Subscribe di sini

Tuesday, 21 April 2020

KEBIJAKAN PENGATURAN HAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan disertai ancaman berupa pidana dan menetukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.
Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian maka hukum pidana Indonesia diberlakukan keseluruh wilayah Negara Indonesia. Disamping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, namun disisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melnggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat dimana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tingi nilai-niali kemanusiaan yang beradab.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Jelaskan Definisi Pembaruan Hukum pidana nasional  ?
2.    Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana   ?
3.    Bagaimana Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Utama ?
4.    Bagaimana Pidana Kerja Sosial sebagai Sanksi Pidana Alternatif  ?
5.    Bagaimana Upaya Non-Penal dan Pembaharuan Hukum Pidana secara Progresif ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi
Hukum hadir dan dibuat sebagai salah satu jalan yang diharapkan dapat memberi penyelesaian yang tepat dan seadil-adilnya dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif dari segala bentuk tindak pidana yang dirasa merugikan, melanggar, dan merampas hak asasi manusia yang lain. Hukum adalah suatu tatanan norma yang mengatur pergaulan manusia dalam bermasyarakat. Perkembangan hukum tidaklah terlepas dari perkembangan pola pikir manusia yang menciptakan hukum tersebut untuk mengatur dirinya sendiri. Hukum ada pada setiap masyarakat di manapun di muka bumi.         
Kejahatan merupakan perbuatan yang dinilai oleh masyarakat dan undang-undang melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang hidup serta dianggap “melampaui batasan” mengenai hal-hal yang tidak sewajarnya dilakukan oleh anggota masyarakat. Secara teknis yuridis, istilah kejahatan hanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindak pidana[1], serta kejahatan bisa dikatakan sebagai suatu “pemberian cap”[2] yang dilakukan baik oleh masyarakat, maupun melalui undang-undang, yakni suatu perbuatan diberi pengertian sebagai “jahat”, maka pada dasarnya kejahatan bukanlah kualitas dari perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannnya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang “pelanggar”.
Berbicara mengenai peraturan perundang-undangan, di Indonesia hukum substantif yang digunakan dalam ranah pidana ialah KUHP. KUHP di Indonesia sendiri pada dasarnya merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang notabene adalah hukum pidana dari Belanda dimana telah diberlakukan sejak 1 Januari 1918, dan kemudian diundangkan serta diatur kembali dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ekonomi, dan perkembangan masyarakat yang kini mulai maju, permasalahan terhadap hukum juga semakin berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang “usang” dan dirasa sudah tidak sesuai dan tidak mencerminkan kepribadian masyarakat Indonesia menuntut untuk diperharui dan di upgrade nya KUHP kolonial Belanda.
Pembaharuan hukum pidana sendiri menurut Prof. Muladi memiliki beberapa alasan-alasan, yakni alasan politik, sosiologis dan praktis. Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional demi kebanggaan nasional. Alasan sosiologis menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, sedang alasan praktis, antara lain bersumber pada kenyataan bahwa biasanya bekas-bekas negara jajahan mewarisi hukum yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, yang kemudian banyak tidak dipahami oleh generasi muda dari negara yang baru merdeka tersebut. Hal ini disebabkan biasanya negara yang baru merdeka tersebut ingin menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa kesatuan sehingga bahasa dari negara penjajahnya hanya dimiliki oleh generasi yang mengalami penjajahan.[3]

B.  Kebijakan Hukum Pidana
Pengertian kebijakan secara umum dalam ranah pemerintahan atau kebijakan publik menurut Chandler dan Plano menyatakan:[4]
Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya –sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.
Kebijakan publik menempatkan dirinya sebagai bantuan terhadap kepentingan kelompok yang kurang beruntung. Pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia (dalam hal ini perundang-undangan) ditempuh melalui suatu program yakni Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dilakukan melalui lembaga DPR, dengan menggunakan landasan kebijakan publik. Kebijakan publik ini lah yang akan membawa kita dalam perkembanagn dan pembaharuan hukum pidana. Menurut Prof. Barda pengertian daripada “kebijakan hukum pidana” dapat pula dikatakan sebagai “politik hukum pidana”.[5]
Hukum pidana atau yang sering disebut pula dengan Penal Policy dapat dilihat dari segi politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto “Politik Hukum” adalah:[6]
Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Maka dengan pengertian yang telah dijelaskan oleh Prof. Sudarto diatas, kita dapat mengambil kesimpulan, yakni kebijakan hukum pidana dapat kita artikan sebagai usaha-usaha untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan kondisi masyarakat, yang tujuan utamanya ialah untuk mencapai cita-cita Indonesia, yaitu tidak hanya mengatur warga masyarakatnya melalui undang-undang, namun juga menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, yang dilakukan (pembaharuannya) melalui lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan terkait.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga bagian dari politik kriminal[8]. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut pandang politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.[7]

