Subscribe di sini

Wednesday, 22 April 2020

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN KULTURAL



BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Setiap bangsa di dunia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara senantiasa memiliki suatu pandangan hidup, filsafat hidup serta pegangan hidup agar tidak terombang-ambing dalam kancah pergaulan masyarakat internasional. Sehingga setiap bangsa memiliki ciri khas serta pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa lain. Negara komunisme dan liberalism meletakkan dasar filsafat negaranya pada suatu konsep ideologitertentu, misalnya komunisme mendasarkan ideologinya pada konsep pemikiran Karl Marx.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukanlah hanya merupakan suatu hasil konsep seseorang saja. Melainkan merupakan suatu hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara seperti Soekarno, M HattaM Yamin, Sepomo serta para tokoh pendiri negara lainnya.
Satu-satunya karya besar bangsa Indonesia yang sejajar dengan karya besar bangsa lain di dunia ini adalah hasil pemikiran tentang bangsa dan negara yang mendasarkan pandangan hidup suatu prinsip nilai yang tertuang dalam sila-sila Pancasila. Oleh karena itu para generasi penerus bangsa terutama dalam kalangan intelektual kampus sudah seharusnya untuk mendalami secara dinamis dalam arti mengembangkannya sesuai dengan tuntutan zaman. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dilestarikan / dikembangkan dengan jalur mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara formal maupun informal.
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis selalu bertolak dari sejumlah landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan pendidikan tersebut adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk mnjemput masa depan.
Pada awal perkembangannya, suatu kebudayaan terbentuk berkat kemampuan manusia mengatasi kehidupan alamiahnya dan kesengajaan manusia menciptakan lingkungan yang cocok bagi kehidupannya. Setiap individu yang lahir selalu memasuki lingkungan kebudayaan dan lingkungan alamiah itu, dan menghadapi dua sistem sekaligus yaitu sistem kebudayaan dan sistem lingkungan alam.     

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang timbul adalah :
a)      Apa pengertian landasan kultural dan penjelasannya?
b)      Kebudayaan sebagai Landasan Sistem Pendidkan Nasional.

C.    Tujuan
Adapun tujuan masalah yang dibahas pada makalah ini, yaitu :
a)      Agar mahasiswa tahu pengertian landasan kultural sekaligus penjelasannya.
b)      Agar mahasiswa mengetahui bahwa Kebudayaan Nasional sebagai landasan Sistem Pendidikan Nasional ( Sikdiknas )
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Landasan Kultural
            Kebudayaan menurut Taylor adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,hukum, moral, adat, dan kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggotamasyarakat (Imran Manan,1989).
            Hal ini tidak di setujui  Hassan (1983), Ia mengemukakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan hasil manusia hidup bermasyarakat yang berisi aksi-aksi terhadap sesama manusia sebagai anggota masyarakatyang merupakan kepandaian, kepercaya-an, kesenian, moral, hukum,adat istiadat dan lain-lain kepandaian.
            Sedangkan Kneller mengatakan kebudayaan adalah cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat (Imran Manan,1989).
Ada 8 Komponen Kebudayaan sbb:
1.    Gagasan                                        5. Benda
2.    Ideologi                                         6. Kesenian
3.    Norma                                           7. Ilmu
4.    Teknologi                                     8. Kepandaian
Landasan kultural mengandung makna norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan berbudaya yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan berbudaya suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita pada berbagai dimensi (Sastrapratedja, 1992:145): kebudayaan terkait dengan ciri manusia sendiri sebagai mahluk yang “belum selesai” dan harus berkembang, maka kebudayaan juga terkait dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia yang asasi:   
1.    Kebudayaan dapat dipahami sebagai strategi manusia dalam menghadapi lingkungannya, dan 
2.    Kebudayaan merupakan suatu sistem dan terkait dengan sistem sosial. Kebudayaan dari satu pihak mengkondisikan suatu sistem sosial dalam arti ikut serta membentuk atau mengarahkan, tetapi juga dikondisikan oleh sistem sosial.
Kebudayaan dapat dikelompokan menjadi tiga macam,yaitu:
1.      Kebudayaan umum,misalnya kebudayaan Indonesia
2.      Kebudayaan daerah,misalnya kebudayaan Jawa,Bali,Sunda,dan sebagainya
3.      Kebudayaan populer,suatu kebudayaan yang masa berlakunya rata-rata lebih pendek daripada kedua macam kebudayaan terdahulu.Misalnya,lagu-lagu populer,model film musiman dan sebagainya.

