BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di zaman serba modern
ini berbagai bidang dapat di masuki perusahaan atau industri akibat perubahan
yang cepat dalam selera, teknologi, dan persaingan. Untuk menghadapi
persaingan, maka perusahaan perlu melaksanakan usaha kegiatan pemasaran dengan
menggunakan saluran distribusi yang tepat sehingga tujuan dapat dicapai. Tujuan
utama perusahaan pada intinya sama, yaitu dapat meningkatkan volume penjualan
sehingga laba yang dihasilkan akan terus meningkat, namun tanpa meninggalkan
kepuasan yang dirasakan oleh konsumen. Perkembangan dunia dewasa ini
mengalami peningkatan yang cukup pesat.
Peningkatan itu disebabkan karena kebutuhan manusia yang semakin komplek.
Sehingga hal ini mendorong perusahaan untuk memenuhi akan permintaan suatu
kebutuhan.
Dalam proses jual beli
kita temui para manusia yang ingin membantu dalam memenuhi kebutuhan, baik
berupa usaha dengan modal sendiri maupun dengan jalan sebagai jalan perantara
atau penghubung.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian dari Makelar
2. Apa
Kewajiban dari Makelar dan macam-macamnya
3. Apa
Hukum Makelar menurut pandangan islam
4. Beberapa
Persyaratan dan Hikmah dari Makelar
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Makelar dalam
kitab-kitab fiqh terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau simsarah.
Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara
perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual
beli.[1]
Makelar adalah pedagang
perantara yag berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah
tanpa menanggung resiko, dengan kata lain makelar ialah penengah antara penjual
dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar yang terpercaya tidak dituntut
risiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya baarang dengan tidak sengaja.[2]
Makelar ialah seorang
perantara antara si pembeli dan si penjual barang. Pekerjaan makelar, ialah
mengadakan perjanjian-perjanjian atas nama, atas perintah dan biaya orang lain.
Seorang makelar harus
diangkat oleh pemerintah. Sesudah mendapat pengangkatan, ia harus disumpah
dihadapan pengadilan negeri, dalam wilayah hukum tempat tinggal makelar itu.
Makelar bersumpah, bahwa ia akan memenuhi segala kewajiban yang diberikan
kepadanya dengan tulus dan ikhlas hati.
Seorang makelar
bertindak sebagai pesuruh dengan hak perwakilan, tetapi makelar tidak boleh
mempunyai hubungan kerja yang tetap dengan penyuruhnya, misalnya seorang kuasa
usaha(procutariehouder) dari suatu perseroan terbatas, tidak diperbolehkan
menjadi makelar dati P.t itu.
Makelar bertindak atas
nama mereka yang menyuruh, dengan kata lain ia menyiapkan perjanjian yang
diadakan oleh kedua belah pihak. Seorang hanya dapat menjadi makelar untuk satu
macam barang saja, misalnya makelar semen. Makelar untuk beberapa barang atau
makelar untuk segala macam barang dapat juga, asal hal itu dinyatakan dengan
tegas dalam akta pengangkatannya. Masyarakat perdagangan mengenal juga makelar
barang-barang tak bergerak, meskipun hal demikian tidak disebut dalam
undang-undang.
Pada jaman
hindia-belanda pejabat itu adalah Gubernur Jenderal atau pembesar lainnya yang
diwajibkan oleh gubernur jenderal itu. Pada waktu sekarang terdapat dua
pendapat tentang pejabat negara yang berhak mengangkat makelar itu:
a.
Menurut Prof. Sukardono pengangkatan itu
harus dilakukan oleh menteri kehakiman atau pembesar lainnya yang diberi
delegasi oleh menteri itu.
b.
Menurut Prof. Subekti, makelar itu
diangkat oleh Presiden RI atau oleh pembesar lain yang oleh Presiden telah
dinyatakan berwenang untuk itu.
Dengan kembalinya
Negara Republik Indonesia kepada Undang-undang Dasar 1945 (vide Dekrit Presiden
5 juli 1959) yang menganut sistem kabinet Presidentil, dimana Menteri-Menteri
hanyalah sekedar pembantu Presiden, maka pendapat Prof. Subekti tersebut
kiranya dapat kita ikuti.
