Penulis :
Prof.Dr.H.M. Amin syukur, MA
Buku ini terbagi menjadi 5 bagian, yaitu:
Bagian
Pertama: Mengenal Tasawuf
1. Belajar Tasawuf
Tasawuf
adalah suatu bidang ilmu keislaman dengan berbagai pembagian di dalamnya,
yaitu tasawuf akhlaqi, tasawuf amali, dan tasawuf
falsafi. Tasawuf akhlaqi berupa ajaran mengenai moral /
akhlak yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh
kebahagiaan yang optimal. Ajaran yang terdapat dalam tasawuf ini meliputi takhalli,
yaitu penyucian diri dari sifat-sifat tercela; tahalli, yaitu
menghiasi dan membiasakan diri dengan sifat perbuatan terpuji; dantajalli,
yaitu tersingkapnya Nur Ilahi (Cahaya Tuhan) seiring dengan
sirnanya sifat-sifat kemanusiaan pada diri manusia setelah tahapan takhalli dan tahalli dilalui.
Tasawuf amali berupa
tuntunan praktis tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada
Allah. Tasawuf amali ini identik dengan Tarekat
sehinggga bagi mereka yang masuk tarekat akan memperoleh bimbingan semacam
itu. Sementaratasawuf falsafi berupa kajian tasawuf yang
dilakukan secara mendalam dengan tinjauan filosofis denagn segala aspek yang
terkait di dalamnya.
Dari
ketiga bagian tasawuf tersebut, secara esensial semua bermuara pada penghayatan
terhadap ibadah murni (madhlah) untuk mewujudkan akhlak al karimah baik
secara individual maupun sosial.
2. Tarekat dan Baiat
Baiat
berarti janji setia untuk melaksanakan suatu ajaran, dalam hal ini ajaran
tarekat tertentu, baik dari segi akidah , akhlak, maupun wirid. Biasanya
didahului dengan membaca ayat Al-Qur’an, Surat Al-Fath (48):10. Janji atau
baiat ini ada sebagian ulama tarekat yang membedakan tiga macam, yakni:bai’at
lil barakah (mencari berkah), bai’at husnudh dhan(berbaik
sangka dalam arti barangkali nanti bisa mengamalkannya), dan bai’at
littarbiyyah (untuk pendidikan diri).
3. Antara Zuhud, Sufi, dan
Qana’ah
Sufi
adalah istilah bagi orang yang melakukan perjalanan spiritual untuk mendekatkan
diri kepada Allah. sedangkan zuhud dan qana’ah, dalam istilah tasawuf berarti
jalan spiritual atau tahapan-tahapan spiritual (maqama) yang harus dilalui
seorang sufi.
Zuhud
artinya sikap menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia.
Seseorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu atau hatinya
tidak terikat hal-hal yang bersifat duniawi dan tidak menjadikannya sebagai
tujuan.
Adapun
qana’ah adalah kepuasan jiwa terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Jabir RA, Nabi bersabda,
“Qana’ah adalah harta yang tidak pernah sirna”.
Bagian Kedua: Mengenal Tuhan Lewat Tasawuf
1. Pendekatan Diri Kepada
AllahTidak sedikit orang mengatakan bahwa pada suatu hari dirinya merasa mantap
dan khusyu’ dalam beribadah dan di lain kesempatan ia merasa resah dan tidak
dapat berkonsentrasi dalam beribadah. Perasaan selalu dekat dengan dzat yang
Maha Suci yaitu Allah, dalam Tasawuf dikenal dengan namamuraqabah, yaitu
perasaan dekat dengan Sang Pencipta. Muraqabah adalah suatu keadaan (ahwal)
atau suatu kondisi kejiwaan yang diperoleh seseorang karena karunia Allah
semata-mata. Artinya, tidak ada satu amalan tertentu yang dapat dilakukan oleh
seseorang dengan target tertentu untuk mendapatkan ahwal ini,
karena ahwal adalah hak prerogratif Allah.
