Sebagaimana dimaklumi bahwa azimat (tamimah) merupakan benda yang dijadikan
sebagai penangkal dari suatu penyakit, mara bahaya ataupun sesuatu yang
ditakutkan. Dalam Kamus Mukhtar al-Shihah, disebutkan tamimah adalah pelindung
yang digantung pada manusia.[1][1] Al-Manawi menyebutkan, tamimah ini
asalnya adalah tenunan yang digantung oleh orang Arab pada kepala anak-anak
untuk melindunginya dari penyakit ‘ain, kemudian istilah ini
digunakan untuk setiap benda yang dijadikan sebagai penangkal.[2][2] Berikut hadits-hadits Nabi SAW yang
menggunakan perkataan “tamimah” serta penjelasan hukum menggunakannya, antara
lain :
1. Dari Abdullah, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda :
إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ
وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ
Artinya : Sesungguhnya ruqyah, azimat dan pelet, adalah
perbuatan syirik.(H.R. Ahmad)[3][3]
2.
Dari
‘Uqbah bin ‘Amir bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ
أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَة فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
Artinya :
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah
tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan dirinya
pada kerang, maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (H.R.
Ahmad)[4][4]
3.
Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ
أَشْرَكَ
Artinya : Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat),
maka ia telah berbuat syirik”
(H.R. Ahmad)[5][5]
Ketiga hadits di atas, menjelaskan kepada kita bahwa menggunakan azimat
merupakan perbuatan tercela, bahkan merupakan perbuatan syirik berdasarkan
hadits pertama dan kedua. Yang dimaksud dengan syirik adalah menyekutukan Allah
Ta’ala atau mengi’tikad sesuatu selain Allah mempunyai kekuatan yang sama
dengan-Nya. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana kalau seseorang menggunakan
azimat tanpa ada i’tiqad azimat tersebut dapat memberi pengaruh melindungi
dirinya secara mandiri (ta’tsir), tetapi ‘azimat itu hanya sekedar sebagai
sebab adanya perlindungan, dimana pada hakikatnya hanya Allahlah yang
melindunginya? Bukankah ini sama halnya dengan kita menggunakan obat dari
seorang dokter, kalau kita mengi’tiqad obat tersebut yang menyembuhnya secara
mandiri, tentu ini tanpa diragukan dapat disebut sebagai perbuatan syirik,
sebaliknya kalau dii’tiqad hanya sebagai sebagai sebab, dimana pada hakikatnya
hanya Allahlah yang mengobatinya, maka tentu tidak sesorangpun dapat mengatakan
ini sebagai syirik, bahkan termasuk dalam katagori usaha yang merupakan
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Nah, apabila telah kita
pastikan apabila menggunakan azimat tanpa ada i’tiqad azimat tersebut dapat
memberi pengaruh melindungi dirinya secara mandiri (ta’tsir) bukanlah syirik
yang diharamkan, lalu kenapa Rasulullah
SAW mengatakan penggunaan azimat merupakan perbuatan syirik sebagaimana dua
hadits di atas ? Menjawab pertanyaan ini marilah kita simak
keterangan-keterangan para beberapa ulama mu’tabar mengenai ini, sebagai
berikut :
a.
Qadhi ‘Iyadh mengatakan :
“Rasulullah SAW menamakannya sebagai
syirik, karena yang ma’ruf pada zaman beliau adalah ruqyah, azimat dan pelet yang dikenali pada zaman Jahiliyah,
yakni yang mengandung unsur-unsur syirik, atau mengambilnya sebagai penangkal
menunjukkan adanya i’tiqad memberi bekas
(ta’tsir) yang menyebabkan kepada syirik.”[6][6]
b.
Imam al-Thaiby mengatakan
:
“Karena orang Arab mengi’tiqad memberi
bekas dan mengqashad dengan ruqyah,
azimat dan pelet untuk menolak taqdir yang telah ditentukan untuknya, maka
mereka meminta terlindungi dari mara bahaya dari selain Allah Ta’ala, seperti
inilah i’tiqad orang-orang Jahiliyah. Karena itu, tidak masuk yang demikian itu
yang disebut dengan nama-nama Allah dan kalam-Nya dan tidak termasuk juga
orang-orang menggantungkannya dengan zikir karena mencari berkah serta meyakini
bahwa tidak ada yang dapat membuka semuanya kecuali Allah, maka ini tidak
mengapa.”[7][7]
c.
