BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai hukum yang
bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum di
Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan
yang menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan disertai ancaman
berupa pidana dan menetukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.
Sifat publik yang
dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat
nasional. Dengan demikian maka hukum pidana Indonesia diberlakukan keseluruh
wilayah Negara Indonesia. Disamping itu, mengingat materi hukum pidana yang
sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, namun disisi yang lain penegakan hukum
pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melnggarnya. Oleh
karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan
ekstra hati-hati yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat dimana hukum
pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tingi nilai-niali kemanusiaan yang
beradab.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan
Definisi Pembaruan Hukum pidana nasional ?
2. Bagaimana
Kebijakan Hukum Pidana ?
3. Bagaimana
Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Utama ?
4. Bagaimana
Pidana Kerja Sosial sebagai Sanksi Pidana Alternatif ?
5. Bagaimana
Upaya Non-Penal dan Pembaharuan Hukum Pidana secara Progresif ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hukum hadir dan dibuat
sebagai salah satu jalan yang diharapkan dapat memberi penyelesaian yang tepat
dan seadil-adilnya dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif
dari segala bentuk tindak pidana yang dirasa merugikan, melanggar, dan merampas
hak asasi manusia yang lain. Hukum adalah suatu tatanan norma yang mengatur
pergaulan manusia dalam bermasyarakat. Perkembangan hukum tidaklah terlepas
dari perkembangan pola pikir manusia yang menciptakan hukum tersebut untuk
mengatur dirinya sendiri. Hukum ada pada setiap masyarakat di manapun di muka
bumi.
Kejahatan merupakan
perbuatan yang dinilai oleh masyarakat dan undang-undang melanggar norma-norma
dan nilai-nilai yang hidup serta dianggap “melampaui batasan” mengenai hal-hal
yang tidak sewajarnya dilakukan oleh anggota masyarakat. Secara teknis yuridis,
istilah kejahatan hanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan yang
oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindak pidana[1],
serta kejahatan bisa dikatakan sebagai suatu “pemberian cap”[2] yang
dilakukan baik oleh masyarakat, maupun melalui undang-undang, yakni suatu
perbuatan diberi pengertian sebagai “jahat”, maka pada dasarnya kejahatan
bukanlah kualitas dari perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai
akibat diterapkannnya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang
“pelanggar”.
Berbicara mengenai
peraturan perundang-undangan, di Indonesia hukum substantif yang digunakan
dalam ranah pidana ialah KUHP. KUHP di Indonesia sendiri pada dasarnya
merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang
notabene adalah hukum pidana dari Belanda dimana telah diberlakukan sejak 1
Januari 1918, dan kemudian diundangkan serta diatur kembali dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ekonomi, dan perkembangan
masyarakat yang kini mulai maju, permasalahan terhadap hukum juga semakin
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Peraturan perundang-undangan
yang “usang” dan dirasa sudah tidak sesuai dan tidak mencerminkan kepribadian
masyarakat Indonesia menuntut untuk diperharui dan di upgrade nya KUHP kolonial
Belanda.
Pembaharuan hukum
pidana sendiri menurut Prof. Muladi memiliki beberapa alasan-alasan, yakni
alasan politik, sosiologis dan praktis. Alasan politik dilandasi oleh pemikiran
bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional
demi kebanggaan nasional. Alasan sosiologis menghendaki adanya hukum yang
mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, sedang alasan praktis,
antara lain bersumber pada kenyataan bahwa biasanya bekas-bekas negara jajahan
mewarisi hukum yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, yang kemudian banyak
tidak dipahami oleh generasi muda dari negara yang baru merdeka tersebut. Hal
ini disebabkan biasanya negara yang baru merdeka tersebut ingin menjadikan
bahasanya sendiri sebagai bahasa kesatuan sehingga bahasa dari negara
penjajahnya hanya dimiliki oleh generasi yang mengalami penjajahan.[3]
B. Kebijakan Hukum Pidana
Pengertian kebijakan secara
umum dalam ranah pemerintahan atau kebijakan publik menurut Chandler dan Plano
menyatakan:[4]
Kebijakan publik adalah
pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya –sumber daya yang ada untuk
memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan
suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah
demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka
dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian
kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan
sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai
instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.