Kneller mengemukakan ada dua tonggak yang membuat kebudayaan berkembang dengan pesat  (Imran manan,1989).Kedua tonggak itu adalah:
1.    Revolusi Industri I dengan diketemukannya mesin uap abad ke-18,yang membuat hasil produksi-produksi berlimpah-limpah serta memberi keuntungan yang besar.Hidup orang-orang menjadi bertambah makmur.
2.    Revolusi industri II sejak tahun 1945 yang menggunakan bahan atom,kimia,mempergunakan alat komputer,yang membuat serba otomatis dengan menggunakan tenaga-tenaga profesional. Revolusi inilah yang membuat zaman sekarang menjadi era globalisasi dan informasi.
Ada tiga hal yang menimbulkan perubahan kebudayaan.Ketiga hal itu menurut Kneller ialah:
1.    Originasi,yaitu sesuatu yang baru atau penemuan-penemuan baru.
Contoh:  Teori bumi bulat menggeser teori bumi lempeng Teori dua garis sejajar akan berpotongan di suatu tempat memperbarui teori yang menyatakan tidak berpotongan  Konsep anak sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil diubah oleh teori baru yang menyatakan anak-anak adalah kesatuan potensi yang sedang berkembang dan tumbuh.
2.    Difusi,yaitu pembentukan kebudayaan baru akibat masuknya elemen-elemen budaya yang baru kedalam budaya yang lama                                       
Contoh: Musik yang menggabungakan musik barat dengan gamelan sebagai musik timurTeknik pengairan yang memakai bendungan adalah difusi antara teknologi baru dengan teknologi tradisional. Tarian-tarian kontemporer ada kalanya merupakan difusi antara tarian klasik dengan tarian modern.
3.    Reinterpretasi,yaitu perubahan kebudayaan akibat terjadinya modifikasi elemen-elemen kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan keadaan zaman.
Contoh:  Surat kawin diadakan karena kebutuhan administrasi,zaman dulu kawin cukup disahkan oleh warga setempat. Berbagai bentuk bangunan disesuaikan dengan selera zaman.  Pesawat baling-baling diganti dengan pesawat jet.
Sejak dini anak-anak perlu dididik berpikir kritis. Kemampuan untuk mempertimbangkan secara bebas dikembangkan.Hal ini dapat dapat dilakukan dengan cara memberi kesempatan mengamati, melaksanakan,menghayati, dan menilai kebudayaan itu. Cara ini tidak menerima begitu saja suatu kebudayaan melalui pemahaman dan perasaan dikala berada dalam kandungan kebudayaan itu,yang akhirnya menimbulkan penilaian menerima,merevisi, atau menolak budaya itu.
Kerber dan Smith menyebutkan ada enam fungsi utama kebudayaan dalam kehidupan manusia,yaitu:
1.    Penerus keturunan dan pengasuh anak.
Suatu fungsi yang menjamin kelangsungan hidup biologis kelompok sosial,budaya mendidik yang baik akan banyak orang melaksanakan KB,proses persalinan yang tidak menakutkan,dan pengasuhan anak secara profesional.
2.    Pengembangan kehidupan berekonomi.
Pendidikan sebagai budaya akan membuat orang mampu menjadi pelaku ekonomi yang baik, bisa berproduksi secara efektif dan efisien, dan mengembangkan bakat ekonomi bidang tertentu.
3.    Transmisi budaya.
Mampu membentuk dan mengembangkan generasi baru menjadi orang-orang dewasa yang berbudaya,terutama berbudaya nasional.
4.    Meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Pendidikan sebagai budaya haruslah dapat membuat anak-anak mengembangkan kata hati dan perasaannya taat terhadap ajaran-ajaran agama yang dipeluknya.
5.    Pengendalian sosial Yaitu pelembagaan konsep-konsep untuk melindungi kesejahteraan individu dan kelompok. Ada sejumlah lembaga yang berfungsi melindungi kesejahteraan masyarakat,, seperti lembaga hukum, lembaga konsumen,badan pelestarian lingkungan, lembaga permasyarakatan, lembaga pendidikan, dan sebagainya.
6.    Rekreasi Kegiatan-kegiatan yang memberi kesempatan kepada orang untuk memuaskan kebutuhannya akan permainan-permainan atau untuk main-main.

