Subscribe di sini

Monday, 1 February 2016

BAHAN KULIAH AGAMA DAN ILMU-ILMU KEMANUSIAN


Judul buku  : Ayat-Ayat Semesta

Penulis        :  Agus Purwanto, D.Sc

Penerbit      :  mizan

Diturunkannya al-Quran ke muka bumi diimani sebagai panduan umat manusia (huda al-linnas) dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena itu pula al-Quran dipercaya sebagai sumber nilai obyektif, universal dan abadiAjaran al-Quran mencakup seluruh aspek kehidupan (as-Syumul). Juga mencakup seluruh ruang lingkup kehidupan, mulai dari kehidupan  pribadi, keluarga, masyarakat, Negara dan bahkan global (internasional).
Namun  pengetahuan umat Islam tentang al-Quran tidak jarang dipahami sangat dangkal dan sempit. Universalitas al-Quran kemudian  cenderung  hanya menyangkut persoalan fikih, tasawuf dan politik (siyasah) saja. Umat Islam  banyak mengabaikan pesan-pesan al-Quran yang berkaitan dengan persoalan-persoalan  metafisik (kealaman). Ada kesan bahwa persoalan-persoalan  kealaman bukan bagian dari persoalan ukhrawi. Bahkan khusus untuk membincangkan “kebangkitan Islam”, tidak dapat dipungkiri bahwa fokusnya selalu dibelokkan ke ranah politik praktis-ideologis. Seakan-akan hanya dengan pendirian “negara khilafah”, kejayaan Islam dapat dibangkitkan kembali. Sedangkan  ilmu pengetahuan  masih bukan persoalan yang mendesak bagi dunia Islam.
Memperhatikan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran dan Islam sedemikian sempit, akhirnya bapak Agus Purwanto, D. Sc., seorang doktor fisika teori alumni Universitas Hiroshima Jepang dan kader militan Muhammadiyah yang juga dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, berupaya keras untuk mendobrak  kesempitan tersebut. Dengan kepakaran dalam fisika teori, ia berusaha melihat keunggulan Islam dari sisi yang lain. kesadarannya sebagai seorang saintifik muslim, Agus Purwanto yakin bahwa kebangkitan Islam saat ini hanya dapat diwujudkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam buku “Ayat-Ayat Semesta” ini, bapak Agus Purwanto membeber bukti tentang luluh lantaknya Afghanistan dan Irak yang justru oleh produk sains Negara-negara Barat, khususnya AS dan Inggris. Di sisi lain, negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia umumnya memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah. Tapi kelimpahruahan tersebut tidak kemudian berarti kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Sebabnya satu: umat Islam tidak menguasai ilmu pengetahuan baik teoritis maupun praktis .
Beliau juga membicarakan  Fenomena siang malam, garis edar, berpasang-pasangan, Tuhan yang supersibuk, ketidakkekalan materi, menghunjam ke bumi, menembus langit, Isra’ Mi’raj, teleportasi, hingga bahasa makhluk (lain) sebagaimana dimengerti Nabi Sulaiman as. Semuanya berangkat dari ayat di dalam Al-Qur’an. Semuanya bermuara pada satu hal: bahwa sungguh Allah telah meletakkan dasar-dasar sains di dalam kitab-Nya yang telah diturunkan-Nya 14 abad silam.
Bapak  Agus Purwanto bermaksud membankitkan kesadaran umat Islam , utamanya kalangan akademisi ,bahwa sesungguhnya ada tak kurang dari 800 ayat  kauniyyah dalam al-Quran yang terselip di antara 6236 ayat. Sedangkan ayat-ayat fikih tidak lebih dari 150 ayat saja. Tapi anehnya, mengapa para ulama lebih banyak menghabiskan energinya untuk membahas persoalan fikih – yang justru sering memicu perseteruan dan konflik antar umat Islam – daripada membahas fenomena terbitnya matahari, beredarnya bulan dan kelap-kelipnya bintang, gerak awan di langit, kilat dan petir yang menyambar, malam yang gelap gulita dan fenomena keajaiban alam lainnya.
Bapak Agus Purwanto mengingatkan bahwa fungsi al-Quran juga berlaku bagi konstruksi ilmu pengetahuan dengan memberi petunjuk tentang prinsip-prinsip sains yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Dengan kata lain, wahyu (dan sunnah) dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu pengetahuan .
Buku ini sebagai buku pertama yang ditulis oleh seorang fisikawan partikel teori Indonesia. Karenanya, patut menjadi bacaan bagi siapa saja yang ingin mengetahui pertemuan antara alam  logika bebas dan alam wahyu ilahiah, dilihat dari sisi fisika. Sedang Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat (Kang Jalal) menyebut buku ini sebagai buku ajakan terhadap kaum Muslim untuk menaruh perhatian pada sains sebagai panggilan Ilahi.Akhirnya, karena cukup komprehensifnya buku ini, tidak ada alasan bagi siapa saja untuk tidak membacanya

