkan WTC, gedung kebanggaan negeri Paman Sam, sepertinya menjadi ''perantara positif'' sekaligus ''hikmah''. Pascaperistiwa September kelabu itu, sejumlah analisis kritis membuka tirai ideologi wahhabi yang ternyata mempunyai andil dalam mendoktrinisasi kelompok Islam tertentu yang secara sosiologis dikategorikan ''keras'' dan ''ekstrem''. Buku ini selain memberikan informasi penting tentang seluk-beluk yang menyangkut gerakan wahhabi, juga menyediakan ruang dialektika-kritis bagi pembacanya -bagaimana mestinya kita menyikapi gerakan yang mewabah bernama wahhabi itu.
Buku ini adalah satu-satunya karya di Indonesia yang berhasil merekam dan memotret keberadaan gerakan wahhabi secara kritis dan komprehensif. Pada buku pertama, diterangkan aspek historisitas, doktrin, dan penamaan istilah ''wahhabi'', yang dinisbatkan pada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab. Dua kritikus legendaris atas wahhabi, Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Hanbali dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan as-Safi'i, juga tak luput dari perhatian Nur Khalik Ridwan yang ditampilkan secara dramatis. Buku pertama ini diberi judul Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam.
Menurut Nur Khalik Ridwan, penulisan buku ini dilandasi beberapa faktor penting, yaitu adanya pengaruh wahhabisme yang begitu besar terhadap banyak gerakan Islam dan radikalisasi-radikalisasi lain berbasis agama; belum ada kajian di Indonesia yang secara khusus membahas wahhabi dari akar sejarah hingga soal bagaimana posisinya di negara Arab; terjadinya tren pergeseran dan penolakan wahhabisme justru di kalangan ormas yang dulu terpengaruh ide-ide wahhabi; semakin gencarnya transnasionalisasi ide-ide wahhabi dan ekspansi yang bertubi-tubi, hingga ke berbagai negara, termasuk Indonesia; dan menjamurnya web blog yang dikuasai para wahhabi untuk menyebarkan wacana, ideologi, dan gerakannya.
Buku kedua, yang bertitel Perselingkuhan Wahhabi dalam Agama, Bisnis, dan Kekuasaan, memuat analisis tajam persoalan relasi gerakan wahhabi dengan kekuasaan -dalam hal ini Kerajaan Arab Saudi. Hamid Algar menulis komentar menarik dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), yang sayangnya, tidak dirujuk oleh Nur Khalik. Menurut Algar, dalam sejarah pemikiran Islam yang berlangsung lama dan sangat kaya, wahhabisme tidak menempati posisi yang memiliki arti penting. Gerakan wahhabi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (Najad, sebuah tempat yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia muslim.
Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan wahhabi, sangat mujur ketika pada abad ke-20 memperoleh kekayaan minyak luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan paham wahhabisme di dunia Islam dan wilayah-wilayah lain. Jika kedua faktor itu tidak ada, wahhabisme mungkin hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marginal dan berumur pendek.
Pada buku ketiga, Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi, Nur Khalik mencurahkan tenaga dan pikiran untuk melakukan kajian kritis terhadap ajaran atau doktrin, serta cara berpikir wahhabi yang sangat eksklusif dan menekankan absolutisme. Nur Khalik mencatat, di ranah ini tidak jarang mereka (kelompok wahhabi) mengafirkan umat Islam di luar kelompoknya, seperti tuduhan takfir (pengafiran) kepada umat Islam salaf dan khalaf yang ber-tawassul dengan para nabi, sahabat, tabi'in, dan wali-wali Allah yang saleh (Jld III, hlm 129). Ini sekaligus menjadi salah satu ciri seseorang sebagai anggota kelompok wahhabi.
Karena itu, ajaran dan doktrin-doktrin wahhabi sungguh bertentangan dengan keyakinan mayoritas muslim dunia (Sunni). Memang, sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok wahhabi tidak termasuk bagian dari ahlu sunnah wal jamaah. Hal itu karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam Muhammad bin Abdul Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni, yang dipelihara dalam berbagai literatur yang sangat kaya dan diterima mayoritas kaum muslim.
Di buku ketiga ini, diskusi tentang bagaimana gerakan wahhabi bergerilya ke wilayah-wilayah Islam, termasuk di Indonesia, terasa semakin lengkap dan menemukan pijakan relevansi dengan kenegaraan kita. Namun, Nur Khalik belum tuntas menganalisisnya. Sebab, menurut pengakuannya, dia masih dalam proses mengimajinasikan, dan direncanakan disusun menjadi buku tersendiri di lain waktu.
Judul buku : Beragama dengan Akal Sehat
Penulis
: Agus Mustofa
Penerbit : PADMA Pres
Ketika kita membaca ayat suci al-quran maka akan kita temukan ayat yang
berbunyi:
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang menggunakan
akal(QS.2.64)”,
Mengapa harus ayat
ini yang saya tunjukkan?karena,inilah potongan ayat yang terpampang di
bagian cover depan pada buku yang berjudul “BERAGAMA dengan Akal Sehat” karya
Bapak Agus Mustofa.
Bapak agus mustofa lahir di Malang,
16 Agustus 1963.Tahun 1982 ia meninggalkan kota Malang dan menuntut ilmu di
Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Nuklir, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.