B.     Kebudayaan sebagai Landasan Sistem Pendidikan Nasional
Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik di setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebhineka tunggal ikaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini haruslah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara indonesia sebagai sisi ketunggal-ikaan.
Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedang setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, dalam UU RI No 2 Tahun 1989 Pasal 1 ayat 2 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yag berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Karena masyarakat Indonesia sebagai pendukung kebudayaan itu adalah masyarakat yang majemuk, maka kebudayaan bangsa Indonesia tersebut lebih tepat disebut kebudaayan Nusantara yang beragam. Puncak-puncak kebudayaan Nusantara itu dan yang diterima secara nasional disebut kebudayaan nasional..
Di bidang pendidikan nasional misalnya penataan laporan pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan yang berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam permusuhan (dimulai dari sistem ranking, perbedaan jenis dan kualitas sekolah, lengkap dengan istilahnya seperti sekolah unggulan dan bukan sekolah unggulan, hingga persaingan antar sekolah yang berwujud tawuran pelajar dan perbuatan negatif lainnya). Persaingan harus sebatas berlomba, bukan eksklusivisme yang mengakibatkan renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir sistem pendidikan nasional harus menumbuhkan pola  kerjasama antar siswa, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi “proyek bersama” siswa dalam pembahasan materi pelajar, atau pelaksanaan seni-budaya dan reaksi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan kesadaran sebagai siswa sekolah Indonesia, dimanapun tempat bersekolahnya.
Ciri-ciri kebudayaan nasional menurut Umar Khayam :
1.      Afeksi yang memiliki atau mengandung :
a)      Sikap jujur dalam semua bidang.
b)      Tidak munafik, tidak berbeda antara apa yang dipikirkan dengan diucapkan atau dikerjakan.
c)      Tulus dan ikhlas dalam semua pekerjaan yang harus dilakukan, tidak terlalu banyak pertimbangan untung dan rugi.
2.      Sistem politik yang ban penghalang demokratis, yaitu ;
a)      Pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat.
b)      Rakyat selalu mendapat kesempatan untuk mempertanyakan perihal pemerintahannya.
3.      Sistem Ekonomi yang :
a)      Memberi kesempatan adil kepada semua warga negara untuk mendapat penghidupan dan kehidupan yang layak sesuai dengan harkat kemanusiaan.
b)      Mampu menciptakan pasar luas untuk bersaing.
c)      Menyalurkan hasil penjualan untuk kesejahteraan yang relatif merata pada seluruh masyarakat.
4.      Sistem pendidikan yang :
a.       Sanggup menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk mendapatkan pendidikan, yang menjamin dapat menemukan atau mengadakan lapangan pekerjaan yang dipilihnya.
b.      Mampu mendorong perimbangan ilmu dan teknologi yang setinggi-tingginya.

5.      Sistem kesenian yang :
a)      Mampu mengembangkan sussana kehidupan kesenian yang kaya dan penuh vitalitas.
b)      Tanpa adanya beban terhadap pernyataan kesenian.
6.      Sistem kepercayaan yang :
a.       Sehat, toleransi, dan damai
b.      Memberi tempat seluas-luasnya kepada semua bentuk agama untuk berlangsung secara selamat dan tentram.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kami simpulkan, Kebudayaan adalah cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri sebagai warga masyarakat. Peradaban adalah kebudayaan yang sudah maju.
Kesimpulan kebudayaan nasional versi Umar Khayam yang mengandung unsur-unsur
a.       Afeksi yang jujur, tidak munafik, dan ikhlas.
b.      Politik yang demokratis.
c.       Ekonomi yang member hidup dan kehidupan yang layak bagi semua lapisan masyarakat.
d.      Pendidikan yang demokrasi, memberi bekal untuk bekerja dan memajukan ilmu serta teknologi setinggi-tingginya.
e.       Kesenian yang kaya tanpa beban penghalang.
f.       Memberi kesempatan yang luas untuk beragama, toleransi dan damai satu sama lain.
:





