BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keadilan merupakan
persoalan pokok di dalam hukum. Keadilan juga merupakan salah satu tujuan dari
hukum. Bahkan di kalangan umum, keadilan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan
dengan hukum. Namun banyak pula yang menganggap bahwa keadilan masih tidak
dapat dicapai melalui hukum saat ini.
Keadilan tidak sama dan
sesederhana dengan sama rata. Keadilan pada perkembangannya pun memiliki
definisi yang berubah-ubah seiring dengan perkembangan zaman dan pola pikir
manusia.
Hakekat definisi
keadilan yang sebenarnya sulit ditentukan. Bahkan setiap orang memiliki
pandangan yang subjektif tentang bagaimana itu keadilan. Untuk itu penyusun
akan mencoba menjabarkan konsep keadilan ditinjau dari filsafat hukum.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Keadilan ?
2. Jelaskan
Keadilan Menurut Para Filosof ?
C.
Tujuan
Tujuan penyusunan
makalah ini adalah untuk mengetahui konsep keadilan ditinjau dari filsafat
hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisa
Keadilan
Keadilan atau dalam
bahasa Inggris, justice, merupakan bagian dari nilai (value) bersifat abstrak
sehingga memiliki banyak arti dan konotasi. Apabila dilihat dari semenjak awal
perkembangan peradaban manusia di dunia sampai saat ini, dari seluruh
perjalanan sejarah keadilan, khususnya bagi dunia barat, keadilan sering
berganti-ganti wajah secara periodik terbentuk berbagai rupa dari keadilan.[1]
Persoalan keadilan
sejalan dengan evolusi filsafat hukum. Evolusi filsafat hukum sebagai bagian
dari evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar persoalan
tertentu yang muncul secara berulang-ulang yaitu keadilan, kesejahteraan, dan
kebenaran. Di antara persoalan itu yang paling menonjol dalam kaitannya dengan
hukum adalah persoalan keadilan, karena hukum atau aturan perundang-undangan harusnya
adil, namun seringkali berkebalikan dan bahkan terabaikan. Hukum selalu
berketerkaitan dengan keadilan walaupun sering secara empiric kurang disadari
sepenuhnya sebagaimana dikatakan oleh Cicero “tidaklah mungkin mengingkari
karakter hukum sebagai hukum yang tidak adil, sebab hukum seharusnya adil,”
katanya. Barangkali kita dapat mengatakan bahwa hukum tanpa keadilan ibarat
membuat gulai tanpa daging, hampa tak bermakna. Sebaliknya keadilan tanpa hukum
ibarat menyeberangi sungai tanpa jembatan, tertatih-tatih.
Keadilan merupakan
persoalan fundamental dalam hukum. Kaum naturalis mengatakan bahwa tujuan utama
hukum adalah keadilan. Akan tetapi, di dalam keadilan ada sifat relativisme,
karena sifatnya yang abstrak, luas, dan kompleks maka tujuan hukum seringkali
ngambang. Oleh karena itu, selayaknya tujuan hukum haruslah lebih realistis.
Tujuan hukum yang agak realistic itu adalah kepastian hukum dan kemanfaatan
hukum. Namun demikian sekalipun kaum positivisme lebih menekankan pada
kepastian hukum dan kaum fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, kitapun
dapat mengatakan bahwa summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux (hukum
yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya). Jadi
walaupun keadilan itu bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya tetapi tujuan
hukum yang paling substantif adalah keadilan.
Apa itu keadilan?
Aristoteles, seorang pemikir Yunani mengatakan bahwa unicuique suum tribuere
(memberikan kepada setiap orang sesuatu yang menjadi haknya) dan neminem
laedere (janganlah merugikan orang lain) atau lengkapnya menurut Kant, honeste
vivere, neminem laeder, suum quique tribuere/tribuendi. Berdasarkan pemikiran
yang demikian, titik berat para pejuang keadilan berusaha untuk memperjuangkan
agar negara memberikan keadilan kepada yang berhak memperolehnya. Jika
seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka kita wajib memberikan hak itu
kepadanya.