Judul Buku Berislam secara Toleran

Penulis     : Irwan Masduqi

Penerbit    : Mizan

Buku ini ditulis oleh bapak Irwan Masduqialumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Jurusan Ilmu Tafsir, yang lama mondok di pesantren terkemuka, buku ini menawarkan konsep toleransi Islam menurut perspektif 15 pemikir kontemporer dunia, Muslim dan non-Muslim, karena ide-ide toleran mereka patut diapresiasi dan diwacanakan di Indonesia sebagai basis teologi kerukunan antarumat beragama.  buku ini juga pantas diapresiasikan karena mengusung spirit toleransi di tengah-tengah maraknya kekerasan atas nama agama di Indonesia.
Buku ini juga mencoba menjawab sejumlah pertanyaan seperti :
1. Jika Islam menjamin kebebasan beragama, mengapa masih ada umat Muslim yang melakukan serangan terhadap gereja?
2. Jika benar Islam membawa rahmat bagi semua, mengapa masih ada sebagian fraksi Muslim yang melakukan bom bunuh diri?
3. atau  betulkah ayat-ayat toleransi dalam Al-Quran sudah dihapus hukumnya dan tidak berlaku lagi, karena sudah diganti dengan ayat-ayat perang?
4.Salah satu pertanyaan paling menarik adalah: Apakah toleransi itu berdasarkan nilai Barat atau bahwa ia inheren dalam Islam? Argumentasi Irwan sangat menarik ketika ia menyibaknya dari sudut filsafat, kepentingan politik, dan interpretasi kitab suci.
 Dan banyak pertanyaan lainnya, dengan berupaya untuk tidak terjebak pada Islamophobia yang condong menjelek-jelekkan Islam, pada Islamophilia yang cenderung membaik-baikkan citra Islam, atau pada westophobia yang secara emosional mencaki-maki Barat.
Di dalam buku ini satu sisi, bapak  irwan masduki coba  menyuguhkan elemen-elemen toleransi dalam tradisi pemikiran Islam dan, di sisi lain tanpa ragu menguak elemen-elemen  intoleran yang terkandung di dalamnya. Inilah ikhtiar tulus yang didasari niat untuk membuka keimanan yang tertutup, dalam rangka mewujudkan koeksistensi: kesadaran untuk hidup berdampingan secara damai dan harmonis di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beragam. Dalam buku ini juga  bapak Irwan  menganalisis berbagai pandangan para sarjana dan pemikir baik Muslim maupun non-Muslim. Walaupun  demikian,  bapak Irwan tetap menunjukkan dalam kajiannya bahwa Al-Quran sebagai sumber utama ajaran.
  
Judul Buku : Filsafat Ilmu ”Perspektif Barat dan Islam”

Penulis       : Dr. Adian Husaini

Penerbit     : gema insani press

Buku ini hadir untuk mengurai dan menjawab beberapa di antara berbagai pertanyaan yang muncul dalam topik filsafat ilmu menurut perspektif Barat maupun Islam, dan hubungan antara keduanya. Buku yang terdiri dari dua belas bab ini ditulis oleh delapan penulis yang pakar di bidangnya. Bab awal buku ini, “Sekularisasi Ilmu”, Bab ini menyinggung filsafat pada zaman Pre-Socratic hingga revolusi ilmiah saat ini. Dijelaskan pula, terjadinya sekularisasi dan westernisasi ilmu yang mengandalkan rasio dalam mengukur kebenaran.
Bab-bab selanjutnya  tentang konsep ilmu di dalam Islam. Tiap-tiapnya membahas definisi, pemetaan metodologi, dan epistemologi Islam. Dalam bab “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam” misalnya, Dr. Syamsuddin Arif menekankan bahwa perlunya sikap kritis seorang muslim dalam mengambil sumber ilmu. Beliau menegaskan kembali konsep ulama terdahulu bahwa ilmu merupakan agama, maka kepada siapa kita berguru adalah hal yang wajib kita perhatikan. Dengan kata lain, ilmu harus dicari dari sumber yang otoritatif yang memiliki pandangan hidup Islam.
Ilmu dan adab dalam Islam juga menjadi salah satu  topik penting dalam buku ini, karena dalam konsep Islam, ilmu dan adab tidak bisa dipisahkan. Berilmu tanpa adab adalah dimurkai, sementara beradab tanpa ilmu adalah kesesatan. Dalam pendidikan Islam, tujuan pendidikan hakikatnya adalah membentuk manusia yang beradab, dan di Indonesia, konsep ini sebenarnya adalah bagian dari pilar bangsa, yaitu dalam sila kedua Pancasila.
Buku ini ditutup dengan paparan mengenai islamisasi ilmu pengetahuan. Sebuah penutup bab yang memberikan gambaran proses yang mungkin bisa dilakukan untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Dijelaskan di dalam bagian ini, islamisasi ilmu yang dikemukakan dari berbagai pakar pendidikan Islam, seperti Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ismail Al-Faruqi, Syed Hossein Nasr, Ja’far Syekh idris, hingga Ziauddin Sardar. Hal yang menarik adalah, di antara kelima tokoh tersebut, Syed Hussein Nasr tampaknya agak menyimpang dari konsep Islamisasi Ilmu.
Jika kita membaca ide dari keempat tokoh tersebut secara seksama di buku ini, kita akan menemukan bahwa keempatnya sepakat dengan gagasan konsep ilmu yang lain tidak lebih baik dari Islam. Syed Nasr, yang dikritik oleh Al-Attas dalam bukunya Prolegomena to the Metaphysic of Islam, mengajukan ide sains sakral, yang pada level esoteris (batin) agama dianggap sama. Padahal, Islamisasi pengetahuan tentu saja mengedepankan keunikan agama Islam sebagai agama yang benar. Gagasan ini disebut juga sebagai gagasan Perennialisme, sehingga di satu sisi, gagasan ini betul kritis terhadap sains sekuler tapi sebenarnya tidak berpihak pada proses islamisasi.
  
Judulbuku     : IslamdanSekularisme

Penulis        : Prof.Dr.SyedMuhammadNaquibAl-Attas

Penerjemah   :  Dr. Khalif Muammar, M.A

 Seorang ilmuwan ulung bertaraf dunia Syed Muhammad Naquib Al-Attas,  menuangkan buah-buah fikirannya yang asli tentang pertalian rapat antara pandangan alam Barat dan kebudayaannya dengan ilmu pengetahuan dan terutama proses Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini, dan konsep Universitas Islam dalam sebuah karya agung berupa buku yang berjudul Islam dan Sekularisme.Al-Attas dalam bukunya membincangkan dan menganalisa pergerakan-pergerakan paling asas dalam kebudayaan Barat dan Islam.
 Yang ditunjukan oleh Al-Attas berbeda dengan gerakan tradisional dan konservatif yang gigih mempertahankan segala pemikiran tanpa memperhatikan keperluan perubahan yang sah sehingga menimbulkan kejumudan yang merugikan. Akan tetapi disini Al-Attas meneguhkan dengan mengembalikan atau menjadikan Islam sebagai pandangan hidup bagi manusia serta meneguhkan keyakinan kepada struktur dan dasar akhlak dan perundangan (aturan) dalam menghadapi tantangan-tantangan masa kini.
Syed Al-Attas menilai bahwa memang kemajuan zaman tidak dapat dihindari seperti apa yang telah diramalkan August Comte di awal abad 19 tentang kebangkitan sains dan kejatuhan agama. Dan itu disadari akan berekses buruk terhadap lunturnya niai-nilai agama dan kebudayaan. Krisis ini disebut dengan secularization (sekularisasi). Manusia berevolusi dan berkembang dari tahap primitif ke modern, sehingga adanya pergeseran nilai dari teologi kepada sains.