Kondisi
kejiwaan selalu dekat dengan Allah yang melahirkan perasaan takut akan tetapi
sangat membahagiakan adalah dambaan setiap hamba beriman, karena tersebut
menjadikan seseorang merasa selalu diperhatikan, dilihat, dan dijaga. Hal ini
secara otomatis menjadikan seseorang menghindari dan menjaga diri dari sesuatu
yang dilarang Allah yang pada muaranya pada tidak sekedar berfikir tetapi juga
bertindak positif.
2. Penghayatan yang
Terlupakan
Bangsa
kita sedang dilanda krisis, tetapi yang paling parah adalah krisis akhlak.
Padahal, di negara kita mempunyai Pancasila dan 100% masyarakatnya mempunyai
agama. Apa yang salah? Yang salah adalah kurangnya penghayatan nilai-nilai
(sufistik) pada sebagian bangsa Indonesia ini. Sekarang dijumpai kemungkaran
dimana-mana, adalah merupakan bagian dari produk pendidikan Pancasila dan
pendidikan agama yang semakin gencar, namun jika pengamalannya tidak dibarengi
penghayatan sepenuh hati, akhirnya semua nilai-nilai tadi berlalu begitu saja,
tanpa meninggalkan bekas yang mendalam di hati pengamalnya.
Padahal
semua bentuk ibadah selalu memiliki pesan moral yang baik, misalnya berpuasa,
mengandung nilai moral berupa tolong-menolong, hormat-menghormati sesama manusia,
dan menghargai hak orang lain.
3. Iman Bertambah dan
Berkurang
Secara
bahasa kata iman bersal dari bahasa Arab, amana, yu’minu, imanan yang
mengandung arti percaya, aman, melindungi, setia, atau menempatkan
sesuatu pada tempat yang aman. Junaid al Baghdadi, seorang tokoh sufi modern
pernah mengatakan bahwa: “Yakin menghilangkan keraguan ketika yang
ghaib menjadi jelas”.
Yakin
merupakan suatu keadaan di mana hati tidak lagi terombang-ambing dan tidak pula
berubah-ubah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa yakin adalah iman, tetapi
iman belum tentu yakin. Sebab, iman sendiri dapat bertambah dan berkurang
sesuai amal shaleh yang dikerjakannya (al-imanu yazidu wa yanqushu).
Iman menjadi bertambah manakala frekuensi amal shalehnya semakin meningkat dan
sebaliknya, iman menjadi berkurang ketika amal shalehnya menurun.
Bagian
Ketiga: Pesan Moral Ibadah Formal
1. Ikhlas Beribadah
Secara
bahasa, ikhlas berasal dari bahasa Arab: khalasha,yakhlusu, khulusan, ikhlasan yang
berarti bersih, tiada bercampur, jujur, tulus, membersihkan sesuatu hingga
menjadi bersih. Sedangkan secara istilah, ikhlas memiliki bermacam-macam arti.
Menurut Imam al-Qusyairi, ikhlas berarti menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan. Sedangkan Syekh Abu ali ad-Daqqaq, ikhlas adalah mensucikan
amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk, apakah itu sifat
memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia. Sebab, jika tujuan
peribadatan sudah tercampur oleh pengaruh lain, baik yang berupa riya’ (pamer),
sombong, dan lain-lain yang merupakan godaan hati, maka amalan-amalan yang
semacam itu tentu sudah keluar dari pengertian ikhlas.
Dalam
perspektif sufistik, ikhlas di samping sebagai suatu maqam (station) yang perlu
dilalui seseorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga merupakan
syarat sahnya suatu ibadah. Jika amal perbuatan diibaratkan sebagai jasmani,
maka ikhlas adalah roh atau jiwanya.
Hadist
Nabi yang dijadikan landasan tentang niat yang ikhlas adalah hadist riwayat
Bukhari: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat, sungguh
bagi seseorang melakukan perbuatan menurut niatnya. Barangsiapa hijrah karena
Allah dan RasulNya, maka ia berhijrah kepada Allah dan RasulNya, dan
barangsiapa hijrahnya kepada dunia ia akan memperolehnya, atau kepada perempuan
yang ia nikahi, maka hijrahnya adalah kepada yang diniatkannya itu” (HR
Bukhari).
