Subscribe di sini

Tuesday 21 April 2020

ILMU KALAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditela’ah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang amr (perintah) dan nahi (larangan), aam’ dan kahs, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Amar dan Nahi?
2.       Apa pengertian Am’ dan Khas?
3.      Apa pengertian Ilmu kalam ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Amar dan Nahi
1.      Pengertian dan Contoh Amar
Menurut mayoritas ulama ushul fiqih, amar adalah : suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[1] Perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al-Tasyri, disampaikan dalam berbagai redaksi antara lain:
a.       Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (امر) dan yang seakar dengannya. contohnya dalam ayat:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah larang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi ganjaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl/16:90)
b.      Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseoarang dalam dengan memakai kata kutiba (كتب/diwajibkan). Contohnya, dalam surat al-Baqarah ayat 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ
 مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
 فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. al-Baqarah/2:178)
c.       Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Contohnya, ayat 228 surat al-Baqarah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
 بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
 وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah/2:228)
d.      Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Contohnya, ayat 238 surat al-Baqarah:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah/2:238).
e.       Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Contohnya, ayat 245 surat al-Baqarah:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah/2:245)
1)      Hukum-Hukum Yang Mungkin Ditunjukkan Oleh Bentuk Amar
Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu antara lain:
Menunjukkan hukum wajib seperti perintah shalat.
a)      Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan seperti ayat 51 surat al-Mukminun:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mukminun/23:51)
b)      Untuk melemahkan, contohnya ayat 23 Surat al-Baqarah:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. al-Baqarah/2:23)
c)      Sebagai ejekan dan penghinaan, contohnya firman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat al-Dukhan ayat 49:
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia. (QS.al-Dukhan/44:49)
2)      Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Amar
Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama meskipun dalam suatu perintah bisa menunjukan bebagai pengertian, namun pada dasarnya suatuperintah menunjukan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Kesimpulan ini, di samping didasarkan atas kesepakatan ahli bahasa, juga atas ayat 62 surat an-Nur yang mengancam dan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukan bahwa suatu perintah wajib dilaksanakan.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa:
... Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat...(QS.an-Nisa/3:77)
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan solat lima waktu dan menunaikan zakat.
Kaidah kedua adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?, menrt para ulama Ushul Fiqih, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan berulang-kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meski pun hanya dilakukan satu kali. Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه...
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. (QS. al-Baqarah/2:196)
Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah terpenuhi dengan melakukan satu kali haji selama hidup. Adanya kemestian pengulangan, bukan ditunjukan oleh perintah itusendiri tetapi oleh dalil lain. Contohnya ayat 78 surat al-Isra.
Kaidah ketiga adalah suatu perintah haruskah dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda? Contohnya pada dalil: yang artinya
....Maka berlomba-lombahlah dalam membuat kebaikan...
Menurut  sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi. Seperti di nukil Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini barang siapa yang tidak segera melakukan di awal waktunya maka ia berdosa.
2.      Pengertian dan Contoh Nahi
Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai:
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudri Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa. Diantaranya adalah:
a)      Larangan secara tegas dengan memakai kata naha(نهي) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Contohnya surat an-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS an-Nahl/16:90).
Nabi Saw bersabda:
Artinya: Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. ia berkata:”Saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda “barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Namun, yang demikian (merubah kemungkaran dengan hati) yaitu adalah selemah-lemahnya iman.”(H.R. Muslim).[2]
b)      Larangan dengan menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan itu diharamkan(حرم). Contohnya, ayat 33  surat al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-A’raf/7:33).
Dan masih banyak contoh-contoh larangan yang lainnya.
3.      Beberapa Kemungkinan Hukum Yang Ditunjukkan Bentuk Nahi
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya mungkin menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a.       Untuk menunjukkan hukum haram contohnya ayat 221 surat al-Baqarah:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
 حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah/2:221)
b.      Sebagai anjuran untuk meninggalkan, contohnya ayat 101 surat al-Maidah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْ
آنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(QS. al-Maidah/5:101)
c.       Penghinaan, contohnya ayat 7 surat al-Tahrin.
d.      Untuk menyatakan permohonan, contohnya ayat 286 surat al-Baqarah.

B.     ’Am dan Khas
1.      Pengertian ‘Am dan contohnya
‘Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum.[3] ‘Am ialah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu hingga tidak terbatas, contohnya: Al-Insan yang bearti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini sekali mengucapkkan lafal al-insan bearti meliputi jenis manusia seluruhnya. 
a.       Jenis-Jenis ‘Am
Lafal ‘am dapat dibagi menjadi tiga macam:
1.      Lafal umum yang tidak mungkin ditaksiskan, seperti dalam firman Allah:
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekynya.”(Q.S. Hud:6)
2.      Lafal umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah:
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah” (Q.S. Ali Imran:97)
3.      Lafal umum yang khusus seperti lafal umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukkan ditaksis seperti dalam firman Allah:
Artinya: ”Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan (menunggu) tiga kali quru’.”(Q.S. Al-Baqarah:228)
2.      Pengertian Khas dan contohnya
Lafal khas yaitu perkataan atau susunan yang mengandung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan khas ialah lafal yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak mencangkup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Dalam pembahasan ini, ada beberapa iastilah yang erat hubungannya dengan khas, antara lain takhsis dan mukhassis.
Takhsis ialah mengeluarkan sebagaian lafal yang berada lingkungan umum menurut batasan yang tidak ditentukan. Sedangkan mukhassis ialah suatau dalil (alasan) yang menjadi dasar adanya pengeluaran lafal tersebut.