Sekular berasal dari bahasa latin saeculum yang memiliki pengertian yaitu waktu dan tempat. Kedua pengertian tersebut satu makna sebenarnya, dalam artian waktu menunjukan sekarang atau kini sedangkan tempat menunjukan dunia. Jadi saeculum bermakna zaman kini atau masa kini. Sedangkan sekular sendiri dapat diartikan penekanan waktu tertentu dunia yang dipandang sebagai suatu proses kesejahteraan. Artinya konsep sekular merujuk kepada dunia pada waktu tertentu, sehingga konsep itu telah meracuni pemikiran umat yang mana memandang atau menjadikan eksistensial dunia selalu berubah, dunia menjadi tempat munculnya faham relativitas manusia. dan manusia terlena dan hanyut kepada arus globalisasi yang di hasilkan daripada sekularisasi.
didalam buku ini di jelaskan bahwa sekularisasi adalah proses pembangunan yang membebaskan pikiran manusia dari kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya. Artinya manusia dibebaskan dari bimbingan agama serta pandangan alam metafisika yang dinilai tertutup dan tidak mengikuti zaman..
 Paham sekularisme menganggap bahwa keberadaan manusia dan tujuan akhir manusia di atur oleh manusia itu sendiri tanpa mempercayai sudah di aturnya pola serta tujuan hidup manusia di ciptakan. Kalau di dalam islam kita sering mendengar istilah Qadha dan Qadar, hal itu di nafiqkan oleh sekularisme. Jadi mereka (sekularis) tetap mengatakan bahwa pemahaman dogmatis dan doktriner itu berkembang, tetapi perkembangannya itu bukan disebabkan karena sejak awal mulanya tidak memadai, tetapi oleh karena manusia berkembang maka pemahaman itu menjadi tidak memadai jika tidak mampu berkembang mengikuti perkembangan manusia.
           
         Al-Attas menilai konsep agama yang difahami dan ditafsirkan dalam konteks barat sangat berbeda dengan konteks Islam. Agama dalam Islam diartikan sebagai Din, itu difahami dan membentuk kesatuan makna yang bersepadu, seperti tergambar dalam Al-Qur’an dan berasal dari bahasa Arab. Jika kta terjemahkan secara bahasa akan banyak pemaknaan dari Din itu sendiri, walaupun sepertinya bertentangan satu sama lain namun sebenarnya memiliki hubungan konseptual dan filosofis.

         Dalam buku ini dijelaskan makna-makna utama dalam kata Din dapat disimpulkan menjadi empat : (1) keadaan berhutang, (2) penyerahan diri, (3) kuasa peradilan, (4) kecenderungan alami. Di dalam konteks keagamaan, pemaknaan secara spesifik keadaan eksistensi alamiah yang di sebut ftrah. Ftrah adalah pola yang mendasari segala sesuatu yang mendasari segala sesuatu yang diciptakan Alloh. Tata cara Alloh menciptakan, Sunnat Alloh, dan segala sesuatu mengikuti pola yang telah dibentuk baginya dan berada dalam tempatnya yang sewajarnya. Ini yang disebut dengan hukum Alloh. Ketika Alloh berfirman : ‘Bukankah Aku Tuhanmu?’, dan diri manusia dengan sejujurnya, bersaksi atas dirinya, menjawab : “Ya!” dalam pengakuan atas kebenaran keutuhan Alloh, ia dengan itu secara resmi melakukan perjanjian dengan Alloh.Dengan demikian ketika manusia terlahir kedunia ini, apabila ia terbimbing dengan benar maka ia akan teringat akan perjanjian itu dan berbuat sesuai dengannya. Maka ibadahnya, tindakannya, hidup, dan matinya hanya untuk Alloh semata. Islam sebagai sistem kehidupan dan penghidupan manusia sangat lah                                                       sempurna.
Ilmu yang benar ialah ilmu yang dapat membawa manusia untuk mengenali penciptanya (Sang Khalik) yang dengan ilmu itu pula manusia melaksanakan kesempurnaan tugas menjadi hamba dan khalifah Allah. Dalam maksud ini ilmu berorientasi pada kehidupan akhirat. Ilmu didapat bukan karena keuntungan duniawi. Islamisasi ilmu sebagai alat untuk menuju dan memahami sistem kehidupan dan penghidupan manusia, contoh ; syari’ah, muamalah,danaqidah.

Keunggul
аn buku ini adalah :  * Informаtif, lengkаp, dаn kronologis. Kelemаhаnnya                              kekurangan                              *  Bahasanya terlalu filosofis
                                                   * Digunakan hanya untuk kalangan Akademis


JudulBuku  : SeriGerakanWahhabi

Penulis        : Nur Khalik Ridwan

Penerbit      : Tanah Air, Jogjakarta



        Kekhawatiran dan kecurigaan banyak orang terhadap ideologi wahhabi yang diduga menjadi induk semang atas tindak kekerasan atau teror atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan, aktivis sosial, dan bahkan pengamat politik. Gerakan wahhabi sebenarnya merupakan langgam lawas, tetapi pemunculannya selalu aktual, karena dikait-kaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.

        Tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantahkan WTC, gedung kebanggaan negeri Paman Sam, sepertinya menjadi ''perantara positif'' sekaligus ''hikmah''. Pascaperistiwa September kelabu itu, sejumlah analisis kritis membuka tirai ideologi wahhabi yang ternyata mempunyai andil dalam mendoktrinisasi kelompok Islam tertentu yang secara sosiologis dikategorikan ''keras'' dan ''ekstrem''. Buku ini selain memberikan informasi penting tentang seluk-beluk yang menyangkut gerakan wahhabi, juga menyediakan ruang dialektika-kritis bagi pembacanya -bagaimana mestinya kita menyikapi gerakan yang mewabah bernama wahhabi itu.

               Buku ini adalah satu-satunya karya  di Indonesia yang berhasil merekam dan memotret keberadaan gerakan wahhabi secara kritis dan komprehensif. Pada buku pertama, diterangkan aspek historisitas, doktrin, dan penamaan istilah ''wahhabi'', yang dinisbatkan pada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab. Dua kritikus legendaris atas wahhabi, Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Hanbali dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan as-Safi'i, juga tak luput dari perhatian Nur Khalik Ridwan yang ditampilkan secara dramatis. Buku pertama ini diberi judul Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam.