Keadilan dapat menunjuk
pada tiga hal, yaitu keadaan, tuntutan dan keutamaan. Keadilan sebagai keadaan
menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh apa yang menjadi haknya dan
diperlakukan sama secara adil pula. Keadilan sebagai tuntutan menyatakan bahwa
setiap orang berhak menuntut agar keadilan itu diciptakan baik dengan mengambil
tindakan yang diperlukan (bertindaklah bila perlu dan wajar menurut rasa
keadilan) maupun dengan menjauhkan diri dari tindakan yang tidak adil
(berbuatlah kebajikan dan jauhkanlah diri dari ketidakadilan). Keadilan sebagai
keutamaan adalah sebuah tekad untuk selalu berpikir, berkata, dan berperilaku
adil, itulah kejujuran yang substantif.[2]
Keadilan adalah kondisi
kebenaran ideal secara moral mengenai segala sesuatu hal, baik menyangkut benda
atau orang. Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada
tempatnya.[3]
Keadilan yang
substantive adalah keadilan yang dapat dinikmati oleh setiap warga negara.
Dalam perwujudannya terdapat keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara
keadilan yang diberikan secara individual dengan keadilan secara kolektif atau
keadilan social.[4]
B.
Keadilan
Menurut Para Filosof
1.
Menurut Plato
Socrates, filosof
Yunani yang genius ini tidak secara khusus berbicara tentang keadilan.
Pandangannya tentang keadilan ditemukan dalam pandangan-pandangan Plato. Menurut
pandangan Plato, keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan
yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu. Dalam bukunya The
Laws, Plato tidak hanya membentangkan pikirannya tentang hukum secara khusus,
tetapi juga tentang keadilan, sedangkan hukum secara khusus ditemukan dalam
bukunya yang lain, The Republic.
Keadilan dan hukum memiliki ikatan yang sangat kuat. Keadilan
diperoleh melalui penegakan hukum. Hukum menurut Plato adalah hukum positif
yang dibuat oleh si pembuat undang-undang yang maha tahu yaitu negara. Baginya
negara adalah satu-satunya sumber hukum. Dengan mengatakan bahwa keadilan hanya
ada di dalam hukum yang dibuat oleh negara, maka ia diklasifikasinya sebagai
penganut monisme hukum dan memang dari Plato lah monisme hukum itu lahir.
Monisme berasal dari kata ‘mono’ yang berarti tunggal atau satu-satunya. Dengan
demikian, filsafat hukum Plato mengingatkan kita pada filsafat negara totaliter
modern yang menempatkan segala aspek kehidupan perorangan di bawah pengawasan
hukum dan administrasi negara. Menurut Plato, hukum adalah suatu aliran emas,
penjelmaan dari ‘the right reasoning’ (cara berpikir benar). Akan tetapi isi
dan sumber pikiran-pikiran itu oleh Plato tidak diberi penjelasan. Dalam
kaitannya dengan itu, Plato membuat criteria keadilan adalah ‘kebaikan’ dalam
arti harmoni dan pertimbangan dari dalam, yang tidak dapat diketahui atau
diterangkan dengan argumentasi ‘rasional’.[5]
Plato memandang
keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial. Setiap
warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat
alamiahnya.[6]
2.
Menurut Aristoteles
Aristoles adalah
seorang filosof yang pertama kali merumuskan arti keadilan. Beliau mengatakan
bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya,
fiat jutitia bereat mundus. Dalam pengertian ini Aristoteles membagi dua jenis
keadilan yaitu justitia correctiva (keadilan korektif) dan justitia
distributiva (keadilan distributif/membagi). Justitia correctiva (keadilan
korektif) mirip dengan justitia commutative menurut Thomas Aquinas atau disebut
juga keadilan refitikator yaitu keadilan yang di dasarkan atas transaksi
(sunallagamata) baik dilakukan secara sukarela maupun dengan paksaan. Keadilan
ini pada umumnya terjadi dalam lapangan hukum privat seperti jual-beli,
tukar-menukar, atau sewa-menyewa.
Keadilan distributiva
(justitia distributiva) adalah keadilan yang membagi yang membutukan distribusi
atas penghargaan. Keadilan ini berkenaan dengan hukum public. Aktualisasi
keadilan ini berkaitan dengan kesediaan seseorang berperilaku adil atau tidak
adil, tetapi juga berkenaan dengan kebijakan public, yaitu struktur
proses-proses politik, ekonomi, social dan budaya dalam masyarakat dan negara
pada umumnya. Misalnya, apakah upah buruh ditetapkan secara wajar-tidak wajar
atau patut-tidak patut tidak hanya ditentukan pada rasa keadilan sang
majikan,melainkan oleh kondisi social, politik dan ekonomi pada umumnya.
