BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai
peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum
islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat
penting sekali ditela’ah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan
al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung
didalamnya. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang amr (perintah) dan
nahi (larangan), aam’ dan kahs, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Amar dan Nahi?
2. Apa pengertian Am’ dan Khas?
3. Apa pengertian Ilmu kalam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Amar dan Nahi
1. Pengertian
dan Contoh Amar
Menurut mayoritas ulama ushul fiqih, amar adalah : suatu
tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[1] Perintah
untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam
bukunya Tarikh al-Tasyri, disampaikan dalam berbagai redaksi antara lain:
a. Perintah
tegas dengan menggunakan kata amara (امر)
dan yang seakar dengannya. contohnya dalam ayat:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah larang dari
perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi ganjaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl/16:90)
b. Perintah dalam
bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseoarang dalam dengan
memakai kata kutiba (كتب/diwajibkan).
Contohnya, dalam surat al-Baqarah ayat 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ
وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ
مِنْ
أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ
تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang
siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS.
al-Baqarah/2:178)
c. Perintah
dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud
adalah perintah. Contohnya, ayat 228 surat al-Baqarah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ
قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي
أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah/2:228)
d. Perintah dengan
memakai kata kerja perintah secara langsung. Contohnya, ayat 238 surat
al-Baqarah:
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah)
shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah/2:238).
e. Perintah
dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Contohnya, ayat
245 surat al-Baqarah:
مَنْ
ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا
كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah/2:245)
1) Hukum-Hukum
Yang Mungkin Ditunjukkan Oleh Bentuk Amar
Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad
Adib Saleh, Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk
berbagai pengertian, yaitu antara lain:
Menunjukkan hukum wajib seperti perintah shalat.
a) Untuk menjelaskan
bahwa sesuatu itu boleh dilakukan seperti ayat 51 surat al-Mukminun:
يَا
أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang
baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (QS.
al-Mukminun/23:51)
b) Untuk melemahkan, contohnya
ayat 23 Surat al-Baqarah:
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al
Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat
(saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar. (QS.
al-Baqarah/2:23)
c) Sebagai ejekan dan
penghinaan, contohnya firman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di
akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat al-Dukhan ayat 49:
ذُقْ
إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa
lagi mulia. (QS.al-Dukhan/44:49)
2) Kaidah-Kaidah
Yang Berhubungan Dengan Amar
Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari
bentuk perintah tersebut, maka seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada
beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama meskipun dalam suatu perintah bisa
menunjukan bebagai pengertian, namun pada dasarnya suatuperintah menunjukan
hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya
dari hukum tersebut. Kesimpulan ini, di samping didasarkan atas kesepakatan
ahli bahasa, juga atas ayat 62 surat an-Nur yang mengancam dan menyiksa
orang-orang yang menyalahi perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukan
bahwa suatu perintah wajib dilaksanakan.
Contoh
perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah
ayat 77 surat an-Nisa:
... Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah
zakat...(QS.an-Nisa/3:77)
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan solat
lima waktu dan menunaikan zakat.
Kaidah kedua adalah suatu perintah haruskah dilakukan
berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?, menrt para ulama Ushul Fiqih,
pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan berulang-kali dilakukan kecuali
ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya
perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meski pun
hanya dilakukan satu kali. Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah:
وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه...
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena
Allah. (QS. al-Baqarah/2:196)
Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah
terpenuhi dengan melakukan satu kali haji selama hidup. Adanya kemestian
pengulangan, bukan ditunjukan oleh perintah itusendiri tetapi oleh dalil lain. Contohnya
ayat 78 surat al-Isra.
Kaidah ketiga adalah suatu perintah haruskah dilakukan
sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda? Contohnya pada dalil: yang artinya
....Maka
berlomba-lombahlah dalam membuat kebaikan...
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu
al-Hasan al-Karkhi. Seperti di nukil Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah
menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini barang siapa
yang tidak segera melakukan di awal waktunya maka ia berdosa.
2. Pengertian dan Contoh Nahi
Mayoritas
ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai:
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat
yang menunjukkan atas hal itu.
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh
Muhammad Khudri Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa. Diantaranya
adalah:
a) Larangan secara
tegas dengan memakai kata naha(نهي)
atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Contohnya surat
an-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS an-Nahl/16:90).
Nabi Saw bersabda:
Artinya: Dari
Abi Sa’id Al-Khudri r.a. ia berkata:”Saya telah mendengar Rasulullah SAW.
Bersabda “barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah dia
merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan
jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Namun, yang demikian (merubah
kemungkaran dengan hati) yaitu adalah selemah-lemahnya iman.”(H.R. Muslim).[2]
b) Larangan dengan
menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan itu diharamkan(حرم). Contohnya,
ayat 33 surat al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا
بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui".(QS. al-A’raf/7:33).