        Menurut Nur Khalik Ridwan, penulisan buku ini dilandasi beberapa faktor penting, yaitu adanya pengaruh wahhabisme yang begitu besar terhadap banyak gerakan Islam dan radikalisasi-radikalisasi lain berbasis agama; belum ada kajian di Indonesia yang secara khusus membahas wahhabi dari akar sejarah hingga soal bagaimana posisinya di negara Arab; terjadinya tren pergeseran dan penolakan wahhabisme justru di kalangan ormas yang dulu terpengaruh ide-ide wahhabi; semakin gencarnya transnasionalisasi ide-ide wahhabi dan ekspansi yang bertubi-tubi, hingga ke berbagai negara, termasuk Indonesia; dan menjamurnya web blog yang dikuasai para wahhabi untuk menyebarkan wacana, ideologi, dan gerakannya.

         Buku kedua, yang bertitel Perselingkuhan Wahhabi dalam Agama, Bisnis, dan Kekuasaan, memuat analisis tajam persoalan relasi gerakan wahhabi dengan kekuasaan -dalam hal ini Kerajaan Arab Saudi. Hamid Algar menulis komentar menarik dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), yang sayangnya, tidak dirujuk oleh Nur Khalik. Menurut Algar, dalam sejarah pemikiran Islam yang berlangsung lama dan sangat kaya, wahhabisme tidak menempati posisi yang memiliki arti penting. Gerakan wahhabi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (Najad, sebuah tempat yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia muslim.

         Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan wahhabi, sangat mujur ketika pada abad ke-20 memperoleh kekayaan minyak luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan paham wahhabisme di dunia Islam dan wilayah-wilayah lain. Jika kedua faktor itu tidak ada, wahhabisme mungkin hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marginal dan berumur pendek.

        Pada buku ketiga, Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi, Nur Khalik mencurahkan tenaga dan pikiran untuk melakukan kajian kritis terhadap ajaran atau doktrin, serta cara berpikir wahhabi yang sangat eksklusif dan menekankan absolutisme. Nur Khalik mencatat, di ranah ini tidak jarang mereka (kelompok wahhabi) mengafirkan umat Islam di luar kelompoknya, seperti tuduhan takfir (pengafiran) kepada umat Islam salaf dan khalaf yang ber-tawassul dengan para nabi, sahabat, tabi'in, dan wali-wali Allah yang saleh (Jld III, hlm 129). Ini sekaligus menjadi salah satu ciri seseorang sebagai anggota kelompok wahhabi.

         Karena itu, ajaran dan doktrin-doktrin wahhabi sungguh bertentangan dengan keyakinan mayoritas muslim dunia (Sunni). Memang, sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok wahhabi tidak termasuk bagian dari ahlu sunnah wal jamaah. Hal itu karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam Muhammad bin Abdul Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni, yang dipelihara dalam berbagai literatur yang sangat kaya dan diterima mayoritas kaum muslim.

        Di buku ketiga ini, diskusi tentang bagaimana gerakan wahhabi bergerilya ke wilayah-wilayah Islam, termasuk di Indonesia, terasa semakin lengkap dan menemukan pijakan relevansi dengan kenegaraan kita. Namun, Nur Khalik belum tuntas menganalisisnya. Sebab, menurut pengakuannya, dia masih dalam proses mengimajinasikan, dan direncanakan disusun menjadi buku tersendiri di lain waktu.
Judul buku : Beragama  dengan Akal Sehat

