Para fuqaha (ulama ahli
fiqh) sepakat bahwasannya disyariatkannya pengeluaran zakat fithrah adalah dari
jenis harta khusus (yang ada nash-nya). (Lihat Kitab Al-Ijma’, Imam Ibnul
Mundzir, 56).
Hal
ini sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar:
“Rasulullah memfardhukan atas kami untuk menunaikan zakat fithri pada bulan Ramadhan, sebesar satu sha’ tamr (kurma masak), atau gandum.” HR. Muttafaq Alaih, Al-Bukhari No. 1432, Muslim No. 984.
“Rasulullah memfardhukan atas kami untuk menunaikan zakat fithri pada bulan Ramadhan, sebesar satu sha’ tamr (kurma masak), atau gandum.” HR. Muttafaq Alaih, Al-Bukhari No. 1432, Muslim No. 984.
Dalam
riwayat hadits Abu Said, katanya:
Kami mengeluarkan zakat fithri sebesar satu sha’ tamr (kurma masak) atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ tepung atau satu sha’ zabib (anggur kering).” HR. Muttafaq Alaih, Al-Bukhari 1435, Muslim 985.
Kami mengeluarkan zakat fithri sebesar satu sha’ tamr (kurma masak) atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ tepung atau satu sha’ zabib (anggur kering).” HR. Muttafaq Alaih, Al-Bukhari 1435, Muslim 985.
Adapun
memberikan uang kepada fakir-miskin, baik karena ada sebab atau tanpa ada sebab
tertentu, seperti membantu orang fakir yang membutuhkan uang, atau misalnya
seseorang kesusahan membeli bahan makanan pokok untuk zakat fithrahnya, ataupun
karena uang dianggap lebih mudah mengumpulkannya, menjaganya, dan
memindahkannya, serta membagikannya kepada pihak lain, maka tentang ini ada
ikhtilaf (perbedaan pandangan) fuqaha tentang hukum menunaikan zakat fithri
dengan uang dalam dua pandangan:
Kelompok yang melarang :
Tidak boleh menunaikan zakat fithri dengan uang. Ini adalah pandangan Madzhab mayoritas ulama, semisal madzhab Malikiyah (lihat Al-Mudawanah 1/392, Al-Isyraf alaa Nukat Masa’il Al-Khilaf 1/417), Syafiiyah (lihat Al-Majmu’ 6/112, Mughni Al-Muhtaj 2/119), dan Hanabilah (lihat Al-Mughni 4/295, Kasyaf Al-Qina’ 2/81)
Kelompok yang melarang :
Tidak boleh menunaikan zakat fithri dengan uang. Ini adalah pandangan Madzhab mayoritas ulama, semisal madzhab Malikiyah (lihat Al-Mudawanah 1/392, Al-Isyraf alaa Nukat Masa’il Al-Khilaf 1/417), Syafiiyah (lihat Al-Majmu’ 6/112, Mughni Al-Muhtaj 2/119), dan Hanabilah (lihat Al-Mughni 4/295, Kasyaf Al-Qina’ 2/81)
Kelompok
yang membolehkan:
Boleh, secara mutlak, menunaikan zakat fithri dengan uang. Ini adalah madzhab Hanafiyah (lihat Al-Mabsuth, 3/107, Fathul Qadir 2/192). Tidak benar menisbatkan pandangan ini kepada madzhab Hanabilah, sebab riwayat dari madzhab Hanabilah tentang pembolehan menunaikan zakat dengan uang adalah pada selain zakat fithrah, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni 4/295. Dan beliau menghikayatkan bahwa hal ini adalah perkataan Khalifah Umar ibn Abdil Aziz.
Boleh, secara mutlak, menunaikan zakat fithri dengan uang. Ini adalah madzhab Hanafiyah (lihat Al-Mabsuth, 3/107, Fathul Qadir 2/192). Tidak benar menisbatkan pandangan ini kepada madzhab Hanabilah, sebab riwayat dari madzhab Hanabilah tentang pembolehan menunaikan zakat dengan uang adalah pada selain zakat fithrah, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni 4/295. Dan beliau menghikayatkan bahwa hal ini adalah perkataan Khalifah Umar ibn Abdil Aziz.
Dalil-Dalil
Zakat Fithri
Harus kami tegaskan di sini bahwa para fuqaha mutaqaddimin tidak memberikan penjelasan dalil tentang penunaian zakat fithrah dengan uang. Mereka hanya menyatakan boleh, dengan alasan cukuplah dalil-dalil umum tentang hukum menunaikan zakat fithri dan zakat lainnya bahwa hal
itu
boleh, kecuali zakat perdagangan.