Dengan pengangkatan
resmi dan pengucapan sumpah, maka dapatlah dianggap kedudukan seorang makelar
itu semaccam notaris atau Pengacara. Menurut pasal 65 ayat 1 KUHD pengangkatan
seorang makelar itu ada 2 macam, yakni:
a.
Pengangkatan yang bersifat umum, yaitu
untuk segala jenis lapangan/cabang perniagaan.
b.
Pengangkatan yang bersifat terbatas
yakni bahwa dalam aktanya ditentukan untuk jenis-jenis lapangan/cabang
perniagaan apa mereka diperbolehkan menyelenggarakan pemakelaran mereka,
misalnya untuk wesel, efek-efek, asuransi,
pembuatan kapal dan lain-lain.[3]
Menurut
pasal 65 ayat 2 KUHD, makelar tidak boleh berdagang untuk kepentingan sendiri
baik secara individu ataupun dengan perantara orang lain, atau bersama-sama
dengan orang lain, ataupun menjadi penanggung. Larangan ini berarti bahwa seorang
makelar yang diangkat dalam hal jual-beli efek misalnya, tidak diperkenankan
turut ambil bagian dalam transaksi yang bersangkutan, apabila ini dilanggar
maka menurut Pasal 71 KUHD ia harus dibebaskan dari tugasnya (dischors) atau
dilepaskan dari jabatannya, Schorsing dan pemecatan ini dilakukan oleh pejabat
umum yang mengangkatnya, dan berdasarkan Pasal 73 KUHD ia (makelar) tidak dapat
diangkat kembali dalam jabatan itu. Seorang makelar harus bertanggung jawab
atas kerugian akibat kesalahannya.
Selanjutnya
dalam Pasal 69 KUHD disebutkan tentang Jual beli dengan contoh (monster).
Perjanjian jual-beli dengan contoh adalah berlainan dengan perjanjian jual-beli
secara percobaan (koop of proef), koop of proef diatur dalam pasal 1463 KUHS
disebutkan suatu jual-beli ditentukan, bahwa barang yang dibeli harus dicoba
terlebih dahulu oleh si pembeli, misalnya jual-beli radio/mobil dan lain-lain.
Dalam
hal jual beli secara percobaan tergantung dari pendapat si pembeli pada saat
mencoba barang, apakah jual-beli akan dilanjutkan atau tidak. Selama pembeli
belum menentukan pendapatnya, tentang barang itu, jual beli belum dapat
dilalaksanakan. Akan tetapi perjanjian jual beli sudah terjadi, hanyalah dengan syarat. Alasan
menolak barang barang itu harus terletak pada pendapat tentang baik buruknya
barang yang dibeli. Jika barang ternyata baik, jual beli harus dilanjutkan.
Dalam
hal ini pihak pembeli yang berkuasa menetapkan pendapat apakah sesuatu barang
baik atau tidak. Berlainan halnya dengan jual beli dengan contoh (koop of
monster). Koop of monster tidak diatur dalam KUHS.
Jual
beli dengan contoh hanya disinggung dalam pasal 69 KUHD tetapi selanjtunya
tidak diatur dalam undang-undang akan tetapi dalam praktek sehari-hari sering
terjadi. Apabila pada waktu jual-beli diadakan, si pembeli belum melihat barang
yang akan dibeli, melainkan ditunjukkan saja suatu contoh dari barang yang akan
dibeli, misalnya kain-kain, atau beras.
Dalam
jual beli jenis ini sering timbul kesulitan, misalnya apabila contohnya hilang,
ataupun si pembeli menganggap bahwa
barang yang diserahkan tidak cocok dengan contoh, kesulitan ini dapat
dihindarkan, apabila para pihak sejak semula telah menegaskan maksud yang
sebenarnya dari perjanjian mereka.
Kalau
penegasan ini tidak ada, maka Hakimlah yang akan menentukan kebenaran pendapat
masing-masing pihak berdasarkan kejujuran. Bahwa demi untuk kepentingan
principal dan pihak lawannya dalam hal penjualan dengan contoh, maka makelar
harus menyimpan contoh itu sampai pada penyerahan barang –barang yang dijual
dengan diberi tambahan catatan sepatutnya untuk mengenali contoh itu.
Menurut
KUHD pasal 70 dalam hal jual-beli surat wesel
dan surat-surat berharga lainnya, maka tiap-tiap makelar yang telah
menutup jual-beli surat-surat wesel berharga harus menyerahkan itu kepada si
pembeli.