Keadilan corrective
(justitia correctiva) adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama
banyaknya. Jadi, disini berlaku prinsip kesamaan tanpa memperhatikan jasa-jasa
atau amal baktinya. Ia memegang peran dalam hubungan hukum transaksi
tukar-menukar barang atau jasa, dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat
persamaan antara apa yang dipertukarkan. Corrective justice lebih menguasai
hubungan hukum antar individu. Pengertian ini mirip dengan pengertian keadilan
komutatif atau justitia commutativa menurut Thomas Aquinas.
Keadaan yang adil
menurut Aristoteles adalah suatu keadaan dimana ada keseimbangan atau titik
tengah antara dua ekstrim dalam berbagai keadaan, karena baginya dari dunia
moral hanya berada di dua kemungkinan: kemaksiatan dan kebajikan. Pandangan ini
mirip dengan pandangan Plato. Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan
keseimbangan roh dari dalam yang tidak dapat dianalisa dengan akal. Ajaran
Aristoteles ini sebagaimana dalam tulisannya tentang Eticha Nicomacheia, sering
dikenal dengan sebutan “ajaran Mesotes”. Jika kita perhatikan bahwa dalam
ajaran Aristoteles ini seolah-olah menyamakan hukum dan moral. Ajaran ini yang
selalu dikritik oleh Hans Kelsen yang menyebutkan Aristoteles sebagai filosof
moral. Hal ini dapat dipahami karena Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum dan
moral adalah dua hal yang berbeda, hukum harus dipisahkan dari moral, hukum
harus murni dan objektif.[7]
Yang sangat penting
bagi sudut pandangnya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam
pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat perbedaan penting antara kesamaan
numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan tiap manusia
sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan
yang kita maksudkan ketika mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan
hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuannya, prestasinya dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles
menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.[8]
3.
Menurut Thomas Aquinas
Thomas van Aquinas
(1274) dalam bukunya yang berjudul Summa Theologica menancapkan ajarannya
selama bertahun-tahun selama kekuasaan gereja katolik. Inti ajarannya berkenaan
dengan hukum alam. Dalam ajarannya itu Thomas Aquinas (Aquino) dengan berpegang
pada ajaran Agustinus sebelumnya yang scholastik (filsafat gereja Katholik),
menetapkan tentang hubungan antara nilai agama dan doktrin keilmuan.
Pandangannya yang paling utama mengatakan bahwa “kebenaran hanya ada dalam
gereja.”. Berdasarkan pandangannya itulah, semua ilmu wajib selaras dengan
ajaran gereja (Khatolik). Setiap ajaran yang bertentangan dengan ajaran gereja
Khatolik itulah hendaknya dianulir.
Thomas Aquinas, filsuf
hukum alam, membagi keadilan atas dua macam yaitu keadilan umum (justitia
generalis/universalis) dan keadilan khusus (justitia spesicalis). Keadilan umum
adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang wajib dikerjakan atau wajib
tidak dikerjakan/wajib dihindari demi kepentingan umum. Dalam pembagian Thomas
Aquinas keadilan ini disebut justitia
legalis yaitu keadilan berdasarkan hukum. Keadilan khusus adalah
keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus (justitia
spesicalis) ini dibagi lagi atas tiga yaitu: keadilan yang membagi (justitia
distributiva), keadilan karena kebersamaan (justitia commutativa) dan keadilan
yang memberi (justitia vindicativa).[9]
4.
Menurut Hans Kelsen
Hans Kelsen merupakan
salah satu figur utama dalam ajaran yang murni tentang hukum (Reine
Rechtslehre) yang menegaskan bahwa pengertian hukum harus dibedakan dengan
pengertian keadilan. Menurutnya keadilan adalah persoalan filsafat bukan
persoalan hukum. Keadilan tidak memberi jawaban tentang kekuatan berlakunya
hukum. Jawaban bagi kekuatan berlakunya hukum sehingga kaidah-kaidahnya wajib
dilaksanakan dan ditaati, sangat tergantung pada hubungan yang ditetapkan
antara hukum dan keadilan. Hubungan itu pada dasarnya, dengan meminjam
pandangan Gustav Radbruch bahwa “hukum bisa saja tidak adil ... tetapi hukum
hanyalah hukum karena maunya adil.” Meskipun demikian, hubungan antara hukum
dan keadilan seperti yang dirumuskan Radbruch itu belum menjelaskan banyak
persoalan tentang hakekat keadilan, dengan begitu, juga timbul persoalan
kapankah hukum itu kondusif digunakan untuk menegakkan keadilan. Akan tetapi
pandangan Kelsen itu perlu juga dibandingkan dengan pandangan Radbruch itu.
Jika keadilan diletakkan di luar hukum, maka orang dapat mencari keadilan tanpa
harus melalui hukum.