Para
ulama kontemporer memberikan penjelasan tentang zakat fithrah dengan uang. Dan
inilah yang kami maksud dengan permasalahan kontemporer dalam masalah zakat
karena munculnya kebutuhan-kebutuhan akan uang. Oleh karena itu, mereka
menjelaskan dalil-dalil secara khusus tentang bolehnya zakat fithrah dengan
uang, tidak hanya dalil-dalil umum semata, sebagai upaya untuk memerincikan
pembahasan, disamping ada kewajiban zakat yang memang dibayar dengan uang.
Dalil
kelompok yang melarang :
1. Hadits
Ibnu Umar: Rasulullah memfardhukan atas kami untuk menunaikan zakat fithri
sebesar satu sha’ tamr (kurma masak) atau satu sha’ gandum … dst.” (Muttafaq
Alaih)Sisi dalilnya adalah Rasulullah memfardhukan zakat dari jenis barang yang
tersebut di hadits itu, maka siapa yang mengkonversikannya dengan uang maka ia
telah meninggalkan apa-apa yang difardhukan. (Lihat Al-Mughni 4/295).Kelompok
yang membolehkan :
Penyebutan jenis fithrah dalam hadits ini bukanlah untuk pembatasan, dalam arti selain apa yang tersebut maka tidak boleh, bukan. Akan tetapi hanya sekedar menyebutkan apa yang mudah di peroleh dan mempermudah serta menghilangkan kesulitan. Dan menunaikan fithrah dengan jenis itu (kurma atau gandum), sebagai tersebut dalam nash hadits, adalah yang termudah dalam berbagai jenis harta manusia. Adalah Rasulullah pernah menyebut jenis makanan untuk zakat fithrah, karena barang itu banyak tersedia di pasar, pada zaman itu, ditambah betapa besarnya kebutuhan fakir-miskin saat itu akan bahan makanan tersebut dibanding kebutuhan akan harta benda. Dan mayoritas orang-orang yang bershadaqah di zaman nabi tidaklah bershadaqah kecuali dengan makanan. (Lihat Al-Mabsuth 1/107).
Penyebutan jenis fithrah dalam hadits ini bukanlah untuk pembatasan, dalam arti selain apa yang tersebut maka tidak boleh, bukan. Akan tetapi hanya sekedar menyebutkan apa yang mudah di peroleh dan mempermudah serta menghilangkan kesulitan. Dan menunaikan fithrah dengan jenis itu (kurma atau gandum), sebagai tersebut dalam nash hadits, adalah yang termudah dalam berbagai jenis harta manusia. Adalah Rasulullah pernah menyebut jenis makanan untuk zakat fithrah, karena barang itu banyak tersedia di pasar, pada zaman itu, ditambah betapa besarnya kebutuhan fakir-miskin saat itu akan bahan makanan tersebut dibanding kebutuhan akan harta benda. Dan mayoritas orang-orang yang bershadaqah di zaman nabi tidaklah bershadaqah kecuali dengan makanan. (Lihat Al-Mabsuth 1/107).
Kelompok
yang melarang :
Kami, kalaupun mau menerima asumsi anda bahwa penyebutan kurma dan gandum di hadits tersebut bukan sebagai pembatasan, maka dua hal itu harus dikedepankan/didahulukan daripada yang lainnya selama belum jelasnya mashlahat zakat fithrah dengan uang. Dan tidak selalu benar pandangan yang menyamakan antara uang dengan bahan makanan, atau penyebutan bahan makanan itu sekedar untuk memudahkan semata, apalagi nilai zakat fithrah jika diuangkan tidak memberatkan kebanyakan manusia. Maka, tatkala Rasulullah tidak menyebutkan nilai uang dalam zakat fithrah, secara umum, maka itu menunjukkan bahwa harus didahulukan membayar zakat berupa bahan makanan pokok.
Kami, kalaupun mau menerima asumsi anda bahwa penyebutan kurma dan gandum di hadits tersebut bukan sebagai pembatasan, maka dua hal itu harus dikedepankan/didahulukan daripada yang lainnya selama belum jelasnya mashlahat zakat fithrah dengan uang. Dan tidak selalu benar pandangan yang menyamakan antara uang dengan bahan makanan, atau penyebutan bahan makanan itu sekedar untuk memudahkan semata, apalagi nilai zakat fithrah jika diuangkan tidak memberatkan kebanyakan manusia. Maka, tatkala Rasulullah tidak menyebutkan nilai uang dalam zakat fithrah, secara umum, maka itu menunjukkan bahwa harus didahulukan membayar zakat berupa bahan makanan pokok.