2. Filosofi Shalat
Kita
mulai shalat dengan takbiratul ihram; adalah takdir yang dibaca
setiap awal shalat yang apabila lafal takbir ini dibaca berarti kita telah
mengharamkan setiap pekerjaan dan kegiatan yang horisontal dengan urusan
duniawi. Artinya, saat seseorang mengucapkan takbir Allah-u akbar,
berarti kita telah menyatakan diri dalam posisi menghadap Tuhan atau kita dalam
posisi hidup vertikal.
Dalam
khazanah kaum sufi dikatakan “Shalat itu bagaikan mati dalam hidup.” Artinya,
dalam shalat saat itu harus tidak ada lagi dimensi horisontal sesama manusia,
yang ada hanyalah dimensi vertikal antara seseorang dengan Allah.
Kesadaran ini kita kondisikan dengan membaca doa iftitah(pembukaan)
yaitu, Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara al-samawati wa al ardli,
dan seterusnya. ”Sesungguhnya aku sedang mengadapkan wajahku kepada Dia yang
menciptakan langit dan bumi.” Kemudian disusul dengan ikrar Inna
shalati….dan seterusnya. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan
matiku untuk Allah, Tuhan Pemelihara Alam Semesta.”
Semua
bacaan dan tindakan dalam shalat memang dirancang untuk menegaskan kesadaran
lebih tinggi bahwa kita dalam situasi menghadap Tuhan. Maka dengan sendirinya
maka shalat itu harus penuh konsentrasi (khusyu’). Dan dari segi
tinjauan tasawuf, shalat yang tidak khusyu’ tidak ada gunanya.
Rangkaian
shalat kemudian diakhiri dengan salam. Salam adalah lambang pembukaan kembali
dimensi horisontal hidup kita. Ucapan salam dalam shalat kita pertegas dengan
menengok ke kanan dan ke kiri. Ini adalah simbolisme yang tafsirannya kurang
lebih adalah kalau kita mengaku pernah memiliki hubungan baik dengan Allah
dalam shalat, maka kita diminta untuk memastikan hubungan baik kita itu dengan
sesama manusia.
Bagian
Keempat: Mengembangkan Kecerdasan Emosional dan Spiritual
1. Sabar Menghadapi Fitnah
Bersabar
dan berdoa agar orang yang memfitnah diberi kesadaran adalah langkah yang
tepat. Sabar terhadap ujian termasuk di dalamnya mendapat fitnah orang lain
mengandung sikap ikhlas.jika tidak bersabar, ada dua kerugian yang akan
didapatkan: (1) Luput dari pahala bersabar. (2) Mendapat dosa dari
ketidakikhlasan mendapat ujian dari Allah SWT untuk bersabar.
Dalam
kasus ini kita berhasil mengenyahkan tindakan balas dendam lalu menggantinya
dengan ikhlas dan tawakal serta mendoakan orang yang memfitnah. Atau dengan
kata lain, kita telah sampai pada tingkatan ihsan, merasakan
kehadiran Allah SWT seakan-akan melihatnya atau setidaknya betul-betul
menyadari bahwa Dia melihat kita. Orang yang telah dianugerahi tingkatan tajalli atau ihsan ini
umumnya juga mendapat anugerah sejumlah situasi batin (ahwal) seperti
ketenangan batin yang luar biasa dan kerelaan hati.
Hanya
saja, tetap perlu disadari kualitas tajalli dan ihsantersebut
tidak terbatas. Artinya kualitasnya akan bergantung pada seberapa besar
kemampuan seseorang mengenyahkan sikap negatif dan mengisinya denagn sikap positif
serta seberapa sering dia mampu melakukan itu.
