BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sehubungan dengan
pentingnya keikhlasan dalam melaksanakan ibadah, Imam Mujahid berkata bahwa:
“Amal tanpa niat adalah sia-sia. Niat tanpa didasari keikhlasan adalah riya’.
Keikhlasan tanpa dibarengi dengan ilmu bagaikan debu beterbangan tanpa arah.
Amalan yang dilakukan atas dasar riya tak ubahnya dengan perbuatan orang-orang
munafik, yang aspek luarnya menampakkan ketaatan tapi aspek bathinnya penuh
dengan penipuan dan kepalsuan. Dengan kata lain, hakikat amal mereka adalah
penipuan belaka, karena ibadah yang mereka lakukan bukan karena menjalankan
perintah dan mengharapkan ridha-Nya, melainkan untuk mendapatkan penilaian
manusia.
Oleh karena
itu segala perbuatan yang baik harus diiringi oleh niat, untuk lebih
sempurnanya amal perbuatan yang kita lakukan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Pemaparan Definisi Hadis ?
2.
Apa Sababul Wurud (Latar
Belakang Hadits) ?
3.
Bagaiman Kualitas Hadis ?
4.
Apa Maksud dari Urgensi Hadis ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui Bagaimana Pemaparan Definisi
Hadis
2.
Mengetahui Bagaimana Apa Sababul Wurud (Latar
Belakang Hadits)
3.
Mengetahui Bagaiman Kualitas Hadis
4.
Mengetahui Bagaimana Apa Maksud dari
Urgensi Hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemaparan
Hadits
Hadits
عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
(رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن
المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري
في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة)[1]
Artinya
(عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ
اللهُ) Dari
Amirul mukminin Abi Hafsh Umar bin Khattab ra. (قَالَ) Beliau-Semoga
Allah memberi manfaat kepada kita dengan keberkahannya-berkata (سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم) aku mendengar Rasulullah Saw.,
artinya aku mendengar suara Nabi Saw. tatkala (يَقُوْلُ
: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ) bersabda, “Sesungguhnya
(segala) amal itu teggantung niat. (وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى) dan sesungguhnya setiap
orang itu mendapatkan apa yang diniatkannya. (فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ) Barang siapa hijrahnya menuju
kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan di terima di sisi Allah dan
Rasul-Nya. (وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ
إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ) Barangsiapa yang hijrahnya
untuk dunia yang akan di perolehnya atau wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya menuju apa yang diniatkannya. (رواه
إماما المحدثين) Diriwayatkan dan dinukilkan oleh dua imam ahli hadits.
(أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم
بن المغيرة بن بردزبة البخاري) Abu Abdullah Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori. (وابو
الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري) Abu Al Husain, Muslim bin
Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairiy. (النيسابوري) An-Naisaburiy.
(في صحيحيهما) dalam kitab Sahih Bukhari
dan Muslim. اللذين هما أصح الكتب المصنفة) ) kedua
kitab tersebut merupakan kitab yang paling sahih yang di karang dalam kitab
hadis.[2]
B.
Sababul Wurud
(Latar Belakang Hadits)
Imam At-Thabrani meriwayatkan, dalam Al-Mu’jam Al-Kabir,
dengan sanad yang bisa di percaya, bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Diantara kami
ada seorang laki” yang melamar wanita, bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu
menolak sehingga ia berhijrah kemadinah. Maka laki-laki itu ikut hijrah ke
Madinah. Maka laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami
memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”
Sa’ad Ibnu Manshur meriwayatkan dalam kitab Sunan-ny,
dengan sanad sebagaimana syarat Bukhari dan Muslim, bahwa Ibnu Mas’ud
berkata, “Siapa yang hijrah untuk mendapatkan kepentingan duniawi maka pahala
yang didapat sebagaimana yang didapat oleh laki-laki yang hijrah untuk menikahi
wanita yang bernama Ummu Qais, hingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.”[3]
Maksud kandungan Hadits
1.
Syarat
niat
Para ulama sepakat bahwa perbuatan seorang mukmin tidak
akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali jika diiringi dengan
niat.[4]
Oleh
karena itu, niatkanlah dengan benar perbuatan-perbuatan yang mubah –seperti
makan, tidur, berpakaian, dan lain-lain- agar bernilai ibadah. Ibnu Rajab
berkata, manakala seorang mukmin memenuhi syahwatnya yang mubah dengan niat
takwa maka hal itu menjadi ketaatan yang berpahala, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Mas’ud,’Sesungguhnya aku mengharapkan pahala dari tidurku sebagaimana aku
mengharapkan pahala dari shalat malamku.”[5]
2.