Selama kuliah itulah Beliau bersinggungan dengan ilmuan-ilmuan islam yang berfikiran
modern. Perpaduan antara ilmu tasawuf dengan sains itu telah menghasilkan
pemikiran yang unik pada dirinya yang disebut sebagai “Tasawuf Modern”.
Sebenarnya beliau telah banyak menghasilkan karya buku yang fenomenal salah
satu buku tersebut adalah berjudul “Beragama dengan Akal Sehat’’. Melihat
judulnya saja mungkin bagi sebagaian orang akan merasa ngeri untuk membacanya.
Padahal isinya tidak seseram judulnya justru pikiran kita yang akan terbuka setelah membaca
buku ini karena pikiran kita lebih luas dalam memandang sesuatu tidak hanya
terkungkung pada dogma saja.Pembahasan dalam buku ini sangat lengkap, menarik dan
modern serta menjadi bahan baru bagi para pencinta kebenaran sebagai satu
pembuktian bahwa Agama Islam adalah suatu agama yang fitrah, walaupun demikian harus dinalari dengan Akal sebagai
tolak ukurnya.
Pada bagian awal buku ini membahas masalah Dogmatisme atau pemaksaan dalam
beragama. Islam adalah agama yang Fitrah dan tidak ada paksaan sedikitpun
didalamnnya dan disajikan lengkap berdasarkan ayat-ayat Al-quran dan
rasio.Dogmatis adalah cara beragama dengan ‘memaksakan’ kehendak. Orang yang
lebih pintar atau merasa dirinya lebih pintar ‘mengajarkan’ apa yang menjadi
“kepintarannya”kepada murid-muridnya secara kaku. Persis dan memfotocopy segala
sesuatunya dari yang dianggap guru. Tidak boleh ada perbedaan, jika berbeda
mereka harus disamakan.
Keseragaman adalah ciri khas mereka yang menganut pola dogmatis dalam
ber-ideologi termasuk dalam beragama. Padahal sebenarnya fitrah manusia adalah
berbeda. Tidak ada satupun – bahkan makhluk lain di alam semesta yang sama.
(ada dalam QS. Al Baqarah (2) : 256 ;QS Yunus (10) : 99.Islam sebenarnya adalah
agama yang sangat menentang dogmatis. Islam tidak mengenal pemaksaan. Islam
juga tidak mengenal penyeragaman.
Sebaliknya, sangat
menghargai perbedaann karena semua itu memang fitrah manusia. Al Qur’an
berulang kali mengajarkan kepada kita bahwa islam adalah agama fitrah. Agama
yang sesuai dengan ‘pembawaan’ kita sebagai makhluk yang paling sempurna.
Sesuai dengan QS.Ar Rum (30) :30
Pada semua pembahasan penulis selalu memberikan dalil-dalil yang begitu
lengkap dari segi ayat maupun akal. Adapun masalah lainnya seperti, Fanatisme
Tokoh adalah salah satu masalah yang dihadapi umat Islam saat ini, pengultusan
tokoh dan guru telah mengulut fanatisme yang berlebihan sehingga masing-masing
individu atau kelompok menganggap bahwa dirinya yang paling benar dan menutup
telinga dari kebenaran apapun yang datang dari individu atau kelompok lain.
Sungguh ini adalah Dogma yang dipaksakan dan sudah menjadi semacam
indoktrinasi. Justru Allah memerintahkan kita untuk mengambil segala kebenaran
dari segala sumber.
Ada yang berpendapat semua umat pendahulu lebih baik dari umat saat ini,
sebenarnya “tidak”, akan tetapi zaman ketika Rasul masih hidup memang jauh lebih baik dari zaman
setelahnya. Pembahasan ini membangun semangat kita semua bahwa semua orang
memiliki potensi yang besar demi menjadi umat yang baik, bahkan yang terbaik.
Di dalam buku ini juga di muat diskusi tentang “Milik siapa Kebenaran itu”.
Sudah 250 tahun terakhir dunia internasional telah memiliki ideologi
bernama Liberalisme. Trend yang begitu meluas yang pada saat ini telah
menguasai segala aspek kehidupan, termasuk sector-sektor Ekonomi, Pendidikan,
Sosial bahkan Budaya. Liberalisme adalah suatu faham yang menggunakan prinsip
bahwa kepentingan pribadi lebih penting dari kepentingan umum. Dalam buku ini
juga penulis menyangkal berbagai pernyataan orang atheis yang menganggap agama
adalah racun dunia dengan dalih, bahwa Negara-negara yang mayoritas didalamnnya
adalah pemeluk agama malah mengalami masalah yang bermacam-macam.
Sudah sejatinya , dalam pencarian kebenaran kita harus menggunakan akal
begitu juga dalam beragama. Kita harus memiliki kecerdasan tinggi dan
menggunakan akal secara maksimal. Orang-orang yang tidak menggunakan akalnya
dalam beragama, mereka dijamin tidak dapat mengambil pelajaran dari
firman-firman Allah. Karena itu tidak heran kalau para rasul dan malaikat digambarkan sebagai eksistensi yang
berakal kuat dan berkecerdasan tinggi.
Judul : Hidup sesudah mati
Penulis
: Bey Arifin
“Hidup sesudah mati” pada awal
babnya membicarakan adanya kehidupan selepas mati. Alhamdulillah, masalah
ini dikupas dengan indah sekali sehingga
menambah keyakinan sebagai hambaNya.Setelah penulis menawan hati
pembaca dan meyakinkan akan adanya hidup sesudah mati, maka agenda seterusnya
adalah membicarakan bagaimana kita menghadapi kematian diri kita dan orang
lain. Kematian adalah ‘pintu’ ke alam yang kekal, ‘pintu’ untuk bertemu
denganNya. Buku ini juga telah membincarakankan bukti adanya hari kiamat kelak.