Dalam
Islam harus ada keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi, dalam Islam prinsip
keseimbangan merupakan suatu keharusan sebagaimana tergambar dalam perintah
Allah SWT (Q.S al Qashash (28):77): “Carilah apa saja yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (berbagai upaya) untuk bekal akhirat nanti, namun
janganlah kamu lupakan nasibmu di dunia….” Prinsip keseimbangan inilah
yang dikenal dengan bahasa al-Quran sebagai “adil” sebagaimana tertuang dalam
perintah Allah QS al-Nahl (16): 90, juga QS al-Maidah (5):8, “Adil” inilah
syarat adanya keseimbangan di samping “keselarasan”. Ditandai adanya kepuasan
batin (ridha) dari pihak duniawi dan ukhrawi.
3. Mengelola Rasa Marah
Rasa
marah adalah bagian dari hawa nafsu (nafsu rendah) (QS. Yusuf /2: 53), sehingga
rasa marah juga tidak harus dihilangkan sama sekali dari diri manusia, karena
rasa marah ini pun kalau diatur dengan baik akan membawa pada kebaikan.
Contohnya adalah marah ketika melihat kemungkaran. Ketika itu marah sangat
dibutuhkan untuk menentang dan melawannya agar tidak menimbulkan kerusakan di
masyarakat (amar ma’ruf nahi munkar).
Marah
merupakan salah satu kelengkapan hidup manusia, sebab marah kadang-kadang
mengandung manfaat jika dilakukan dengan proporsional. Yang tidak diperbolehkan
adalah sikap pemarah. “Man ustughdliba wa lam yadhglab fahuwa himar”
(Barangsiapa yang seharusnya marah namun dia tidak marah, maka dia adalah
keledai). Agama Islam telah mengatur bagaimana memenej nafsu, termasuk rasa
marah agar tidak liar, dapat terkendali, dan menjadi nafsu muthma’innah (QS.
al-Fajr/89: 27-28).
Cara
memenej rasa marah tersebut salah satunya dengan berpuasa (tidak makan dan
tidak minum). Puasa yang mengakibatkan lemahnya kondisi fisik manusia ini,
merupakan cara yang sangat efektif untuk menurunkan gejolak hawa nafsu.
Langkah-langkah di bawah ini adalah bagian dari upaya mengendalikan rasa marah
yang cenderung merusak:
a. Apabila muncul rasa
marah, maka hendaknya seseorang berwudlu. Ibarat api, marah akan padam jika
disiram dengan air.
b. Jika masih tetap marah,
maka disarankan mandi.
c. Merubah posisi. Jika
marah dalam posisi berdiri, maka hendaknya seseorang segera duduk. Kalau dengan
duduk masih marah, hendaknya berbaring dan tidur, sampai reda marahnya.
Bagian
Kelima: Zikir dan Do’a, Komunikasi Spiritual dengan Tuhan
1. Dzikir Khafi
Dzikir
Khafi adalah samar atau dzikir rahasia (sirr), atau denagn dzikir hati (qalbi).
Dzikir artinya ingat, ingat itu bisa secara lisan maupun secara batin (hati).
Dzikir lisan diharapkan bisa menuntun dzikir hati. Apabila seseorang sudah bisa
dzikir hati berarti bisa melakukan sikap dzikir, artinya setipa saat dia selalu
ingat kepada-Nya. Kemudian yang terakhir dzikir perbuatan (af’al)
artinya dzikir tadi tidak hanya bersifat pasif tetapi juga aktif, yakni
diwujudkan dalam perbuatan sehari-hari. Seperti menyantuni kaum dhuafa (lemah),
membantu perbaikan jalan umum, perbaikan tempat pendidikan, dll.
Dalam
pengertian dzikir ialah mengucapkan dan melakukan apa saja yang baik menurut
agama dan sosial setempat. Demikian juga, amal shalih tidak hanya berupa
shalat, zakat, dan haji tetapi juga mencakup semua perbuatan yang baik
(shalih), niatnya ikhlas karena Allah dan bertujuan mendapat ridhaNya.