2. Hadits
Abu Said katanya: Kami mengeluarkan zakat fithri sebesar satu sha’ tamr (kurma
masak) atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ aqth atau satu sha’ zabib (anggur
kering).” HR. Muttafaq Alaih, Al-Bukhari 1435, Muslim 985.Sisi dalilnya adalah
bahwasannya para sahabat tidak mengeluarkan zakat fithrah selain berupa bahanan
makanan. Dan kontinyuitas mereka dalam menunaikan zakat fithrah setiap tahun
berupa bahanan makanan, merupakan dalil bahwa memang disyariatkannya zakat
fithrah adalah berupa bahan makanan. (Lihat: Majmu’ fatawa wa Rasa’il, Ibnu
Utsaimin, 18/265).
3. Sesungguhnya
Ibnu Abbas pernah berkata: “Rasulullah memfardhukan zakat fithrah sebagai
pembersih bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan perkataan yang tidak
senonoh, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” HR. Abu Daud, 1609, Ibnu
majah 1827, Daraquthniy 2/137. Daraquthniy berkata: para rawinya tidak ada yang
majruh (tercela). Al-Hakim berkata tentang hadits ini (1488): Ini adalah hadits
shahih menurut persyaratan Imam Bukhari, walaupun hadits ini tidak beliau
riwayatkan.” Imam Adz-Dzahabi berkata dalam Talkhish-nya: “Hadits ini memenuhi
persyaratan Imam Al-Bukhari.” Akan tetapi Imam Al-Zaila’iy mengkritik Imam
Al-Hakim dalam kitab Nashb Al-Rayah, kitabuz zakah, bab shadaqatil fithr,
al-hadits al-rabi’ 2/300: “ Syaikh berkata: “Hadits tersebut tidak diriwayatkan
Al-Bukhari, Muslim, Abu Yazid, dan tidak pula dalam kitab siyar sama sekali,
dan tidak benar bahwa hadits ini memenuhi persyaratan Imam Al-Bukhari, kecuali
karena hadits ini diriwayatkan dari jalur Ikrimah, sebab Al-Bukhari berhujjah
dengan riwayat Ikrimah dalam berbagai tempat dalam kitabnya.”Aspek dalilnya
adalah bahwa “memberi makan” bisa terjadi jika yang diberikan adalah sesuatu
yang bisa dimakan, dan bukan dengan dirham yang bisa memenuhi kebutuhan, dimana
hal ini menjadi dalil bahwa mengeluarkan zakay fithrah adalah dengan makanan,
adalah sesuai dengan maksud syariat.” (Lihat majmu fatawa wa Rasail, Ibnu
Utsaimin 18/278).
4. Sesungguhnya
zakat fithrah adalah ibadah fardhu dari sesuatu jenis tertentu. Maka, tidak sah
mengeluarkannya dari jenis lain sebagaimana tidak sah pula menunaikannya pada
selain waktunya. (Lihat majmu fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin 18/285).
5. Zakat
fithrah diwajibkan dengan tujuan untuk menghilangkan kesengsaraan fakir-miskin,
sebagai wujud kesyukuran atas anugerah nikmat harta; dan kebutuhan itu
berbeda-beda, maka sudah selayaknya beragamnya kewajiban atas orang kaya kepada
orang miskin berupa jenis tertentu untuk kebutuhan tertentu yang bisa memenuhi
kebutuhannya. Maka, tergapailah syukur nikmat kepada Allah dengan memberikan
harta yang sama kepada fakir-miskin.” (Lihat: Al-Mughni: 4/297).
6. Membayar
fithrah dengan uang berarti meng-geser nash-nash dalil, maka tidak sah zakat
dengan uang, sebagaimana tidak sah menggantikan sesuatu yang baik dengan yang
jelek. (Lihat: Al-Mughni: 4/297).Kelompok yang membolehkan :
Fithrah dengan uang dikatakan telah meng-geser nash dalil, sebab fithrah dengan uang jelas lebih mashlahat bagi fakir-miskin, dan lebih bisa memenuhi kebutuhan mereka, walaupun tidak ada dalil yang melarangnya.” (Lihat: Tahqiq Al-Aamal fii Ikhraj Zakah Al-Fithr bi Al-Maal, 101).
Fithrah dengan uang dikatakan telah meng-geser nash dalil, sebab fithrah dengan uang jelas lebih mashlahat bagi fakir-miskin, dan lebih bisa memenuhi kebutuhan mereka, walaupun tidak ada dalil yang melarangnya.” (Lihat: Tahqiq Al-Aamal fii Ikhraj Zakah Al-Fithr bi Al-Maal, 101).
