KOMNAS HAK ASASI MANUSIA
·
Landasan Hukum
Pada
awalnya, Komnas HAM didirikan dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993
tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999 keberadaan Komnas HAM
didasarkan pada Undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang
juga menetapkan keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotaan, asas, kelengkapan
serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Disamping
kewenangan tersebut, menurut UU No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga berwenang
melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan
dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2000 tantang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk
tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
Komnas
HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, mendapatkan tambahan kewenangan berupa Pengawasan.
Dimana Pengawasan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Komnas HAM
dengan maksud untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah
yang dilakukan secara berkala atau insidentil dengan cara memantau, mencari
fakta, menilai guna mencari dan menemukan ada tidaknya diskriminasi ras dan
etnis yang ditindaklanjuti dengan rekomendasi.
1.
Instumen
Acuan
Dalam melaksanakan fungsi, tugas,
dan wewenang guna mencapai tujuannya Komnas HAM menggunakan sebagai acuan
intrumen-instrumen yang berkaitan dengan HAM, baik nasional maupun
internasional.
2.
Instrumen
Nasional :
a.
UUD
1945 beserta amandemenya;
b.
Tap
MPR No. XVII/MPR/1998;
c.
UU
No. 39 Tahun 1999;
d.
UU
No. 26 Tahun 2000;
e.
UU
No. 40 Tahun 2008;
f. Peraturan
perundang-undangan nasional lainnya yang terkait.
a.
Piagam
PBB, 1945;
b.
Deklarasi
Universal HAM 1948;
c.
Instrumen
internasioanl lain mengenai HAM yang telah disahkan dan diterima oleh
Indonesia.
- Cakupan tugas
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus
mempersiapkan infrastruktur agar bisa menjalankan mandat yang diberikan RUU
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Selasa (28/10) kemarin, DPR menyetujui
RUU tersebut disahkan menjadi Undang-Undang. Pembentukan undang-undang yang
mengatur mengenai penghapusan diskriminasi ras dan etnis menjadi satu kegiatan
yang harus dilakukan, papar Murdaya Poo, Ketua Pansus RUU.
Terdiri dari sembilan bab dan 23 pasal, UU Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis masih menunggu tanda tangan Presiden untuk
diundangkan ke dalam Lembaran Negara. Senyampang menunggu proses pengesahan
rampung, mau tak mau Komnas HAM harus mempersiapkan berbagai hal agar wet ini
bisa dilaksanakan begitu sah berlaku. Mau tidak mau, Komnas HAM harus siap
karena UU ini lahir dari proses legislasi yang sah, ujar Ketua Komnas HAM,
Ifdhal Kasim.
Ifdhal tidak menduga pengesahan RUU Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis secepat itu karena selama ini jarang terdengar diperdebatkan di
ranah publik. Tetapi, tak ada alasan bagi Komnas untuk berdalih. Sebab, Komisi
yang dipimpin Ifdhal Kasim itu mendapat mandat mengawasi pelaksanaan
penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Mandat pengawasan itu dirumuskan secara
tegas pada pasal 8: Pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan
diskriminasi ras dan etnis dilakukan oleh Komnas HAM.
Berdasarkan mandat tersebut, ada lima cakupan tugas yang
harus dilakukan Komnas HAM. Pertama, memantau dan menilai kebijakan pemerintah,
pusat atau daerah, yang dinilai berpotensi menimbulkan diskriminasi ras dan
etnis. Kedua, mencari fakta dan penilaian kepada orang perseorangan, kelompok
masyarakat, atau lembaga publik atau swasta yang diduga melakukan tindakan
diskriminasi ras dan etnis. Ketiga, memberikan rekomendasi kepada pemerintah
atas hasil pemantauan dan penilaian terhadap tindakan yang mengandung
diskriminasi ras dan etnis. Keempat, memantau dan menilai pemerintah dan
masyarakat dalam penyelenggaraan penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
Terakhir, memberikan rekomendasi kepada DPR untuk melakukan pengawasan kepada
pemerintah yang tidak mengindahkan hasil temuan Komnas HAM.
Mandat yang diberikan kepada Komnas
diakui Ifdhal bukan pekerjaan gampang. Di satu sisi, Komnas harus terus menerus
memantau upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, termasuk yang dilakukan
oleh korporasi. Karena itu, Komnas kudu mempersiapkan infrastruktur baru.
Penjelasan pasal 8 UU Penghapusan Diskriminasi secara eksplisit menyuruh Komnas
HAM menyesuaikan struktur organisasinya.
