BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tasawuf merupakan salah
satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani
manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Ia mencakup berbagai
jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah muapun
bathiniyah (esoterik). Melalui cara-cara atau ramalan-ramalan dalam dunia
kesufian, manusia diharapkan dapat tampil sebagai seorang yang berkepribadian
jujur dan benar dalam segala hal, hal ini juga berbeda dengan aspek fikih
khususnya pada bab thaharoh yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek
jasmani dan lahiriya yang selanjutnya disebut dengan dimensi ekstrorika.
Tasawuf mulai
mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif dalam
mengatasi masalah-masalah keduniawian. Hal ini terlihat bahwa tuntutan zaman
yang semakin membara membuat sebagian masyarakat cenderung mengarah kepada
akadensi moral dan keterpurukan akhlak. Manusia cenderung melakukan sesuatu
atas dasar kebebasan. Sehingga ia semene-mena dan acuh tak acuh terhadap akibat
yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
Tasawuf memiliki
potensi dan otoritas yang tinggi dalam menangani masalah ini. Tasawuf secara
intensif memberikan pendekatan-pendekatan agar manusia selalu merasakan
kehadiran Tuhan dalam kesehariannya. Kehadirannya berupaya untuk mengatasi
krisis akhlak yang terjadi di masyarakat islam di masa lalu (klasik) tahun
650-1250 M. Masa dimana kehidupan manusia bersifat foya-foya dan suka
menghamburkan harta. Dan sungguh masa kinipun sudah terlihat dan memperlihatkan
pengaruhnya terhadap perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Islam sebagai agama
yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas kebutuhan manusia,
selain menghadapi sifat lahirnia juga menghendaki kebersihan bathiniya lantaran
penelitian yang sesungguhnya dalam islam diberikan aspek bathiniya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian Tasawuf ?
2.
Siapakah para ahli yang telah melakukan
upaya penelitian tasawuf?
3.
Bagaimanakah metode-metodenya?
C. TUJUAN
1.
Untuk mengetahui pengertian tasawuf
2.
Untuk mengetahui para ahli yang timbul saat
penelitian tasawuf
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI TASAWUF
Tasawuf dari segi
kebahasaan terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf.
Harun Nasution misalnya, menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan
tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan
nabi dari makkah ke madinah, shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam
melaksanakan shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, shopos (bahasa
yunani:hikmah) dan suf (kain wol kasar).[1]
Ditinjau dari lima
istilah di atas, maka tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan keadaan yang
selalu beroreantasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola
hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela mengorbankan demi
tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya
membawa sesesorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal ynag kuat dan efektif
terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.[2]
Selanjutnya, secara teriminologis
tasawuf[3]
memiliki tiga sudut pandang pengertian. Pertama, sudut pandang manusia sebagai
makhluk terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya penyucian diri
dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya
kepada Allah. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang.
Sebagai makhluk yang harus berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri
dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama, dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah swt. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Sebagai fitrah yang memiliki kesadaran akan adanya Tuhan, harus bisa
mengarahkan jiwanya serta selalu memusatkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan Tuhan.
Tasawuf adalah cabang
dari ilmu agama yang dalam konteksnya apabila kita ingin memahami model
penelitian tasawuf,[4]
kita juga harus memahami aspek agama terlabih dahulu sehingga akhirnya muncul
beberapa konsep ilmu itu sendiri. Adapun penelitian agama, medanya mencakup
tiga lapangan, yakni pertama, memahami dan mengkaji kitab-kitab yang merupakan
sumber baku dari suatu agama, dan merupakan sumber statikanya. Kedua, mengkaji
hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam
pengembangan ajaran suatu agama. Medan kedua ini melahirkan ilmu-ilmu agama
(dalam kitab-kitab kuning) yang bersifat normatif dan deduktif. Sedang lapangan
yang ketiga oleh para ahli-ahli ilmu social disebut fenomena keagamaan. Yakni
prilaku dan pola-pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada
ditengah tengah masyarakat umat manusia. Ahli –ahli ilmu social menurut
matullada hanya bisa mengapai medan yang ketiga ini. Itupun hanya berkaitan
dengan perhatian dan penilaian cabang-cabang ilmu social itu. Tinjauan
sosiologis lain dengan tinjaun antropologis ataupun tinjauan historis. Tinjauan
ilmu ilmu social terhadap fenomena keagamaan islam memang telah memberikan
sumbangan yang amat berharga bagi penelitian dan pengembangan agama. Sokongan ini perlu dikaji dan dimanfaatkan.
Adapun mengenai tujuan, penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman
dan membudayakan pengalaman agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban
umat manusia. Dengan demikian, penelitian agama tujuanya tidak sama dengan
penelitian ilmiah dalam bidang social ataupun islamologi. Penelitian agama
memang telah tegas-tegas memihak bagi pengembangan kehidupan dan pemikiran umat
beragama. Yakni berusaha merekayasa bagi tumbuhnya budaya agama yang tegar dan
dinamis sesuai tuntutan zaman.