C.  Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Utama
Dewasa ini, kondisi dan keadaan hukum di Indonesia harus berhadapan dengan masalah-masalah yang rumit, seperti penyusunan, kebangkitan kembali, pembangunan, kelahiran, dan bentuk potensial hukum dari tertib hukum. Kondisi hukum yang sudah tidak stabil lagi dikarenakan aparat penegak hukum yang korup dan tak mempunyai nilai-nilai philosophia,, yang justru melakukan tindakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Upaya dalam memperbaiki hal-hal ini pun telah dan sedang dilakukan, yakni;
Pertama: dengan memperbaiki perundang-undangan yang dinilai memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Kedua: dengan membuat undang-undang yang baru, untuk dapat mengganti perundang-undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ketiga: dengan melakukan penelitian-penelitain mendalam, oleh kalangan ilmuan dan akademisi, terhadap perundang-undangan yang dinilai bermasalah.
Keempat: dengan penemuan hukum, oleh para hakim sebagai penegak hukum.
Pembaharuan secara etimologis berarti suatu hal yang “lama” dan sedang dalam prosesnya untuk diperbaharui. Telah dijelaskan di awal bahwa kebijakan hukum pidana ialah suatu usaha untuk membuat peraturan (pidana) menuju yang lebih baik, tidak hanya melakukan pengaturan tingkah laku masyarakat, namun juga menciptakan masyarakat yang sejahtera. Hal ini berarti pembaharuan hukum pidana merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan hukum pidana.
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD NRI 1945, khususnya alinea ke empat.
Dari perumusan tujuan nasional yang tertuang dalam alinea ke empat UUD NRI 1945 tersebut, dapat diketahui dua tujuan nasional yang utama yaitu: (1) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, dan (2) untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila. Hal itu berarti ada dua tujuan nasional, yaitu “perlindungan masyarakat” (social defence) dan “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) yang menunjukkan adanya asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional.
Pembaharuan hukum pidana menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral yang sangat fundamental dan sangat strategis. Termasuk dalam masalah kebijakan dalam menetapkan sanksi pidana, kebijakan menetapkan pidana dalam perundang-undangan. Kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijakan, untuk mengoperasionalkan hukum pidana. Pada tahap inilah dirumuskan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan, yang sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana.
Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.[13] Singkatnya pembaharuan hukum pidana setidaknya harus menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan (policy-oriented approach) dan pendekatan nilai (value-oriented approach).
Perkembangan dari pendekatan yang berorientasi terhadap kebijakan ialah lamban datangnya, hal ini dikarenakan bila kita kembali ke awal pembahasan, kebijakan ini dilakukan oleh DPR yang pada dasarnya harus melewati proses legislasi, dan proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Serta masalah yang lain ialah proses kriminalisasi ini yang berlangsung terus menerus tanpa diadakannya suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem. Hal ini mengakibatkan timbulnya: a. krisis kelebihan kriminalsiasi; dan b. krisis kelampuan batas dari hukum pidana.[8]
Kebijakan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembaruan hukum pidana, melalui dua jalur, yaitu:
Pembuatan Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, yang maksudnya untuk menggantikan KUHP yang berlaku sekarang.
Pembaruan perundang-undangan pidana yang maksudnya mengubah, menambah, dan melengkapi KUHP yang berlaku sekarang.
Masalah utama dalam kebijakan kriminal ialah kriminalisasi, yakni proses diikatnya suatu perbuatan yang sebelumnya tidak diancam dengan sanksi pidana, menjadi perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana. Kriminalisasi ini diakhiri dengan diundangkannya suatu perbuatan tersebut.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:
1.    Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan
2.    Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar.
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan sosial. Dalam menentukan kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi hendaknya memperhatikan hal berikut:
Tujuan hukum pidana: seperti cabang hukum yang lainnya yaitu menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
Penentuan perbuatan yang tidak dikehendaki, artinya perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki.
Penentuan biaya dan hasil, artinya penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil, yakni biaya dalam hal dari pembuatan peraturan tersebut hingga pelaksanaan penegakan hukumnya.
Kemampuan aparat hukum: penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari aparat penegak hukum, serta jangan sampai ada kelampauan beban tugas.