Seperti
halnya dengan setiap orang yang menerima perintah, maka makelar mempunyai hak
retentie disebutkan dalam pasal 1812 KUHS yang menyatakan, hak pihak penerima
kuasa untuk menahan segala apa kepunyaan si
pembeli kuasa yang berda di tangannya, sekian lamanya hingga telah
dibayar lunas segala apa yang dapat dituntutnya sebagai akibat pemberian kuasa
(lastgeving).
B. Kewajiban makelar dan
macam-macamnya
1. Kewajiban seorang Makelar
a. Mencatat
semua persetujuan yang dibuat dengan perantaranya, dalam suatu buku harian.
b. Memberi
salinan catatan-catatan itu kepada pihak-pihak yang bersangkutan, apabila
dimintanya.
c. Menyimpan
contoh(monster), sampai barang itu diserahkan dan diterima.
d. Dalam
hal jual beli wesel, menanggung bahwa tanda tangan penjual adalah tanda tangan
yang benar(sah).
e. Membuka
buku-bukunya dalam perkara dan memberi segala keterangan atas buku-buku itu.
Seorang makelar tidak
diperbolehkan berdagang barang yang menjadi obyek pengangkatannya sebagai
makelar artinya: makelar kopi tidak boleh berdagang kopi. Jika larangan itu
dilanggarnya, maka makelar melakukan tindak pidana.
Jika ditinjau dari segi
hukum perdata, tugas makelar dikuasai oleh ketentuan-ketentuan mengenai
pemberian kuasa untuk menyelenggarakan sesuatu bagi yang memberi
kuasa(lastgeving), lihat pasal 1792 dst. KUH perdata dan pasal 63 KUH Dagang.
Makelar itu mempunyai
kedudukan bersifat setengah pejabat pemerintah, kemudian timbul pelbagai
akibat-akibat. Sebagaimana telah dicantumkan diatas, makelar diangkat oleh
pemerintah, yang menyerahkan kekuasaan ini kepada suatu pemerintahan, yaitu di
indonesia kepada Propinsi i.c. Gubernur. Lapangan pekerjaan seorang makelar,
tercantum dalam pasal 64 KUH Dagang yaitu: membeli dan menjual barang-barang,
kapal, surat-surat efek, surat-surat dagang seperti wesel, asuransi, pemuatan
kapal-kapal, peminjaman uang dengan cara penggadaian dan lain-lain tugas. Dari
perincian tersebut diatas, maka pekerjaan makelar hanya mengenai barang-barang
bergerak. Kita menjumpai juga makelar yang menyelenggarakan barang-barang tidak
bergerak. Dalam praktek makelar-makelar dalam barang tak bergerak ini dapat
dimasukkan golongan makelaar untuk segala macam barang.
2. Tata Buku Seorang Makelar
Makelar mempunyai
kekuatan bukti yang bersifat khusus/istimewa. Pasal 68 KUH Dagang menentukan,
bahwa jika perbuatan tidak disangkal sama sekali, catatan-catatan yang sesuai
dengan buku harian dan buku saku, memberikan bukti penuh bagi pihak-pihak yang
bersangkutan, mengenai waktu dari perbuatan dan penyerahan, keadaan atau macam
barang, jumlah dan harga dari barang, syarat-ayarat dari penjualan.
Syarat yang menimbulkan
kesulitan “Apabila perbuatan tidak diakui seluruhya”. Ini harus diarttikan,
bahwa jika telah ada petunjuk-petunjuk mengenai adanya perjanjian, kekuatan
bukti termaksud dalam undang-undang, telah menjadi kenyataan. Harus diartikan
pula bahwa dari pihak lain, terdapat bukti (sekedar bukti) tentang adanya
perjanjian walaupun pihak yang bersangkutan tidak mengakuinya!. Dalam
menjalankan pekerjaan makelar, timbul banyak persoalan-persoalan juridis yang
perlu dibahas. Dalam praktek sering terjadi, makelar membeli barang
untuk”majikan yang namanya akan ditentukan”. Harus diartikan demikian: tanpa
menyebut nama dari orang yang menyuruhnya terlebih dahulu dalam membuat
perjanjian jual beli. Dalam hal demikian, makelar wajib dalam waktu yang layak
memberikan nama dari yang menyuruh. Tetapi dapat juga terjadi, makelar membeli
barang-barang tanpa ada orang yang menyuruhnya, dengan maksud dan harapan,
kelak kemudian mencarikan majikan/orang yang menyuruhnya. Demikianlah makelar
menimbulkan bayangan palsu pada si penjual, karena pada hakekatnya ia membeli
barang-barang tanpa ada yang menyuruhnya. Ia juga tidak membeli barang-barang
itu untuk keperluan sendiri. Meskipun ia kemudian dapat menemukan seorang
pembeli, akan tetapi perbuatannya tetap merupakan pembelian tanpa
suruhan(opdracht). Sebenarnya harus dipandang sebagai perbuatan tanpa
perjanjian jual beli. Jadi jika makelar kemudian dapat menemukan seorang
pembeli, maka suruhan dari pembeli ini dianggap sebagai pengesahan perbuatan
makelar tersebut diatas. Dalam hal sedemikian, sebaiknya kedua perbuatan itu,
pembelian(oleh makelar terlebih dahulu) dan suruhan(oleh seorang pembeli
kemudian) harus terjadi sebelum pelaksanaan jual beli terjadi.