B. MODEL-MODEL PENELITIAN
TASAWUF
1. Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr
merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam melahirkan berbagai
karya ilmiah dia adalah ilmuan muslim ke-6 abad modern termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil
penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf dulu dan sekarang”
yang diterjemahkan Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh pustaka firdaus di
Jakarta tahun 1985. Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik,
yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema
tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap
ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa
tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam
upaya mencapai keutuhan manusia. Ia bahkan mengemukakan tingkatan-tingkatan
kerohanian manusia dalam dunia tasawuf.[5]
2. Model Mustafa Zahri
Mutafa Zahri memusatkan
perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul “kunci memahami ilmu
tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari
berbagai literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang terdapat dalam
tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta
dengan mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits. Ia menyajikan tentang
kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci
mengenal Allah, sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan
batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga menjelaskan tentang bagaimana
hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa Allah.[6]
3. Model Kautsar Azhari Noor.
Kautsar Azhari Noor
memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka disertasinya.
Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan tokoh
dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud. Paham ini
timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana yang diterangkan dalam uraian tentang
hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu, dijadikan-Nya
alam ini. maka alam ini merupakn cermin bagi Allah. Dikala Ia ingin melihat
dirinya, ia melihat kepada alam.[7]
Paham ini telah
menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai
membawa reinkarnasi, atau paham serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam berbagai
ciptanya. Dengan demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham
banyak Tuhan. Mereka berpendirian bahwa Tuhan dalam arti zat-Nya tetap satu,
namun sifat-Nya banyak. Sifat Tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas atau
mutunya, berbeda dengan sifat manusia.
4. Model Harun Nasution
Harun Nasution merupakan guru besar
dalam bidang teologi dan filsafat islam dan juga menaruh perhatian terhadap
penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan
mistisisme dalam islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran
tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan
stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad,
al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena
langsung menuju persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat
tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni
menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa,
walau hanya dalan garis besarnya saja.[8]
5. Model A. J. Arberry
Arberry merupakan salah
seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman, termasuk
dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya “pasang surut aliran tasawuf”, Arberry
mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik
dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang
firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf,
sruktur teori dan amalan tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf
serta runtuhnya aliran tasawuf.[9]
Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa
Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami
berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai
atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern
yang lebih luas.
C. PERSYARATAN PENELITI TASAWUF
Peneliti tasawuf
umumnya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan fenomenologis
atau verstehen. Jadi, grounded riset. Maka syarat mutlak bagi para peneliti
harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin
cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat
utama pertama ia harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang
kedua dia harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu.
Dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu
ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad kedua hijriah hingga
dewasa ini tentu mengembangkan terminology atau bahasa khusus yang hanya bisa
dimengerti dalam kaitanya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya
istilah “syariat” bagi para sufi pengertianya selalu dihubungkan dengan istilah
“hakikat”. Maka menurut kacama para sufi syariat hanya diberi makna sebatas
tingkah laku lahiria menurut aturan-aturan formal daripada agama.[10]
Jadi, laku bathin tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukan dalam
istilah syariat. Oleh karena itu, imam al-qusyairi misalnya dalam risalah
mengatakan :
(Maka setiap syariah yang tidak didukung
oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan
syariat tentu tidak ada hasilnya). Syariah dalam pengertian para sufi tidak
termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi, akan tetapi apakah
hakikat atau tasawuf itu batin syariah?
Banyak
istilah yang beredar dikalangan para sufi yang perlu diketahui, seperti :
maqam, hal, ma’rifat,tarekat, hakikat, hub, wara’, zuhud, tawakal, muraqabah,
fana’, baqa’, sakar, zikir, martabat, nur Muhammad, dan lainya.[11]
Istilah-istilah itu punya makna khusus yang tidak bisa dimegerti dengan makna
bahasa ataupun dengan pengertian dalam syariat. Zikir sufi lain dengan zikir
syar’i.
Adapun
syarat kedua : peneliti harus mempunyai pandangan yang terang tentang apa
tasawuf itu dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam. Hal ini penting karena
penelitian bergerak dalam bidang agama, bukan hanya penelitian bidang sosial,
dan diabadikan bagi pengembangan agama. Bahwa penelitian agama menilai setiap
fakta dari segi kepentingan pengembangan agama dan kemajauan umat beragama.
Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja. Tetapi untuk beribadah demi keagungan agama.