2. Dzikir Sebagai Penenang
Jiwa
Jika
sedang resah dan gelisah dalam perjalanan atau dalam kondisi apapun, yang bisa
kita lakukan adalah dzikir (mengingat Allah). Allah berfirman: Ala
bidzikrillah tathmainnul qulub, yang artinya: “Bukankah dengan mengingat
Allah akan menenangkan hati”. Setelah berdoa dan menyerahkan diri kepada Allah
sebelum perjalana, selama perjalanan kita juga tidak lepas dari bermunajat
kepadaNya dengan selalu berdzikir.
Dzikir
dalam arti luas adalah tambahnya kesadaran bahwa Allah adalah sumber gerak,
sumber norma, sumber hidup, dan lain-lain. Sedangkan dalam arti sempit yaitu
mengucapkantasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.
3. Doa dan Munajat
Sebagaimana
firman Allah SWT QS. Ghafir/al-Mu’min (76): 60 “Dan Tuhan kalian telah
berfirman: Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan balasan kepada
kalian”. Ayat ini menganjurkan kepada umat manusia untuk memohon kepadaNya (du’a)
sebagai salah satu bentuk pengabdian kita kepadaNya (‘ibadah). Itulah
sebabnya dinyatakan pula al-du’a’ huwa al-‘ibadah (doa adalah
ibadah).
Inti
dari doa adalah ketergantungan kepada Allah SWT. Oleh karena itu salah satu
etika yang perlu ditunjukkan saat kita berdoa adalah menampakkan kebergantungan
kepada Allah SWT. Etika lainnya adalah hadirnya hati (sepenuh hati ataukhusyu’)
juga tawadlu’, sebagaimana tertuang dalam QS. al-A’rat (7):55
“Berdoalah kepada Tuhan kalian denagn berendah hati dan suara yang lembut.”
Hadirnya
hati dalam berdoa tentunya dapat dirasakan manakala kita memahami apa yang kita
mohonkan kepada Allah SWT. Bahasa tubuh dan bahasa lisan hanya menguatkan
bahasa hati kita. Dengan alasan ini, berdoa dengan bahasa kita mengerti lebih
baik daripada menggunakan bahasa lain termasuk bahasa Arab tetapi tidak
kita pahami dan mengerti apa isinya. Nabi saw bersabda: “Berdoalah kapada Allah
SWT dengan penuh keyakinan, ketahuilah bahwa Allah tidak akan menjawab doa dari
hati yang lali lagi tidak hadir”.
Munajat secara
konseptual memiliki makna tabdul al-asrar wa al-awathif (pertukaran
rahasia dan perasaan). Maksudnya adalah terjadinya dialog intensif antara
manusia dengan Tuhannya. Istilah ini juga sering diungkapkan dalam makna doa
juga, karena isi munajat tidak jauh beda dengan permohonan namun
pelaksanaanya lebih intensif. Munajatdalam konsep tasawuf identik
dengan taqarrub (mendekatkan diri dengan Allah) hanya
saja taqarrub seseorang berangkat dari keinginan berada
sedekat mungkin dengan Allah, sementara bermunajat berangkat dari keinginan memperoleh
sesuatu yang dimohonkan kepada Allah secara terus menerus.
Judul buku : Etos keilmuan islam ,menggali nalar saintifik
peradaban islam.
Penulis : Husein
Heriyanto
Dalam artikel ini Husein Heriyanto memaparkan terkait beberapa komponen penting yang menggerakan terjadinya
transformasi kebudayaan dan tumbuhnya peradaban Islam yaitu adanya kecintaan kepada kebenaran universal,
kemerdekaan berfikir, kosmopolitanisme, dan persamaan hak setiap manusia.
Semangat-semangat tersebut mengacu pada pandangan-dunia Tauhid.
1.