Dengan cara yang sama,
kita dapat mengesahkan suatu penyerahan barang-barang yang berdasarkan suatu
pembelian tidak sah, dengan perjanjian jual beli yang baru kemudian diadakan.
Demikian pula kita dapat dianggap suruhan yang kemudian diadakan, sebagai
pengesahan dari pada perbuatan makelar, yang membeli barang-barang tanpa adanya
suruhan terlebih dahulu itu.
Dalam hal makelar tidak
dapat menemukan seorang pembeli yang betul-betul menyuruhnya, dengan sendirinya
penjual tidak boleh dirugikan pada pihak penjual, dalam praktek ini dikenal 2
cara yaitu:
a.
Perbuatan makelar sebagai tercantum
diatas, dipandang sebagai perbuatan melanggaar hukum(onrechtmatige daad),
sehingga makelar dapat diwajibkan membayar segala kerugian yang ditimbulkan
oleh perbuatan itu. Lihat pasal; 1365 KUH Perdata. Tetapi penyelesaian ini
dalam kenyataan menimbulkan keberatan, karena pihak penjual dalam kedudukan
yang sulit, karena ia (si penjual) harus dibebani dengan pembuktian adanya
perbuatan melanggar hukum dan kerugian yang ia derita.
b.
Dalam soal ini kita berpendirian, bahwa
biarpun ia tidak membeli barang untuk majikan, makelar tetap dianggap
membelinya untuk keperluan sendiri. Makelar dianggap sebagai pihak dalam
perjanjian, sehingga juridis pihak penjual ada dalam kedudukan sama, seperti
halnya benar-benar ada penyuruh. Cara terkhir ini dalam praktek merupakan cara
penyelesaian yang dapat diterima dan dipuji, meskipun sebenarnya tidak ada
suatu jual beli. Pertanggung jawab makelar dalam hal demikian, harus didasarkan
atas kepercayaan yang ada pada pihak penjual terhadap perbuatan makelar.
Makelar harus dipandang membeli barang untuk diri sendiri, akan tetapi tidak
berdasae perjanjian jual beli yang lazim terjadi, melainkan berdasarkan
pertanggungjawab, karena menimbulkan kepercayaan pada pihak penjual. Semua ini
mengenai ajaran tentang kepercayaan yang ditimbulkan.
3. Orang kota menjadi makelar orang
desa
Termasuk dalam larangan
Nabi Saw. Orang kota menjual barang buat orang desa sebagaimana diterangkan
dalam hadits Ibnu Umat berkata:
نَهىَ النَبِيُ ص م
:اَنْ يَبِيْعَ حَضِرٌ لِبَدٌ (البخارى)
“Rasul
melarang orang kota menjual barang untuk orang desa”H.R.Bukhari
Anas berkata:
نَهِيْناَ اَنْ يَبِيْعَ
حَضِرُ لِبَادٍ وَاِنْ كَاَنَ اَخَاهُ لِأَبِيهِ وَاُمِهِ (روه ابو دود)
“sesunggguhnya
kami orang kota dilarang menjualkan untuk orang desa sekalipun orang itu
saudaranya baik saudara bapak maupun ibu”H.R.Abu Daud
Sesungguhnya telah ada
penjelasan dari Ibnu Abbas namun masih terdapat pebedaan pandangan antara
fuqaha mengenai persoalan ini. Menurut keterangan imam bukhari yang dimaksud
dengan”simsar” dalam tafsiran Ibnu Abbas itu ialah orang yang bertindak
mengurus jual beli untuk orang lain dengan upah. Dengan demikian pengertian
imam bukhari diterima maka makelar yang tidak mengambil upah kedudukannya bisa
dianggap sebagai penasihat/penolong. Perantara itu tidak termasuk dalam
larangan tersebut.