Justeru
itu, sebelum membahas lebih lanjut tentang hari kiamat, penulis terlebih dahulu
membincangkan pendapat ahli falsafah dari Non Muslim terdahulu seperti
Socrates, Phythagoras, Plato, Aristotles, Descartes dan bandingkan dengan
pendapat ulama Islam seperti Imam al-Ghazali, Ikhwanus Safa, Ibnu
Rusyd, Ibnu Sina dan Ibnu Maskawaih. Juga dibincangkan tentang pendapat
ahli-ahli fikir moden, ajaran pelbagai bangsa dan agama sehingga akhirnya menunjukan
bahwa Ajaran Agama Islam jauh lebih unggul dalam memahami kehidupan
setelah mati ini.
Perbincangan
tentang hari Kiamat didahului dengan bahasan alam barzakh (kubur), kiamat besar
berserta tanda-tandanya seperti Dajjal, turunnya Isa Ibnu Maryam a.s, pendapat
tentang Imam Mahdi, seterusnya bagaimana terjadinya Kiamat, suasana hari
kebangkitan, Perhisaban dan Pembalasan.
Telah
dibahas dengan panjang lebar akan keadaan Syurga dan Neraka. Dua tempat yang
kekal abadi. Juga telah dibincangkan akan keadaan akhirat ini menurut ayat-ayat
di dalam surah-surah Al-Quran seperti surah al-Qalam, surah al- Muzammil, surah
al- Qiamah, surah al-Waqiah dan berpuluh-puluh lagi surah yang banyak
mengingatkan kita sebagai seorang hambaNya akan hari Kedatangan yang pasti.
Buku ini banyak yang
mengakui sebagai karya tulis terbaik . Jadi pasti tidak rugi untuk meluangkan
waktu kita untuk membacanya.“kematian
itu pasti dan kiamat itu pasti“
Judul
: Ternyata akhirat tidak kekal
Penulis
: Agus Mustofa
Buku ini merupakan sebuah
buku yang unik. Ia berisi ulasan yang menggabungkan antara: tafsir al-Quran,
pemaparan beberapa teori ilmu pengetahuan alam, serta disusun dalam kerangka
dakwah Islam. Penggunaan ilmu pengetahuan dalam disiplin apapun amat krusial
dalam menafsirkan al-Quran. Sejumlah besar ayat, apakah yang berbicara tentang
penciptaan alam dan manusia ataupun yang membicarakan tentang karakter dan
kepribadian individu-individu manusia yang menganut sistem nilai tertentu,
jelas sekali memerlukan pengetahuan astronomi, biologi dan psikologi atau psikoanalisis.
Ternyata Akhirat Tidak Kekal merupakan sebuah buku yang ingin menafsirkan wahyu Allah dari disiplin, terutama, astronomi. Latar belakang pengarangnya yang seorang sarjana teknik nuklir barangkali memang menunjang upaya itu. tulisan ini pertama-tama akan mendeskripsikan secara umum konten buku tersebut.
Ternyata Akhirat Tidak Kekal merupakan sebuah buku yang ingin menafsirkan wahyu Allah dari disiplin, terutama, astronomi. Latar belakang pengarangnya yang seorang sarjana teknik nuklir barangkali memang menunjang upaya itu. tulisan ini pertama-tama akan mendeskripsikan secara umum konten buku tersebut.
Bapak Agus Mustofa memulai bukunya dengan mengajukan pertanyaan fundamental, “bagaimana mendiskusikan akhirat?” Ia mengajukan metodologi: berdasarkan informasi al-Quran dan Hadits. Ini dikarenakan tak ada satu pun data empiris yang bisa dijadikan titik tolak untuk melakukan analisis terhadap kehidupan akhirat (hlm. 4). Prosedur pertama ini disebutnya “sisi keimanan sebagai entry point”. Kemudian, menurutnya, juga diperlukan “data-data empiris, serta teori-teori ilmu pengetahuan modern, sebagai alat analisa dengan menggunakan mekanisme akal.” Ditegaskannya, itu dilakukan agar analisis tidak menyimpang jauh dari kenyataan yang ada.
Untuk dapat merekonstruksi
akhirat, Agus Mustofa mengembangkan seperangkat instrumen pertanyaan sebagai
berikut:
- Di mana alam
akhirat itu?
- Bagaimana bentuk
kehidupan akhirat itu, apakah ruhani semata atau juga jasadi?
- Kapan dimulainya
alam akhirat, dan ditandai dengan kejadian apa?
- Benarkah kita
dibangkitkan kembali; lalu, bagaimana mekanisme kebangkitan?
- Apa benar kita
akan dimintai pertanggungjawaban, lalu bagaimana caranya?
- Apa yang bakal
terjadi di alam kehidupan akhirat, apa manusia akan hidup
selama-lamanya?Apa dan bagaimana surga dan neraka itu? (hlm. 9-10)
Untuk “melacak” kehidupan akhirat dan kemudian
membuktikan bahwa akhirat itu tidak kekal, Agus Mustofa memulai dengan
penelusuran yang amat jauh: hingga ke asal-mula asal semesta. Lalu, ia
mengajukan teori:
- Sekitar 12
miliar tahun yang lalu alam semesta diciptakan Allah lewat sebuah ledakan
yang sangat dahsyat.