7. Menunaikan
zakat fithrah adalah salah satu syiar Islam, maka menggantinya dari bahan
makanan pokok dengan uang, berdampak pada menjadi kecil dan tidak tampaknya
syiar tersebut. (Lihat majmu fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin 18/278).
8. Nabi
shallallahu alaihi wa sallam memfardhukan zakat dari berbagai jenis yang
berbeda dan berbeda juga nilai tukarnya jika diukur dengan uang. Maka, ini
menjadi dalil bahwa memang fithrah pada dasarnya adalah dengan bahan makanan.
Jika nilai uang bisa diakui/diterima dalam syariat, maka tentu beliau sudah
menfardhukan dalam satu jenis saja atau dengan yang lainnya yang senilai
dengannya. (Lihat majmu fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin 18/278).Kelompok
yang membolehkan :
Pertama, ini merupakan pengkiayasan antara sesuatu yang ada dengan yang tidak ada, sebab mereka mengkiyaskan masa dimana mereka hidup saat ini dengan masa Rasulullah, dan mereka menyangka bahwa jenis-jenis ini berbeda-beda nilai tukarnya pada masa mereka dan pada masa Rasulullah. Pernyataan ini membutuhkan riwayat yang sharih/jelas dalam keshahihannya, jika tidak maka setiap zaman memiliki harga yang berbeda-beda atas barang, persamaannya dan selisihnya.Kedua, klaim ini tidak benar seratus persen, sebab Rasulullah mengganti diantara berbagai bahan makanan dalam fithrah dan tidak menyamakannya. (Lihat: Tahqiq Al-Aamal fii Ikhraj Zakah Al-Fithr bi Al-Maal, 114).
Pertama, ini merupakan pengkiayasan antara sesuatu yang ada dengan yang tidak ada, sebab mereka mengkiyaskan masa dimana mereka hidup saat ini dengan masa Rasulullah, dan mereka menyangka bahwa jenis-jenis ini berbeda-beda nilai tukarnya pada masa mereka dan pada masa Rasulullah. Pernyataan ini membutuhkan riwayat yang sharih/jelas dalam keshahihannya, jika tidak maka setiap zaman memiliki harga yang berbeda-beda atas barang, persamaannya dan selisihnya.Kedua, klaim ini tidak benar seratus persen, sebab Rasulullah mengganti diantara berbagai bahan makanan dalam fithrah dan tidak menyamakannya. (Lihat: Tahqiq Al-Aamal fii Ikhraj Zakah Al-Fithr bi Al-Maal, 114).
Dalil
kelompok yang membolehkan :
1. Sesungguhnya
yang wajib dalam fithrah adalah memberikan kecukupan kepada fakir-miskin,
berdasarkan sabda Rasulullah: Maka, berilah kecukupan kepada mereka
agar tidak meminta-minta di hari Ied ini.” Daraquthni no. 67, 2/152.
Imam Az-Zailaiy dan yang lainnya menyatakan kedhaifan hadits ini dalam kitab
Nashb Al-Rayah 2/522,: gharib. Dan hadits ini berputar pada sanad Abu Mi’syar
yang didhaifkanoleh Ibnu Hajar dalam fathul Bari 3/375, dan didhaifkan oleh
Al-Albaniy dalam Irwa’ul Ghalil 844, 3/332.Maka, memberi kecukupan bisa
dilakukan dengan memberi uang, sebab lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan
mereka.Kelompok yang melarang :
Hadits itu dhaif, dan memberi kecukupan bisa dengan harta dan bisa dengan makanan, bisa dengan salah satu dari keduanya.
Hadits itu dhaif, dan memberi kecukupan bisa dengan harta dan bisa dengan makanan, bisa dengan salah satu dari keduanya.
2. Pokok
dalam shadaqah adalah dengan mal/harta, sebagaimana firman Allah: “Ambillah
dari sebagian harta mereka zakat yang dengannya bisa membersihkan mereka dan
mensucikan jiwa mereka, dan doakanlah mereka, sebab doamu untuk mereka adalah
menentramkan jiwa mereka, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Q.S.