C. Pengertian Ilmu Kalam 
          Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud-nya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifatyang tidak ada padanya dan sifat yang mungkin ada pada-nya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya (lihat Risalah Tauhid).
          Ada yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaa-kepercayaan keagamaan (Agama Islam)dengan bukti-bukti yang yakin (lihatal-Husun al-Himidiyah).
Adapun Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu Kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan Salaf dan Ahli Sunanah.
          Sedangkan Musthafa Abdul Raziq berpendapat bahwa ilmu ini ( ilmu kalam) bersandar kepada argumentasi-argumentsi rasional yang berkaitan dengan aqidah imaniah, atau sebuah kajian tentang aqidah Islamiyah yang bersandar kepada nalar.
          Menurut Ahmad Hanafi, di dalam nash-nash kuno tidak terdapat perkataan al-Kalam yang menunjukkan suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana yang diartikan sekarang. Arti semula dari istilah al-Kalam adalah kata-kata yang tersusun yang menunjukkan suatu maksud Kemudian dipakai untuk menunjukkan salah satu sifat Tuhan, yaitu sifat berbicara. Sebagai contoh, kata-kata kalamullah banyak terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya pada Surah al-Baqarah ayat 75, 253, dan Surah an-Nisa’ ayat 164.

1. Sumber-Sumber Ilmu Kalam
          Sunber-sumber ilmu kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dalil naqli ( al-Qur’an dan Hadits ) dan dalil aqli ( akal pemikiran manusia ). Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama yang menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan permasalahan aqidah Islamiyah uang lainnya. Para mutakallim tidak pernah lepas dari-dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits ketika berbicara masalah ketuhanan. Masing-masing kelompok dalam ilmu kalam mencoba memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan Hadits lalu kemudian menjadikannya sebagai penguat argumentasi mereka.
          Di samping itu, dalil-dalil naqli ini tentunya diperkuat dengan dalil aqli atau alur pikir yang logis. Dalil aqli ini ada yang berasal dari ilmu keislaman murni dan ada yang diadopsi dari pemikiran-pemikiran di luar Islam.Jadi kurang tepat kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu merupakan ilmu keislaman murni, dan tidak benar juga kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari pemikiran di luar Islam seperti filsafat Yunani. Yang benar adalah kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang perumusan-perumusannya di dorong oleh unsur-unsur dari dalam dan dari luar.
Berikut ini adalah sumber-sumber ilmu kalam:
1. Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan,di antarannya adalah :
 Q.S. Al-Ikhlas : 1-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Maha Esa.
 Q.S. Asy-Syara : 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
 Q.S. Al-Furqan : 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy”. Ia pencipta langit,bumi, dan semua yang ada diantara keduannya.
 Q.S.Al-Fath : 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada diatas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
 Q.S. Thaha : 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan untuk memgawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
          Ayat-ayat diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rinciannya tidak ditemukan. Oleh sebab itu, para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya. Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan disistematisasikan yang pada gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
Ilmu ini dinamakan ilmu kalam karena :
• Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan Hijriyah adalah “firman Tuhan” (kalam Allah) dan ni azalinya Qur-an (khalaq al Qur-an). Karena itu keseluruhan isi ilmu dinamai dengan salah satu bagiannya yang terpenting.
• Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil-dalil ini nampak jelas dalam pembicaran-pembicaraan para mutakalimin. Mereka jarang kembali kepada dalil naqli (Qur-an dan Hadist), kecuali sudah menetapkan benarnya pookok persoalan lebih dahulu.
• Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama merupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk membedakan dengan logika dalam filsafat.


2. Hadist
          Masalah-masalah dalam ilmu kalam juga disinggung dalam banyak hadits, Diantarannya yaitu hadits yang menjelaskan tentang iman, islam, dan ihsan termasuk menyinggu ilmu kalam,salah satu di antaranya juga
Adapula beberapa Hadits yang kemudian dipahami sebagian umat sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya :
          “Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan.”
          “Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa umatku yang pernah menimpa Bani Israil, Bani Israil telah terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja, “ Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku’.
          Syaikh Abdul Qadir mengomentari bahwa Hadits yang berkaitan dengan masalah faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajiiian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat banyak. Diantara sanad yang sampai kepada Nabi adalah yang berasal dari berbagai sahabat, seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Ad-Darba, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
Adapula pada riwayat yang hanya sampai kepada sahabat. Diantaranya adalah Hadits yang mengatakan bahwa umat islam akan terpecah belah kedalam beberapa golongan. Diantara golongan-golongan itu, hanya satu saja yang benar, sedangkan yang lainnya sesat.
          Keberadaan Hadits yang berkaitan dengan perpecahan umat seperti tersebut diatas, pada dasarnya merupakan prediksi Nabi dengan melihat yang tersimpan dalam hati para sahabatnya. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa hadits-hadits seperti itu lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat Nabi tentang bahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut,
1.      ‘Amr adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
2.      Nahi adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
3.      Lafal al-’aam adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah.
4.      Khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
5.      Mutlaq berarti bebas dari ikatan, dan Muqayyad berarti terikat
6.      Mantuq menurut bahasa berarti yang diucapkan sedangkan Mafhum menurut bahasa berarti yang dipahami.




                                  DAFTAR PUSTAKA  

Khairul Uman, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia. 2001.
Musthofa Hadna, Ayo Mengkaji Fikih untuk Madrasah Aliyah kelas XII, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2008.
Oneng Nurul Briyah, Materi Hadits, Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, 2008.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Penada Media Group. 2008.




                [1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Penada Media Group. 2008.hlm. 178.
                [2] Oneng Nurul Briyah, Materi Hadits, Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, 2008. hlm. 191.
                [3] Khairul Uman, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia. 2001.hlm. 61.

2 comments:

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...