Kebijakan publik
menempatkan dirinya sebagai bantuan terhadap kepentingan kelompok yang kurang
beruntung. Pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia (dalam hal ini
perundang-undangan) ditempuh melalui suatu program yakni Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) yang dilakukan melalui lembaga DPR, dengan menggunakan
landasan kebijakan publik. Kebijakan publik ini lah yang akan membawa kita
dalam perkembanagn dan pembaharuan hukum pidana. Menurut Prof. Barda pengertian
daripada “kebijakan hukum pidana” dapat pula dikatakan sebagai “politik hukum
pidana”.[5]
Hukum pidana atau yang
sering disebut pula dengan Penal Policy dapat dilihat dari segi politik hukum
maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto “Politik Hukum” adalah:[6]
Usaha untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
saat.
Kebijakan dari negara
melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Maka dengan pengertian
yang telah dijelaskan oleh Prof. Sudarto diatas, kita dapat mengambil
kesimpulan, yakni kebijakan hukum pidana dapat kita artikan sebagai usaha-usaha
untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan kondisi
masyarakat, yang tujuan utamanya ialah untuk mencapai cita-cita Indonesia,
yaitu tidak hanya mengatur warga masyarakatnya melalui undang-undang, namun
juga menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, yang dilakukan (pembaharuannya)
melalui lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan
terkait.
Usaha dan kebijakan
untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat
dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik
hukum pidana juga bagian dari politik kriminal[8]. Dengan perkataan lain,
dilihat dari sudut pandang politik kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.[7]
C. Pembaharuan Hukum Pidana dan
Masalah Utama
Dewasa ini, kondisi dan keadaan hukum di
Indonesia harus berhadapan dengan masalah-masalah yang rumit, seperti
penyusunan, kebangkitan kembali, pembangunan, kelahiran, dan bentuk potensial
hukum dari tertib hukum. Kondisi hukum yang sudah tidak stabil lagi dikarenakan
aparat penegak hukum yang korup dan tak mempunyai nilai-nilai philosophia,,
yang justru melakukan tindakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Upaya
dalam memperbaiki hal-hal ini pun telah dan sedang dilakukan, yakni;
Pertama: dengan memperbaiki perundang-undangan yang
dinilai memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Kedua: dengan membuat undang-undang yang baru, untuk
dapat mengganti perundang-undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau
tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ketiga: dengan melakukan penelitian-penelitain
mendalam, oleh kalangan ilmuan dan akademisi, terhadap perundang-undangan yang
dinilai bermasalah.
Keempat: dengan penemuan hukum, oleh para hakim
sebagai penegak hukum.
Pembaharuan secara
etimologis berarti suatu hal yang “lama” dan sedang dalam prosesnya untuk
diperbaharui. Telah dijelaskan di awal bahwa kebijakan hukum pidana ialah suatu
usaha untuk membuat peraturan (pidana) menuju yang lebih baik, tidak hanya
melakukan pengaturan tingkah laku masyarakat, namun juga menciptakan masyarakat
yang sejahtera. Hal ini berarti pembaharuan hukum pidana merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kebijakan hukum pidana.
Usaha pembaharuan hukum
di Indonesia yang sudah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus
1945, melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan nasional yang
ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD NRI 1945, khususnya alinea
ke empat.
Dari perumusan tujuan
nasional yang tertuang dalam alinea ke empat UUD NRI 1945 tersebut, dapat
diketahui dua tujuan nasional yang utama yaitu: (1) untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia, dan (2) untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan
Pancasila. Hal itu berarti ada dua tujuan nasional, yaitu “perlindungan
masyarakat” (social defence) dan “kesejahteraan masyarakat” (social welfare)
yang menunjukkan adanya asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional.
Pembaharuan hukum pidana
menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral yang sangat
fundamental dan sangat strategis. Termasuk dalam masalah kebijakan dalam
menetapkan sanksi pidana, kebijakan menetapkan pidana dalam perundang-undangan.
Kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis dilihat dari
keseluruhan proses kebijakan, untuk mengoperasionalkan hukum pidana. Pada tahap
inilah dirumuskan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan, yang
sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap
penerapan pidana oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat
pelaksana pidana.
Latar belakang dan
urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek
sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan
(khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan
hukum). Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung
makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan
sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan
kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.[13] Singkatnya
pembaharuan hukum pidana setidaknya harus menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan kebijakan (policy-oriented approach) dan pendekatan nilai
(value-oriented approach).
Perkembangan dari
pendekatan yang berorientasi terhadap kebijakan ialah lamban datangnya, hal ini
dikarenakan bila kita kembali ke awal pembahasan, kebijakan ini dilakukan oleh
DPR yang pada dasarnya harus melewati proses legislasi, dan proses legislatif
belum siap untuk pendekatan yang demikian. Serta masalah yang lain ialah proses
kriminalisasi ini yang berlangsung terus menerus tanpa diadakannya suatu
evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem. Hal ini
mengakibatkan timbulnya: a. krisis kelebihan kriminalsiasi; dan b. krisis
kelampuan batas dari hukum pidana.[8]
Kebijakan yang ditempuh
oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembaruan hukum pidana, melalui dua
jalur, yaitu:
Pembuatan Konsep
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, yang maksudnya untuk
menggantikan KUHP yang berlaku sekarang.
Pembaruan
perundang-undangan pidana yang maksudnya mengubah, menambah, dan melengkapi
KUHP yang berlaku sekarang.
Masalah utama dalam
kebijakan kriminal ialah kriminalisasi, yakni proses diikatnya suatu perbuatan
yang sebelumnya tidak diancam dengan sanksi pidana, menjadi perbuatan yang
diancam dengan sanksi pidana. Kriminalisasi ini diakhiri dengan diundangkannya
suatu perbuatan tersebut.
Dua masalah sentral
dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah
masalah penentuan:
1. Perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan
2. Sanksi
apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar.
Penganalisisan terhadap
dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara
kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan sosial.
Dalam menentukan kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi hendaknya
memperhatikan hal berikut:
Tujuan hukum pidana:
seperti cabang hukum yang lainnya yaitu menciptakan ketertiban dalam masyarakat
dan kesejahteraan masyarakat.
Penentuan perbuatan
yang tidak dikehendaki, artinya perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau
ditanggulangi merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki.
Penentuan biaya dan
hasil, artinya penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil, yakni biaya dalam hal dari pembuatan peraturan tersebut hingga
pelaksanaan penegakan hukumnya.
Kemampuan aparat hukum:
penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja
dari aparat penegak hukum, serta jangan sampai ada kelampauan beban tugas.
D. Pidana Kerja Sosial sebagai Sanksi
Pidana Alternatif
Usaha-usaha
penanggulangan kejahatan telah banyak dilakukan dengan berbagai cara, namun
hasilnya masih belum memuaskan. Salah satu penanggulangan kejahatan ialah
menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun usaha ini
masih sering dipersoalkan, penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana untuk
mengatasi masalah sosial, bukan hanya merupakan problem sosial tetapi merupakan
masalah kebijakan. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia. Sehingga ada suatu
pandangan bahwa pelaku kejahatan tidak perlu dikenakan pidana, karena pidana
merupakan peninggalan kebiadaban masa lalu yang seharusnya dihindari. Pandangan
ini didasarkan pada pidana adalah tindakan perlakuan yang kejam dan
menderitakan. Hal ini dikemukakan oleh suatu gerakan pambaharuan hukum pidana
di eropa kontinental dan Inggris terutama reaksi humanistis terhadap kekejaman
pidana. Atas dasar pandangan itulah, kiranya terdapat pendapat bahwa teori
retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan “a relic of
barbarism”.
Kenyataan bahwa di
beberapa negara menunjukkan bahwa pidana penjara memiliki sisi negatif
dijelaskan pula dalam Kongres PBB ke-7 mengenai The Prevention of Crime and the
Treatment of Offender’ dinyatakan bahwa pertambahan jumlah dan lamanya pidana
penjara ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan
jumlah kejahatan. Pertambahan populasi penjara dan penuhnya lembaga penjara
menyebabkan kesulitan untuk mengembangkan aturan standar minimum bagi
perlakukan terhadap pelaku tindak pidana. Untuk itu pencarian alternatif pidana
penjara telah menjadi masalah yang bersifat universal.
