Subscribe di sini

Wednesday 22 April 2020

MAKELAR DALAM HUKUM BISNIS




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Di zaman serba modern ini berbagai bidang dapat di masuki perusahaan atau industri akibat perubahan yang cepat dalam selera, teknologi, dan persaingan. Untuk menghadapi persaingan, maka perusahaan perlu melaksanakan usaha kegiatan pemasaran dengan menggunakan saluran distribusi yang tepat sehingga tujuan dapat dicapai. Tujuan utama perusahaan pada intinya sama, yaitu dapat meningkatkan volume penjualan sehingga laba yang dihasilkan akan terus meningkat, namun tanpa meninggalkan kepuasan yang dirasakan oleh konsumen. Perkembangan dunia dewasa ini mengalami  peningkatan yang cukup pesat. Peningkatan itu disebabkan karena kebutuhan manusia yang semakin komplek. Sehingga hal ini mendorong perusahaan untuk memenuhi akan permintaan suatu kebutuhan.
Dalam proses jual beli kita temui para manusia yang ingin membantu dalam memenuhi kebutuhan, baik berupa usaha dengan modal sendiri maupun dengan jalan sebagai jalan perantara atau penghubung.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian dari Makelar
2.    Apa Kewajiban dari Makelar dan macam-macamnya
3.    Apa Hukum Makelar menurut pandangan islam
4.    Beberapa Persyaratan dan Hikmah dari Makelar
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian
Makelar dalam kitab-kitab fiqh terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau simsarah. Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.[1]
Makelar adalah pedagang perantara yag berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain makelar ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar yang terpercaya tidak dituntut risiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya baarang dengan tidak sengaja.[2]
Makelar ialah seorang perantara antara si pembeli dan si penjual barang. Pekerjaan makelar, ialah mengadakan perjanjian-perjanjian atas nama, atas perintah dan biaya orang lain.
Seorang makelar harus diangkat oleh pemerintah. Sesudah mendapat pengangkatan, ia harus disumpah dihadapan pengadilan negeri, dalam wilayah hukum tempat tinggal makelar itu. Makelar bersumpah, bahwa ia akan memenuhi segala kewajiban yang diberikan kepadanya dengan tulus dan ikhlas hati.
Seorang makelar bertindak sebagai pesuruh dengan hak perwakilan, tetapi makelar tidak boleh mempunyai hubungan kerja yang tetap dengan penyuruhnya, misalnya seorang kuasa usaha(procutariehouder) dari suatu perseroan terbatas, tidak diperbolehkan menjadi makelar dati P.t itu.
Makelar bertindak atas nama mereka yang menyuruh, dengan kata lain ia menyiapkan perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak. Seorang hanya dapat menjadi makelar untuk satu macam barang saja, misalnya makelar semen. Makelar untuk beberapa barang atau makelar untuk segala macam barang dapat juga, asal hal itu dinyatakan dengan tegas dalam akta pengangkatannya. Masyarakat perdagangan mengenal juga makelar barang-barang tak bergerak, meskipun hal demikian tidak disebut dalam undang-undang.
Pada jaman hindia-belanda pejabat itu adalah Gubernur Jenderal atau pembesar lainnya yang diwajibkan oleh gubernur jenderal itu. Pada waktu sekarang terdapat dua pendapat tentang pejabat negara yang berhak mengangkat makelar itu:
a.     Menurut Prof. Sukardono pengangkatan itu harus dilakukan oleh menteri kehakiman atau pembesar lainnya yang diberi delegasi oleh menteri itu.
b.    Menurut Prof. Subekti, makelar itu diangkat oleh Presiden RI atau oleh pembesar lain yang oleh Presiden telah dinyatakan berwenang untuk itu.
Dengan kembalinya Negara Republik Indonesia kepada Undang-undang Dasar 1945 (vide Dekrit Presiden 5 juli 1959) yang menganut sistem kabinet Presidentil, dimana Menteri-Menteri hanyalah sekedar pembantu Presiden, maka pendapat Prof. Subekti tersebut kiranya dapat kita ikuti.
