Subscribe di sini

Tuesday, 21 April 2020

WAQAF JILID II


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sumber utama institusi wakaf adalah Alquran. Walaupun dalam Alquran, kata wakaf yang bermakna memberikan harta tidak ditemukan sebagaimana zakat, tetapi merupakan interprestasi ulama mujtahid terhadap ayat-ayat yang membicarakan pendermaan harta berupa sedekah dan amal jariah. 
Diantara ayat-ayat tersebut; QS. Ali Imran (3) : 92 dan QS. Al-hajj (22) : 77, para ulama memahami ayat-ayat tersebut sebagai ibadah wakaf. Diantara mufassir itu ditemukan dalam Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha. Kendatipun di dalam Alquran terdapat kata-kata wakaf ditemui sebanyak empat kali; yaitu pada QS. Al-an’am (6) : 27 dan 30, QS. Saba’ (34) : 31, QS. Al-saffat (37) : 24, tetapi wakaf dalam ayat-ayat tersebut bukan bermakna wakaf sebagai pemberian. Tiga ayat pertama berarti mengedepakan sedangkan ayat keempat bermakna berhenti atau menahan. Konteks pembicaraan dalam ayat ini adalah proses ahli neraka yang akan dimasukkan kedalam neraka. Meski demikian, Alquran dapat dikatakan sebagai sumber utama perwakafan.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian Wakaf  dan Dasar Hukum Wakaf ?
2.    Bagaimana Hukum Wakaf benda Bergerak ?
3.    Bagaimana Hukum Wakaf benda Tidak Bergerak ?
4.    Apa Tujuan Wakaf
C.    Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui Wakaf  dan Dasar Hukum Wakaf
2.    Untuk mengetahui  Bagaimana Hukum Wakaf benda Bergerak ?
3.    Untuk mengetahui  Bagaimana Hukum Wakaf benda Tidak Bergerak ?
4.    Untuk mengetahui  Apa Tujuan Wakaf


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf
1.    Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf  yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan) , al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah).[1] Perkataan wakaf yang menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahsa Arab dalam bentuk masdar atau kata yang dijadikan kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau fi’il waqafa ini adakalanya memerlukan objek (muta’addi). Dalam perpustakaan sering ditemui sinonim waqf ialah habs Waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang bermakna menghentikan dan menahan atau berhenti di tempat.[2]
Sedangkan menurut istilah syara, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
a.     Menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
b.    Menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual atau dihibahkan.
c.     Menurut mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.
d.    Menurut Peraturan Pemerintah / PP No.41 tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah.
Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.”(HR Bukhari dan Muslim).
2.    Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari :
a.     Ayat Al-Quran, antara lain :
 


 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”(QS: al-hajj: 77)
b.    Sunnah Rasulullah SAW.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ : أَصَابَ عُمَرَ أَرْضًا بِخَـيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْـتَأْمِرُ فِيْهَا فَقَالَ :يَارَسُوْلُ الله إِنِّي أُصِـبْتُ أَرْضًا بِخَـيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطٌّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِيْ مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِيْ بِهِ . فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ الله صلّى الله عليه وسلّم ، إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ اَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَـصَـدَّقَ بِهَا عُمَرُ، أَنَّهَا لاَتُبَاعُ وَلاَتُوْهَـبُ وَلاَتُوْرَثُ .قَالَ وَتَـصَـدَّقَ بِهَا فِي الْفُـقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيْلِ الله وَاِبْنُ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لاَجُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيُّهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَـعْرُوْفِ وَيُـطْعِمُ غَيْرَ مُتَـمَوِّلٍ
Artinya: "Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).
c.     Dalil Ijma' :
Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai
Jabir berkata: Tiada seorangpun dari sahabat Nabi yang memiliki kemampuan dan kelapangan rizqi, kecuali pasti pernah mewakafkannya.  Ibnu Hubairah berkata: Mereka sepakat atas dibolehkannya wakaf.
Imam Syafii berkata: Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ada 80 orang sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang mengeluarkan shadaqah dengan shadaqah mulia. Imam Syafii menyebut wakaf dengan nama shadaqah mulia. 
Imam Tirmidzi menyatakan: Wakaf telah diamalkan oleh para ulama, baik dari kalangan sahabat Nabi maupun yang lainnya, saya tidak melihat ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin tentang bolehnya wakaf, baik wakaf tanah maupun wakaf yang lainnya.”