D.  Pidana Kerja Sosial sebagai Sanksi Pidana Alternatif
Usaha-usaha penanggulangan kejahatan telah banyak dilakukan dengan berbagai cara, namun hasilnya masih belum memuaskan. Salah satu penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun usaha ini masih sering dipersoalkan, penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana untuk mengatasi masalah sosial, bukan hanya merupakan problem sosial tetapi merupakan masalah kebijakan. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia. Sehingga ada suatu pandangan bahwa pelaku kejahatan tidak perlu dikenakan pidana, karena pidana merupakan peninggalan kebiadaban masa lalu yang seharusnya dihindari. Pandangan ini didasarkan pada pidana adalah tindakan perlakuan yang kejam dan menderitakan. Hal ini dikemukakan oleh suatu gerakan pambaharuan hukum pidana di eropa kontinental dan Inggris terutama reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. Atas dasar pandangan itulah, kiranya terdapat pendapat bahwa teori retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan “a relic of barbarism”.
Kenyataan bahwa di beberapa negara menunjukkan bahwa pidana penjara memiliki sisi negatif dijelaskan pula dalam Kongres PBB ke-7 mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offender’ dinyatakan bahwa pertambahan jumlah dan lamanya pidana penjara ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan jumlah kejahatan. Pertambahan populasi penjara dan penuhnya lembaga penjara menyebabkan kesulitan untuk mengembangkan aturan standar minimum bagi perlakukan terhadap pelaku tindak pidana. Untuk itu pencarian alternatif pidana penjara telah menjadi masalah yang bersifat universal.
Kongres PBB ke-7 ini kemudian merekomendasikan setiap negara untuk menggunakan sanksi pidana sanksi pidana yang berupa tindakan-tindakan non-­custodial untuk perkara pidana yang dianggap tidak terlalu serius atau membahayakan dan merekomendasikan pula agar setiap negara mempertimbangkan pidana penjara hanya sebagai sanksi yang terakhir (ultimum remedium).
Perkembangan dan pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam hal kebijakan hukum pidana menuntun diterapkannya sanksi pidana yang lebih efektif menanggulangi kejahatan. Pidana kerja sosial adalah suatu hal yang cukup menarik, karena ini merupakan jenis pidana yang baru apabila nantinya diterapkan pada KUHP Indonesia. Pidana kerja sosial merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diatur pada Pasal 65 dan Pasal 86 RUU KUHP tahun 2012. Pada penjelasan kedua pasal tersebut dijelaskan bahwa munculnya jenis pidana kerja sosial adalah sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek dan denda yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa dan perampasan kemerdekaan jangka pendek dalam hal ini adalah pidana penjara dan kurungan.
Sedangkan, pidana kerja sosial atau dalam istilah asing sering disebut sebagai community service orders (CSO) adalah bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan kerja sosial yang ditentukan.[19] Sehingga pidana kerja sosial ini adalah pidana alternatif dari perampasan kemerdekaan jangka pendek yang dilakukan dengan berdasarkan hitungan jam tertentu dan dilakukan tanpa bayaran.
Pidana kerja sosial memang baru sebatas rencana dan belum sah ditetapkan sebagai salah satu sanksi pidana di Indonesia, dasar hukumnya pun hanya diatur pada RUU KUHP Tahun 2012. Pidana kerja sosial penting dijadikan salah satu jenis sanksi pidana di Indonesia dengan beberapa alasan yakni lebih bisa memperbaiki terpidana, lebih berguna bagi terpidana dan masyarakat serta lebih memperhatikan hak asasi manusia (penjelasan RUU KUHP 2012).
Berkaitan dengan pembahasan pidana kerja sosial, pidana perampasan kemerdekaan menjadi penting untuk dikemukakan, oleh karena justru kecenderungan internasional yang terjadi adalah bahwa pidana kerja sosial merupakan alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahawa semakin besar peluang diterapkannya pidana sosial. Paling tidak digunakan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, pidana kerja sosial mempunyai peluang untuk diterapkan.
Fakta dilapangan menyebutkan bahwa pidana perampasan kemerdakaan merupakan jenis pidana yang paling banyak dijatuhkan oleh hakim, dengan demikian, maka pidana kerja sosial secara umum mempunyai peluang yang sangat besar dalam diterapkan sebagai alternatif pidana di masa mendatang.