At-Taubah: 103. Dan harta, pada intinya adalah emas dan perak, dan penjelasan
Rasulullah tentang fithrah dengan gandum dan kurma hanyalah untuk sekedar
memudahkan dalam memenuhi kebutuhan, dan bukan membatasi jenis fithrah. (Lihat:
Tahqiq Al-Aamal fii Ikhraj Zakah Al-Fithr bi Al-Maal, 59).Kelompok yang
melarang :
Asumsi di atas tidak bisa diterima, sebab harta bisa berupa segala sesuatu yang berharga, semisal hewan ternak, biji-bijian, dan berbagai bahan makanan pokok dalam zakat fithrah. Dan pada intinya adalah bahwa zakat adalah dari jenis tertentu sesuai nash dalilnya.
Asumsi di atas tidak bisa diterima, sebab harta bisa berupa segala sesuatu yang berharga, semisal hewan ternak, biji-bijian, dan berbagai bahan makanan pokok dalam zakat fithrah. Dan pada intinya adalah bahwa zakat adalah dari jenis tertentu sesuai nash dalilnya.
3. Jika
boleh mengambil zakat berupa uang untuk zakat mal harta tertentu, maka untuk
zakat fithrah tentu juga boleh. Sebab, kewajiban zakat pada biji-bijian, kurma,
hewan ternak, uang, sebagaimana hadits Muadz ketika Rasulullah bersabda
kepadanya sebelum diutus ke Yaman: “Ambillah zakat dari biji-bijian
berupa biji-bijian, kambing dengan kambing, unta dengan unta, sapi dengan
sapi.” HR. Abu Daud 1599, Ibnu Majah 1814, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
1/546, no. 1433: Hadits ini adalh shahih berdasarkan persyaratan Bukhari dan
Muslim.”Dan karena ketika di zaman itu, hikmah diperintahkannya zakat fithrah
bisa tergapai secara maksimal dengan memberikan bahan makanan, maka syariat
memerintahkan manusia untuk menunaikannya dalam bentuk bahan makanan, dan tisak
ada kesusahan untuk hal itu. Yang demikian karena zaman itu, di jazirah Arab,
uang masih sedikit, apalagi di daerah pegunungan dan pedalaman, terlebih lagi
para fakir-miskin. Maka, jika mereka disuruh memberikan uang sebagai zakat ata
setiap orang, maka akan memberatkan para fakir-miskin dalam menunaikannya,
secara keseluruhan. Demikian juga dengan orang-orang kaya yang hanya memiliki
hewan ternak, bahan makanan. Adapun bahan makanan maka semua orang mudah
mendapatkannya, dan tidak ada satu rumah pun yang tidak memiliki bahan makanan,
kecuali orang-orang yang terrendah kefakirannya. Maka, pada saat itu,
kemashlahatan yang teragung dan keadilan yang tertinggi adalah menunaikannya
dengan bahan makanan yang mudah dijumpai, serta setiap orang menunaikannya
masing-masing.Kelompok yang melarang :
Dengan tidak menerima asumsi ini secara keseluruhannya, sebab maksud syariat adalah sesuai waktu dan kondisinya, sebagaimana nilai zakat fithrah adalah kecil, sedangkan dirham dan dinar di kala itu begitu banyak menyebar, dan tidak sulit bagi mereka untuk memperolehnya. Bersamaan dengan itu, bahwa zakat adalah memiliki makna ibadah tersendiri yang digapai dengan yaqin/pasti, dengan mengeluarkan bahan makanan untuk zakat fithrahnya.
Dengan tidak menerima asumsi ini secara keseluruhannya, sebab maksud syariat adalah sesuai waktu dan kondisinya, sebagaimana nilai zakat fithrah adalah kecil, sedangkan dirham dan dinar di kala itu begitu banyak menyebar, dan tidak sulit bagi mereka untuk memperolehnya. Bersamaan dengan itu, bahwa zakat adalah memiliki makna ibadah tersendiri yang digapai dengan yaqin/pasti, dengan mengeluarkan bahan makanan untuk zakat fithrahnya.
4. Sesungguhnya
Nabi mengubah standar wajib dari berbagai barang wajib zakat yang sudah
di-nash-kan dengan menyamakan keberfungsiannya sebagai pemenuh kebutuhan hidup.