Ibnu Mulaqqan dalam
mengomentari hadits pertama di atas mengatakan :
“Maksudnya itu adalah ruqyah Jahiliyah
dan sihir yang sama dengannya berupa ruqyah yang tercela.”[8][8]
Selanjutnya Ibnu Mulaqqan mengutip
sebuah riwayat yang diriwayat oleh Ibnu Wahab dari Yunus bin Yazid dari Ibnu
Syihab dari seorang ahli ilmu, berbunyi :
أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ
الرُّقَى حِتى قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَكَانَتِ الرُّقَى فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ
فِيهَا كَثِيرٌ مِنْ كَلَامِ الشِّرْكِ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ لُدِغَ
رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ كَانَ آلُ حَزْمٍ
يَرْقُونَ مِنَ الْحُمَةِ فَلَمَّا نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى تَرَكُوهَا فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْعُوا لِي عُمَارَةَ وَكَانَ
قَدْ شَهِدَ فَقَالَ اعْرِضْ عَلَيَّ رُقْيَتَكَ فَعَرَضَهَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرَ
بِهَا بَأْسًا وَأَذِنَ لَهُمْ بِهَا
Artinya : Sesungguhnya mereka mengatakan, bahwa Rasulullah SAW telah
melarang ruqyah sehingga tiba di Madinah, pada ketika itu, ruqyah banyak
terdiri dari kalam syirik. Tatkala salah
seorang sahabat Nabi disengat binaang berbisa, mereka mengatakan kepada Rasulullah,
“Ya Rasulullah, orang-orang Hazam terbiasa melakukan ruqyah karena sakit panas,
tetapi manakala engkau melarangnya, merekapun meninggalkannya. Rasulullah SAW
berkata, “Panggillah ‘Umarah kepadaku.”(Umarah ini pernah ikut perang Badar),
kemudian Rasulullah berkata kepada Umarah, “Nampakkanlah ruqyahmu kepadaku!”,
Kemudian Umarahpun memperlihatkannya, lalu Rasulullah SAW tidak melihat ada
masalah dengan ruqyah tersebut, maka beliau mengizinkan mereka menggunakan
ruqyah tersebut.(H.R. Ibnu Wahab)[9][9]
Berdasarkan keterangan-keterangan di
atas, dapat dipahami bahwa ruqyah dan azimat yang dihukum tercela dan syirik
penggunaannya dalam hadits-hadits di atas dan yang tersebut dalam hadits-hadits
lain yang tidak kami sebut di sini adalah ruqyah dan azimat yang mengandung
unsur-unsur syirik di dalamnya atau ada i’tiqad ta’tsir (memberi bekas) pada
selain Allah Ta’ala sebagaimana yang lazim terjadi pada zaman awal kemunculan
Islam (zaman Jahiliyah). Sehingga dengan keterangan ini pula dapat dipahami
kalau Rasulullah dalam banyak riwayat pernah melakukan ruqyah dan
menganjurkannya sebagaimana hadits-hadits yang akan kami kemukakan sesudah ini.
Hadits-hadits yang membolehkan menggunakan
ruqyah selama tidak ada unsur syirik
1. Dari Aisyah
r.a, beliau mengatakan :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى الْإِنْسَانُ الشَّيْءَ مِنْهُ، أَوْ
كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جُرْحٌ، قَالَ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا، وَوَضَعَ سُفْيَانُ سَبَّابَتَهُ بِالْأَرْضِ،
ثُمَّ رَفَعَهَا بِاسْمِ اللهِ، تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيقَةِ بَعْضِنَا،
لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
Artinya : Apabila
ada orang-orang mengadu hal kepada Rasulullah SAW atau beliau mengalami
penyakit kudis atau luka, maka beliau menjampinya dengan ucapan :
بِاسْمِ اللهِ، تُرْبَةُ أَرْضِنَا،
بِرِيقَةِ بَعْضِنَا، لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
sambil menggunakan telunjuk beliau seperti ini.
Sufyan (perawi hadits ini) meletakkan telunjuknya di atas tanah, kemudian
mengangkatnya. (H.R. Muslim)[11][11]
2.