Segolongan ulama
memasukkan ke dalam golongan larangan ini semua makelar, baik yang menerima
upah maupun tidak. Sebagian ulama menafsirkan” bentuk penjualan orang kota
untuk orang desa” yaitu dengan cara seorang asing datang ke
suatu negeri dengan membawa barang dagangan yang hendak dijualnua dengan harga
yang berlaku pada hari itu lalu orang kota datang kepadanya dengan mengatakn
“berikanlah barang itu kepadaku biar saya beli dengan kredit dan harga yang
lebih tinggi” bentuk inilah yang dilarang menurut imam syafi’i dan hambali.[4]
C. Hukum menurut perspektif islam
Imam bukhari berkata:
“ibnu sirin, arta, ibrahim dan hasan memandang bahwa simsarah itu boleh”.
Ibnu abbas berkata
:”tidak mengapa orang yang mempunyai barang berkata:jualah barang ini dengan
harga sekian lebihnya untukmu”
Ibnu sirin
berkata:”apabila seseorangg kamu berkata:jualah barang ini sekian keuntungannya
untukmu dan untukku, maka tidaklah mengapa”.[5]
Sejalan dengan
pandangan para fuqaha tersebut apabila kita kembali kepada aturan pokok, maka
pekerjaan makelar itu tidak terlarang (mubah) karena tidak ada nash yang
melarang. Dengan demikian antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur
suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh oleh pihak
makelar. Boleh dalam bentuk prosentasee(komisi) dari penjualan dan boleh juga
mengambil kelebihan dari harga yang tertentu oleh pemilik barang sebagai
landasan hukumnya, sabda rasul:
اَلصُلْحُ جَائِزٌ
بَيْنٌ الْمُسْلِمِيْنَ اِلا صُلحًا حَرَمَ حَلاَلاً اَوْ
اَحَلَ حَرَمَ وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلى شُرُوْطِهِمْ اِلا شَرْطاً حَرَم
حَلَالاً اَوْ اَحَلَ حَرَامًا (الترمذ)
Artinya: perdamaian itu halal sesama
muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau manenghalalkan
yang haram. Dan bersama kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram”(H.R.Turmudzi).
Adapun sebab-sebab
pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:
a.
Jika pemakelaran tersebut memberikan
mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli.
b.
Jika pemakelaran tersebut memberikan
mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual.[6]
D. Beberapa persyaratan dan hikmahnya
1. Hikmahnya
Selaku makhluk sosial,
manusia saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi kehidupannya. Betapa
banyak orang yang tidak tahu bagaimana cara membeli dan menjual barang mereka.
Ada pula yang kondisinya yang tidak memungkinkan untuk turun ke pasar untuk
menemui penjual atau pembeli maka dalam keadaan yang demikian, diperlukan
bantuan orang lain yang berprofesi selaku makelar yang menerima upah atua
komisi.
Islam membolehkan dan
membenarkan bentuk kerja makelar ini, karena memang bermanfaat bagi semua
pihak, yaitu pembeli dan penjual dan makelar itu sendiri. Usaha ini dibutuhkan
sebagaimana halnya pekerjaan lain yang dapat memberi manfaat, karena itu tidak
ada alasan untuk mengharamkannya. Kehadiran makelar ditengah-tengah masyarakat
terutama masyarakat modern sangat dibutuhkan untuk memudahkan dunia
bisnis(dalam perdagangan, pertanian, perkebunan, industri, dan lain-lain).
Sebab tidak sedikit orang yang tidak pandai tawar-menawar, tidak mengetahui
cara menjual atau membeli barang yang diperlukan, atau tidak ada waktu untuk
mencari atau behubungan langsung dengan pembel atau penjual.
Jelas bahwa makelar
merupakan profesi yang banyak manfaat bagii masyarakat, terutama bagi produsen,
konsumen dan bagi makelar itu sendiri. Profesi ini dibutuhkan oleh masyarakat
sebagaimana profesi-profesi yang lain.