Waktu
dan tempat niat
Waktu niat adalah di awal ibadah. Seperti: takbiratul
ihram untuk shalat, dan ihram untuk haji, sedangkan puasa maka diperbolehkan
sebelumnya karena untuk mengetahui masuknya waktu subuh secara tepat cukup
sulit. Niat
bertempat dihati, jadi tidak disyaratkan untuk di ucapkan. Namun demikian,
boleh saja diucapkan untuk membantu konsentrasi hati.
3.
Keharusan
hijrah
Hijrah dari negeri Islam adalah wajib bagi seorang muslim
jika ia tidak bisa melakukan ajaran Islam dengan terang-terangan. Hukum ini
berlaku secara umum dan tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Sedangkan hadits
mengatakan “tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah (Penaklukan kota Makkah).”
Maka maksudnya adalah tidak ada hijrah dari Makkah setelah peristiwa Fathu
Makkah karena Makkah sudah menjadi negari Islam.
4.
Orang
yang berniat melakukan kebaikan, namun karena satu atau lain hal-misalnya sakit
parah ataupun meniggal dunia-sehingga ia tidak bisa melaksanakannya, maka ia
akan tetap mendapatkan pahala.
5.
Hadits
ini mendorong kita untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan ibadah agar mendapat
pahala di akhirat serta kemudian dan kebahagiaan di dunia.
6.
Semua
perbuatan baik dan bermanfaat, jika diiringi niat yang ikhlas dan hanya mencari
keridhaan Allah, maka perbuatan tersebut adalah Ibadah.[6]
Hadits
عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
Artinya
Bersumber dari Umar radhiyallahu anhu (ra), ia bercerita,
aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu allaihi wa sallam (saw) bersabda,
“Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (sah) dengan niat. Dan setiap orang itu
sesuai pada niatnya. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya pun kepada Allah dan Rasullnya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia
yang di kehendakinya, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya adalah kepada (baca:sesuai) apa yang ia niatkan.” (Diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim)[7]
Maksud kandungan hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa niat adalah untung menimbang
keabsahan amal. Artinya, jika niat seseorang baik maka amalnya baik. Sebaiknya,
jika niatnya keliru amalnya pun keliru. Jika terdapat amal yang dibarengi
dengan niat maka hal ini tidak lepas dari tiga kemungkinan sebagai berikut:
Pertama, seseorang melakukan hal itu karena takut kepada
Allah Ta’ala. Ini adalah gaya ibadah para budak.
Kedua, seseorang melakukan hal itu untuk mencari surga
dan pahala. Ini adalah gaya ibadah para pedagang.
Ketiga, seseorang melakukan hal itu karena merasa malu
kepada Allah Ta’ala, untuk menunaikan kewajiban pengabdian, dan untuk
mengungkapkanrasa syukur. Selain itu ia merasa dirinya bersalah dan hatinya
merasa takut karena ia tidak tahu apakah amalnya diterima atau tidak? Ini
adalah gaya ibadah orang-orang yang merdeka.[8]
Hadits
وَأَعْمَالِكُمْ بِكُمْ قُلُوإِلَى يَنْظُرُ وَلَكِنْ وَأَمْوَالِكُمْ صُوَرِكُمْ إِلَى يَنْظُرُ لَا اللَّهَ إِنَّ
Artinya
“Sesungguhnya Alloh tidak melihat bentuk kamu dan harta
kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu. (HR. Muslim, no. 2564)
Oleh karena
itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Alloh kepada seluruh manusia.[9]
C.
Kualitas
hadits
Hadits
ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati kebenarannya, ketinggian derajatnya dan
didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada
beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits
ini pada akhir bab Jihad.
Hadits ini salah satu pokok penting
ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang niat ini
mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena
perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan.
Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari
Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”, sejumlah Ulama’
mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.
Para
ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara
mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari.
Abdurrahman bin Mahdi berkata : “bagi setiap penulis buku hendaknya memulai
tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar
meluruskan niatnya.”
Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah
hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini
adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin
Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan
selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian
barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih
dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan
mereka adalah para Imam.[10]
D.