Dan
masih banyak contoh-contoh larangan yang lainnya.
3. Beberapa
Kemungkinan Hukum Yang Ditunjukkan Bentuk Nahi
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan
dalam penggunaannya mungkin menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a. Untuk
menunjukkan hukum haram contohnya ayat 221 surat al-Baqarah:
وَلا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah/2:221)
b. Sebagai anjuran
untuk meninggalkan, contohnya ayat 101 surat al-Maidah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ
تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْ
آنُ
تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang
diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang
hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(QS. al-Maidah/5:101)
c. Penghinaan,
contohnya ayat 7 surat al-Tahrin.
d. Untuk menyatakan
permohonan, contohnya ayat 286 surat al-Baqarah.
B. ’Am dan Khas
1. Pengertian ‘Am
dan contohnya
‘Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum.[3] ‘Am
ialah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu
yang terkandung dalam perkataan itu hingga tidak terbatas, contohnya: Al-Insan
yang bearti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua
manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini sekali mengucapkkan lafal al-insan
bearti meliputi jenis manusia seluruhnya.
a. Jenis-Jenis
‘Am
Lafal
‘am dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Lafal umum yang
tidak mungkin ditaksiskan, seperti dalam firman Allah:
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun
bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekynya.”(Q.S. Hud:6)
2. Lafal umum yang
dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam
firman Allah:
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah” (Q.S. Ali Imran:97)
3. Lafal umum yang
khusus seperti lafal umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukkan ditaksis
seperti dalam firman Allah:
Artinya: ”Wanita-wanita yang ditalak hendaknya
menahan (menunggu) tiga kali quru’.”(Q.S. Al-Baqarah:228)
2. Pengertian Khas
dan contohnya
Lafal khas yaitu perkataan atau susunan yang mengandung
arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan khas ialah lafal yang
tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu
tanpa kepada batasan. Artinya tidak mencangkup semua, namun hanya berlaku untuk
sebagian tertentu.
Dalam pembahasan ini, ada beberapa iastilah yang erat
hubungannya dengan khas, antara lain takhsis dan mukhassis.
Takhsis ialah mengeluarkan sebagaian lafal yang berada
lingkungan umum menurut batasan yang tidak ditentukan. Sedangkan mukhassis
ialah suatau dalil (alasan) yang menjadi dasar adanya pengeluaran lafal
tersebut.
C. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam ialah ilmu yang
membicarakan tentang wujud-nya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada
padanya, sifat-sifatyang tidak ada padanya dan sifat yang mungkin ada pada-nya
dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan
mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin
ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya (lihat Risalah Tauhid).
Ada yang mengatakan bahwa ilmu kalam
ialah yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaa-kepercayaan keagamaan
(Agama Islam)dengan bukti-bukti yang yakin (lihatal-Husun al-Himidiyah).
Adapun
Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu Kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan
mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil
fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari
kepercayaan-kepercayaan aliran golongan Salaf dan Ahli Sunanah.
Sedangkan Musthafa Abdul Raziq
berpendapat bahwa ilmu ini ( ilmu kalam) bersandar kepada argumentasi-argumentsi
rasional yang berkaitan dengan aqidah imaniah, atau sebuah kajian tentang
aqidah Islamiyah yang bersandar kepada nalar.
Menurut Ahmad Hanafi, di dalam
nash-nash kuno tidak terdapat perkataan al-Kalam yang menunjukkan suatu ilmu
yang berdiri sendiri sebagaimana yang diartikan sekarang. Arti semula dari
istilah al-Kalam adalah kata-kata yang tersusun yang menunjukkan suatu maksud
Kemudian dipakai untuk menunjukkan salah satu sifat Tuhan, yaitu sifat
berbicara. Sebagai contoh, kata-kata kalamullah banyak terdapat dalam
al-Qur’an, diantaranya pada Surah al-Baqarah ayat 75, 253, dan Surah an-Nisa’
ayat 164.
1. Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Sunber-sumber ilmu kalam dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dalil naqli ( al-Qur’an dan Hadits ) dan
dalil aqli ( akal pemikiran manusia ). Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber
utama yang menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya dan permasalahan aqidah Islamiyah uang lainnya. Para
mutakallim tidak pernah lepas dari-dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits ketika
berbicara masalah ketuhanan. Masing-masing kelompok dalam ilmu kalam mencoba
memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan Hadits lalu kemudian menjadikannya
sebagai penguat argumentasi mereka.