- Kemudian,
sekitar 5 miliar tahun yang lalu terbentuklah tata surya kita, termasuk di
dalamnya adalah Bumi dan 8 planet lainnya. Sejak itu pula Allah membentuk
kondisi Bumi yang memungkinkan untuk kehidupan. Termasuk di dalamnya
adalah lapisan udara yang disebut atmosfer.
- sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu Allah
menciptakan makhluk bersel satu di daerah perairan. Sekitar 1 miliar tahun
yang lalu Dia memulai kehidupan di daratan, lewat makhluk yang bersel
lebih banyak. Dan, sekitar 550 juta tahun yang lalu Allah menciptakan
berbagai jenis tanaman dan binatang yang kompleks struktur tubuhnya.
- Barulah sekitar
puluhan ribu tahun yang lalu Allah menciptakan manusia untuk pertama
kalinya, yang kemudian berkembang biak hingga kini.
- Seterusnya,
Allah tetap memproses kejadian alam semesta ini hingga sekitar beberapa
ribu tahun lagi dan Bumi akan mengalami kiamat. Bumi bakal hancur, dan
kehidupan makhluk di atasnya pun musnah. Mirip kejadian punahnya
Dinosaurus sekitar 150-200 juta tahun yang lalu.
- Bumi akan
mengalami recovery alias perbaikan lingkungannya kembali selama 2-3
miliar tahun, untuk mengembalikan kehidupan di muka Bumi ini. Maka, ketika
kondisi Bumi sudah ideal untuk kehidupan tahap kedua, manusia dibangkitkan
kembali dari dalam kuburnya. Itulah dimulainya periode Akhirat.Manusia
akan dihidupkan selama sekitar 15 miliar tahun di alam Akhirat, sampai
kehidupan semuanya lenyap, kembali kepada Sang Pencipta (hlm. 101-102).
Kita barangkali akan penasaran
bagaimana Agus Mustofa dapat sampai menentukan angka-angka itu secara persis?
Rupanya,bapak Agus Mustofa mendasarkannya pada asal-mula
penciptaan alam semesta yang berpijak pada Teori Big Bang (Ledakan Besar).
Merujuk pada teori ini, ia mengemukakan bahwa suatu waktu sekitar 12 miliar
tahun yang lalu, Allah memulai proses penciptaan alam semesta, dengan
menciptakan ledakan raksasa yang mengakibatkan seluruh materi tersebar dan
mengalami pemuaian hingga sekarang, sejak itu alam semesta hingga kini sedang
berproses menuju limit pemuaiannya, yang diperkirakan akan tercapai 3 miliar
tahun lagi. Pada saat tercapainya titik limit pemuaian itulah yakni kiamat
bumi, alam semesta bergerak kembali ke dalam atau mengalami proses penciutan.
Ketika titik limitasi penciutan terjadi,itulah saat kiamat alam semesta, ketika
untuk keduanya kalinya alam semesta mengalami lagi ledakan raksasa.
Seiring dengan dimulainya kehidupan akhirat (ketika proses penciutan terjadi), sejak waktu itu pula hukum alam berjalan terbalik!. Sebagai akibatnya, jika sekarang manusia cenderung pada kematian, di akhirat manusia cenderung mengarah pada kehidupan abadi: “Yang tadinya mati, justru akan HIDUP KEMBALI” . Ini bukan saja karena berlakunya hukum alam terbalik, namun karena entropi juga berbalik arah. Entropi dimaknai oleh Agus Mustofa sebagai ketidakteraturan, di mana alam semesta bergerak menuju kehancuran (hlm. 53). Dengan berbaliknya entropi, maka, kini yang terjadi bukanlah proses kehancuran melainkan yang sebaliknya, alam tidak mengarahkan kita pada kematian .
Berkaitan dengan terjadinya kiamat alam semesta di atas, Agus Mustofa melanjutkan bahasannya mengenai alam barzakh. Di bagian inilah ia menjelaskan bagaimana kiamat alam semesta itu dapat terjadi . Struktur alam semesta terdiri dari materi dan energi, di mana materi dapat berubah menjadi energi dan energi pun dapat berubah menjadi materi. Sedemikian rupa, sehingga terjadi keseimbangan di antara keduanya, kuatnya materi mengakibatkan lemahnya energi, dan kuatnya energi menyebabkan lemahnya materi. Tiap-tiap gerakan sesuatu apapun, termasuk manusia, akan menghasilkan perubahan energi. “Sedikit apapun perubahan yang kita berikan, maka akan terjadi perubahan susunan struktur energi lingkungan kita” . Pada titik ini, Agus Mustofa berteori bahwa: perbuatan baik akan menimbulkan perubahan positif dan menghasilkan energi positif; sebaliknya, perbuatan buruk akan menimbulkan perubahan negatif dan menghasilkan energi negatif.
Karena manusia “tenggelam di ‘lautan energi’ itu” maka, tiap-tiap energi positif dan negatif akan memberikan penandaan pada “struktur energi di sekitar kita” . “Struktur energi” itulah yang oleh al-Quran disebut sebagai buku amalan. Oleh karena itu, meskipun seandainya tak ada Malaikat Raqib dan Atid sekalipun, perbuatan manusia (plus atau minus) dengan sendirinya akan tercatat. Perbuatan-perbuatan positif akan mempengaruhi “langit positif”, itulah Surga; dan perbuatan-perbuatan negatif akan mempengaruhi “langit negatif”, itulah Neraka. Keduanya terletak di langit yang ketujuh (hlm. 161). Berdasarkan Surat al-Anbiyâ’ (21) ayat 104, Yaitu pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakan.