Beliau mewajibkan fithrah satu sha’ dengan tamr (kurma masak) atau gandum, dan
jika dari gandum jenis bagus (bur) maka ukurannya setengah sha’. Tentang hal
ini ada 12 riwayat hadits yang maushul dan 4 hadits mursal, 10 hadits mauquf,
dan ada yang lain yang maqthu. Bur hanya setengah sha’ jika untuk fithrah
karena lebih mahal harganya dan juga tidak banyak beredar di Madinah pada masa
itu. Maka, ini menjadi dalil bahwasannya uang (nilai harga) diakui dalam zakat
fithrah, dan justru jenis barang-lah yang tidak diakui. Sebab, jika standar
fithrah adalah barang, maka tentu ukuran sha’-nya harus sama antara berbagai
barang yang berbeda tersebut. (Lihat: Tahqiq Al-Aamal fii Ikhraj Zakah Al-Fithr
bi Al-Maal, 83).Kelompok yang melarang :
Sesungguhnya, pengakuan nilai tukar (uang) pada bur ini –menjadi ½ sha’, pent — tidak bisa menggugurkan pengakuan syariat atas sesungguhnya zakat fithrah adalah dengan standar barang, keduanya sama-sama diakui/diterima.
Sesungguhnya, pengakuan nilai tukar (uang) pada bur ini –menjadi ½ sha’, pent — tidak bisa menggugurkan pengakuan syariat atas sesungguhnya zakat fithrah adalah dengan standar barang, keduanya sama-sama diakui/diterima.
5. Adalah
Rasulullah tidak memberikan perkecualian kepada para wanita dalam berzakat,
demikian juga terhadap laki-laki.Kelompok yang melarang :
Jika benar bahwa yang dimaksud adalah zakat fithrah, kenapa beliau perintahkan kepada para wanita saat beliau berkhuthbah setelah shalat Ied, padahal muslimin seluruhnya menunaikan fithrah adalah sebelum Ied. (Tentang ini adalah hadits shahih Bukhari no. 1432, hadits Ibnu Umar).
Jika benar bahwa yang dimaksud adalah zakat fithrah, kenapa beliau perintahkan kepada para wanita saat beliau berkhuthbah setelah shalat Ied, padahal muslimin seluruhnya menunaikan fithrah adalah sebelum Ied. (Tentang ini adalah hadits shahih Bukhari no. 1432, hadits Ibnu Umar).
6. Sesungguhnya
Allah ta’alaa berfirman: “Kalian tidak akan pernah menggapai kebaikan
kecuali jika menginfaq-kan harta yang kalian cintai, dan apa saja yang kalian
infaq-kan dari khair (harta) maka Allah Maha Mengetahuinya. Q.S. Ali
Imran: 92.Aspek dalilnya adalah harta adalah sesuatu yang dicintai, dan
mayoritas manusia mudah dalam bershadaqah dalam bentuk makanan dan berat jika
berinfaq dalam bentuk harta (uang) kepada fakir-miskin. Berbeda keadaannya
ketika zaman Nabi. Oleh karena itu, maka mengeluarkan bahan makanan, dan itu
adalah haq fakir-miskin, adalah afdhal (lebih utama) sebab itu lebih dicintai,
dan mengeluarkan uang sebagai fithrah adalah afdhal pada zaman kita ini sebab
uang saat ini lebih dicintai daripada bahan makanan. (Lihat: Tahqiq Al-Aamal
fii Ikhraj Zakah Al-Fithr bi Al-Maal, 97).Kelompok yang melarang :
Sesungguhnya pembedaan ini, diantara zaman Nabi dan zaman kita, tidak ada dalilnya sama sekali. Kemudian, andaipun asumsi tersebut diterima, maka asumsi itu bisa berlaku pada jenis shadaqah tathawwu’ (shadaqah sunnah), namun jika shadaqah wajib (zakat) maka ia harus mengikuti nash syariat yang ada, dan inilah yang afdhal.
Sesungguhnya pembedaan ini, diantara zaman Nabi dan zaman kita, tidak ada dalilnya sama sekali. Kemudian, andaipun asumsi tersebut diterima, maka asumsi itu bisa berlaku pada jenis shadaqah tathawwu’ (shadaqah sunnah), namun jika shadaqah wajib (zakat) maka ia harus mengikuti nash syariat yang ada, dan inilah yang afdhal.