Urgensi
Hadits
Hadits ini sangat penting,
karena menjadi orientasi seluruh hukum dalam Islam. Ini biasa dilihat dari pendapat ulama. Abu Dawud berkata, “Hadits ini setengah dari ajaran
Islam. Karena agama bertumpu pada dua hal: Sisi lahiriyah (amal perbuatan) dan sisi batiniyah (niat).” Imam
Ahmad dan Imam Syafi’i berkata,” Hadits ini mencakup sepertiga ilmu, karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal: Hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan niat dalam hati merupakan salah satu dari tiga hal tersebut.”
Mengingat
urgensinya, maka banyak ulama yang mengawali berbagai buku dan karangannya
dengan hadits ini. Imam Bukhari menempatkan hadits ini di awal kitab shahihnya.
Imam Nawawi menempatkan hadits ini pada urutan pertama dalam tiga bukunya: Riyadhus
Shalihin, Al-adzkar, danAl-Arba’in An-Nawawiyah. Ini
dimaksudkan agar pembaca menyadari pentingnya niat, sehingga ia akan meluruskan
niatnya hanya karena Allah, baik ketika menuntut ilmu atau melakukan perbuatan
baik yang lain.
Urgensi hadits ini juga di pertegas oleh riwayat Bukhari
yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah berhkutbah dengan hadits ini,
begitu juga Umar ra. Abu ‘Ubaid berkata, “Tidak ada hadits yang lebih luas dan
padat maknanya dari hadits ini.”[11]
Hadits ini di angkat karena untuk memberikan pengertian pada umat dalam melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar.
Hadist ini
masih sangat dibutuhkan pada era sekarang karna ini termasuk hadits shahih, dan
mempunyai banyak faedah, diantaranya:
1.
Tidak
akan pernah ada amal perbuatan kecuali disertai dengan niat.
2.
Amal
perbuatan tergantung niatnya.
3.
Pahala
seseorang yang mengerjakan suatu amal perbuatan sesuai dengan niatnya.
4.
Seorang
‘alim (guru, ustadz atau pendidik) diperbolehkan memberikan contoh
dalam menerangkan dan menjelaskan.
5.
Keutamaan
hijrah, karena Rasulullah saw menjadikannya sebagai contoh permisalan. Dalam
Shahih Muslim (No. 192), dari ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa Rasulullah saw bersabda:
6.
Seseorang
akan mendapatkan pahala kebaikan, atau dosa, atau terjerumus dalam perbuatan
haram dikarenakan niatnya.
7.
Suatu
amal perbuatan tergantung wasilahnya. Maka sesuatu yang mubah dapat menjadi
suatu bentuk ketaatan dikarenakan niat seseorang ketika mengerjakannya adalah
untuk memperoleh kebaikan, seperti ketika makan dan minum, apabila diniatkan
untuk menyemangatkan diri dalam ketaatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketauhilah, menurut pengertian bahasa, niat adalah
bermaksud. Disebutkan dalam bahasa Arab “Nawaka Allahu bi khairin” yang
berarti Allah bermaksud memberimu kebajikan.
Sementara menurut pengertian syari’at, niat adalah
bermaksud pada sesuatu yang dibarengkan dengan mengerjakannya. Jika seseorang
bermaksud mengerjakan sesuatu yang tidak sepontan atau segera itu disebut azam.
Niat di anjurkan guna membedakan tingkatan sebagian ibadah dengan sebagian yang
lain.
Disepakati
bahwa tempat niat adalah dalam hati dan dilakukan pada permulaan melakukan
perbuatan untuk tujuan amal kebajikan. Niat berperan penting dalam ajaran
islam, khususnya perbuatan yang berdasarkan perintah syara, atau menurut
sebagian ulama, dalam perbuatan yang mengandung harapan untuk mendapatkan
pahala dari Allah. Niat akan menentukan nilai, kualitas serta hasilnya, yakni
pahala yang akan diperolehnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Muhammad, Amalan Harian Seorang Muslim, (Bogor:Tim
Pustaka Ibnu Umar,2013)
Ahmad Najieh, Hadits dan Syair untuk Bekal Dakwah,
(Jakarta:Pustaka Amani,1984)
Muhammad bin Abdullah, 40 Hadis Imam Nawawi, (Jakarta:PT
Mizan Publika,2010)
Musthafa
Dieb Al-Bugha, Muhyiddin Mistu, Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah saw:Syarah
Kitab Arba’in An-Nawawiyah,(Jakarta:Al-I’tishom,2003)
Syaikh Muhammad
Nasharuddin al-Albani, Syarah Arba’in Nawawiyah, (Jakarta:AKBARMEDIA,2010)
terimakasih sudah share hadistnya kak
ReplyDeletealquran online
Sama-sama
ReplyDeleteKunjungi juga channel YouTube