Penulis      : Agus Mustofa

Penerbit    : PADMA Pres
                  
Ketika kita membaca ayat suci al-quran maka akan kita temukan ayat yang berbunyi:
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang menggunakan akal(QS.2.64)”,
Mengapa harus ayat ini yang saya tunjukkan?karena,inilah  potongan ayat yang terpampang di bagian cover depan pada buku yang berjudul “BERAGAMA dengan Akal Sehat” karya Bapak Agus Mustofa.
Bapak agus mustofa  lahir di Malang, 16 Agustus 1963.Tahun 1982 ia meninggalkan kota Malang dan menuntut ilmu di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Nuklir, Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Selama kuliah itulah Beliau bersinggungan dengan ilmuan-ilmuan islam yang berfikiran modern. Perpaduan antara ilmu tasawuf dengan sains itu telah menghasilkan pemikiran yang unik pada dirinya yang disebut sebagai “Tasawuf Modern”.
Sebenarnya beliau telah banyak menghasilkan karya buku yang fenomenal salah satu buku tersebut adalah berjudul “Beragama dengan Akal Sehat’’. Melihat judulnya saja mungkin bagi sebagaian orang akan merasa ngeri untuk membacanya. Padahal isinya tidak seseram judulnya justru pikiran kita yang akan terbuka setelah membaca buku ini karena pikiran kita lebih luas dalam memandang sesuatu tidak hanya terkungkung pada dogma saja.Pembahasan dalam buku ini sangat lengkap, menarik dan modern serta menjadi bahan baru bagi para pencinta kebenaran sebagai satu pembuktian bahwa Agama Islam adalah suatu agama yang fitrah, walaupun demikian harus dinalari dengan Akal sebagai tolak ukurnya.
Pada bagian awal buku ini membahas masalah Dogmatisme atau pemaksaan dalam beragama. Islam adalah agama yang Fitrah dan tidak ada paksaan sedikitpun didalamnnya dan disajikan lengkap berdasarkan ayat-ayat Al-quran dan rasio.Dogmatis adalah cara beragama dengan ‘memaksakan’ kehendak. Orang yang lebih pintar atau merasa dirinya lebih pintar ‘mengajarkan’ apa yang menjadi “kepintarannya”kepada murid-muridnya secara kaku. Persis dan memfotocopy segala sesuatunya dari yang dianggap guru. Tidak boleh ada perbedaan, jika berbeda mereka harus disamakan.
Keseragaman adalah ciri khas mereka yang menganut pola dogmatis dalam ber-ideologi termasuk dalam beragama. Padahal sebenarnya fitrah manusia adalah berbeda. Tidak ada satupun – bahkan makhluk lain di alam semesta yang sama. (ada dalam QS. Al Baqarah (2) : 256 ;QS Yunus (10) : 99.Islam sebenarnya adalah agama yang sangat menentang dogmatis. Islam tidak mengenal pemaksaan. Islam juga tidak mengenal penyeragaman.
Sebaliknya, sangat menghargai perbedaann karena semua itu memang fitrah manusia. Al Qur’an berulang kali mengajarkan kepada kita bahwa islam adalah agama fitrah. Agama yang sesuai dengan ‘pembawaan’ kita sebagai makhluk yang paling sempurna. Sesuai dengan QS.Ar Rum (30) :30
Pada semua pembahasan penulis selalu memberikan dalil-dalil yang begitu lengkap dari segi ayat maupun akal. Adapun masalah lainnya seperti, Fanatisme Tokoh adalah salah satu masalah yang dihadapi umat Islam saat ini, pengultusan tokoh dan guru telah mengulut fanatisme yang berlebihan sehingga masing-masing individu atau kelompok menganggap bahwa dirinya yang paling benar dan menutup telinga dari kebenaran apapun yang datang dari individu atau kelompok lain. Sungguh ini adalah Dogma yang dipaksakan dan sudah menjadi semacam indoktrinasi. Justru Allah memerintahkan kita untuk mengambil segala kebenaran dari segala sumber.
Ada yang berpendapat semua umat pendahulu lebih baik dari umat saat ini, sebenarnya “tidak”, akan tetapi zaman ketika Rasul masih hidup memang jauh lebih baik dari zaman setelahnya. Pembahasan ini membangun semangat kita semua bahwa semua orang memiliki potensi yang besar demi menjadi umat yang baik, bahkan yang terbaik. Di dalam buku ini juga di muat diskusi tentang “Milik siapa Kebenaran itu”.
Sudah 250 tahun terakhir dunia internasional telah memiliki ideologi bernama Liberalisme. Trend yang begitu meluas yang pada saat ini telah menguasai segala aspek kehidupan, termasuk sector-sektor Ekonomi, Pendidikan, Sosial bahkan Budaya. Liberalisme adalah suatu faham yang menggunakan prinsip bahwa kepentingan pribadi lebih penting dari kepentingan umum. Dalam buku ini juga penulis menyangkal berbagai pernyataan orang atheis yang menganggap agama adalah racun dunia dengan dalih, bahwa Negara-negara yang mayoritas didalamnnya adalah pemeluk agama malah mengalami masalah yang bermacam-macam. 
         Sudah sejatinya , dalam pencarian kebenaran kita harus menggunakan akal begitu juga dalam beragama. Kita harus memiliki kecerdasan tinggi dan menggunakan akal secara maksimal. Orang-orang yang tidak menggunakan akalnya dalam beragama, mereka dijamin tidak dapat mengambil pelajaran dari firman-firman Allah. Karena itu tidak heran kalau para rasul dan malaikat digambarkan sebagai eksistensi yang berakal kuat dan berkecerdasan tinggi.

Judul    : Hidup sesudah mati

Penulis : Bey Arifin

            “Hidup sesudah mati” pada awal babnya membicarakan adanya kehidupan selepas mati. Alhamdulillah, masalah ini  dikupas dengan indah sekali sehingga  menambah keyakinan sebagai hambaNya.Setelah penulis  menawan hati pembaca dan meyakinkan akan adanya hidup sesudah mati, maka agenda seterusnya adalah membicarakan bagaimana kita menghadapi kematian diri kita dan orang lain. Kematian adalah ‘pintu’ ke alam yang kekal, ‘pintu’ untuk bertemu denganNya. Buku ini juga telah membincarakankan bukti adanya hari kiamat kelak.
Justeru itu, sebelum membahas lebih lanjut tentang hari kiamat, penulis terlebih dahulu membincangkan pendapat ahli falsafah dari Non Muslim terdahulu seperti Socrates, Phythagoras, Plato, Aristotles, Descartes dan bandingkan dengan pendapat ulama  Islam  seperti Imam al-Ghazali, Ikhwanus Safa, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan Ibnu Maskawaih. Juga dibincangkan tentang pendapat ahli-ahli fikir moden, ajaran pelbagai bangsa dan agama sehingga akhirnya menunjukan bahwa Ajaran Agama Islam jauh lebih unggul dalam memahami kehidupan setelah mati ini.
Perbincangan tentang hari Kiamat didahului dengan bahasan alam barzakh (kubur), kiamat besar berserta tanda-tandanya seperti Dajjal, turunnya Isa Ibnu Maryam a.s, pendapat tentang Imam Mahdi, seterusnya bagaimana terjadinya Kiamat, suasana hari kebangkitan, Perhisaban dan Pembalasan.
Telah dibahas dengan panjang lebar akan keadaan Syurga dan Neraka. Dua tempat yang kekal abadi. Juga telah dibincangkan akan keadaan akhirat ini menurut ayat-ayat di dalam surah-surah Al-Quran seperti surah al-Qalam, surah al- Muzammil, surah al- Qiamah, surah al-Waqiah dan berpuluh-puluh lagi surah yang banyak mengingatkan kita sebagai seorang hambaNya akan hari Kedatangan yang pasti.
Buku ini banyak yang mengakui sebagai karya tulis terbaik . Jadi pasti tidak rugi untuk meluangkan waktu  kita untuk membacanya.“kematian itu pasti dan kiamat itu pasti


Judul : Ternyata akhirat tidak kekal

Penulis : Agus Mustofa
       
Buku ini merupakan sebuah buku yang unik. Ia berisi ulasan yang menggabungkan antara: tafsir al-Quran, pemaparan beberapa teori ilmu pengetahuan alam, serta disusun dalam kerangka dakwah Islam. Penggunaan ilmu pengetahuan dalam disiplin apapun amat krusial dalam menafsirkan al-Quran. Sejumlah besar ayat, apakah yang berbicara tentang penciptaan alam dan manusia ataupun yang membicarakan tentang karakter dan kepribadian individu-individu manusia yang menganut sistem nilai tertentu, jelas sekali memerlukan pengetahuan astronomi, biologi dan psikologi atau psikoanalisis.

           Ternyata Akhirat Tidak Kekal merupakan sebuah buku yang ingin menafsirkan wahyu Allah dari disiplin, terutama, astronomi. Latar belakang pengarangnya yang seorang sarjana teknik nuklir barangkali memang menunjang upaya itu. tulisan ini pertama-tama akan mendeskripsikan secara umum konten buku tersebut.