7. Sesungguhnya
Rasulullah pernah bersabda: “maka berilah kecukupan kepada mereka
(fakir-miskin) sehingga mereka tidak keliling pada hari Ied ini.”[ Hadits yang
berbunyi “Berilah mereka kecukupan agar tidak meminta-minta pada hari
Ied ini” adalah dhaif. Adapun hadits yang berbunyi “Berilah
kecukupan kepada mereka sehingga mereka tidak BERKELILING pada hari Ied ini” adalah
sudah tersebutkan oleh Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil fii Al-Dhuafaa 7/55, dan
didhaifkannya karena ada rawi Abu Mi’syar, dan Abu Mi’syar adalah Najih ibn
Abdirrahman Al-Sindiy, dan ia juga didhaifkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaniy
dalam kitabnya At-Taqrib, no. 7100 ]Aspek dalinya adalah bahwa Rasulullah
mengkorelasikan antara “kecukupan” buat fakir-miskin pada hari Ied agar semua
orang, termasuk fakir-miskin, bisa merasakan kebahagiaan, sehingga ada kesamaan
antara orang kaya dan orang fakir. Dan hal ini tidak akan tergapai, pada zaman
ini, jika hanya dengan memberikan biji-bijian bahan makanan dimana itu juga
bukan makanan semua orang, serta tidak memungkinkan untuk bisa
dimanfaatkan/digunakan pada zaman kini kecuali jika mereka ingin menyelisihi
kebiasaan. (Lihat: Tahqiq Al-Aamal fii Ikhraj Zakah Al-Fithr bi Al-Maal, 91).
Kelompok
yang melarang :
Sudah kami ketengahkan bahwa hadits ini adalah dhaif. (Maksudnya, tidak bisa berhujjah dengan alasan apapun selama dasarnya adalah hadits dhaif, pent).
Sudah kami ketengahkan bahwa hadits ini adalah dhaif. (Maksudnya, tidak bisa berhujjah dengan alasan apapun selama dasarnya adalah hadits dhaif, pent).
8. Sesungguhnya,
mengedepankan pencapaian mashalat adalah seagung-agung pokok syariat Islam, dan
kemanapun mashlahat itu ada maka syariat akan selalu beredar pada kepentingan
mashlahat tersebut. Maka, syariat seluruhnya dibangun di atas maksud pencapaian
mashlahat dan mengeliminir kemadharatan. (Lihat: Tahqiq Al-Aamal fii Ikhraj
Zakah Al-Fithr bi Al-Maal, 102).Kelompok yang melarang :
Asumsi di atas bisa diterima, jika mashlahat yang dimaksud adalah al-mashlahat al-dhahirah (kemashlahatan yang jelas nampak) jika berfithrah dengan uang. Adapun jika telah jelasnya bahwa mashlahat yang mu’tabar (diakui) adalah berupa bahan makanan, maka ini harus dikedepankan sebab hal ini ada dasar nashnya.
Asumsi di atas bisa diterima, jika mashlahat yang dimaksud adalah al-mashlahat al-dhahirah (kemashlahatan yang jelas nampak) jika berfithrah dengan uang. Adapun jika telah jelasnya bahwa mashlahat yang mu’tabar (diakui) adalah berupa bahan makanan, maka ini harus dikedepankan sebab hal ini ada dasar nashnya.
Tarjih
(Evaluasi Mana yang Lebih Dekat Kepada Kebenaran)
Yang
nampak jelas dekat dengan kebenaran adalah bahwa menunaikan zakat fithrah
dengan uang adalah dilarang.Maka, sesungguhnya ketidakmampuan
fakir-miskin dalam memanfaatkannya adalah karena mereka tidak membutuhkan bahan
makanan, dan pandangan yang menyatakan bolehnya berfithrah dengan uang pada
kondisi ini-lah fokusnya. Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu taimiyah berkata
tentang zakat fithrah dengan uang: Adapun mengeluarkan uang untuk zakat dan
kaffarat dan yang lainnya … dst, –sampai kepada ucapan– dan yang adhhar (yang
lebih nampak kebenarannya) adalah bahwa membayarkan uang sebagai zakat tanpa
ada kebutuhan dan tanpa ada factor kemashlahatan yang rajihah (kuat) adalah
terlarang. Oleh karena itu, Rasulullah menetapkan, secara tauqifiy, zakat berupa
dua kambing atau 20 dirham dan tidak mengkonversikannya kepada nilai uang,
sebab kapanpun ada pandangan yang membolehkan uang sebagai pembayaran zakat
secara mutlak maka itu merupakan penggeseran pemilik harta , tentang zakat,
kepada jenis harta yang lebih jelek.
Dan bahkan terkadang
pengkonversian ini berdampak buruk, sebab zakat dibangun diatas tujuan
memberikan sesuatu barang yang sama kepada orang lain, dan ini akan bisa
tergapai hanya jika seseorang memberikannya dalam bentuk jenis harta itu
sendiri.
Namun, jika memberikan dalam
bentuk uang karena adanya kebutuhan dan mashlahat atau keadilan, maka tidak
mengapa, semisal dijualnya buah-buahan di kebun atau di lahan pertaniannya dan
ditukar dengan dirham (uang perak). Maka, pada kondisi ini, menunaikan zakat
berupa uang adalah sah, dan sang petani tidak dibebankan untuk kemudian membeli
buah-buahan atau gandum lalu ia zakatkan. Pada kondisi ini sudah tergapai
kesamaan dalam pengeluaran zakat. Bahkan Imam Ahmad dalam sebuah nash
menyatakan bolehnya hal yang demikian.
