TREND KRIMINALISASI DALAM
HUKUM KELUARGA
DI NEGARA-NEGARA MUSLIM
A. Pendahuluan
Salah
satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern adalah
diberlakukannya sangsi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik
yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada
aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan
mempersulit, namun bahkan melarang dan mengategorikan suatu masalah seputar
hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Dalam hal
poligami misalnya, meskipun
kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang
berlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan
dan tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini.
Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah
lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya,
kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam
konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi
dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern. Demikian pula
jika dibandingkan dengan kebijakan hukum di negara-negara non-Muslim (negara
Barat).
Seperti disebut dalam
judul di atas, tulisan ini hanya memfokuskan kajian pada beberapa negara Muslim
: Turki, Tunisia, Irak, Malaysia, dan Indonesia,[1]
dengan menggunakan pendekatan komparatif, meliputi: komparasi vertikal (hukum
negara-doktrin hukum klasik); komparasi horizontal (hukum antar negara);
komparasi diagonal (tingkat dinamisasi hukum). Selain itu, guna mendapatkan
perbandingan yang lebih luas, penulis juga akan melengkapi tulisan ini
dengan tinjauan terhadap kebijakan hukum
mengenai poligami di negara-negara non-Muslim (negara Barat).
B. Pemberlakuan Sanksi Hukum dalam Hukum
Keluarga Negara Muslim
Pemberlakuan sanksi hukum menjadi
salah satu ciri dalam UU hukum keluarga di negara-negara Muslim modern. Secara
umum sanksi hukum tersebut terkait dengan pelanggaran berbagai masalah seputar
perkawinan, perceraian, nafkah, perlakuan terhadap istri, hak perempuan pasca
cerai, dan hak waris. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini
rincian sejumlah persoalan tersebut:[2]
1. Perkawinan di bawah umur (masalah batasan usia
nikah)
Masalah ini setidaknya mendapatkan
perhatian dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh , Iran , Pakistan , Yaman
(Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara tersebut secara eksplisit memberlakuan sanksi hukum
terhadap pelanggaran masalah ini.
Di Bangladesh, seseorang yang menikahi anak di bawah umur dapat dijatuhi
hukuman penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 taka; atau kedua
sekaligus.[3]
Sedangkan di
Iran, siapa pun yang menikahi atau menikahkan seseorang yang di bawah usia
nikah minimal dapat dikenakan hukuman penjara 6 bulan hingga 2
tahun.[4]
Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun)
yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan;
atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.[5]
Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan;
memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah).[6]
Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali
atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang
menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah
terjadinya pernikahan di bawah umur.[7]
Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan
Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut melarang perbuatan yang
dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan.[8]
Dalam pada itu, berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Yaman
(Selatan) semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pendukung) melakukan
perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1. 1974 (antara lain mengenai usia
minimal kawin: 18 (pria) dan 16 (perempuan) dan selisih usia maksimal 20 tahun,
terkecuali jika calon istri telah mencapai usia 25 tahun), dapat dijatuhi
hukuman denda maksimal 200 dinar; atau
penjara maksimal 2 tahun; atau keduanya sekaligus.[9]
2. Perkawinan secara paksa
Irak dan Malaysia merupakan negara yang
mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum Keluarga mereka dalam persoalan ini. Di
Irak, ketentuan hukum dirinci menurut pelakunya. Sebagai contoh, setiap pihak
yang mengawinkan secara paksa, selain keluarga garis pertama, dapat dijerat
dengan hukuman penjara maksimal 3 tahun beserta denda; jika pelakunya adalah
pihak keluarga garis pertama maka hukumannya adalah penjara maksimal 3 tahun
tanpa denda; apabila pelakunya adalah salah satu calon mempelai maka dapat
dijatuhi hukuman penjara maksimal 10
tahun atau kurungan minimal 3 tahun.[10]
Sanksi yang kelihatannya sedikit lebih ringan di
berlakukan oleh Malaysia .
