BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di
ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam terpecah menjadi tiga
kekuatan politik, yaitu Syiah, Muawiyah, dan Khawarij. Keadaan ini tentunya
tidak menguntungkan bagi Ali, akibatnya posisi Ali semakin lemah, sementara
posisi Muawiyah semakin kuat. Dan pada tahun 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh
salah seorang anggota Khawarij .
Setelah
Ali bin Abi Thalib meninggal, kedudukannya sebagai khalifah dijabat oleh
anaknya, Hasan. Namun karena penduduk Kufah tidak mendukungnya, seperti sikap
mereka terhadap Ayahnya, maka Hasan semakin lemah, sementara Muawiyah semakin
kuat. Maka Hasan mengadakan perjanjian damai dengan Muawiyah dengan
menanggalkan jabatan khilafah untuk Muawiyah pada tahun 41 H (661 M), agar tidak
terjadi pertumpahan darah yang sia-sia. Perjanjian tersebut dapat mempersatukan
umat Islam dalam satu kepemimpinan politik, yakni di bawah kepemimpinan
Muawiyah bin Abi Sufyan. Tahun tersebut
dalam sejarah dikenal sebagai tahun al-Jama'ah (tahun persatuan), sebagai tanda
bahwa umat Islam telah menyepakati secara aklamasi mempunyai hanya satu orang
khalifah. Di sisi lain penyerahan tersebut menjadikan Muawiyah sebagai penguasa
absolut dalam Islam. Dengan demikian, maka
berakhirlah apa yang disebut dengan masa Khulafa' al-Rasyidin yang bersifat
demokratis, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik Islam
yang bersifat keturunan.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana
sejarah Daulah Umayyah ?
2.
Jelaskan
Munculnya Daulah Umayyah ?
3.
Sebut
dan Jelaskan Periodesasi ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
Bagaimana sejarah Daulah Umayyah
2.
Mengetahui Jelaskan Munculnya Daulah Umayyah
3.
Mengetahui
Bagaimana sejarah pada periode-periode
tertentu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Daulah Umayyah
Daulah
Umayyah adalah negara Islam yang memiliki sejarah besar dan pengaruh yang luas
dalam penyebaran agama Islam. Daulah ini berhasil mempersatukan wilayah dari
Cina hingga Prancis bagian Selatan di bawah satu naungan kekhalifahan Islam,
Kekhalifahan Bani Umayyah.[1]
Masa
ini adalah masa keemasan Islam, masa dimana generasi terbaik Islam hidup bahkan
di antara mereka menduduki kursi pemerintahan. Masa ini adalah masa dimana para
sahabat Nabi masih hadir membimbing umat. Masa ini adalah masa berkumpulnya
tiga generasi terbaik; sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari
negeri-negeri taklukkan, Daulah Umayyah lahirlah putra-putra terbaik Islam
semisal Imam Bukhari, Muslim, an-Nasa-i, Tirmidzi, Ibnu Khaldun, ath-Thabari,
adz-Dzahabi, dan tokoh-tokoh lainnya.[2]
Semestinya
hal ini cukup membuat orang-orang setelah mereka memuji mereka dan mendoakan
kebaikan untuk mereka atas jasa yang telah mereka usahakan untuk Islam dan kaum
muslimin.
Wilayah
kekuasaan Bani Umayyah. Terbentang dari sebagian wilayah Cina hingga Selatan Prancis. Artinya, Bani Umayyah telah
menyebarkan Islam ke berbagai negara di belahan dunia.
Wilayah kekuasaan Bani Umayyah.
Terbentang dari sebagian wilayah Cina hingga Selatan Prancis. Artinya, Bani
Umayyah telah menyebarkan Islam ke berbagai negara di belahan dunia.
Namun, orang-orang lebih pandai
melihat cela kemudian jasa-jasa besar itu pun seolah-olah tiada artinya.
Beberapa kejadian buruk di masa pemerintahan inilah yang selalu diangkat dan
diulang-ulang, terutama oleh kalangan musuh-musuh Islam. Sehingga hal itu cukup
berpengaruh di sebagian umat Islam.