Hadits Utsman
bin Abi al-‘Ash al-Tsaqafi berbunyi :
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي
الْعَاصِ الثَّقَفِيِّ، أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَجَعًا يَجِدُهُ فِي جَسَدِهِ مُنْذُ أَسْلَمَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ
جَسَدِكَ، وَقُلْ بِاسْمِ اللهِ ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللهِ
وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
Artinya : Dari Ustman bin Abi al-‘Ash
al-Tsaqafi, sesungguhnya beliau mengadukan kepada Rasulullah SAW tentang
penyakitnya yang didapati pada tubuhnya selama masuk Islam, lalu Rasulullah Saw
mengatakan kepadanya, “Letakkan tanganmu atas penyakit yang kamu derita di atas
badanmu dan katakanlah : “Bismillah tiga kali dan tujuh kali ucapan :
أَعُوذُ بِاللهِ
وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
3.
Dari ‘Auf bin
Malik al-Aysja’i, beliau berkata :
كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ
بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Artinya : Pada zaman Jahiliyah, kita selalu melakukan
ruqyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu ya
Rasulullah tentang hal itu. Rasulullah menjawab: “Coba tunjukkan azimatmu itu
padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung
kesyirikan. (H.R. Muslim)[13][13]
Dalam tiga hadist di atas dapat
disimpulkan bahwa ruqyah yang dibolehkan itu ada yang menggunakan benda sebagai
simbolik (tafa-ul), pada hadits pertama dengan menggunakan tanah, sedangkan
hadits kedua menggunakan tangan. Ruqyah ada juga tanpa menggunakan simbol
apa-apa, tetapi hanya dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an tertentu seperti riwayat Abu Said Al-Khudri r.a
berbunyi :
أن ناسا من أصحاب رسول الله صلى الله
عليه و سلم كانوا في سفر فمروا بحي من أحياء العرب فاستضافوهم فلم يضيفوهم فقالوا
لهم هل فيكم راق ؟ فإن سيد الحي لديغ أو مصاب فقال رجل منهم نعم فأتاه فرقاه
بفاتحة الكتاب فبرأ الرجل فأعطي قطيعا من غنم فأبى أن يقبلها وقال حتى أذكر ذلك
للنبي صلى الله عليه و سلم فأتى النبي صلى الله عليه و سلم فذكر ذلك له فقال يا
رسول الله والله ما رقيت إلا بفاتحة الكتاب فتبسم وقال وما أدراك أنها رقية ؟ ثم
قال خذوا منهم واضربوا لي بسهم معكم
Artinya : Bahwa beberapa orang di antara sahabat Rasulullah
SAW sedang berada dalam perjalanan melewati salah satu dari perkampungan Arab.
Mereka berharap dapat menjadi tamu penduduk kampung tersebut. Namun ternyata
penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka. Tetapi ada yang menanyakan:
Apakah di antara kalian ada yang dapat menjampi? Karena kepala kampung terkena
sengatan atau terluka. Seorang dari para sahabat itu menjawab: Ya, ada. Orang
itu lalu mendatangi kepala kampung dan menjampinya dengan surat Al-Fatihah.
Ternyata kepala kampung itu sembuh dan diberikanlah kepadanya beberapa ekor
kambing. Sahabat itu menolak untuk menerimanya dan berkata: Aku akan
menanyakannya dahulu kepada kepada Nabi SAW. Dia pun pulang menemui Nabi SAW dan
menuturkan peristiwa tersebut. Dia berkata: Ya Rasulullah! Demi Allah, aku
hanya menjampi dengan surat Al-Fatihah. Mendengar penuturan itu: Rasulullah SAW
tersenyum dan bersabda: Tahukah engkau bahwa Al-Fatihah itu merupakan jampi? Kemudian beliau melanjutkan:
Ambillah imbalan dari mereka dan sisihkan bagianku bersama kalian. (H.R.
Muslim) [14][14]
Imam Nawawi mengatakan hadits ini
menerangkan bahwa al-Fatihah dapat menjadi ruqyah. Oleh karena itu mustahab
(dianjurkan) dibaca atas orang yang kena sengatan binatang dan orang sakit.[15][15]
Azimat
merupakan ruqyah dengan menggunakan simbol-simbol (tafa-ul)
Azimat dengan membaca dan menulis
ayat-ayat al-Qur’an tertentu atau zikir-zikir tertentu pada suatu benda, lalu
digantung pada tubuh seseorang dengan harapan menjadi berkah dan terlindungi
dari penyakit dengan izin Allah Ta’ala merupakan ruqyah yang dibenarkan dalam
agama. Hal itu, karena ia merupakan ruqyah dengan menggunakan simbol-simbol
(tafa-ul). Sebaliknya, apabila yg ditulis mengandung unsur-unsur syirik, maka
itu adalah azimat yang diharamkan agama.