Kongres PBB ke-7 ini
kemudian merekomendasikan setiap negara untuk menggunakan sanksi pidana sanksi
pidana yang berupa tindakan-tindakan non-custodial untuk perkara pidana yang
dianggap tidak terlalu serius atau membahayakan dan merekomendasikan pula agar
setiap negara mempertimbangkan pidana penjara hanya sebagai sanksi yang
terakhir (ultimum remedium).
Perkembangan dan
pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam hal kebijakan hukum pidana menuntun
diterapkannya sanksi pidana yang lebih efektif menanggulangi kejahatan. Pidana
kerja sosial adalah suatu hal yang cukup menarik, karena ini merupakan jenis
pidana yang baru apabila nantinya diterapkan pada KUHP Indonesia. Pidana kerja
sosial merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diatur pada Pasal 65 dan
Pasal 86 RUU KUHP tahun 2012. Pada penjelasan kedua pasal tersebut dijelaskan
bahwa munculnya jenis pidana kerja sosial adalah sebagai alternatif pidana
perampasan kemerdekaan jangka pendek dan denda yang dijatuhkan hakim kepada
terdakwa dan perampasan kemerdekaan jangka pendek dalam hal ini adalah pidana
penjara dan kurungan.
Sedangkan, pidana kerja
sosial atau dalam istilah asing sering disebut sebagai community service orders
(CSO) adalah bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana
dengan melakukan kerja sosial yang ditentukan.[19] Sehingga pidana kerja sosial
ini adalah pidana alternatif dari perampasan kemerdekaan jangka pendek yang
dilakukan dengan berdasarkan hitungan jam tertentu dan dilakukan tanpa bayaran.
Pidana kerja sosial
memang baru sebatas rencana dan belum sah ditetapkan sebagai salah satu sanksi
pidana di Indonesia, dasar hukumnya pun hanya diatur pada RUU KUHP Tahun 2012.
Pidana kerja sosial penting dijadikan salah satu jenis sanksi pidana di
Indonesia dengan beberapa alasan yakni lebih bisa memperbaiki terpidana, lebih
berguna bagi terpidana dan masyarakat serta lebih memperhatikan hak asasi
manusia (penjelasan RUU KUHP 2012).
Berkaitan dengan
pembahasan pidana kerja sosial, pidana perampasan kemerdekaan menjadi penting
untuk dikemukakan, oleh karena justru kecenderungan internasional yang terjadi
adalah bahwa pidana kerja sosial merupakan alternatif dari pidana perampasan
kemerdekaan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahawa semakin besar
peluang diterapkannya pidana sosial. Paling tidak digunakan sebagai alternatif
dari pidana perampasan kemerdekaan, pidana kerja sosial mempunyai peluang untuk
diterapkan.
Fakta dilapangan
menyebutkan bahwa pidana perampasan kemerdakaan merupakan jenis pidana yang
paling banyak dijatuhkan oleh hakim, dengan demikian, maka pidana kerja sosial
secara umum mempunyai peluang yang sangat besar dalam diterapkan sebagai
alternatif pidana di masa mendatang.
E.
Upaya
Non-Penal dan Pembaharuan Hukum Pidana secara Progresif
Sudah saatnya memang
untuk Indonesia melakukan yang namanya pembaharuan hukum pidana, selain
alasan-alasan yang telah dikemukakan di muka, terdapat juga alasan pembaharuan
hukum pidana untuk dilakukannya upaya nonpenal dalam kebijakan penanggulangan
kejahatan dan pembaharuan hukum pidana secara progresif.
G.P. Hoefnagels
menyatakan bahwa upaya penanggulanagan kejahatan dapat ditempuh dengan:[9]
1. Penerapan
hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan
tanpa pidana (prevention without punishment); dan
3. Memengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media
(influenceing views of society on crime and punishment/mass media).