Ke depan, Komnas HAM bukan saja
mengurusi dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan orang perseorangan, tetapi juga
oleh korporasi atau perusahaan swasta. Misalnya, perusahaan swasta yang menolak
menerima pegawai hanya karena pertimbangan etnis tertentu. Hasil kajian Komnas
bukan sangat mungkin menjadi dasar bagi orang perorangan atau kelompok masyarakat
mengajukan gugatan ganti rugi atas diskriminasi ras dan etnis yang mereka
alami.
Di sisi
lain, masih ada pertanyaan tentang korelasi kerja Komnas dengan lembaga lain
seperti Direktorat Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia (Ditjen Perlindungan
HAM) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Koordinasi antar kedua lembaga
akan menentukan efektif tidaknya pengawasan itu kelak.
Kendala
yg dialami komnas ham adalah:
a.
kendala
internal : Keterbatasan
sdm,guna mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas komnas ham.
b.
kendala
eksternal : Kurangnya
dukungan dari pemerintah dan atau pihak lain dalam menanggapi rekomendasi
komnas ham.
·
Landasan
Hukum
a.
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia,
disingkat KPAI, adalah lembaga independen
Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan
perlindungan anak. Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003 dan 95/M/2004
merupakan dasar hukum pembentukan lembaga ini.
b.
Anggota
KPAI pusat terdiri dari 9 orang berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1
sekretaris, dan 5 anggota. Susunan Kepengurusan KPAI saat ini adalah :
Ketua : Dr. HM. Asrorun Ni'am Sholeh, MA., Wakil Ketua : Dr. Budiharjo,
Bsc, M. Si., Wakil Ketua Maria Advianti, SP., Sekretaris Erlinda, M.Pd.,
Anggota Dra.Maria Ulfah Anshor, M. Si., Susanto, MA., DR. Titik Haryati, M.Pd.,
Putu Elvina, S. Psi., Rita Pranawati, MA
·
Cakupan
Tugas
a.
Melakukan
sosialisasi dan advokasi tentang peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak.
b. Menerima
pengaduan dan memfasilitasi pelayanan masyarakat terhadap
kasus-kasus pelanggaran hak anak kepada pihak-pihak yang berwenang.
c. Melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah, dan kondisi
pendukung lainnya baik di bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama
d.
Menyampaikan
dan memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada berbagai
pihak tertuama Presiden, DPR, Instansi pemerintah terkait ditingkat pusat
dan daerah
e. Mengumpulkan
data dan informasi tentang masalah perlindungan anak
f. Melakukan
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan tentang perlindungan anak termasuk laporan
untuk Komita Hak Anak PBB (Committee on the Rights of the Child) di Geneva,
Swiss.
g. Melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak di
Indonesia.
·
Kendala
yang Dihadapi
Banyak kendala yang
kami hadapi. Pertama, hal ini karena ketidaksiapan masyarakat,
ketidaksiapan keluarga, dan ketidaksiapan korban. Kedua, kendala
dari penegakan hukum. Dalam pendekatan hukum, memerlukan dua alat bukti, antara
lain saksi dan visum. Sementara banyak kasus perkosaan yang baru dilaporkan dua
bulan setelah kejadian, sehingga menyulitkan proses visum sebagai salah satu
alat bukti. Masyarakat masih menganggap pelaporan (peristiwa kekerasan seksual)
itu aib, padahal harus diperjuangkan.
Itu kendala-kendala
yang dihadapi, sehingga penegak hukum tidak memproses karena tidak ditemukannya
dua alat bukti. Kendala berikutnya pada penegakan hukum, bisa saja hakim
membebaskan para pelaku kejahatan itu karena tidak cukup bukti (seperti kurang
kuatnya hasil visum karena sudah berlalu lama). Ada pula yang masih
mempersepsikan anak korban seksual itu adalah urusan domestik sehingga
putusan-putasan hakim tidak mencerminkan keadilan bagi korban.
Contoh Kasus Pelanggaran HAM
di Sekolah
- Guru
membeda-bedakan siswanya di sekolah berdasarkan dari kekayaan, kepintaran,
dan perilakunya.
- Siswa
mengejek, menghina atau membuli siswa lain
- Siswa
memalak atau menganiaya siswa lain
- Siswa
melakukan tawuran pelajar ke teman sekolahnya ataupun dengan siswa sekolah
lain
- Guru
memberikan sanksi/hukuman ke siswanya secara fisik seperti menendang, mencubit,
memukul.
No comments:
Post a Comment