B.    Pengertian Wakaf Benda Bergerak  
          Dalam membentuk hukum wakaf benda bergerak karena sifatnya, dapat diberlakukan prinsip umum, yaitu wakaf benda bergerak yang tidak habis dipakai hukumnya adalah boleh, dan benda bergerak yang habis dipakai hukumnya tidak boleh. Setiap kaidah memiliki pengecualian (al-mustasnayat). Oleh karena itu, kaidah tersebut juga memiliki pengecualian.
          Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf telah diatur mengenai objek wakaf, yakni (1) benda tidak bergerak, dan (2) benda bergerak. Objek wakaf berupa benda bergerak yang tidak habis karena dikonsumsi  diatur dalam Undang-Undang, sedangkan objek wakaf berupa benda bergerak yang habis karena dimanfaatkan diatur dalam peraturan pemerintah.[3]
          Dalam peraturan pemerintah ditetapkan bahwa:
1.    benda bergerak yang tidak habis dikonsumsi dapat diwakafkan.
2.    benda bergerak yang habis karena dikonsumsi tidak dapat diwakafkan kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan.
Dalam penjelasan peraturan pemerintah ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan tidak termasuk sumber daya air  dan sumber minyak. Klausul boleh mewakafkan air dan bahan bakar minyak karena persediannya berkelanjutan, dan penegasan yang terdapat dalam penjelasan peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa sumber daya air dan sumber minyak bukan bagian dari wakaf air dan bahan bakar minyak, merupakan ketentuan yang menarik ari segi kaidah serta sejarah fikih wakaf.
          Pertama, pengertian wakaf yang disusun oleh ulama dan dimuat dalam kitab-kitab fikih merujuk kepada sabda Nabi saw. yang menyatakan bahwa harta pokok harus tertahan (tidak habis karena dipakai) dan yang disedekahkan adalah hasil atau manfaatnya. Oleh karena itu, syarat wakaf adalah bahwa objek harus kekal - tidak habis karena dikonsumsi atau dimanfaatkan – ma’a baqa’ aynihi. Oleh karena itu, secara implisit  terdapat produk ijtihad “baru”, seakan-akan air dan bahan bakar minyak tidak habis sekali pakai karena persediannya berkelanjutan. Dengan demikian, air dan bahan bakar minyak tetap abadi (tidak habis sekali pakai) secara hukum, bukan secara fisik.
          Kedua, ketentuan yang terdapat dalam penjelasan peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa sumber daya air dan sumber minyak bukan bagian dari wakaf air dan bahan bakar minyak, juga merupakan terobosan baru. Dalam sejarah wakaf terdapat peristiwa yang relevan dengan wakaf air, yaitu wakaf sumur Raumah (bi’r al-rawmah).
          Usman Ibn Affan meriwayatkan suatu ketika Nabi saw. tiba di Madinah tidak mempunyai air bersih sehingga beliau menggunakan sumur Raumah. Ketika itulah beliau bersabda, “Barang siapa yang membeli sumur Raumah, maka embernya akan ditempatkan bersama ember umat Islam lainnya dengan dengan kualitas yang lebih baik di surga”. Usman kemudian berkata, “Sumur itu kubeli dengan hartaku sendiri ”. Sedangkan dalam riwayat lain dikatakan bahwa Usman berkata, “Kekosongan sumur itu untuk kepentingan kaum muslimin”. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Nabi saw. bersabda, “Barang siapa mewakafkan (hafara) sumur Raumah, akan ditempatkan di surrga”. Usman berkata, “Aku mewakafkannya ”.[4]
Contoh wakaf benda bergerak :
a.     Surat berharga;
b.    Kendaraan;
c.     Air;
d.     Bahan bakar minyak;
e.     Hak atas kekayaan intelektual;

C.    Wakaf Benda Tidak Bergerak 
          Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
          Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku  (Pasal 16 ayat 2, UU No. 41 tahun 2004).
          Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:
1.    Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan Ikrar Wakaf
2.    Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan kepada PPAIW, surat-surat sebagai berikut :
a.     Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah;
b.    Surat Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa;
c.     Surat Keterangan pendaftaran tanah;
d.    Ijin Bupati/Walikotamadya c.q. Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini terutama dalam rangka tata kota atau master plan city.

D.  Tujuan Wakaf
          Tujuan wakaf adalah memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Fungsi wakaf adalah mewujudkan potensi dan  manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk keperntingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.  


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Wakaf ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Dalam sebuah hadits disebutkan yang Artinya: "Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya". (HR.Muslim)
Wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya apabila terpenuhi rukun dan syaratnya.
Keutamaan wakaf dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Melalui wakaf seseorang dapat menumbuhkan sifat zuhud dan melatih seseorang untuk saling membantu atas kepentingan orang lain.
2.    Dapat menghidupkan lembaga-lembaga sosial keagamaan maupun kemasyarakatan untuk mengembangkan potensi umat.
3.    Menanamkan kesadaran bahwa di dalam setiap harta benda itu meski telah menjadi milik seseorang yang secara sah, tetapi masih ada di dalamnya harta agama yang mesti diserahakan sebagaimana halnya zakat.
4.    Menyadarkan seseorang bahwa kehidupan di akhirat memerlukan persiapan yang cukup. Maka persiapan itu di antaranya wakaf, sebagai tabung akhirat.
DAFTAR PUSTAKA


Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza,(Dar al-Ihya al-Kutub: Indonesia, t.t)
Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat: Ciputat Press, 2005).
Hendi Suhendi, fiqh muamalh, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010.
Drs. H. Hasanuddin MA,Manajemen Zakat dan Wakaf,(Pamulang: FIDKOM, 2010), hal. 104



                [1]  Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza,(Dar al-Ihya al-Kutub: Indonesia, t.t), hal.319.
                [2] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.I. hal. 6.
                [3] Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 16 ayat (3)
                [4] Drs. H. Hasanuddin MA,Manajemen Zakat dan Wakaf,(Pamulang: FIDKOM, 2010), hal. 104
                [5] Drs. H. Abdul Halim, M.A.,Hukum Perwakafan di Indonesia,(Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 24-25

1 comment:

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...