Bila kita ringkas
ketiga poin diatas, maka didapatkan bahwa poin (b) dan poin (c) merupakan
bentuk dari penanggulanagan kejahatan yang ditempuh melalui upaya non-penal. Upaya
non-penal adalah upaya penanggulangan kejahatan yang tidak melalui pemberian
atau penjatuhan sanksi pidana.
Upaya non-penal
sebenarnya lebih bersifat ke upaya pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan.
Disamping upaya-upaya
non-penal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial
dan dengan menggali berbagai potensi yang ada dalam masyarakat, serta dapat
pula di gali dari sumber lainnya yang juga mempunyai efek preventif. Perlunya
sarana non-penal seharusnya lebih diintensifkan dan diefektifkan, alasannya
bisa juga karena masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektivitas sarana
penal dalam mencapai tujuan politik kriminal.
Bergerak kearah pembaharuan
hukum pidana secara progresif, kita harus meninggalkan ranah pragmatis dan
kuantitatif. Upaya-upaya non-penal yang telah sedikit dijelaskan diatas
sebenarnya merupakan langkah-langkah progresif yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum, karena dengan melakukan tindakan atau upaya pencegahan, hal itu
termasuk dalam bidang pemikiran yang progresif.
Gerakan hukum progresif
memang lahir sebagai akibat dari kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap
berperspektif postitivis. Para penganut paham postitivisme kerap berdalih bahwa
paham civil law yang dianut Indonesia ‘mengharuskan’ hakim sebagai corong
undang-undang (la bouche de la loi). Hukum Progresif bertolak dari realitas
empirik tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan
terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia pada
akhir abad ke-20.
Dalam melakukan
pembaharuan hukum pidana, kajian secara progresif sekiranya harus dilakukan,
kajian yang terlepas dari atribut-atribut yang melekat, yang mengutamakan
penjatuhan sanksi pidana, terutama pidana yang merampas kemerdekaan seseorang
sebagai ultimum remidium, yang mengutamakan pula manusia itu diatas hukum, dan
bukan sebaliknya. Hukum hanya sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga
berbagai kebutuhan manusia. Hukum tidak lagi dipandang sebagai dokumen yang
absolut dan ada secara otonom. Hukum progresif yang bertumpu pada manusia,
membawa konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan
hukum selain dimaksudkan untuk mengatasi ketertinggalan hukum, ketimpangan
hukum, juga dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum bila perlu
melakukan rule breaking. Terobosan-terobosan ini diharapkan dapat mewujudkan
tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yaitu hukum yang membuat bahagia.[10]
DAFTAR
PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 2011. Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Kencana.
Jakarta
Bakhri, Syaiful. 2013.
Hukum Pidana, Perkembangan dan Pertumbuhannya. Total Media. Yogyakarta.
————————–. 2009.
Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia. Total Media. Yogyakarta
Muladi. 1985. Lembaga
Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung
Susanto, I.S. 2011.
Kriminologi. Genta Publishing. Yogyakarta.
Suteki. 2015. Masa
Depan Hukum Progresif. Thafa Media. Yogyakarta:
Tongat. 2001. Pidana
Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Djambatan. Jakarta.
Tangkilisan, Hessel
Nogi S. 2003. Teori dan Konsep Kebijakan Publik dalam Kebijakan Publik yang
Membumi, konsep, strategi dan kasus. Lukman Offset dan YPAPI. Yogyakarta.
[1]
Menurut I.S. Susanto, disamping kejahatan itu sendiri, hukum tidak lain
merupakan salah satu norma di antara sistem norma yang lain, yang mengatur
tingkah laku manusia atau dalam bahasa psikoanalisa hanya sebagai suatu tabu di
antara tabu-tabu yang lain, yaitu norma agama, kebiasaan dan moral. Lihat, I.S
Susanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011) Hlm. 28.
[4] Hessel
Nogi S. Tangkilisan, “Teori dan Konsep Kebijakan Publik” dalam Kebijakan Publik
yang Membumi, konsep, strategi dan kasus, (Yogyakarta : Lukman Offset dan
YPAPI, 2003), hlm. 1.
[10] Tongat, Pidana
Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Djambatan: Jakarta,
2001), Hlm. 16.
No comments:
Post a Comment