Seiring dengan dimulainya kehidupan akhirat (ketika proses penciutan terjadi), sejak waktu itu pula hukum alam berjalan terbalik!. Sebagai akibatnya, jika sekarang manusia cenderung pada kematian, di akhirat manusia cenderung mengarah pada kehidupan abadi: “Yang tadinya mati, justru akan HIDUP KEMBALI” . Ini bukan saja karena berlakunya hukum alam terbalik, namun karena entropi juga berbalik arah. Entropi dimaknai oleh Agus Mustofa sebagai ketidakteraturan, di mana alam semesta bergerak menuju kehancuran (hlm. 53). Dengan berbaliknya entropi, maka, kini yang terjadi bukanlah proses kehancuran melainkan yang sebaliknya, alam tidak mengarahkan kita pada kematian .
Berkaitan dengan terjadinya kiamat alam semesta di atas, Agus Mustofa melanjutkan bahasannya mengenai alam barzakh. Di bagian inilah ia menjelaskan bagaimana kiamat alam semesta itu dapat terjadi . Struktur alam semesta terdiri dari materi dan energi, di mana materi dapat berubah menjadi energi dan energi pun dapat berubah menjadi materi. Sedemikian rupa, sehingga terjadi keseimbangan di antara keduanya, kuatnya materi mengakibatkan lemahnya energi, dan kuatnya energi menyebabkan lemahnya materi. Tiap-tiap gerakan sesuatu apapun, termasuk manusia, akan menghasilkan perubahan energi. “Sedikit apapun perubahan yang kita berikan, maka akan terjadi perubahan susunan struktur energi lingkungan kita” . Pada titik ini, Agus Mustofa berteori bahwa: perbuatan baik akan menimbulkan perubahan positif dan menghasilkan energi positif; sebaliknya, perbuatan buruk akan menimbulkan perubahan negatif dan menghasilkan energi negatif.
Karena manusia “tenggelam di ‘lautan energi’ itu” maka, tiap-tiap energi positif dan negatif akan memberikan penandaan pada “struktur energi di sekitar kita” . “Struktur energi” itulah yang oleh al-Quran disebut sebagai buku amalan. Oleh karena itu, meskipun seandainya tak ada Malaikat Raqib dan Atid sekalipun, perbuatan manusia (plus atau minus) dengan sendirinya akan tercatat. Perbuatan-perbuatan positif akan mempengaruhi “langit positif”, itulah Surga; dan perbuatan-perbuatan negatif akan mempengaruhi “langit negatif”, itulah Neraka. Keduanya terletak di langit yang ketujuh (hlm. 161). Berdasarkan Surat al-Anbiyâ’ (21) ayat 104, Yaitu pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakan.
Disimpulkan oleh Agus Mustofa bahwa
setiap langit tertentu bertugas untuk mencatat segala kejadian, mulai dari
langit pertama sampai langit ketujuh. Karena langit pertama dilingkupi oleh
langit kedua, sedang langit kedua dilingkupi oleh langit ketiga, demikian
seterusnya, maka kejadian-kejadian yang terdapat di langit pertama dengan
sendirinya terekam juga di langit yang ketujuh . Dengan begitu, mudah saja bagi
Allah untuk menjatuhkan vonis surga atau neraka kepada seseorang, karena segala
alat bukti tersedia dan tak ada yang terlewatkan sedikit pun.
Titik perhatian kita adalah pada: “lautan energi”, karena bertemunya langit positif dan langit negatif – sebagai akibat dari pemakaiannya untuk membalas kebaikan seseorang dan menghukum kejahatan seseorang mengakibatkan energi akan mencapai titik nol. Itulah saat terjadinya kiamat alam semesta.Lalu, bagaimana kita membuktikan bahwa akhirat memang tidak kekal? Ini dilakukan melalui dua pembuktian: logika agama dan logika sains .
Yang dimaksudkan Agus Mustofa dengan logika agama adalah sebagai berikut. Allah adalah Pencipta, karena itu disebut Khalik. Sedangkan alam, jadi, termasuk alam akhirat, adalah ciptaan Allah, dan karena itu disebut makhluk. Ciri pokok makhluk dalam kaitannya dengan ini adalah: dari tak ada, menjadi ada, dan kemudian akan tidak ada lagi. Karena alam akhirat adalah makhluk, dengan sendirinya kelak ia akan tidak ada lagi, betapapun lama waktu yang diperlukan.
Persoalannya kemudian, terdapat banyak ayat dalam al-Quran (misalnya QS. al-Baqarah/2, ayat 25 dan 29; Ali Imran/3 ayat 107, al-Tawbah/9, ayat 100, Hûd/11, ayat 23, dan lain-lain – yang seluruhnya, menurut Agus Mustofa, berjumlah sekitar 110 ayat) menyatakan dengan tegas bahwa kehidupan di akhirat, jadi termasuk di surga dan di neraka, adalah kehidupan yang kekal.