Pecinta kebenaran
Bagi
para ilmuwan muslim, mencari ilmu adalah ibadaah yang dasarnya dari teks
suci (Al Qur’an dan Hadis). Para filosof awal seperti Al Kindi, Al Farabi, Ibn
Sina memanifestasikan semangat kecintaan pada kebenaran melalui kebiasaannya
mencari guru ke tempat-tempat jauh. Ibn Sina yang berasal dari
Bukhara-Transoxiana, Persia berkelana jauh hingga Baghdad, Mesir, Palestina,
dan Suriah untuk menemui ratusan guru untuk mendapatkan banyak ilmu
pengetahuan. Bagi para sarjana muslim klasik, bepergian hingga ke India,
Cina, Yunani untuk mendapatkan manuskrip kuno, membayar mahal para penerjemah,
bahkan hingga mempelajari bahasa asli manuskrip kuno tersebut adalah hal yang
lumrah dilakukan. Kitab-kitab filsafat dan Ilmu pengetahuan banyak
diterjemahkan dari Yunani, ilmu kedokteran banyak diadopsi dari Persia, ilmu
astronomi banyak dipelajari sarjana muslim dari Suriah, ilmu matematika dari
India, dan ilmu kimia dari Cina.
2.
Kejujuran, Keterbukaan, dan Orisinalitas
Tradisi
Ilmu Hadis yang menyandarkan informasi dari sumber/referensi adalah salah satu
tradisi yang di wariskan oleh para ilmuan muslim klasik. Hunain Ibn Ishaq
seorang penerjemah Nasrani yang bekerja untuk proyek penerjemahan karya ilmu
kedokteran sangat berhati-hati menyebutkan sumber/referensi, dan membuat
kutipan dalam terjemahannya. Kejujuran dan kerendahan hati para ilmuan muslim
juga tampak dalam kebiasaan mereka untuk meminta maaf kepada para ilmuwan yang
menjadi referensi jika dalam pengutipan/penerjemahan tidak sesuai dengan maksud
dari penulisnya.
Orisinalitas juga sangat dijunjung tinggi oleh ilmuwan muslim.
Plagiator dan menyontek naskah orang lain merupakan kesalahan yang tak
termaafkan. Orisinalitas kreatif (ibtida’) lam berbagai tradisi ilmu pengetahuan
sangat dijunjung tinggi.
Keterbukaan
juga merupakan karakter etos keilmuan yang menjadi ciri dari ilmuwan muslim,
dimana mereka mampu melakukan apropriasi ilmu pengetahuan. Dimana umat Islam
mempelajari dan memahami warisan tradisi keilmuwan lain tanpa harus melebur ke
dalamnya, tetapi justru mampu memperkaya terhadap diri sendiri (agama, tradisi,
nilai, dan budaya).
3.
Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme
adalah semangat sarjana muslim untuk mengembangkan keilmuwan yang tidak
terbatas (baik pengembangan dan kemanfaatannya) bagi umat Islam sendiri. Hal
ini ditumbuhkan dengan menghormati pluralitas dan universalisme ilmu
pengetahuan. Berbagai warisan peradaban ilmu pengetahuan dunia dipelajari oleh
umat muslim yang melibatkan banyak guru dari luar islam. Ilmuwan muslim
mempelajari ilmu medis, matematika, astronomi dari Persia. Peradaban Yunani
melalui tradisi Hellenistik mewariskan filsafat, matematika, dan logika.
Sedangkan dari tradisi Sabean dan Harran yang ada di Suriah menyumbangkan
warisan astronomi. Begitupun dengan peradaban Kaldea, India, dan Cina
masing-masing menyumbangkan kepada Islam tradisi keilmuwan seperti astrologi,
matematika, dan kimia.
Kembali kepada pandangan-dunia Tauhid, Islam melalui Tauhidnya
menepiskan semangat untuk menekankan kesamaaan hak umat manusia dalam
pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Dalam fase sejarahnya, semangat
universalisme dan kosmopolitanisme Islam ini mampu mengantarkan proses kreatif
para ilmuan muslim sebagai perantara bagi kemajuan ilmu penegtahuan
selanjutnya, yakni ketika ilmu pengetahuan berkembang pesat di Barat.
4.
Kritisisme
Etos
sarjana muslim yang tidak kalah pentingnya adalah semangat kritisisme ilmuwan
muslim. Sikap ini berbarengan dengan kemampuan apropriasi sarjana muslim
sehingga mekera mampu melakukan kerja kreatif bagi pengembangan keilmuan.
No comments:
Post a Comment