Berikut ini keterangan syara’ yang
membolehkan menggunakan suatu benda untuk mengambil berkah (tabarruk),
antara lain :
1.
Nabi SAW
memberkati dengan air yang telah disentuhnya. Imam Bukhari meriwayatkan hadits
sebagai berikut :
َقَالَ أَبُو مُوسَى دَعَا النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ فِيهِ مَاءٌ فَغَسَلَ يَدَيْهِ
وَوَجْهَهُ فِيهِ وَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهُمَا اشْرَبَا مِنْهُ وَأَفْرِغَا
عَلَى وُجُوهِكُمَا وَنُحُورِكُمَا
Artinya :
Berkata Abu Musa : “Nabi
Muhammad SAW meminta semangkok air, lalu beliau mencuci kedua tangannya dan
membasuh wajahnya di dalamnya, dan mengeluarkan air dari mulutnya, kemudian
bersabda kepada mereka berdua (dua orang sahabat yang ada di sisi beliau,
“Minumlah dari air itu dan semburlah pada wajah dan lehermu”.(H.R. Bukahri) [16][16]
2.
Tabarruk
Nabi Ya’kub a.s. dengan baju qamis anaknya, Nabi Yusuf untuk kesembuhan
matanya, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya, Q.S. Yusuf : 93
اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى
وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya : Pergilah
kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku,
nanti ia akan melihat kembali dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku (Q.S.
Yusuf : 93)
Mata Nabi Ya’kub sembuh seketika pada saat wajah beliau
menyentuh qamis Nabi Yusuf , sebagaimana kisah selanjutnya dalam firman Allah :
فَلَمَّا أَنْ جَاءَ
الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا قَالَ أَلَمْ أَقُلْ
لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ.
Artinya : Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka
diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya'qub, lalu kembalilah dia dapat
melihat. Berkata Ya'qub: "Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku
mengetahui tentang Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya. (Q.S. Yusuf :
96)
3.
Mengharap
barakah dengan keringat Rasululah SAW, sebagaimana kisah dalam hadits di bawah
ini :
عن أنس بن مالك قال
كان
النبي صلى الله عليه و سلم يدخل بيت أم سليم فينام على فراشها وليست فيه قال فجاء
ذات يوم فنام على فراشها فأتيت فقيل لها هذا النبي صلى الله عليه و سلم نام في
بيتك على فراشك قال فجاءت وقد عرق واستنقع عرقه على قطعة أديم على الفراش ففتحت
عتيدتها فجعلت تنشف ذلك العرق فتعصره في قواريرها ففزع النبي صلى الله عليه و سلم
فقال ما تصنعين ؟ يا أم سليم فقالت يا رسول الله نرجو بركته لصبياننا قال أصبت
Artinya
: Dari Anas bin Malik, Nabi SAW biasa memasuki rumah Ummu Sulaim dan tidur di
atas kasurnya sedangkan Ummu Sulaim sedang pergi. Anas berkata: “Pada suatu
hari Rasulullah SAW datang dan tidur di atas kasur Ummu Sulaim, kemudian Ummu
Sulaim dipanggil dan dikatakan padanya: Ini adalah Nabi SAW tidur di rumahmu
dan di atas kasurmu. Anas berkata : Ummu Sulaim datang dan Nabi sedang
berkeringat, lalu keringatnya tersebut dikumpulkan di atas sepotong kulit yang
ada di atas tikar. Kemudian Ummu Sulaim membuka talinya dan mulai meyerap
keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam botol, maka Nabi kaget dan berkata:
Apa yang kamu lakukan Ummu Sulaim ? Ummu Sulaim berkata: Wahai Rasulullah kami
mengharapkan berkahnya bagi anak-anak kami” Beliau berkata: Engkau benar (H.R.
Muslim) [17][17]
4.
Tabarruk
Asmaa binti Abu Bakar dengan jubah (baju) yang pernah digunakan oleh Rasulullah
SAW dengan harapan kesembuhan dari penyakit, sebagaimana disebutkan riwayatnya
dalam Shahih Muslim, yakni :
فَقَالَتْ هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا
قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَلْبَسُهَا
فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا
Artinya : Berkata Asma binti Abu Bakar r.a
jubah itu disimpan di tempat 'Aisyah r.a
hingga beliau wafat, lalu aku mengambilnya. Nabi SAW biasa mengenakannya
dan kami mencucinya untuk mengobati orang sakit.(H.R. Muslim) .[18][18]
5.