Dengan pengangkatan resmi dan pengucapan sumpah, maka dapatlah dianggap kedudukan seorang makelar itu semaccam notaris atau Pengacara. Menurut pasal 65 ayat 1 KUHD pengangkatan seorang makelar itu ada 2 macam, yakni:
a.     Pengangkatan yang bersifat umum, yaitu untuk segala jenis lapangan/cabang perniagaan.
b.    Pengangkatan yang bersifat terbatas yakni bahwa dalam aktanya ditentukan untuk jenis-jenis lapangan/cabang perniagaan apa mereka diperbolehkan menyelenggarakan pemakelaran mereka, misalnya untuk  wesel, efek-efek, asuransi, pembuatan kapal dan lain-lain.[3]
Menurut pasal 65 ayat 2 KUHD, makelar tidak boleh berdagang untuk kepentingan sendiri baik secara individu ataupun dengan perantara orang lain, atau bersama-sama dengan orang lain, ataupun menjadi penanggung. Larangan ini berarti bahwa seorang makelar yang diangkat dalam hal jual-beli efek misalnya, tidak diperkenankan turut ambil bagian dalam transaksi yang bersangkutan, apabila ini dilanggar maka menurut Pasal 71 KUHD ia harus dibebaskan dari tugasnya (dischors) atau dilepaskan dari jabatannya, Schorsing dan pemecatan ini dilakukan oleh pejabat umum yang mengangkatnya, dan berdasarkan Pasal 73 KUHD ia (makelar) tidak dapat diangkat kembali dalam jabatan itu. Seorang makelar harus bertanggung jawab atas kerugian akibat kesalahannya.
Selanjutnya dalam Pasal 69 KUHD disebutkan tentang Jual beli dengan contoh (monster). Perjanjian jual-beli dengan contoh adalah berlainan dengan perjanjian jual-beli secara percobaan (koop of proef), koop of proef diatur dalam pasal 1463 KUHS disebutkan suatu jual-beli ditentukan, bahwa barang yang dibeli harus dicoba terlebih dahulu oleh si pembeli, misalnya jual-beli radio/mobil dan lain-lain.
Dalam hal jual beli secara percobaan tergantung dari pendapat si pembeli pada saat mencoba barang, apakah jual-beli akan dilanjutkan atau tidak. Selama pembeli belum menentukan pendapatnya, tentang barang itu, jual beli belum dapat dilalaksanakan. Akan tetapi perjanjian jual beli  sudah terjadi, hanyalah dengan syarat. Alasan menolak barang barang itu harus terletak pada pendapat tentang baik buruknya barang yang dibeli. Jika barang ternyata baik, jual beli harus dilanjutkan.
Dalam hal ini pihak pembeli yang berkuasa menetapkan pendapat apakah sesuatu barang baik atau tidak. Berlainan halnya dengan jual beli dengan contoh (koop of monster). Koop of monster tidak diatur dalam KUHS.
Jual beli dengan contoh hanya disinggung dalam pasal 69 KUHD tetapi selanjtunya tidak diatur dalam undang-undang akan tetapi dalam praktek sehari-hari sering terjadi. Apabila pada waktu jual-beli diadakan, si pembeli belum melihat barang yang akan dibeli, melainkan ditunjukkan saja suatu contoh dari barang yang akan dibeli, misalnya kain-kain, atau beras.
Dalam jual beli jenis ini sering timbul kesulitan, misalnya apabila contohnya hilang, ataupun  si pembeli menganggap bahwa barang yang diserahkan tidak cocok dengan contoh, kesulitan ini dapat dihindarkan, apabila para pihak sejak semula telah menegaskan maksud yang sebenarnya dari perjanjian mereka.
Kalau penegasan ini tidak ada, maka Hakimlah yang akan menentukan kebenaran pendapat masing-masing pihak berdasarkan kejujuran. Bahwa demi untuk kepentingan principal dan pihak lawannya dalam hal penjualan dengan contoh, maka makelar harus menyimpan contoh itu sampai pada penyerahan barang –barang yang dijual dengan diberi tambahan catatan sepatutnya untuk mengenali contoh itu.
Menurut KUHD pasal 70 dalam hal jual-beli surat wesel  dan surat-surat berharga lainnya, maka tiap-tiap makelar yang telah menutup jual-beli surat-surat wesel berharga harus menyerahkan itu kepada si pembeli.
Seperti halnya dengan setiap orang yang menerima perintah, maka makelar mempunyai hak retentie disebutkan dalam pasal 1812 KUHS yang menyatakan, hak pihak penerima kuasa untuk menahan segala apa kepunyaan si  pembeli kuasa yang berda di tangannya, sekian lamanya hingga telah dibayar lunas segala apa yang dapat dituntutnya sebagai akibat pemberian kuasa (lastgeving).