DAFTAR PUSTAKA


Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: Sinar Grafika.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.2 Tahun 1989) dan


MODEL PENELITIAN TASAWUF


BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Ia mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah muapun bathiniyah (esoterik). Melalui cara-cara atau ramalan-ramalan dalam dunia kesufian, manusia diharapkan dapat tampil sebagai seorang yang berkepribadian jujur dan benar dalam segala hal, hal ini juga berbeda dengan aspek fikih khususnya pada bab thaharoh yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmani dan lahiriya yang selanjutnya disebut dengan dimensi ekstrorika.
Tasawuf mulai mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif dalam mengatasi masalah-masalah keduniawian. Hal ini terlihat bahwa tuntutan zaman yang semakin membara membuat sebagian masyarakat cenderung mengarah kepada akadensi moral dan keterpurukan akhlak. Manusia cenderung melakukan sesuatu atas dasar kebebasan. Sehingga ia semene-mena dan acuh tak acuh terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
Tasawuf memiliki potensi dan otoritas yang tinggi dalam menangani masalah ini. Tasawuf secara intensif memberikan pendekatan-pendekatan agar manusia selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam kesehariannya. Kehadirannya berupaya untuk mengatasi krisis akhlak yang terjadi di masyarakat islam di masa lalu (klasik) tahun 650-1250 M. Masa dimana kehidupan manusia bersifat foya-foya dan suka menghamburkan harta. Dan sungguh masa kinipun sudah terlihat dan memperlihatkan pengaruhnya terhadap perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas kebutuhan manusia, selain menghadapi sifat lahirnia juga menghendaki kebersihan bathiniya lantaran penelitian yang sesungguhnya dalam islam diberikan aspek bathiniya.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Apakah pengertian Tasawuf ?
2.    Siapakah para ahli yang telah melakukan upaya penelitian tasawuf?
3.    Bagaimanakah  metode-metodenya?

C.  TUJUAN
1.    Untuk mengetahui pengertian tasawuf
2.     Untuk mengetahui para ahli yang timbul saat penelitian tasawuf





BAB II
PEMBAHASAN

A.  DEFINISI TASAWUF
Tasawuf dari segi kebahasaan terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya, menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari makkah ke madinah, shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, shopos (bahasa yunani:hikmah) dan suf (kain wol kasar).[1]
Ditinjau dari lima istilah di atas, maka tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan keadaan yang selalu beroreantasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela mengorbankan demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa sesesorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal ynag kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.[2]
Selanjutnya, secara teriminologis tasawuf[3] memiliki tiga sudut pandang pengertian. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya penyucian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki kesadaran akan adanya Tuhan, harus bisa mengarahkan jiwanya serta selalu memusatkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan.
Tasawuf adalah cabang dari ilmu agama yang dalam konteksnya apabila kita ingin memahami model penelitian tasawuf,[4] kita juga harus memahami aspek agama terlabih dahulu sehingga akhirnya muncul beberapa konsep ilmu itu sendiri. Adapun penelitian agama, medanya mencakup tiga lapangan, yakni pertama, memahami dan mengkaji kitab-kitab yang merupakan sumber baku dari suatu agama, dan merupakan sumber statikanya. Kedua, mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam pengembangan ajaran suatu agama. Medan kedua ini melahirkan ilmu-ilmu agama (dalam kitab-kitab kuning) yang bersifat normatif dan deduktif. Sedang lapangan yang ketiga oleh para ahli-ahli ilmu social disebut fenomena keagamaan. Yakni prilaku dan pola-pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada ditengah tengah masyarakat umat manusia. Ahli –ahli ilmu social menurut matullada hanya bisa mengapai medan yang ketiga ini. Itupun hanya berkaitan dengan perhatian dan penilaian cabang-cabang ilmu social itu. Tinjauan sosiologis lain dengan tinjaun antropologis ataupun tinjauan historis. Tinjauan ilmu ilmu social terhadap fenomena keagamaan islam memang telah memberikan sumbangan yang amat berharga bagi penelitian dan pengembangan agama.  Sokongan ini perlu dikaji dan dimanfaatkan. Adapun mengenai tujuan, penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman dan membudayakan pengalaman agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia. Dengan demikian, penelitian agama tujuanya tidak sama dengan penelitian ilmiah dalam bidang social ataupun islamologi. Penelitian agama memang telah tegas-tegas memihak bagi pengembangan kehidupan dan pemikiran umat beragama. Yakni berusaha merekayasa bagi tumbuhnya budaya agama yang tegar dan dinamis sesuai tuntutan zaman.