Tabarruk Nabi
SAW dengan benda yang bersentuhan dengan tangan orang muslimin. Thabrany meriwayatkan dari Ibnu
Umar, beliau berkata :
قلت يا رسول
الله الوضوء من جر جديد مخمر أحب إليك أم من المطاهر ؟ قال لا بل من المطاهر إن
دين الله يسر الحنيفية السمحة قال وكان رسول الله صلى الله عليه و سلم يبعث إلى
المطاهر فيؤتى بالماء فيشربه يرجو بركة أيدي المسلمين.
Artinya : Aku mengatakan, Ya Rasulullah,
Apakah berwudhu’ dengan bejana baru yang tertutup ataukah tempat bersuci ?
Rasulullah menjawab : “tidak”, tetapi dengan tempat bersuci saja, karena agama
Allah itu mudah, lembut dan toleran. Ibnu Umar berkata : “Rasulullah bangkit
menuju tempat bersuci mendatangi air dan beliau meminumnya mengharapkan berkah
tangan-tangan kaum muslimin.(Hadits ini diriwayat oleh Thabrany dalam
al-Ausath dengan perawinya terpercaya)[19][19]
Orang muslimin di
sini, tentunya secara mudah dapat dipahami bahwa mereka adalah orang-orang yang
shaleh. Hadits yang menerangkan ada keberkahan pada orang shaleh juga dapat
dipahami dari riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata :
أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال البركة مع أكابركم
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda :
“Keberkahan itu ada pada orang yang mempunyai kelebihan diantara kamu”(H.R.
Ibnu Hibban)[20][20]
6.
Tabarruk Bani Israil dengan benda yang bersentuhan dengan
kitab suci, yaitu tabut yang menjadi tempat menyimpan kitab Taurat,
sebagaimana disebut dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah : 248,
وَقَالَ لَهُمْ
نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ
مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ
الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka:
"Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu,
di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga
Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.(Q.S.
al-Baqarah : 248)
Al-Baidhawy berkata :
“Apabila berperang,
Musa a.s. membawa tabut, maka jiwa orang Bani Israil menjadi tenteram dan tidak
akan lari dari peperangan”.[21][21]
Imam Syafi’i pernah
bertabarruk dengan baju yang pernah dipakai oleh Ahmad bin Hanbal, sebagaimana
kisah riwayat al-Baihaqi yang disebut dalam kitab al-Bidayah wal-Nihayah karya
Ibnu Katsir, yakni :
وروى البيهقي عن الربيع قال بعثني
الشافعي بكتاب من مصر إلى أحمد بن حنبل، فأتيته وقد انتفل من صلاة الفجر فدفعت
إليه الكتاب فقال أقرأته ؟ فقلت : لا ! فأخذه
فقرأه فدمعت عيناه، فقلت: يا أبا عبد الله وما فيه ؟ فقال: يذكر أنه رأى رسول الله صلى
الله عليه وسلم في المنام فقال: اكتب إلى أبي عبد الله أحمد بن حنبل وأقرأ عليه
مني السلام وقل له: إنك ستمتحن وتدعى إلى القول بخلق القرآن فلا تجبهم، يرفع الله
لك علما إلى يوم القيامة. قال الربيع: فقلت حلاوة البشارة،
فخلع قميصه الذي يلي جلده فأعطانيه، فلما رجعت إلى الشافعي أخبرته قال: إني لست
أفجعك فيه، ولكن بله بالماء وأعطينيه حتى أتبرك به.
“Diriwayat oleh al-Baihaqi dari al-Rabi’, beliau berkata : Imam Syafi’i memerintahkanku agar membawakan surat dari Mesir menemui
Imam Ahmad ibn Hanbal. Setelah beliau selesai menunaikan shalat sunat fajar,
aku menemuinya dan menyerahkan surat
tersebut, beliau berkata : “Apakah kamu sudah membacanya ?”. Tidak !