Maka, demikianlah, ratusan ayat tersebut “dikalahkan” oleh Agus Mustofa demi ayat berikut ini, Adapun orang-orang yang celaka, maka tempatnya adalah di dalam Neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas. Mereka kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia Kehendaki. Adapun orang-orang yang bahagia tempatnya adalah di dalam Surga, mereka kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya (QS. Hûd/11, ayat 106-108).
Titik perhatian kita adalah pada: “lautan energi”, karena bertemunya langit positif dan langit negatif – sebagai akibat dari pemakaiannya untuk membalas kebaikan seseorang dan menghukum kejahatan seseorang mengakibatkan energi akan mencapai titik nol. Itulah saat terjadinya kiamat alam semesta.Lalu, bagaimana kita membuktikan bahwa akhirat memang tidak kekal? Ini dilakukan melalui dua pembuktian: logika agama dan logika sains .
Yang dimaksudkan Agus Mustofa dengan logika agama adalah sebagai berikut. Allah adalah Pencipta, karena itu disebut Khalik. Sedangkan alam, jadi, termasuk alam akhirat, adalah ciptaan Allah, dan karena itu disebut makhluk. Ciri pokok makhluk dalam kaitannya dengan ini adalah: dari tak ada, menjadi ada, dan kemudian akan tidak ada lagi. Karena alam akhirat adalah makhluk, dengan sendirinya kelak ia akan tidak ada lagi, betapapun lama waktu yang diperlukan.
Persoalannya kemudian, terdapat banyak ayat dalam al-Quran (misalnya QS. al-Baqarah/2, ayat 25 dan 29; Ali Imran/3 ayat 107, al-Tawbah/9, ayat 100, Hûd/11, ayat 23, dan lain-lain – yang seluruhnya, menurut Agus Mustofa, berjumlah sekitar 110 ayat) menyatakan dengan tegas bahwa kehidupan di akhirat, jadi termasuk di surga dan di neraka, adalah kehidupan yang kekal.
Maka, demikianlah, ratusan ayat tersebut “dikalahkan” oleh Agus Mustofa demi ayat berikut ini, Adapun orang-orang yang celaka, maka tempatnya adalah di dalam Neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas. Mereka kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia Kehendaki. Adapun orang-orang yang bahagia tempatnya adalah di dalam Surga, mereka kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya (QS. Hûd/11, ayat 106-108).
Berdasarkan
ayat di atas, surga dan neraka bergantung pada “keberadaan Langit dan Bumi
alias alam semesta.” Konsekuensinya, “Akhirat itu akan kekal jika langit dan
Bumi atau alam semesta ini juga kekal. Sehingga, kalau suatu ketika alam
semesta ini mengalami kehancuran, maka alam Akhirat juga bakal mengalami hal
yang sama, kehancuran” . Dengan kata lain, demikian ditandaskan olehnya, kalau
akhirat memang kekal, maka “Pastilah Allah lebih kekal”.
Menurut Agus Mustofa logika sains dapat menjelaskan bahwa ada dua hal yang menyebabkan alam semesta lenyap:
Menurut Agus Mustofa logika sains dapat menjelaskan bahwa ada dua hal yang menyebabkan alam semesta lenyap:
1.
Bertemunya ‘langit positif’ dan ‘langit
negatif’, ketika seluruh energi positif yang dihasilkan oleh manusia telah dihabiskan untuk menikmati
kebahagiaan surga; ketika seluruh energi negatif yang dihasilkan oleh manusia telah
habis dibakar atau dipakai untuk menyiksa manusia di neraka, itulah saat di
mana energi positif menjadi nol, dan energi negatif juga menjadi nol. “Itulah
saat-saat kita semua kembali kepada ‘Ketiadaan Mutlak’. Atau sebaliknya,
menjadi ‘Keber-Ada-an Mutlak’. dan
2.
’menciutnya’ alam
semesta setelah mengalami kondisi berkembang selama 15 miliar tahun, sehingga
lenyap di pusat alam semesta (hlm. 237). Hal ini didasarkan pada logika: “jika
alam semesta berkembang dari kondisi awal (Big Bang) sampai berhenti
membutuhkan waktu 15 miliar tahun, maka waktu yang diperlukan untuk menciut
dari kondisi berhenti menuju titik awal juga selama 15 miliar tahun” .
Selanjutnya,
karena sedemikian lamanya waktu yang 15 miliar tahun itu, “sangat masuk akal
kalau Allah sangat sering menggunakan kata ‘Kekal’ dan ‘Abadi’ untuk
menggambarkan lamanya periode Akhirat itu” Dan akhirnya, “sekitar 18 miliar
tahun dari sekarang, alam semesta ini akan lenyap kembali seperti awal mulanya
ruang tidak ada,waktu tidak ada, benda-bendapun tidak ada,yang ada hanya Allah
sang maha perkasa sumber segala cinta dan kedamaian di alam semesta.Demikianlah,
Agus Mustofa menginformasikan kepada kita bahwa kiamat akan terjadi 3 miliar
tahun lagi, dan alam semesta akan lenyap 18 miliar tahun lagi, saat di mana
alam akhirat pun juga akan musnah.