B.  MODEL-MODEL  PENELITIAN  TASAWUF
1.    Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah dia adalah ilmuan muslim ke-6 abad modern  termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf dulu dan sekarang” yang diterjemahkan Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh pustaka firdaus di Jakarta tahun 1985. Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Ia bahkan mengemukakan tingkatan-tingkatan kerohanian manusia dalam dunia tasawuf.[5]

2.    Model Mustafa Zahri
Mutafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul “kunci memahami ilmu tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits. Ia menyajikan tentang kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci mengenal Allah, sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa Allah.[6]

3.    Model Kautsar Azhari Noor.
Kautsar Azhari Noor memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud. Paham ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana yang diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu, dijadikan-Nya alam ini. maka alam ini merupakn cermin bagi Allah. Dikala Ia ingin melihat dirinya, ia melihat kepada alam.[7]
Paham ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawa reinkarnasi, atau paham serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam berbagai ciptanya. Dengan demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham banyak Tuhan. Mereka berpendirian bahwa Tuhan dalam arti zat-Nya tetap satu, namun sifat-Nya banyak. Sifat Tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas atau mutunya, berbeda dengan sifat manusia.

4.    Model Harun Nasution
Harun Nasution merupakan guru besar dalam bidang teologi dan filsafat islam dan juga menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan mistisisme dalam islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena langsung menuju persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walau hanya dalan garis besarnya saja.[8]

5.    Model A. J. Arberry
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya “pasang surut aliran tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, sruktur teori dan amalan tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf.[9]
Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas.