B.  Kewajiban makelar dan macam-macamnya
1.    Kewajiban seorang Makelar
a.     Mencatat semua persetujuan yang dibuat dengan perantaranya, dalam suatu buku harian.
b.    Memberi salinan catatan-catatan itu kepada pihak-pihak yang bersangkutan, apabila dimintanya.
c.     Menyimpan contoh(monster), sampai barang itu diserahkan dan diterima.
d.    Dalam hal jual beli wesel, menanggung bahwa tanda tangan penjual adalah tanda tangan yang benar(sah).
e.     Membuka buku-bukunya dalam perkara dan memberi segala keterangan atas buku-buku itu.
Seorang makelar tidak diperbolehkan berdagang barang yang menjadi obyek pengangkatannya sebagai makelar artinya: makelar kopi tidak boleh berdagang kopi. Jika larangan itu dilanggarnya, maka makelar melakukan tindak pidana.
Jika ditinjau dari segi hukum perdata, tugas makelar dikuasai oleh ketentuan-ketentuan mengenai pemberian kuasa untuk menyelenggarakan sesuatu bagi yang memberi kuasa(lastgeving), lihat pasal 1792 dst. KUH perdata dan pasal 63 KUH Dagang.
Makelar itu mempunyai kedudukan bersifat setengah pejabat pemerintah, kemudian timbul pelbagai akibat-akibat. Sebagaimana telah dicantumkan diatas, makelar diangkat oleh pemerintah, yang menyerahkan kekuasaan ini kepada suatu pemerintahan, yaitu di indonesia kepada Propinsi i.c. Gubernur. Lapangan pekerjaan seorang makelar, tercantum dalam pasal 64 KUH Dagang yaitu: membeli dan menjual barang-barang, kapal, surat-surat efek, surat-surat dagang seperti wesel, asuransi, pemuatan kapal-kapal, peminjaman uang dengan cara penggadaian dan lain-lain tugas. Dari perincian tersebut diatas, maka pekerjaan makelar hanya mengenai barang-barang bergerak. Kita menjumpai juga makelar yang menyelenggarakan barang-barang tidak bergerak. Dalam praktek makelar-makelar dalam barang tak bergerak ini dapat dimasukkan golongan makelaar untuk segala macam barang.