Pekerjaan makelar
menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian
memanfaatkan suatu barang misalnya rumah, atau orang misalnya
pelayan,atau pekerjaan/keahlian seorang ahli misalnya jasa pengacara atau
konsultan, dan sebagainya dengan imbalan karena pekerjaan makelar itu termasuk
ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan ini.
a.
Persetujuan kedua belah pihak(perhatikan
al-quran surat an-nisa :29)
b.
Obyek akad bisa diketahui manfaatnya
secara nyata dan dapat diserahkan.
c.
Obyek akad bukan hal-hal yang maksiat
atau haram misalnya mencarikan untuk kasino/tempat perjudian dan sebagainya.
Makelar harus bersikap
jujur, ikhlas, terbuka dan tidak melakukan penipuan, bisnis yang haram dan
syubhat (yang tidak jelas halal/haramnya). Ia berhak menerima imbalan setelah
berhasil melakukan akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa makelar harus
segera memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat
meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan.[8] sesuai
dengan hadits nabi:
اُعْطُوا
الْأَجِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَ عِرْقُهُ
Artinya” berilah kepada pekerja itu
upahnya sebelum kering keringatnya H.R Ibnu Majah dari Ibnu Umar, Abu Ya’la
dari Abu Hurairah, dan Al Thabrani dari Anas)
Jumlah imbalan yang harus diberikan
kepada makelar adalah menurut perjanjian
Apabila jumlah
imbalannya tidak ditentukan dalam perjanjian, maka hal
ini dikembalikan kepada adat istiadat yang berlaku dimasyarakat.
Misalnya di indonesia menurut tradisi makelar berhak menerima imbalan antara
2,5% sampai 5%, tergantung kepada jummlah transaksi. Bila transaksijual beli
kurang dari 1M imbalannya 5%, sedangkan transaksi yang lebih dari 1 jt
imbalanya cukup 2,5%.
Muamalah dengan memakai adat istiadat
atau hukum adat itu dibenarkan oleh islam, berdasarkan kaidah hukum islam:
“Adat
kebiasaan itu diakui sebagai dasar hukum”
Tetapi kaidah hukum ini
perlu diberi catatan:”selama adat kebiasaan atau hukum adat itu tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam al-qur’an dan sunah”. Misalnya islam
tidak membenarkan anak angkat sebagai ahli waris harta peninggalan dari orang
tua angkatnya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Makelar dalam
kitab-kitab fiqh terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau simsarah.
Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara
perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual
beli. Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang
lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain makelar
ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar
yang terpercaya tidak dituntut risiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya
baarang dengan tidak sengaja. Makelar ialah seorang perantara antara si pembeli
dan si penjual barang. Pekerjaan makelar, ialah mengadakan
perjanjian-perjanjian atas nama, atas perintah dan biaya orang lain.
Kewajiban seorang
Makelar Mencatat semua persetujuan yang dibuat dengan perantaranya, dalam suatu
buku harian. Memberi salinan catatan-catatan itu kepada pihak-pihak yang
bersangkutan, apabila dimintanya..Menyimpan contoh(monster), sampai barang itu
diserahkan dan diterima. Dalam hal jual beli wesel, menanggung bahwa tanda
tangan penjual adalah tanda tangan yang benar(sah). Membuka buku-bukunya dalam
perkara dan memberi segala keterangan atas buku-buku itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ad-duwaisyi, Ahmad bin
Abdurrazaq. 2004. K umpulan Fatwa-fatwa Jual Beli. Pustaka Imam As-syafi’i:
Bogor
Bakry, Drs.H Nazar,
1994. Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam.
Cipta Prakarsa: Jakarta
Kansil S.H, Drs.C.S.T
1994. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta
Mujtaba, Saifuddin.
2007. Masailul Fiqhiyah. Rousyan Fiqr: Jombang
Susanto.R, 1981. Hukum
Dagang dan Koperasi, Pradya Paramita, Jakarta
Tjiptoherijanto,
Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka Globalisasi. Rineka
Cipta: Jakarta
Zuhdi, Masjfuk. 1993.
Masailul Fiqhiyah. CV. Haji Masagung: Jakarta
sangat menarik untuk dibaca
ReplyDeletesurat an naba
Kunjungi juga channel YouTube
ReplyDelete