C.  PERSYARATAN PENELITI TASAWUF
Peneliti tasawuf umumnya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan fenomenologis atau verstehen. Jadi, grounded riset. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama pertama ia harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang kedua dia harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu. Dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad kedua hijriah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminology atau bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitanya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syariat” bagi para sufi pengertianya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Maka menurut kacama para sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiria menurut aturan-aturan formal daripada agama.[10] Jadi, laku bathin tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukan dalam istilah syariat. Oleh karena itu, imam al-qusyairi misalnya dalam risalah mengatakan :
(Maka setiap syariah yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan syariat tentu tidak ada hasilnya). Syariah dalam pengertian para sufi tidak termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi, akan tetapi apakah hakikat atau tasawuf itu batin syariah?
          Banyak istilah yang beredar dikalangan para sufi yang perlu diketahui, seperti : maqam, hal, ma’rifat,tarekat, hakikat, hub, wara’, zuhud, tawakal, muraqabah, fana’, baqa’, sakar, zikir, martabat, nur Muhammad, dan lainya.[11] Istilah-istilah itu punya makna khusus yang tidak bisa dimegerti dengan makna bahasa ataupun dengan pengertian dalam syariat. Zikir sufi lain dengan zikir syar’i.
          Adapun syarat kedua : peneliti harus mempunyai pandangan yang terang tentang apa tasawuf itu dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam. Hal ini penting karena penelitian bergerak dalam bidang agama, bukan hanya penelitian bidang sosial, dan diabadikan bagi pengembangan agama. Bahwa penelitian agama menilai setiap fakta dari segi kepentingan pengembangan agama dan kemajauan umat beragama. Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja. Tetapi untuk beribadah demi keagungan agama.
          Mengenal hakikat tasawuf tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran adanya reotyped ideas yang telah lama direntak para pendukung tasawuf. Terutama rumusan para propagandis penyusun sintesis anatara kasyfu (tasawuf) dan naqli (syariat) seperti al-ghazali. Al-qsyairi dan nsebagainya atau para ulama yang berusaha membelokan pengertian tasawuf dan penghayatan kasyaf kearah’abid semisal ibnu khaldun dengan teorinya. Syariat al-haditsyah atau kearah ahlak (ihsan) seperti ahmad rif’ai dengan pesantren budiahnya. Hamka dengan ide tasawuf moderenya, maka para peneliti yang rindu dengan kebenaran yang cerah, tidak puas dengan pengertian yang kabur,harus berusaha mendobrak jeretan pengertian yang kabur tentang tasawuf diatas.
          Peneliti berusaha mencari dan menemukan intisari yang menjadi ide sentral dan ajaran tasawuf. Menurut harun nasution dalam bukunya Filsafat dan mistisme dalam islam intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaraan akan adanya komunikasi dan dialoq (langsung) antara roh manusia dengan tuhan dengan mengasingkan diri dan kontenplasi.
          Apa dialoq langsung (tatap muka) dengan tuhan didalamnya kontemplasi atau bahkan ittihad semacam ini diajarkan oleh al-quran dan sunnah.? Menurut ibnu khaldun ajaran berkontenplasi (samadi, meditasi) untuk bisa mengalami tatap muka langsung dengan tuhan ini bukan ajaran islam. Hal ini merupakan kaitan tasawuf dengan islam. Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajaranya, adalah fana’ dan kasyaf. Fana dan kasyaf tentu bukan ajaran islam. Maka mengenai definisi yang berkaitan dengan apa hakikat tasawuf atau mistik pada umumnya  adalah ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau tuhan bisa didaptkan melalu meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera.[12]
          Dari uraian diatas, maka fana’ dan kasyaf adalah inti ajaran ketasawufan. Tanpa cita fana dan kasyaf tidak aka nada tasawuf. Semua kegiatan , pemikiran, perasaan, filsafat yang dimunculkan para sufi beserta konsep-konsep yang menyimbolkan cita ketasawufan, berkaitan erat langsung atau tidak langsung dengan cita fana dan khasyaf ini. Maka segala definisi tasawuf  yang tidak menonjolkan cita fana dan khasyaf adalah kabur, dan member gambaran yang keliru, tidak jelas tentang tasawuf. Oleh karena itu bagi orang yang melakukan pengamatan dan penelitian dalam dbidang tasawuf, harus berpegang dalam inti cita tasawuf. Tanpa memahami cita inti sufisme, yakni fana dan kasyaf, pengertian akan kabur. Laksana sibuta yang meraba-raba untuk mengenal gajah. Dorongan yang menumbuhkan inti ajaran tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf rindu (hubulllah). Rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatp muka secara intim dengan tuhan. Makrifitulloh yang berarti tatp muka langsung dengan wajah tuhan ini hanya bisa dicapai dengan pengalaman fana’ dan kasyfi.
          Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana  dan kasyfi ini, tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi. Cirri fana dan kahsfi adalah pembeda ajaran tasawuf dengan ajaran lainya.
Banyak penulis tentang tasawuf yang hanya menonjolkan aspek tertentu tentang tasawuf, terutama aspek positifnya tentang pengalaman agama. Buku-buku semacam ini tidak memberi pengertian yang utuh tentang tasawuf, tidak banyak manfaat bagi pengamat dalam bidang sufisme, apalagi yang aspeknya negative. Oleh karena itu, untuk mengetahui pengertian  utuh dan persoalan tentang tasawuf, harus mempertimbangan cita inti sufisme, yaitu fana dan khasyaf.









BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
            Dalam kaitanya ini tasawuf terbagi dalam 3 sudut pandang :
1.    Sudut pandang manusia sebagai mahluk terbatas
2.    Sudut pandang manusia harus berjuang
3.    Sudut pandang manusia sebagai mahluk bertuhan
          Dan para ahli mempunyai model-model penelitian tasawuf ysng berebeda seperti :
Sayyed Husein Nasr, Mustafa Zahri, Kautsar Azhari Noor, Hanun Nasution, A.J
Arberry dan kesemuanya ahli berbeda satu dengan lainya.

B.  SARAN
          Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.



DAFTAR PUSTAKA


Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada
Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press
Rajab hadarah.2003. ahlak sufi.jakarta: al mawardi prima


    











                [1] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal.10
                [2] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 70
                [3] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 16
                [4] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada
                [5] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 17
            [6] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 18

                [7] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 19
                [8] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 19
                [9] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 20
                [10] http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv
                [11] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal.11
            [12] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal.12


Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...