2.    Tata Buku Seorang Makelar
Makelar mempunyai kekuatan bukti yang bersifat khusus/istimewa. Pasal 68 KUH Dagang menentukan, bahwa jika perbuatan tidak disangkal sama sekali, catatan-catatan yang sesuai dengan buku harian dan buku saku, memberikan bukti penuh bagi pihak-pihak yang bersangkutan, mengenai waktu dari perbuatan dan penyerahan, keadaan atau macam barang, jumlah dan harga dari barang, syarat-ayarat dari penjualan.
Syarat yang menimbulkan kesulitan “Apabila perbuatan tidak diakui seluruhya”. Ini harus diarttikan, bahwa jika telah ada petunjuk-petunjuk mengenai adanya perjanjian, kekuatan bukti termaksud dalam undang-undang, telah menjadi kenyataan. Harus diartikan pula bahwa dari pihak lain, terdapat bukti (sekedar bukti) tentang adanya perjanjian walaupun pihak yang bersangkutan tidak mengakuinya!. Dalam menjalankan pekerjaan makelar, timbul banyak persoalan-persoalan juridis yang perlu dibahas. Dalam praktek sering terjadi, makelar membeli barang untuk”majikan yang namanya akan ditentukan”. Harus diartikan demikian: tanpa menyebut nama dari orang yang menyuruhnya terlebih dahulu dalam membuat perjanjian jual beli. Dalam hal demikian, makelar wajib dalam waktu yang layak memberikan nama dari yang menyuruh. Tetapi dapat juga terjadi, makelar membeli barang-barang tanpa ada orang yang menyuruhnya, dengan maksud dan harapan, kelak kemudian mencarikan majikan/orang yang menyuruhnya. Demikianlah makelar menimbulkan bayangan palsu pada si penjual, karena pada hakekatnya ia membeli barang-barang tanpa ada yang menyuruhnya. Ia juga tidak membeli barang-barang itu untuk keperluan sendiri. Meskipun ia kemudian dapat menemukan seorang pembeli, akan tetapi perbuatannya tetap merupakan pembelian tanpa suruhan(opdracht). Sebenarnya harus dipandang sebagai perbuatan tanpa perjanjian jual beli. Jadi jika makelar kemudian dapat menemukan seorang pembeli, maka suruhan dari pembeli ini dianggap sebagai pengesahan perbuatan makelar tersebut diatas. Dalam hal sedemikian, sebaiknya kedua perbuatan itu, pembelian(oleh makelar terlebih dahulu) dan suruhan(oleh seorang pembeli kemudian) harus terjadi sebelum pelaksanaan jual beli terjadi.
Dengan cara yang sama, kita dapat mengesahkan suatu penyerahan barang-barang yang berdasarkan suatu pembelian tidak sah, dengan perjanjian jual beli yang baru kemudian diadakan. Demikian pula kita dapat dianggap suruhan yang kemudian diadakan, sebagai pengesahan dari pada perbuatan makelar, yang membeli barang-barang tanpa adanya suruhan terlebih dahulu itu.
Dalam hal makelar tidak dapat menemukan seorang pembeli yang betul-betul menyuruhnya, dengan sendirinya penjual tidak boleh dirugikan pada pihak penjual, dalam praktek ini dikenal 2 cara yaitu:
a.     Perbuatan makelar sebagai tercantum diatas, dipandang sebagai perbuatan melanggaar hukum(onrechtmatige daad), sehingga makelar dapat diwajibkan membayar segala kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan itu. Lihat pasal; 1365 KUH Perdata. Tetapi penyelesaian ini dalam kenyataan menimbulkan keberatan, karena pihak penjual dalam kedudukan yang sulit, karena ia (si penjual) harus dibebani dengan pembuktian adanya perbuatan melanggar hukum dan kerugian yang ia derita.
b.    Dalam soal ini kita berpendirian, bahwa biarpun ia tidak membeli barang untuk majikan, makelar tetap dianggap membelinya untuk keperluan sendiri. Makelar dianggap sebagai pihak dalam perjanjian, sehingga juridis pihak penjual ada dalam kedudukan sama, seperti halnya benar-benar ada penyuruh. Cara terkhir ini dalam praktek merupakan cara penyelesaian yang dapat diterima dan dipuji, meskipun sebenarnya tidak ada suatu jual beli. Pertanggung jawab makelar dalam hal demikian, harus didasarkan atas kepercayaan yang ada pada pihak penjual terhadap perbuatan makelar. Makelar harus dipandang membeli barang untuk diri sendiri, akan tetapi tidak berdasae perjanjian jual beli yang lazim terjadi, melainkan berdasarkan pertanggungjawab, karena menimbulkan kepercayaan pada pihak penjual. Semua ini mengenai ajaran tentang kepercayaan yang ditimbulkan.

3.    Orang kota menjadi makelar orang desa
Termasuk dalam larangan Nabi Saw. Orang kota menjual barang buat orang desa sebagaimana diterangkan dalam hadits Ibnu Umat berkata:
نَهىَ النَبِيُ ص م :اَنْ يَبِيْعَ حَضِرٌ لِبَدٌ (البخارى)
“Rasul melarang orang kota menjual barang untuk orang desa”H.R.Bukhari
Anas berkata:
نَهِيْناَ اَنْ يَبِيْعَ حَضِرُ لِبَادٍ وَاِنْ كَاَنَ اَخَاهُ لِأَبِيهِ وَاُمِهِ (روه ابو دود)
“sesunggguhnya kami orang kota dilarang menjualkan untuk orang desa sekalipun orang itu saudaranya baik saudara bapak maupun ibu”H.R.Abu Daud
Sesungguhnya telah ada penjelasan dari Ibnu Abbas namun masih terdapat pebedaan pandangan antara fuqaha mengenai persoalan ini. Menurut keterangan imam bukhari yang dimaksud dengan”simsar” dalam tafsiran Ibnu Abbas itu ialah orang yang bertindak mengurus jual beli untuk orang lain dengan upah. Dengan demikian pengertian imam bukhari diterima maka makelar yang tidak mengambil upah kedudukannya bisa dianggap sebagai penasihat/penolong. Perantara itu tidak termasuk dalam larangan tersebut.
Segolongan ulama memasukkan ke dalam golongan larangan ini semua makelar, baik yang menerima upah maupun tidak. Sebagian ulama menafsirkan” bentuk penjualan orang kota untuk orang desa” yaitu dengan cara seorang asing   datang ke suatu negeri dengan membawa barang dagangan yang hendak dijualnua dengan harga yang berlaku pada hari itu lalu orang kota datang kepadanya dengan mengatakn “berikanlah barang itu kepadaku biar saya beli dengan kredit dan harga yang lebih tinggi” bentuk inilah yang dilarang menurut imam syafi’i dan hambali.[4]