Di samping itu, dalil-dalil naqli ini tentunya
diperkuat dengan dalil aqli atau alur pikir yang logis. Dalil aqli ini ada yang
berasal dari ilmu keislaman murni dan ada yang diadopsi dari
pemikiran-pemikiran di luar Islam.Jadi kurang tepat kalau dikatakan bahwa ilmu
kalam itu merupakan ilmu keislaman murni, dan tidak benar juga kalau dikatakan
bahwa ilmu kalam itu timbul dari pemikiran di luar Islam seperti filsafat
Yunani. Yang benar adalah kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu bersumber dari
al-Qur’an dan Hadits yang perumusan-perumusannya di dorong oleh unsur-unsur
dari dalam dan dari luar.
Berikut
ini adalah sumber-sumber ilmu kalam:
1. Al-Qur’an
Sebagai
sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan
masalah ketuhanan,di antarannya adalah :
Q.S. Al-Ikhlas : 1-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Maha Esa.
Q.S. Asy-Syara : 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di
dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Q.S. Al-Furqan : 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang
bertahta di atas “Arsy”. Ia pencipta langit,bumi, dan semua yang ada diantara
keduannya.
Q.S.Al-Fath : 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu
berada diatas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang
teguh dengan janji Allah.
Q.S. Thaha : 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu
digunakan untuk memgawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
Ayat-ayat diatas berkaitan dengan
dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rinciannya tidak ditemukan. Oleh sebab
itu, para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya.
Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan disistematisasikan
yang pada gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu
kalam.
Ilmu
ini dinamakan ilmu kalam karena :
• Persoalan
terpenting yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan Hijriyah adalah “firman
Tuhan” (kalam Allah) dan ni azalinya Qur-an (khalaq al Qur-an). Karena itu
keseluruhan isi ilmu dinamai dengan salah satu bagiannya yang terpenting.
• Dasar ilmu kalam
ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil-dalil ini nampak jelas dalam
pembicaran-pembicaraan para mutakalimin. Mereka jarang kembali kepada dalil
naqli (Qur-an dan Hadist), kecuali sudah menetapkan benarnya pookok persoalan
lebih dahulu.
• Karena cara
pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama merupai logika dalam filsafat, maka
pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk membedakan dengan
logika dalam filsafat.
2.
Hadist
Masalah-masalah dalam ilmu kalam juga
disinggung dalam banyak hadits, Diantarannya yaitu hadits yang menjelaskan
tentang iman, islam, dan ihsan termasuk menyinggu ilmu kalam,salah satu di
antaranya juga
Adapula
beberapa Hadits yang kemudian dipahami sebagian umat sebagai prediksi Nabi
mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya :
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Orang-orang Yahudi
akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan.”
“Hadits yang diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa
umatku yang pernah menimpa Bani Israil, Bani Israil telah terpecah belah
menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan.
Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja, “ Siapa mereka itu,
wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang
mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku’.
Syaikh Abdul Qadir mengomentari bahwa
Hadits yang berkaitan dengan masalah faksi umat ini, yang merupakan salah satu
kajiiian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat banyak. Diantara sanad yang sampai
kepada Nabi adalah yang berasal dari berbagai sahabat, seperti Anas bin Malik,
Abu Hurairah, Abu Ad-Darba, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi Kaab, Abdullah
bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
Adapula
pada riwayat yang hanya sampai kepada sahabat. Diantaranya adalah Hadits yang
mengatakan bahwa umat islam akan terpecah belah kedalam beberapa golongan.
Diantara golongan-golongan itu, hanya satu saja yang benar, sedangkan yang
lainnya sesat.
Keberadaan Hadits yang berkaitan
dengan perpecahan umat seperti tersebut diatas, pada dasarnya merupakan
prediksi Nabi dengan melihat yang tersimpan dalam hati para sahabatnya. Oleh
sebab itu, sering dikatakan bahwa hadits-hadits seperti itu lebih dimaksudkan
sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat Nabi tentang bahayanya perpecahan
dan pentingnya persatuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut,
1. ‘Amr adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan
sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih
rendah kedudukannya.
2. Nahi adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak
yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan
kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
3. Lafal al-’aam adalah lafal yang menunjukkan pengertian
umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa
pembatasan jumlah.
4. Khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara
tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
5. Mutlaq
berarti bebas dari ikatan, dan Muqayyad berarti terikat
6. Mantuq
menurut bahasa berarti yang diucapkan sedangkan Mafhum menurut bahasa berarti
yang dipahami.
DAFTAR
PUSTAKA
Khairul Uman, Ushul
Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia. 2001.
Musthofa Hadna, Ayo Mengkaji Fikih untuk Madrasah Aliyah kelas XII, Jakarta:
PT Gelora Aksara Pratama, 2008.
Oneng Nurul Briyah, Materi Hadits, Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, 2008.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Penada Media Group. 2008.
blognya bagus bagus sekali kak
ReplyDeletesurat al baqarah
Terima kasih sudah mampir ke blog ini
ReplyDeleteKunjungi juga channel YouTube