            Bapak Agus Mustofa memulai bukunya dengan mengajukan pertanyaan fundamental, “bagaimana mendiskusikan akhirat?” Ia mengajukan metodologi: berdasarkan informasi al-Quran dan Hadits. Ini dikarenakan tak ada satu pun data empiris yang bisa dijadikan titik tolak untuk melakukan analisis terhadap kehidupan akhirat (hlm. 4). Prosedur pertama ini disebutnya “sisi keimanan sebagai entry point”. Kemudian, menurutnya, juga diperlukan “data-data empiris, serta teori-teori ilmu pengetahuan modern, sebagai alat analisa dengan menggunakan mekanisme akal.” Ditegaskannya, itu dilakukan agar analisis tidak menyimpang jauh dari kenyataan yang ada.

Untuk dapat merekonstruksi akhirat, Agus Mustofa mengembangkan seperangkat instrumen pertanyaan sebagai berikut:
  • Di mana alam akhirat itu?
  • Bagaimana bentuk kehidupan akhirat itu, apakah ruhani semata atau juga jasadi?
  • Kapan dimulainya alam akhirat, dan ditandai dengan kejadian apa?
  • Benarkah kita dibangkitkan kembali; lalu, bagaimana mekanisme kebangkitan?
  • Apa benar kita akan dimintai pertanggungjawaban, lalu bagaimana caranya?
  • Apa yang bakal terjadi di alam kehidupan akhirat, apa manusia akan hidup selama-lamanya?Apa dan bagaimana surga dan neraka itu? (hlm. 9-10)
 Untuk “melacak” kehidupan akhirat dan kemudian membuktikan bahwa akhirat itu tidak kekal, Agus Mustofa memulai dengan penelusuran yang amat jauh: hingga ke asal-mula asal semesta. Lalu, ia mengajukan teori:
  1. Sekitar 12 miliar tahun yang lalu alam semesta diciptakan Allah lewat sebuah ledakan yang sangat dahsyat.
  2. Kemudian, sekitar 5 miliar tahun yang lalu terbentuklah tata surya kita, termasuk di dalamnya adalah Bumi dan 8 planet lainnya. Sejak itu pula Allah membentuk kondisi Bumi yang memungkinkan untuk kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah lapisan udara yang disebut atmosfer.
  3.  sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu Allah menciptakan makhluk bersel satu di daerah perairan. Sekitar 1 miliar tahun yang lalu Dia memulai kehidupan di daratan, lewat makhluk yang bersel lebih banyak. Dan, sekitar 550 juta tahun yang lalu Allah menciptakan berbagai jenis tanaman dan binatang yang kompleks struktur tubuhnya.
  4. Barulah sekitar puluhan ribu tahun yang lalu Allah menciptakan manusia untuk pertama kalinya, yang kemudian berkembang biak hingga kini.
  5. Seterusnya, Allah tetap memproses kejadian alam semesta ini hingga sekitar beberapa ribu tahun lagi dan Bumi akan mengalami kiamat. Bumi bakal hancur, dan kehidupan makhluk di atasnya pun musnah. Mirip kejadian punahnya Dinosaurus sekitar 150-200 juta tahun yang lalu.
  6. Bumi akan mengalami recovery alias perbaikan lingkungannya kembali selama 2-3 miliar tahun, untuk mengembalikan kehidupan di muka Bumi ini. Maka, ketika kondisi Bumi sudah ideal untuk kehidupan tahap kedua, manusia dibangkitkan kembali dari dalam kuburnya. Itulah dimulainya periode Akhirat.Manusia akan dihidupkan selama sekitar 15 miliar tahun di alam Akhirat, sampai kehidupan semuanya lenyap, kembali kepada Sang Pencipta (hlm. 101-102).
Kita barangkali akan penasaran bagaimana Agus Mustofa dapat sampai menentukan angka-angka itu secara persis?

            Rupanya,bapak  Agus Mustofa mendasarkannya pada asal-mula penciptaan alam semesta yang berpijak pada Teori Big Bang (Ledakan Besar). Merujuk pada teori ini, ia mengemukakan bahwa suatu waktu sekitar 12 miliar tahun yang lalu, Allah memulai proses penciptaan alam semesta, dengan menciptakan ledakan raksasa yang mengakibatkan seluruh materi tersebar dan mengalami pemuaian hingga sekarang, sejak itu alam semesta hingga kini sedang berproses menuju limit pemuaiannya, yang diperkirakan akan tercapai 3 miliar tahun lagi. Pada saat tercapainya titik limit pemuaian itulah yakni kiamat bumi, alam semesta bergerak kembali ke dalam atau mengalami proses penciutan. Ketika titik limitasi penciutan terjadi,itulah saat kiamat alam semesta, ketika untuk keduanya kalinya alam semesta mengalami lagi ledakan raksasa.

             Seiring dengan dimulainya kehidupan akhirat (ketika proses penciutan terjadi), sejak waktu itu pula hukum alam berjalan terbalik!. Sebagai akibatnya, jika sekarang manusia cenderung pada kematian, di akhirat manusia cenderung mengarah pada kehidupan abadi: “Yang tadinya mati, justru akan HIDUP KEMBALI” . Ini bukan saja karena berlakunya hukum alam terbalik, namun karena entropi juga berbalik arah. Entropi dimaknai oleh Agus Mustofa sebagai ketidakteraturan, di mana alam semesta bergerak menuju kehancuran (hlm. 53). Dengan berbaliknya entropi, maka, kini yang terjadi bukanlah proses kehancuran melainkan yang sebaliknya, alam tidak mengarahkan kita pada kematian .