C.  Hukum menurut perspektif islam
Imam bukhari berkata: “ibnu sirin, arta, ibrahim dan hasan memandang bahwa simsarah itu boleh”.
Ibnu abbas berkata :”tidak mengapa orang yang mempunyai barang berkata:jualah barang ini dengan harga sekian lebihnya untukmu”
Ibnu sirin berkata:”apabila seseorangg kamu berkata:jualah barang ini sekian keuntungannya untukmu dan untukku, maka tidaklah mengapa”.[5]
Sejalan dengan pandangan para fuqaha tersebut apabila kita kembali kepada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang (mubah) karena tidak ada nash yang melarang. Dengan demikian antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh oleh pihak makelar. Boleh dalam bentuk prosentasee(komisi) dari penjualan dan boleh juga mengambil kelebihan dari harga yang tertentu oleh pemilik barang sebagai landasan hukumnya, sabda rasul:
اَلصُلْحُ جَائِزٌ بَيْنٌ الْمُسْلِمِيْنَ اِلا صُلحًا حَرَمَ حَلاَلاً اَوْ اَحَلَ  حَرَمَ وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلى شُرُوْطِهِمْ اِلا شَرْطاً حَرَم حَلَالاً اَوْ اَحَلَ حَرَامًا (الترمذ)
Artinya: perdamaian itu halal sesama muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau manenghalalkan yang haram. Dan bersama kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”(H.R.Turmudzi).
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:
a.     Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli.
b.    Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual.[6]

D.  Beberapa persyaratan dan hikmahnya
1.    Hikmahnya 
Selaku makhluk sosial, manusia saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi kehidupannya. Betapa banyak orang yang tidak tahu bagaimana cara membeli dan menjual barang mereka. Ada pula yang kondisinya yang tidak memungkinkan untuk turun ke pasar untuk menemui penjual atau pembeli maka dalam keadaan yang demikian, diperlukan bantuan orang lain yang berprofesi selaku makelar yang menerima upah atua komisi.
Islam membolehkan dan membenarkan bentuk kerja makelar ini, karena memang bermanfaat bagi semua pihak, yaitu pembeli dan penjual dan makelar itu sendiri. Usaha ini dibutuhkan sebagaimana halnya pekerjaan lain yang dapat memberi manfaat, karena itu tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Kehadiran makelar ditengah-tengah masyarakat terutama masyarakat modern sangat dibutuhkan untuk memudahkan dunia bisnis(dalam perdagangan, pertanian, perkebunan, industri, dan lain-lain). Sebab tidak sedikit orang yang tidak pandai tawar-menawar, tidak mengetahui cara menjual atau membeli barang yang diperlukan, atau tidak ada waktu untuk mencari atau behubungan langsung dengan pembel atau penjual.
Jelas bahwa makelar merupakan profesi yang banyak manfaat bagii masyarakat, terutama bagi produsen, konsumen dan bagi makelar itu sendiri. Profesi ini dibutuhkan oleh masyarakat sebagaimana profesi-profesi yang lain.
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang  misalnya rumah, atau orang misalnya pelayan,atau pekerjaan/keahlian seorang ahli misalnya jasa pengacara atau konsultan, dan sebagainya dengan imbalan karena pekerjaan makelar itu termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan ini.