Misalnya lagi, seseorang wajib
berzakat seekor kambing atas kepemilikan 5 ekor unta, namun ia tidak punya
kambing dan tidak ada orang yang menjual kambing. Maka, pada kondisi ini
bolehlah ia menunaikan zakat berupa uang yang senilai dengan seekor kambing.
Dan ini sudah cukup serta tidak diharuskan untuk safar (pergi jauh) untuk
membeli kambing di daerah lain lalu berzakat dengannya.
Misal
berikutnya adalah ada sejumlah mustahiq zakat yang membutuhkan zakat dalam
bentuk uang sebab mereka sedang membutuhkan hal itu, maka petugas zakat
hendaklah memberikan uang kepada mustahiq tersebut, atau misalnya petugas zakat
memandang bahwa pemberian uang kepada mustahiq lebih bermanfaat daripada dalam
bentuk barang, maka hal ini diperbolehkan. Hal ini sebagaimana perbuatan Muadz
bin Jabal, dimana beliu berkata kepada penduduk Yaman:“Serahkanlah zakat
kalian kepadaku dalam bentuk gamis atau pakaian/kain, sebab itu memudahkan bagi
kalian dan baik bagi pra penduduk Madinah dari kalangan Muhajirin dan Anshar.” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari secara ta’liq, Al-Baihaqi dalam sunannya no. 7165). Memang ada
pandangan ulama yang menyatakan bahwa perkataan Muadz ini adalah tentang zakat
atau tentang jizyah. (Majmu Fatawa Ibn taimiyah 25/82).
Jadi, manfaat yang bisa diambil
dari hal ini adalah terlarangnya menunaikan dengan uang (nilai tukar), termasuk
dalam zakat fithrah, kecuali jika ada kebutuhan atau mashlahat. Hal ini karena
tidak adanya perbedaan antara hukum zakat mal dan zakat fithrah. Dan inilah
yang bisa terfahami dari perkataan beliau (Syaikhul Islam) dalam permulaan
fatwanya: “Adapun menunaikan dalam bentuk uang (nilai tukar) untuk zakat dan
kaffarat dan yang lainnya adalah ….dst.”
Kesimpulan
Dan akan lebih jelas lagi akan tarjih kami dalam memutuskan bahwa yang terkuat adalah pandangan yang pertama yang menyatakan tidak bolehnya menunaikan zakat fithrah dalam bentuk uang atau nilai tukar adalah hal-hal sebagai berikut:
Dan akan lebih jelas lagi akan tarjih kami dalam memutuskan bahwa yang terkuat adalah pandangan yang pertama yang menyatakan tidak bolehnya menunaikan zakat fithrah dalam bentuk uang atau nilai tukar adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Ini
merupakan penggabungan dari dua pandangan, secara umum, dalam menjaga pokok
syariat fithrah, yaitu menunaikan sesuai barang-barang yang ada nash
syariatnya.
2. Sesungguhnya
nash-nash yang ada menentukan pembatasan jenis barang dan kadarnya untuk zakat
fithrah, dan bahan makanan lain yang tergolong makanan, maka ini harus
dikedepankan dalam membayar zakat daripada membayarnya dalam bentuk uang/harta.
Apalagi zakat adalah masalah ibadah, walaupun pada kondisi tertentu tidak
menutup kemungkinan untuk menunaikannya dalam bentuk lainnya jika memang
dibutuhkan.
3. Sesungguhnya
disyariatkannya pembayaran dalam bentuk uang (nilai tukar) untuk fithrah adalah
ketika munculnya mashalat dan tidak adanya larangan secara mutlak akan hal itu.
Maka, membayar dalam bentuk uang tidak bisa membatalkan inti zakat yang sudah
ada nashnya, yaitu bahan makanan, jadi uang hanyalah harga atas barang. Oleh
karena itu, sangat mungkin untuk bisa menggabungkan berbagai dalil yang ada
tentang masalah ini.
Sumber
: Nawazil Al-Zakah: Dirasah Fiqhiyyah Ta’shiliyah li Mustajidat Al-Zakah, Dr.
Abdullah ibn Manshur Al-Ghufailiy, Bank Al-Bilad, Riyadh, KSA, 1429H/2008M,
Penerjemah: Abu Muhammad ibn Shadiq
No comments:
Post a Comment