jawabku. Ahmad bin Hanbal mengambil dan
membacanya, lalu beliau meneteskan air mata. Aku bertanya : Ya Abu Abdullah,
ada apa di dalamnya? Ahmad menjawab Syafi’i menyebut bahwa beliau melihat Nabi
dalam mimpi dan berkata kepadanya, Tulislah surat kepada Abu Abdillah Ahmad ibn
Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya! Dan katakan, Engkau akan diuji dan
dipaksa mengatakan bahwa Alquran itu makhluq, maka jangan engka turuti
permintaan mereka, Allah akan meninggikan derajatmu sebagai panutan di setiap
masa hingga hari kiamat. Al-Rabi berkata, Aku berkata, Ini kabar gembira. Lalu
Ahmad melepas baju dalamnya yang menyentuh badannya dan menyerahkannya
kepadaku. Setelah sampai kembali kepada Syafi’i, aku beritakanlah semuanya kepada beliau. Syafi’i berkata kepadaku,” Aku tidak ingin menyakitimu perihal itu
(merampasnya darimu), tapi basahilah dia dan serahkan kepadaku sisa air
cuciannya agar aku mendapat berkah dengannya.”(Riwayat al-Baihaqi)[22][22]
Haram azimat dengan tulisan-tulisan yang tidak diketahui
maknanya karena dikuatirkan ada unsur syirik
Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW,
antara lain :
1.
Hadits berbunyi
:
أَنَّهُمْ كَانُوا
يَقُولُونَ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الرُّقَى حِتى قَدِمَ
الْمَدِينَةَ وَكَانَتِ الرُّقَى فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ فِيهَا كَثِيرٌ مِنْ
كَلَامِ الشِّرْكِ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ لُدِغَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ كَانَ آلُ حَزْمٍ يَرْقُونَ مِنَ الْحُمَةِ
فَلَمَّا نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى تَرَكُوهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْعُوا لِي عُمَارَةَ وَكَانَ قَدْ شَهِدَ فَقَالَ
اعْرِضْ عَلَيَّ رُقْيَتَكَ فَعَرَضَهَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرَ بِهَا بَأْسًا
وَأَذِنَ لَهُمْ بِهَا
Artinya : Sesungguhnya mereka mengatakan, bahwa Rasulullah SAW telah
melarang ruqyah sehingga tiba di Madinah, pada ketika itu, ruqyah banyak
terdiri dari kalam syirik. Tatkala salah
seorang sahabat Nabi disengat binaang berbisa, mereka mengatakan kepada
Rasulullah, “Ya Rasulullah, orang-orang Hazam terbiasa melakukan ruqyah karena
sakit panas, tetapi manakala engkau melarangnya, merekapun meninggalkannya.
Rasulullah SAW berkata, “Panggillah ‘Umarah kepadaku.”(Umarah ini pernah ikut
perang Badar), kemudian Rasulullah berkata kepada Umarah, “Nampakkanlah
ruqyahmu kepadaku!”, Kemudian Umarahpun memperlihatkannya, lalu Rasulullah SAW
tidak melihat ada masalah dengan ruqyah tersebut, maka beliau mengizinkan
mereka menggunakan ruqyah tersebut.(H.R. Ibnu Wahab)[23][23]
2.
Dari ‘Auf bin
Malik al-Aysja’i, beliau berkata :
كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ
بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Artinya : Pada zaman Jahiliyah, kita selalu melakukan
ruqyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu ya
Rasulullah tentang hal itu. Rasulullah menjawab: “Coba tunjukkan azimatmu itu
padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung
kesyirikan. (H.R. Muslim)[25][25]
[4][4] Ahmad bin
Hambal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. ْْXXVIII,
Hal. 623, No. hadits : 17404
[5][5] Ahmad bin
Hambal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. ْْXXVIII,
Hal. 637, No. hadits : 17422
[8][8] Ibnu Mulaqqan, al-Tauzhih
li Syarh al-Jami’ al-Shahih, Wazarah al-Auqaf al-Syu-un al-Islamiyah,
Qathar, Juz. XXVII, Hal. 492
[9][9] Ibnu Mulaqqan, al-Tauzhih li
Syarh al-Jami’ al-Shahih, Wazarah al-Auqaf al-Syu-un al-Islamiyah,
Qathar, Juz. XXVII, Hal. 492
[14][14] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. IV, Hal. 1727, No.
Hadits : 2201
[17][17] Imam
Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV,
Hal.1815-1816, No. Hadits : 2331
[20][20] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu
Hibban ma’a Hawasyi al-Arnauth Kamila, Maktabah Syamilah, Juz. XII,
Hal. 139
[23][23] Ibnu Mulaqqan, al-Tauzhih li
Syarh al-Jami’ al-Shahih, Wazarah al-Auqaf al-Syu-un al-Islamiyah,
Qathar, Juz. XXVII, Hal. 492
No comments:
Post a Comment