B. Munculnya Daulah Umayyah
Kekhalifahan
Bani Umayyah didirikan pada tahun 41 H dengan penyerahan kekuasaan oleh cucu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin Ali, kepada Muawiyah bin
Abu Sufyan. Al-Hasan radhiallahu ‘anhu melakukan hal itu untuk menjaga
persatuan dan terjaganya darah kaum muslimin setelah sebelumnya terjadi
perpecahan.[3]
Munculnya
daulah ini membuat posisi orang-orang penyebar fitnah perpecahan terpojok dan
membuat cita-cita mereka pupus. Karena mereka hanya menginginkan kejelekan
untuk umat Islam. Mereka menginginkan peperangan dan perpecahan umat ini terus
berlangsung.
Penyerahan
kekuasaan yang dilakukan oleh cucu Rasulullah menunjukkan bahwa berdirinya
kekhalifahan ini tidak dengan cara-cara yang tidak disyariatkan seperti
memberontak dan lain sebagainya.[4]
C. Periodesasi
Daulah
Umayyah dibangun dan diperkuat pondasinya pada masa pemerintahan dua khalifah,
yakni pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan dan anaknya Yazid bin
Muawiyah. Proses tersebut berlangsung dari tahun 41 H sampai 64 H.[5]
Periode
berikutnya adalah periode fitnah. Berlangsung antara tahun 64 H sampai 86 H,
yakni pada masa Khalifah Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Hakam, dan Abdul Malik
bin Marwan. Pada masa ini terjadi pemberontakan terhadap penguasa dan
peperangan sesama umat Islam.
Perideo
berikutnya adalah periode kekuatan, sama halnya dengan periode Muawiyah dan
Yazid. Berlangsung antara tahun 86 H sampai 125 H. Yaitu pada masa Khalifah
al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul
Aziz bin Marwan, Yazid bin Abdul Malik, dan Hisyam bin Abdul Malik.
Periode
kemunduran hingga jatuhnya kekhalifahan Bani Umayyah terjadi antara tahun 125 H
hingga 132 H. Pada masa ini banyak terdapat khalifah dalam satu negara.
Dengan
demikian periode keemasan Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua fase, antara
tahun 41–64 H dan 86–125 H. Begitu pula masa kemundurannya terbagi menjadi dua
fase, antara tahun 64–86 H (tidak sampai menyebabkan kekhalifahan runtuh) dan
125–132 H ditandai dengan runtuhnya kekhalifahan.
1. Khalifah Muawiayah bin Abi Sufyan
Muawiyah
bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu memeluk Islam pada tahun 7 H. Ia adalah
saudara ipar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena istri Nabi,
Ummu Habibah binti Abi Sufyan, merupakan saudari dari Muawiyah. Ia juga penulis
wahyu Alquran dan periwayat hadits-hadits Nabi. Dari sini kita bisa ketahui,
orang yang mencela Muawiyah adalah mereka yang menghendaki batalnya apa yang
diriwayatkan Muawiyah yakni Alquran dan hadits.[6]
Muawiyah
adalah seorang yang ahli dalam kepemimpinan. Tidak heran sedari zaman
Rasulullah hingga zaman Utsman bin Affan, ia diberikan amanat yang besar.
Rasulullah mengamanitinya sebagai penulis wahyu, Umar dan Utsman menjadikannya
sebagai gubernur Syam. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada penguasa kaum
muslimin yang lebih baik dibanding Muawiyah, jika dibandingkan dengan masa
setelahnya. Adapun jika dibandingkan dengan masa Abu Bakar dan Umar, barulah
terlihat ada penguasa yang lebih utama”. (Minhajussunnah, 6: 232). Demikian
juga pendapat ahli sejarah semisal al-Ya’qubi dan al-Mas’udi.