Mengenal
hakikat tasawuf tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian
yang cerah, lantaran adanya reotyped ideas yang telah lama direntak para
pendukung tasawuf. Terutama rumusan para propagandis penyusun sintesis anatara
kasyfu (tasawuf) dan naqli (syariat) seperti al-ghazali. Al-qsyairi dan
nsebagainya atau para ulama yang berusaha membelokan pengertian tasawuf dan
penghayatan kasyaf kearah’abid semisal ibnu khaldun dengan teorinya. Syariat
al-haditsyah atau kearah ahlak (ihsan) seperti ahmad rif’ai dengan pesantren
budiahnya. Hamka dengan ide tasawuf moderenya, maka para peneliti yang rindu
dengan kebenaran yang cerah, tidak puas dengan pengertian yang kabur,harus
berusaha mendobrak jeretan pengertian yang kabur tentang tasawuf diatas.
Peneliti
berusaha mencari dan menemukan intisari yang menjadi ide sentral dan ajaran
tasawuf. Menurut harun nasution dalam bukunya Filsafat dan mistisme dalam islam
intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaraan akan
adanya komunikasi dan dialoq (langsung) antara roh manusia dengan tuhan dengan
mengasingkan diri dan kontenplasi.
Apa
dialoq langsung (tatap muka) dengan tuhan didalamnya kontemplasi atau bahkan
ittihad semacam ini diajarkan oleh al-quran dan sunnah.? Menurut ibnu khaldun
ajaran berkontenplasi (samadi, meditasi) untuk bisa mengalami tatap muka langsung
dengan tuhan ini bukan ajaran islam. Hal ini merupakan kaitan tasawuf dengan
islam. Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari
ajaranya, adalah fana’ dan kasyaf. Fana dan kasyaf tentu bukan ajaran islam.
Maka mengenai definisi yang berkaitan dengan apa hakikat tasawuf atau mistik
pada umumnya adalah ajaran atau
kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau tuhan bisa didaptkan melalu
meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan
panca indera.[12]
Dari
uraian diatas, maka fana’ dan kasyaf adalah inti ajaran ketasawufan. Tanpa cita
fana dan kasyaf tidak aka nada tasawuf. Semua kegiatan , pemikiran, perasaan,
filsafat yang dimunculkan para sufi beserta konsep-konsep yang menyimbolkan
cita ketasawufan, berkaitan erat langsung atau tidak langsung dengan cita fana
dan khasyaf ini. Maka segala definisi tasawuf
yang tidak menonjolkan cita fana dan khasyaf adalah kabur, dan member
gambaran yang keliru, tidak jelas tentang tasawuf. Oleh karena itu bagi orang
yang melakukan pengamatan dan penelitian dalam dbidang tasawuf, harus berpegang
dalam inti cita tasawuf. Tanpa memahami cita inti sufisme, yakni fana dan
kasyaf, pengertian akan kabur. Laksana sibuta yang meraba-raba untuk mengenal
gajah. Dorongan yang menumbuhkan inti ajaran tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan
cita ajaran tasawuf rindu (hubulllah). Rindu untuk bisa menghayati dan
mengalami tatp muka secara intim dengan tuhan. Makrifitulloh yang berarti tatp
muka langsung dengan wajah tuhan ini hanya bisa dicapai dengan pengalaman fana’
dan kasyfi.
Seluruh
kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana dan kasyfi ini, tidak lain merupakan
pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi. Cirri fana dan kahsfi adalah pembeda
ajaran tasawuf dengan ajaran lainya.
Banyak penulis tentang tasawuf yang
hanya menonjolkan aspek tertentu tentang tasawuf, terutama aspek positifnya
tentang pengalaman agama. Buku-buku semacam ini tidak memberi pengertian yang
utuh tentang tasawuf, tidak banyak manfaat bagi pengamat dalam bidang sufisme,
apalagi yang aspeknya negative. Oleh karena itu, untuk mengetahui
pengertian utuh dan persoalan tentang
tasawuf, harus mempertimbangan cita inti sufisme, yaitu fana dan khasyaf.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam kaitanya ini tasawuf terbagi
dalam 3 sudut pandang :
1.
Sudut pandang manusia sebagai mahluk
terbatas
2.
Sudut pandang manusia harus berjuang
3.
Sudut pandang manusia sebagai mahluk
bertuhan
Dan
para ahli mempunyai model-model penelitian tasawuf ysng berebeda seperti :
Sayyed Husein Nasr, Mustafa Zahri,
Kautsar Azhari Noor, Hanun Nasution, A.J
Arberry dan kesemuanya ahli berbeda satu
dengan lainya.
B. SARAN
Penulis
banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah
di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja
grafindo persada
Nata,abuddin.1998.metodelogi studi
islam. Jakarta:Rajawali press
Rajab hadarah.2003. ahlak sufi.jakarta:
al mawardi prima
ijin share yah kak
ReplyDeleterusia
Iya silahkan
ReplyDeleteKunjungi juga channel YouTube