            Berkaitan dengan terjadinya kiamat alam semesta di atas, Agus Mustofa melanjutkan bahasannya mengenai alam barzakh. Di bagian inilah ia menjelaskan bagaimana kiamat alam semesta itu dapat terjadi . Struktur alam semesta terdiri dari materi dan energi, di mana materi dapat berubah menjadi energi dan energi pun dapat berubah menjadi materi. Sedemikian rupa, sehingga terjadi keseimbangan di antara keduanya, kuatnya materi mengakibatkan lemahnya energi, dan kuatnya energi menyebabkan lemahnya materi. Tiap-tiap gerakan sesuatu apapun, termasuk manusia, akan menghasilkan perubahan energi. “Sedikit apapun perubahan yang kita berikan, maka akan terjadi perubahan susunan struktur energi lingkungan kita” . Pada titik ini, Agus Mustofa berteori bahwa: perbuatan baik akan menimbulkan perubahan positif dan menghasilkan energi positif; sebaliknya, perbuatan buruk akan menimbulkan perubahan negatif dan menghasilkan energi negatif.

           Karena manusia “tenggelam di ‘lautan energi’ itu” maka, tiap-tiap energi positif dan negatif akan memberikan penandaan pada “struktur energi di sekitar kita” . “Struktur energi” itulah yang oleh al-Quran disebut sebagai buku amalan. Oleh karena itu, meskipun seandainya tak ada Malaikat Raqib dan Atid sekalipun, perbuatan manusia (plus atau minus) dengan sendirinya akan tercatat. Perbuatan-perbuatan positif akan mempengaruhi “langit positif”, itulah Surga; dan perbuatan-perbuatan negatif akan mempengaruhi “langit negatif”, itulah Neraka. Keduanya terletak di langit yang ketujuh (hlm. 161). Berdasarkan Surat al-Anbiyâ’ (21) ayat 104, Yaitu pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakan.

           Disimpulkan oleh Agus Mustofa bahwa setiap langit tertentu bertugas untuk mencatat segala kejadian, mulai dari langit pertama sampai langit ketujuh. Karena langit pertama dilingkupi oleh langit kedua, sedang langit kedua dilingkupi oleh langit ketiga, demikian seterusnya, maka kejadian-kejadian yang terdapat di langit pertama dengan sendirinya terekam juga di langit yang ketujuh . Dengan begitu, mudah saja bagi Allah untuk menjatuhkan vonis surga atau neraka kepada seseorang, karena segala alat bukti tersedia dan tak ada yang terlewatkan sedikit pun.

       Titik perhatian kita adalah pada: “lautan energi”, karena bertemunya langit positif dan langit negatif – sebagai akibat dari pemakaiannya untuk membalas kebaikan seseorang dan menghukum kejahatan seseorang mengakibatkan energi akan mencapai titik nol. Itulah saat terjadinya kiamat alam semesta.Lalu, bagaimana kita membuktikan bahwa akhirat memang tidak kekal? Ini dilakukan melalui dua pembuktian: logika agama dan logika sains .

       Yang dimaksudkan Agus Mustofa dengan logika agama adalah sebagai berikut. Allah adalah Pencipta, karena itu disebut Khalik. Sedangkan alam, jadi, termasuk alam akhirat, adalah ciptaan Allah, dan karena itu disebut makhluk. Ciri pokok makhluk dalam kaitannya dengan ini adalah: dari tak ada, menjadi ada, dan kemudian akan tidak ada lagi. Karena alam akhirat adalah makhluk, dengan sendirinya kelak ia akan tidak ada lagi, betapapun lama waktu yang diperlukan.

Persoalannya kemudian, terdapat banyak ayat dalam al-Quran (misalnya QS. al-Baqarah/2, ayat 25 dan 29; Ali Imran/3 ayat 107, al-Tawbah/9, ayat 100, Hûd/11, ayat 23, dan lain-lain – yang seluruhnya, menurut Agus Mustofa, berjumlah sekitar 110 ayat) menyatakan dengan tegas bahwa kehidupan di akhirat, jadi termasuk di surga dan di neraka, adalah kehidupan yang kekal.

           Maka, demikianlah, ratusan ayat tersebut “dikalahkan” oleh Agus Mustofa demi ayat berikut ini, Adapun orang-orang yang celaka, maka tempatnya adalah di dalam Neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas. Mereka kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia Kehendaki. Adapun orang-orang yang bahagia tempatnya adalah di dalam Surga, mereka kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya (QS. Hûd/11, ayat 106-108).
Berdasarkan ayat di atas, surga dan neraka bergantung pada “keberadaan Langit dan Bumi alias alam semesta.” Konsekuensinya, “Akhirat itu akan kekal jika langit dan Bumi atau alam semesta ini juga kekal. Sehingga, kalau suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam Akhirat juga bakal mengalami hal yang sama, kehancuran” . Dengan kata lain, demikian ditandaskan olehnya, kalau akhirat memang kekal, maka “Pastilah Allah lebih kekal”.

Menurut Agus Mustofa logika sains dapat menjelaskan bahwa ada dua hal yang menyebabkan alam semesta lenyap:
1.       Bertemunya ‘langit positif’ dan ‘langit negatif’, ketika seluruh energi positif yang dihasilkan   oleh manusia telah dihabiskan untuk menikmati kebahagiaan surga; ketika seluruh energi  negatif yang dihasilkan oleh manusia telah habis dibakar atau dipakai untuk menyiksa manusia di neraka, itulah saat di mana energi positif menjadi nol, dan energi negatif juga menjadi nol. “Itulah saat-saat kita semua kembali kepada ‘Ketiadaan Mutlak’. Atau sebaliknya, menjadi ‘Keber-Ada-an Mutlak’. dan
2.      ’menciutnya’ alam semesta setelah mengalami kondisi berkembang selama 15 miliar tahun, sehingga lenyap di pusat alam semesta (hlm. 237). Hal ini didasarkan pada logika: “jika alam semesta berkembang dari kondisi awal (Big Bang) sampai berhenti membutuhkan waktu 15 miliar tahun, maka waktu yang diperlukan untuk menciut dari kondisi berhenti menuju titik awal juga selama 15 miliar tahun” .
Selanjutnya, karena sedemikian lamanya waktu yang 15 miliar tahun itu, “sangat masuk akal kalau Allah sangat sering menggunakan kata ‘Kekal’ dan ‘Abadi’ untuk menggambarkan lamanya periode Akhirat itu” Dan akhirnya, “sekitar 18 miliar tahun dari sekarang, alam semesta ini akan lenyap kembali seperti awal mulanya ruang tidak ada,waktu tidak ada, benda-bendapun tidak ada,yang ada hanya Allah sang maha perkasa sumber segala cinta dan kedamaian di alam semesta.Demikianlah, Agus Mustofa menginformasikan kepada kita bahwa kiamat akan terjadi 3 miliar tahun lagi, dan alam semesta akan lenyap 18 miliar tahun lagi, saat di mana alam akhirat pun juga akan musnah.