E.   Upaya Non-Penal dan Pembaharuan Hukum Pidana secara Progresif
Sudah saatnya memang untuk Indonesia melakukan yang namanya pembaharuan hukum pidana, selain alasan-alasan yang telah dikemukakan di muka, terdapat juga alasan pembaharuan hukum pidana untuk dilakukannya upaya nonpenal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dan pembaharuan hukum pidana secara progresif.
G.P. Hoefnagels menyatakan bahwa upaya penanggulanagan kejahatan dapat ditempuh dengan:[9]
1.    Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2.    Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
3.    Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influenceing views of society on crime and punishment/mass media).
Bila kita ringkas ketiga poin diatas, maka didapatkan bahwa poin (b) dan poin (c) merupakan bentuk dari penanggulanagan kejahatan yang ditempuh melalui upaya non-penal. Upaya non-penal adalah upaya penanggulangan kejahatan yang tidak melalui pemberian atau penjatuhan sanksi pidana.
Upaya non-penal sebenarnya lebih bersifat ke upaya pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.
Disamping upaya-upaya non-penal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada dalam masyarakat, serta dapat pula di gali dari sumber lainnya yang juga mempunyai efek preventif. Perlunya sarana non-penal seharusnya lebih diintensifkan dan diefektifkan, alasannya bisa juga karena masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal.
Bergerak kearah pembaharuan hukum pidana secara progresif, kita harus meninggalkan ranah pragmatis dan kuantitatif. Upaya-upaya non-penal yang telah sedikit dijelaskan diatas sebenarnya merupakan langkah-langkah progresif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, karena dengan melakukan tindakan atau upaya pencegahan, hal itu termasuk dalam bidang pemikiran yang progresif.
Gerakan hukum progresif memang lahir sebagai akibat dari kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap berperspektif postitivis. Para penganut paham postitivisme kerap berdalih bahwa paham civil law yang dianut Indonesia ‘mengharuskan’ hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi). Hukum Progresif bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia pada akhir abad ke-20.
Dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, kajian secara progresif sekiranya harus dilakukan, kajian yang terlepas dari atribut-atribut yang melekat, yang mengutamakan penjatuhan sanksi pidana, terutama pidana yang merampas kemerdekaan seseorang sebagai ultimum remidium, yang mengutamakan pula manusia itu diatas hukum, dan bukan sebaliknya. Hukum hanya sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia. Hukum tidak lagi dipandang sebagai dokumen yang absolut dan ada secara otonom. Hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain dimaksudkan untuk mengatasi ketertinggalan hukum, ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum bila perlu melakukan rule breaking. Terobosan-terobosan ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yaitu hukum yang membuat bahagia.[10]






DAFTAR PUSTAKA

 Arief, Barda Nawawi. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Kencana. Jakarta
Bakhri, Syaiful. 2013. Hukum Pidana, Perkembangan dan Pertumbuhannya. Total Media. Yogyakarta.
————————–. 2009. Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia. Total Media. Yogyakarta
Muladi. 1985. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung
Susanto, I.S. 2011. Kriminologi. Genta Publishing. Yogyakarta.
Suteki. 2015. Masa Depan Hukum Progresif. Thafa Media. Yogyakarta:
Tongat. 2001. Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.             Djambatan. Jakarta.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. Teori dan Konsep Kebijakan Publik dalam Kebijakan Publik yang Membumi, konsep, strategi dan kasus. Lukman Offset dan YPAPI. Yogyakarta.






 


                [1] Menurut I.S. Susanto, disamping kejahatan itu sendiri, hukum tidak lain merupakan salah satu norma di antara sistem norma yang lain, yang mengatur tingkah laku manusia atau dalam bahasa psikoanalisa hanya sebagai suatu tabu di antara tabu-tabu yang lain, yaitu norma agama, kebiasaan dan moral. Lihat, I.S Susanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011) Hlm. 28.
                [2] Ibid. Hlm. 117.
                [3] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 1. Mengenai alasan-alasan    pembaharuan Hukum Pidana ini juga disinggung dalam Naskah Akademik RUU KUHP.
                [4] Hessel Nogi S. Tangkilisan, “Teori dan Konsep Kebijakan Publik” dalam Kebijakan Publik yang Membumi, konsep, strategi dan kasus, (Yogyakarta : Lukman Offset dan YPAPI, 2003), hlm. 1.

                [5] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 26.
                [6] Lihat Lili Rasyidi, sebagaimana dikutip dalam Syaiful Bakhri. Hukum Pidana, Perkembangan dan Pertumbuhannya, (Yogyakarta: Total Media, 2013). Hlm. 191.
                [7] Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009). Hlm. 43.
                [8] Syaiful Bakhri. Op. cit. Hlm. 195.
                [9] Lihat M. Cherif Bassiouni sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi Arief, Ibid. Hlm. 33-34.
[10] Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Djambatan: Jakarta, 2001), Hlm. 16.


No comments:

Post a Comment

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...