2. Khalifah Yazid bin Muawiyah
Setelah
Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu wafat, putranya Yazid menggantikan
kedudukannya sebagai khalifah. Muawiyah memilih Yazid karena menurutnya
pengangkatan Yazid akan meredam gejolak dan fitnah. Ia menyadari di saat itu
ada orang-orang yang utama semisal Husein bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Zubair, Abdullah bin Umar, dll. Namun memilih mereka dikhawatirkan akan terjadi
pemberontakan dari kalangan Bani Umayyah yang memiliki kekuatan di saat itu.[7]
Singkat cerita,
pengangkatan Yazid memang dipandang kontroversial namun kenyataannya tidaklah seperti
penilaian orang-orang pada saat ini. Mari kita serahkan penilaian terhadap
Yazid kepada seseorang yang shaleh yang hidup sezaman dengan Yazid, bukan
kepada orang-orang yang hidup setelah Yazid dan diperparah seandainya mereka
bukan orang yang shaleh. Penilaian itu kita serahkan kepada salah seorang anak
Ali bin Abi Thalib, saudara beda ibu dari Hasan dan Husein, dan ulama di masa
tabi’in, yakni Muhammad al-Hanafiyah.
Ibnu Muthi` berkata kepada
Muhammad al-Hanafiyah, “Sesungguhnya Yazid itu meminum khamr dan meninggalkan
shalat”. Ia mengajak Muhammad al-Hanafiyah untuk memberontak kepada Yazid. Lalu
Muhammad al-Hanafiyah menjawab, “Aku tidak melihat pada dirinya seperti apa
yang kalian katakan. Aku datang di majlisnya dan tinggal bersamanya, kulihat ia
adalah seorang yang tekun dalam shalat, semangat mengerjakan kebaikan, bertanya
tentang fikih, dan memegang erat sunnah”.
Ibnu Muthi’ dan
orang-orang yang bersamanya menjawab, “Hal itu ia buat-buat dihadapanmu”.
Muhammad menjawab, “Apa yang ia takutkan dan harapkan dariku? Apakah kalian
bisa memperlihatkan kepadaku apa yang kalian katakana terhadapnya?” Tantang
Muhammad al-Hanafiyah.
Mereka menjawab,
“Sesungguhnya kabar yang kami dengar itu bagi kami adalah kenyataan, walaupun
kami belum pernah melihatnya”. Kata Muhammad, “Demi Allah, penilaian seperti
itu hanyalah hak bagi orang-orang yang benar-benar melihatnya.” (Huqbah min
at-Tarikh, Hal: 138-139).
Syaikh Utsman al-Khomis
mengatakan, “Kefasikan yang dinisbatkan kepada pribadi Yazid seperti meminum khamr,
mempermainkan hukum, kejal, dll. Tidaklah bersumber dari berita yang shahih”
(Huqbah min at-Tarikh, Hal: 139). Berita-berita demikian dibuat-buat oleh
orang-orang yang membenci Yazid lalu kemudian menjadi santapan para orientalis
untuk menyerang bobroknya kekhalifahan Islam, meskipun masanya tidak jauh dari
zaman Nabi. Sangat disayangkan hal ini ditelah mentah-mentah oleh generasi
Islam yang belakangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama
Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia
adalah salah seorang tokoh penting ditengah Quraisy pada masa Jahiliah. Ia dan
pamannya Hasyim bin Abd Manaf selalu bertarung dalam merebutkan kekuasaan dan
kedudukan
Masa
pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, di mana perhatian
tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terjadi sejak zaman
khulafaur rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa
diempat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang
meliputi tanah spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria,
Palestina, sebagian daerah Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India dan
negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan
yang termasuk Soviet Rusia
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khomis, Utsman bin Muhammad. Huqbah min at-Tarikh.
1999. Iskandariyah: Dar al-Iman.
ash-Shalabi, Ali bin Muhammad. ad-Daulah al-Umayyah.
2008. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Ali, K, Sejarah Islam dari Awal Hingga Runtuhnya
Dinasti Usmani, dari buku asli A Study
of Islamic History, diterjemahkan oleh Ghufron Aa,. Mas’adi, Cet. IV; Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003.
Amin, Ahmad, Dhuha Islam, Kairo: Maktabah
Al-Nahda,1972.
Al-Harwy, Abd, al-Sami Salim, Lugha al-Idarah, t.tp:
al-Haiah al-Misrishriyah, 1986.
Al-Hisyam, Sejarah Kebudayaan Islam, Cet.IV; Jakarta:
Bulan Bintang, 199
sangat menarik sekali untuk dibaca
ReplyDeletesindonews
Kunjungi juga channel YouTube
ReplyDelete