        Karya Agus Mustofa ini adalah sebuah buku yang amat berguna bagi kaum Muslim terutama yang awam atau tidak mampu memperkaitkan antara kebenaran wahyu Allah dengan hasil-hasil ilmu pengetahuan modern. Sudah sering dikemukakan bahwa ilmu pengetahuan dapat bertentangan dengan pengetahuan agama. Ini adalah pernyataan yang sama sekali salah. Agama dan wahyu yang benar tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan, karena kedua-duanya mengacu pada realitas atau kenyataan secara objektif dan rasional. Namun, memang tidak banyak kaum Muslim yang telah mampu melakukan hal tersebut. Agus Mustofa telah memberikan kontribusinya dalam bidang ini. Terlepas dari itu, cukup banyak penafsiran atau “temuan” Agus Mustofa yang belum dapat kita setujui — paling tidak, kita masih meminta bukti dan argumentasi lebih lanjut.

          Dalam penafsiran al-Quran, misalnya, Agus Mustofa tampaknya terikat dengan aspek lahiriah teks. Sejauh menyangkut topik buku ini, dapat kita katakan sejumlah hal. Pertama, secara hakiki, tidaklah mungkin bahwa akhirat adalah kekal; kenyataan bahwa suatu waktu dahulu akhirat pernah tidak ada, sudah dengan sendirinya menunjukkan ketidakkekalan. Namun, kalau Allah bermaksud melangsungkan kehidupan akhirat tanpa memusnahkannya, itu juga masih termasuk ke dalam Kekuasaan Allah. Kalau Allah mampu menciptakan segala  sesuatu , kenapa Dia tidak mampu membuatnya ada secara terus-menerus? Yang harus dicatat: keberadaan alam akhirat itu sepenuhnya bergantung kepada Kehendak Allah semata. Jadi, dalam hal tidak kekalnya akhirat, Agus Mustofa benar. Tetapi bahwa akhirat pun pada akhirnya akan sirna, itu yang tidak terdapat informasinya dalam al-Quran, sebaliknya kitab suci itu justru menginformasikan berlangsung selama-lamanya.

        Kedua, apakah alam akhirat memang harus di bumi? Itu yang menjadi persoalan. Nampaknya, mustahil bahwa kehidupan akhirat akan berlangsung di bumi dalam keadaan sebagaimana adanya dewasa ini. Namun, bilamana yang dimaksudkan adalah berlangsung dalam kosmos atau alam semesta ini, nampaknya penafsiran ini masih dimungkinkan. Seorang pakar filsafat Islam, Fazlur Rahman, pernah mengemukakan,“Al-Qur’an tidak berbicara mengenai penghancuran alam semesta, tetapi mengenai transformasi dan penyusunan kembali alam semesta untuk menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang baru pada level-level kehidupan yang baru. … [seluruhnya] untuk meng-gambarkan kebesaran-Nya yang mutlak dan abadi” .

Seluruh angka yang disebutkan oleh Agus Mustofa, menurut hemat kami, dalam hal ini amat tidak relevan. Tidak selalu ayat al-Quran yang menunjuk angka harus dipahami secara harfiah, hikmah atau pelajaran moral-lah yang hendak diajarkan oleh Allah. Misalnya, dalam ayat yang berkaitan dengan Perang Badar berikut, (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfâl/8, ayat 9).

Kalau memang itu tujuannya, Allah tidak perlu menurunkan seribu malaikat, cukup satu malaikat saja, pasukan musyrik Quraisy  Makkah yang hanya berjumlah 750 orang itu, pasti akan kalang kabut. Tetapi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah senantiasa bersama orang-orang yang memperjuangkan Risalah-Nya. Kenyataannya, 313 orang Madinah harus berjuang hebat untuk dapat memenangkan perang di hari itu. Dan tak ada tanda bahwa seorang Quraisy harus menghadapi satu atau dua malaikat yang menyandang pedang.

         Pada dasarnya, manusia adalah “makhluk material”, sebagai akibatnya cakupan ilmu pengetahuan manusia adalah meliputi “hal-hal material” juga. Baik mengenai jin, malaikat, akhirat – surga dan neraka, maupun mengenai Tuhan, apa yang diketahui manusia, kalaupun ada, sungguh-sungguh sedikit. Wilayah pun, bukan lagi wilayah ilmu, melainkan wilayah filsafat. Filsafat memiliki prosedur konklusi yang berbeda. Namun, keduanya sama dalam hal berbasis pada fakta. Dewasa ini, ilmu tanpa filsafat akan kehilangan orientasi dasar dan makronya, filsafat tanpa ilmu akan “liar”. Seluruh pembahasan alam akhirat ini berada dalam wilayah “immaterial”; akibatnya, tak ada ilmu yang dapat memverifikasi atau memfalsifikasinya, dan, karenanya, filsafat pun terbatas pada wilayah “dugaan” semata. Malahan, sebenarnya, hanya sedikit yang telah kita ketahui mengenainya. Apakah berdasarkan yang sedikit ini kita dapat memiliki gambaran yang memadai tentang akhirat? Apalagi bila diingat, yang sedikit itu didasarkan kepada “hukum-hukum material” yang belum lagi menjadi aksioma, namun barulah sebatas teori, sedangkan alam akhirat berada dalam wilayah “hukum-hukum immaterial” – paling tidak hingga saat ini.

         Keberadaan alam akhirat adalah benar adanya – malahan, bagi manusia yang mudah lengah itu (QS. Qâf/50, ayat 22), adanya kehidupan akhirat adalah keharusan. Tak setiap kebaikan di dunia berbuah kebaikan, sebaliknya, tak setiap kejahatan berbalas hukuman. Agar ada perhitungan yang fair atas kinerja dan perilaku bagi tiap-tiap orang, suatu “Hari Pembalasan” atas setiap perbuatan baik atau buruk sekecil apapun haruslah ada. Dan itulah Hari Akhirat. Sesungguhnya, inilah pelajaran pokok atas banyaknya ayat-ayat Allah yang membicarakan alam tersebut. Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus ‘ahâ.












No comments:

Post a Comment

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...