Karya Agus Mustofa ini adalah sebuah buku yang amat berguna bagi kaum Muslim terutama yang awam atau tidak mampu memperkaitkan antara kebenaran wahyu Allah dengan hasil-hasil ilmu pengetahuan modern. Sudah sering dikemukakan bahwa ilmu pengetahuan dapat bertentangan dengan pengetahuan agama. Ini adalah pernyataan yang sama sekali salah. Agama dan wahyu yang benar tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan, karena kedua-duanya mengacu pada realitas atau kenyataan secara objektif dan rasional. Namun, memang tidak banyak kaum Muslim yang telah mampu melakukan hal tersebut. Agus Mustofa telah memberikan kontribusinya dalam bidang ini. Terlepas dari itu, cukup banyak penafsiran atau “temuan” Agus Mustofa yang belum dapat kita setujui — paling tidak, kita masih meminta bukti dan argumentasi lebih lanjut.
Dalam penafsiran al-Quran, misalnya, Agus Mustofa tampaknya terikat dengan aspek lahiriah teks. Sejauh menyangkut topik buku ini, dapat kita katakan sejumlah hal. Pertama, secara hakiki, tidaklah mungkin bahwa akhirat adalah kekal; kenyataan bahwa suatu waktu dahulu akhirat pernah tidak ada, sudah dengan sendirinya menunjukkan ketidakkekalan. Namun, kalau Allah bermaksud melangsungkan kehidupan akhirat tanpa memusnahkannya, itu juga masih termasuk ke dalam Kekuasaan Allah. Kalau Allah mampu menciptakan segala sesuatu , kenapa Dia tidak mampu membuatnya ada secara terus-menerus? Yang harus dicatat: keberadaan alam akhirat itu sepenuhnya bergantung kepada Kehendak Allah semata. Jadi, dalam hal tidak kekalnya akhirat, Agus Mustofa benar. Tetapi bahwa akhirat pun pada akhirnya akan sirna, itu yang tidak terdapat informasinya dalam al-Quran, sebaliknya kitab suci itu justru menginformasikan berlangsung selama-lamanya.
Kedua, apakah alam akhirat memang harus di bumi? Itu yang menjadi persoalan. Nampaknya, mustahil bahwa kehidupan akhirat akan berlangsung di bumi dalam keadaan sebagaimana adanya dewasa ini. Namun, bilamana yang dimaksudkan adalah berlangsung dalam kosmos atau alam semesta ini, nampaknya penafsiran ini masih dimungkinkan. Seorang pakar filsafat Islam, Fazlur Rahman, pernah mengemukakan,“Al-Qur’an tidak berbicara mengenai penghancuran alam semesta, tetapi mengenai transformasi dan penyusunan kembali alam semesta untuk menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang baru pada level-level kehidupan yang baru. … [seluruhnya] untuk meng-gambarkan kebesaran-Nya yang mutlak dan abadi” .
Karya Agus Mustofa ini adalah sebuah buku yang amat berguna bagi kaum Muslim terutama yang awam atau tidak mampu memperkaitkan antara kebenaran wahyu Allah dengan hasil-hasil ilmu pengetahuan modern. Sudah sering dikemukakan bahwa ilmu pengetahuan dapat bertentangan dengan pengetahuan agama. Ini adalah pernyataan yang sama sekali salah. Agama dan wahyu yang benar tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan, karena kedua-duanya mengacu pada realitas atau kenyataan secara objektif dan rasional. Namun, memang tidak banyak kaum Muslim yang telah mampu melakukan hal tersebut. Agus Mustofa telah memberikan kontribusinya dalam bidang ini. Terlepas dari itu, cukup banyak penafsiran atau “temuan” Agus Mustofa yang belum dapat kita setujui — paling tidak, kita masih meminta bukti dan argumentasi lebih lanjut.
Dalam penafsiran al-Quran, misalnya, Agus Mustofa tampaknya terikat dengan aspek lahiriah teks. Sejauh menyangkut topik buku ini, dapat kita katakan sejumlah hal. Pertama, secara hakiki, tidaklah mungkin bahwa akhirat adalah kekal; kenyataan bahwa suatu waktu dahulu akhirat pernah tidak ada, sudah dengan sendirinya menunjukkan ketidakkekalan. Namun, kalau Allah bermaksud melangsungkan kehidupan akhirat tanpa memusnahkannya, itu juga masih termasuk ke dalam Kekuasaan Allah. Kalau Allah mampu menciptakan segala sesuatu , kenapa Dia tidak mampu membuatnya ada secara terus-menerus? Yang harus dicatat: keberadaan alam akhirat itu sepenuhnya bergantung kepada Kehendak Allah semata. Jadi, dalam hal tidak kekalnya akhirat, Agus Mustofa benar. Tetapi bahwa akhirat pun pada akhirnya akan sirna, itu yang tidak terdapat informasinya dalam al-Quran, sebaliknya kitab suci itu justru menginformasikan berlangsung selama-lamanya.
Kedua, apakah alam akhirat memang harus di bumi? Itu yang menjadi persoalan. Nampaknya, mustahil bahwa kehidupan akhirat akan berlangsung di bumi dalam keadaan sebagaimana adanya dewasa ini. Namun, bilamana yang dimaksudkan adalah berlangsung dalam kosmos atau alam semesta ini, nampaknya penafsiran ini masih dimungkinkan. Seorang pakar filsafat Islam, Fazlur Rahman, pernah mengemukakan,“Al-Qur’an tidak berbicara mengenai penghancuran alam semesta, tetapi mengenai transformasi dan penyusunan kembali alam semesta untuk menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang baru pada level-level kehidupan yang baru. … [seluruhnya] untuk meng-gambarkan kebesaran-Nya yang mutlak dan abadi” .