Melalui analisisnya
yang rinci terhadap posisi ajaran hukum alam di satu pihak dan ajaran positivisme
di pihak lain, Hans Kelsen tiba pada konsekuensi berikut: norma keadilan yang
metafisik pada dasarnya lahir dari ajaran hukum alam yang idealistis. Karena
seperti yang sudah terjadi dengan idealisme Plato, idealisme dalam ajaran hukum
alam juga menyiratkan dualisme dalam norma keadilan. Yang satu adalah norma
keadilan yang sumbernya bersifat transcedental dan yang lain lagi adalah
keadilan yang bersumber pada akal budi manusia yang prudential (arif). Itulah
sebabnya mengapa ajaran hukum alam sebaliknya bersifat monistik, karena ajaran
itu hanya mengakui satu macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum
positif yang diterapkan oleh manusia.
Hans Kelsen kemudian
mengambil sikap dengan mengembangkan pandangan yang kemudian dikenal sebagai
ajaran hukum murni. Dengan tegas ditulisnya bahwa ajaran hukum murni yang
dikembangkannya ini bersifat monistik, dan karenanya hanya mengakui satu macam
hukum, yaitu hukum positif. Meskipun demikian, ajaran hukum murni mengakui
peranan dari norma dasar (grundnorm) yang merupakan produk dari proses yang
transcendental-logis, dan dengan demikian Kelsen mempertahankan metode yang
digunakan dalam ajaran hukum alam. Norma dasar itu bukanlah suatu jenis hukum
yang lain dari hukum positif, melainkan dasar moral dari hukum positif itu
sendiri, grundnorm. Kelsen walaupun ia seorang Platonis, namu ia pun
mengkritisi pandangan Plato sebagaimana dilihat di atas, sehingga Kelsen
memiliki pandangannya sendiri dengan seorang idealis Platonis yang kritis.[10]
5.
Menurut John Rawls
Tentang keadilan, John
Rawls berpendapat bahwa perlu ada keseimbangan, kesebandingan, dan keselarasan
(harmony) antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama atau
kepentingan masyarakat, termasuk di dalamnya negara. Bagaimana ukuran dan
keseimbangan itu dibentuk, diperjuangkan dan diberikan itulah yang disebut
dengan keadilan. Keadilan tidak dapat diberikan begitu saja, melainkan melalui
perjuangan. Itulah inti dari kehidupan ini. Keadilan merupakan nilai yang tidak
dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan kestabilan dan
ketenteraman dalam hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan antara
kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama atau kepentingan masyarakat itu
diperlukan aturan-aturan yang dibangun secara adil pula. Disinilah hukum
bertindak sebagai wasit, bukan hanya sebagai wasit yang mati hati nuraninya,
melainkan wasit yang di adil. Pada masyarakat modern, hukum baru akan dapat
ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.
Hukum menurut John
Rawls, dalam konteks yang sedang dibahas, tidak boleh dipersepsikan sebagai
wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain sebagaimana diajarkan
oleh kaum utilitarianisme. Hal itu tidaklah cukup. Hukum haruslah menjadi hakim
yang tidak netral, melainkan selalu berpihak yaitu keberpihakan pada kebenaran
dan keadilan. Menurut Rawls hukum haruslah menjadi penuntun agar orang dapat
mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya. Jika
memang sangat diperlukan, hukum dapat pula menjadi hakim yang memihak, yaitu
memihak kepada mereka yang sedang tidak memperoleh keadilan, kaum
terpinggirkan.[11]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keadilan adalah kondisi
kebenaran ideal secara moral mengenai segala sesuatu hal, baik menyangkut benda
atau orang. Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada
tempatnya.
Keadilan yang
substantif adalah keadilan yang dapat dinikmati oleh setiap warga negara. Dalam
perwujudannya terdapat keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara keadilan
yang diberikan secara individual dengan keadilan secara kolektif atau keadilan
sosial.
Para filsuf dan pakar
memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam mengartikan tentang konsep keadilan.
B.
Saran
Saran yang dapat
diberikan oleh penyusun antara lain: praktisi hukum terutama hakim sebaiknya
mempelajari konsep keadilan secara filosofis agar dapat menjalankan tugas dan
pekerjaannya dengan lebih baik dan benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Friedrich, C. J. 2010.
Filsafat Hukum: Perspektif Historis. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Juni, E. H. 2012.
Filsafat Hukum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Keadilan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan. 4 November 2014
Rato, D. 2011. Filsafat
Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum. Surabaya: LaksBang Justitia.
No comments:
Post a Comment