2.    Makelar  harus memenuhi beberapa syarat, antara lain sebagai berikut[7]
a.     Persetujuan kedua belah pihak(perhatikan al-quran surat an-nisa :29)
b.    Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
c.     Obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram misalnya mencarikan untuk kasino/tempat perjudian dan sebagainya.
Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka dan tidak melakukan penipuan, bisnis yang haram dan syubhat (yang tidak jelas halal/haramnya). Ia berhak menerima imbalan setelah berhasil melakukan akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa makelar harus segera memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan.[8] sesuai dengan hadits nabi:
اُعْطُوا الْأَجِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَ عِرْقُهُ
Artinya” berilah kepada pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya H.R Ibnu Majah dari Ibnu Umar, Abu Ya’la dari Abu Hurairah, dan Al Thabrani dari Anas)
Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian
Apabila jumlah imbalannya tidak ditentukan dalam perjanjian, maka hal ini  dikembalikan kepada adat istiadat yang berlaku dimasyarakat. Misalnya di indonesia menurut tradisi makelar berhak menerima imbalan antara 2,5% sampai 5%, tergantung kepada jummlah transaksi. Bila transaksijual beli kurang dari 1M imbalannya 5%, sedangkan transaksi yang lebih dari 1 jt imbalanya cukup 2,5%.
Muamalah dengan memakai adat istiadat atau hukum adat itu dibenarkan oleh islam, berdasarkan kaidah hukum islam:
“Adat kebiasaan itu diakui sebagai dasar hukum”
Tetapi kaidah hukum ini perlu diberi catatan:”selama adat kebiasaan atau hukum adat itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam al-qur’an dan sunah”. Misalnya islam tidak membenarkan anak angkat sebagai ahli waris harta peninggalan dari orang tua angkatnya.








BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Makelar dalam kitab-kitab fiqh terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau simsarah. Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain makelar ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar yang terpercaya tidak dituntut risiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya baarang dengan tidak sengaja. Makelar ialah seorang perantara antara si pembeli dan si penjual barang. Pekerjaan makelar, ialah mengadakan perjanjian-perjanjian atas nama, atas perintah dan biaya orang lain.
Kewajiban seorang Makelar Mencatat semua persetujuan yang dibuat dengan perantaranya, dalam suatu buku harian. Memberi salinan catatan-catatan itu kepada pihak-pihak yang bersangkutan, apabila dimintanya..Menyimpan contoh(monster), sampai barang itu diserahkan dan diterima. Dalam hal jual beli wesel, menanggung bahwa tanda tangan penjual adalah tanda tangan yang benar(sah). Membuka buku-bukunya dalam perkara dan memberi segala keterangan atas buku-buku itu.

DAFTAR PUSTAKA

Ad-duwaisyi, Ahmad bin Abdurrazaq. 2004. K umpulan Fatwa-fatwa Jual Beli. Pustaka Imam As-syafi’i: Bogor
Bakry, Drs.H Nazar, 1994. Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam.  Cipta Prakarsa: Jakarta
Kansil S.H, Drs.C.S.T 1994. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Sinar     Grafika. Jakarta
Mujtaba, Saifuddin. 2007. Masailul Fiqhiyah. Rousyan Fiqr: Jombang
Susanto.R, 1981. Hukum Dagang dan Koperasi, Pradya Paramita, Jakarta
Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka Globalisasi. Rineka Cipta: Jakarta
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masailul Fiqhiyah. CV. Haji Masagung: Jakarta







                [1] Zuhdi, Masjfuk, Masailul Fiqhiyah, cv.Haji Masagung, Jakarta:1993,hlm.121
                [2] Mujtaba, Saifuddin, masailul Fiqhiyah, Rousyan Fiqr, Jombang:2007,hlm.240
                [3] Kansil,CST, pokok-pokok pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta: 1994, hlm.43
                [4] Bakry, Drs.H Nazar, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta,Cipta Prakarsa:1994,hlm:67
                [5] Bakry, Drs.H Nazar, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta,Cipta Prakarsa:1994,hlm:63
                [6] Ad-duwaisyi, Ahmad bin Abdurrazaq, kumpulan Fatwa-fatwa Jual Beli, Pustaka Imam Asy-syafi’i: Bogor: 2004, hlm.124
                [7] Bakry, Drs.H Nazar, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta,Cipta Prakarsa:1994,hlm:64
                [8] Tjiptoherijanto Prijono Prospek Perekonomian Indonesia dlm rangka Globalisasi, Rineka Cipta, Jakarta:1997, hlm.100

2 comments:

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...