Seluruh
angka yang disebutkan oleh Agus Mustofa, menurut hemat kami, dalam hal ini amat
tidak relevan. Tidak selalu ayat al-Quran yang menunjuk angka harus dipahami
secara harfiah, hikmah atau pelajaran moral-lah yang hendak diajarkan oleh
Allah. Misalnya, dalam ayat yang berkaitan dengan Perang Badar berikut,
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan
kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS.
Al-Anfâl/8, ayat 9).
Kalau memang itu tujuannya, Allah tidak
perlu menurunkan seribu malaikat, cukup satu malaikat saja, pasukan musyrik
Quraisy Makkah yang hanya berjumlah 750 orang
itu, pasti akan kalang kabut. Tetapi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah
senantiasa bersama orang-orang yang memperjuangkan Risalah-Nya. Kenyataannya,
313 orang Madinah harus berjuang hebat untuk dapat memenangkan perang di hari
itu. Dan tak ada tanda bahwa seorang Quraisy harus menghadapi satu atau dua
malaikat yang menyandang pedang.
Pada dasarnya, manusia adalah “makhluk material”, sebagai akibatnya cakupan ilmu pengetahuan manusia adalah meliputi “hal-hal material” juga. Baik mengenai jin, malaikat, akhirat – surga dan neraka, maupun mengenai Tuhan, apa yang diketahui manusia, kalaupun ada, sungguh-sungguh sedikit. Wilayah pun, bukan lagi wilayah ilmu, melainkan wilayah filsafat. Filsafat memiliki prosedur konklusi yang berbeda. Namun, keduanya sama dalam hal berbasis pada fakta. Dewasa ini, ilmu tanpa filsafat akan kehilangan orientasi dasar dan makronya, filsafat tanpa ilmu akan “liar”. Seluruh pembahasan alam akhirat ini berada dalam wilayah “immaterial”; akibatnya, tak ada ilmu yang dapat memverifikasi atau memfalsifikasinya, dan, karenanya, filsafat pun terbatas pada wilayah “dugaan” semata. Malahan, sebenarnya, hanya sedikit yang telah kita ketahui mengenainya. Apakah berdasarkan yang sedikit ini kita dapat memiliki gambaran yang memadai tentang akhirat? Apalagi bila diingat, yang sedikit itu didasarkan kepada “hukum-hukum material” yang belum lagi menjadi aksioma, namun barulah sebatas teori, sedangkan alam akhirat berada dalam wilayah “hukum-hukum immaterial” – paling tidak hingga saat ini.
Keberadaan alam akhirat adalah benar adanya – malahan, bagi manusia yang mudah lengah itu (QS. Qâf/50, ayat 22), adanya kehidupan akhirat adalah keharusan. Tak setiap kebaikan di dunia berbuah kebaikan, sebaliknya, tak setiap kejahatan berbalas hukuman. Agar ada perhitungan yang fair atas kinerja dan perilaku bagi tiap-tiap orang, suatu “Hari Pembalasan” atas setiap perbuatan baik atau buruk sekecil apapun haruslah ada. Dan itulah Hari Akhirat. Sesungguhnya, inilah pelajaran pokok atas banyaknya ayat-ayat Allah yang membicarakan alam tersebut. Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus ‘ahâ.
Pada dasarnya, manusia adalah “makhluk material”, sebagai akibatnya cakupan ilmu pengetahuan manusia adalah meliputi “hal-hal material” juga. Baik mengenai jin, malaikat, akhirat – surga dan neraka, maupun mengenai Tuhan, apa yang diketahui manusia, kalaupun ada, sungguh-sungguh sedikit. Wilayah pun, bukan lagi wilayah ilmu, melainkan wilayah filsafat. Filsafat memiliki prosedur konklusi yang berbeda. Namun, keduanya sama dalam hal berbasis pada fakta. Dewasa ini, ilmu tanpa filsafat akan kehilangan orientasi dasar dan makronya, filsafat tanpa ilmu akan “liar”. Seluruh pembahasan alam akhirat ini berada dalam wilayah “immaterial”; akibatnya, tak ada ilmu yang dapat memverifikasi atau memfalsifikasinya, dan, karenanya, filsafat pun terbatas pada wilayah “dugaan” semata. Malahan, sebenarnya, hanya sedikit yang telah kita ketahui mengenainya. Apakah berdasarkan yang sedikit ini kita dapat memiliki gambaran yang memadai tentang akhirat? Apalagi bila diingat, yang sedikit itu didasarkan kepada “hukum-hukum material” yang belum lagi menjadi aksioma, namun barulah sebatas teori, sedangkan alam akhirat berada dalam wilayah “hukum-hukum immaterial” – paling tidak hingga saat ini.
Keberadaan alam akhirat adalah benar adanya – malahan, bagi manusia yang mudah lengah itu (QS. Qâf/50, ayat 22), adanya kehidupan akhirat adalah keharusan. Tak setiap kebaikan di dunia berbuah kebaikan, sebaliknya, tak setiap kejahatan berbalas hukuman. Agar ada perhitungan yang fair atas kinerja dan perilaku bagi tiap-tiap orang, suatu “Hari Pembalasan” atas setiap perbuatan baik atau buruk sekecil apapun haruslah ada. Dan itulah Hari Akhirat. Sesungguhnya, inilah pelajaran pokok atas banyaknya ayat-ayat Allah yang membicarakan alam tersebut. Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus ‘ahâ.
No comments:
Post a Comment