Berdasarkan Hukum Keluarga di sana, siapa saja yang memaksa seseorang untuk
menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘ dapat dikenakan hukuman
denda maksimal 1000 ringgit atau penjara
maksimal 6 bulan atau kedua sekaligus.[11]
3. Pencegahan terhadap perkawinan yang dibolehkan
syara’
Tampaknya hanya Malaysia
yang secara eksplisit menerapkan hukuman dalam masalah yang satu ini. Siapapun
yang mencegah seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum
syara‘, menurut Hukum Keluarga Malaysia, dapat dijatuhi hukuman denda maksimal
1000 ringgit atau penjara maksimal 6
bulan atau kedua-duanya.[12]
4.
Perkawinan yang dilarang
Jika pada Hukum Keluarga negara-negara Muslim yang
lain cenderung hanya memuat sejumlah bentuk perkawinan yang dilarang dan
menetapkan batalnya perkawinan tersebut, Somalia dan Srilanka tampaknya
mengambil langkah yang lebih maju, dengan menetapkan kriminalisasi terhadap
pelanggaran atas hal tersebut. Di Somalia, pelaku (pria) yang menikahi kembali mantan
istri yang dicerai talak tiga, sebelum mantan istri tersebut menyelesaikan masa
iddahnya dari perceraiannya dengan pria (suami) lain dan sudah pernah berhubungan
biologis dengan suami yang menceraikannya tersebut, dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 6 bulan dan denda maksimal 1000 SO Sh.[13]
Srilanka memberlakukan
hukuman penjara maksimal 3 tahun bagi setiap pria muslim yang secara sengaja
melakukan perkawinan, atau telah atau berupaya untuk mendapatkan (hak)
berhubungan badan dengan perempuan-perempuan yang dilarang syara‘ untuk dinikahi.[14]
Hukuman yang sama juga berlaku bagi wanita muslim (berusia di atas 12 tahun)
yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau mengizinkan untuk berhubungan
badan dengan pria yang dilarang syara‘ untuk menikahinya.[15]
Hukum Srilanka juga memberlakukan
sanksi terhadap setiap wanita muslimah yang selama masa iddahnya mengikat tali
pernikahan atau ikut serta sebagai pengantin dalam suatu upacara perkawinan,
dan setiap orang yang mendukung atau membantu terselenggaranya ikatan
perkawinan atau perlaksanaan upacara perkawinan tersebut. Para
pelaku tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.[16]
5.
Pendaftaran dan pencatatan
perkawinan
Tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa masalah ini merupakan salah satu hal yang paling banyak diatur
dalam Hukum Keluarga negara-negara Muslim. Minimal tercatat ada 5 Hukum
Keluarga yang mencantumkan ketentuan tentang masalah ini, yakni Indonesia,
Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilanka.
Di Indonesia, sanksi
hukuman dapat dijatuhkan terhadap petugas (pencatatan) yang melakukan
pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin
Pengadilan. Dalam hal ini hukumannya adalah penjara/kurungan maksimal 3
bulan atau denda maksimal Rp. 7.500.,-[17]
Sedangkan di Iran sanksi hukum diberlakukan dalam kasus perkawinan yang dilakukan tanpa
registrasi. Pihak bersangkutan (pria yang menikah) diancam hukuman penjara 1 – 6 bulan.[18]
Yaman (Selatan) memberlakukan hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2
tahun; atau kedua sekaligus terhadap semua pelaku/pihak yang terkait
pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan
perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1/ 1974.[19]
Sementara di Yordania, mempelai (yang melangsungkan pernikahan), pihak
pelaksana dan para saksi terkait perkawinan yang tak terdaftar (tanpa
registrasi pihak berwenang) dapat dikenakan hukuman penjara berdasarkan ketentuan Jordanian Penal
Code (UU Hukum Pidana Yordania) dan denda maksimal 1000 dinar.[20]
Menarik untuk dicatat bahwa Srilanka,
meskipun penduduk Muslimnya bukanlah mayoritas, malah cenderung lebih banyak
memasukkan aturan kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Muslim yang diberlakukan
di sana .[21] Hal
tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan berikut:
a.
Membuat data palsu pada
pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perkawinan dan
perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maks. 3 tahun.[22]
b.
Melanggar ketentuan Ps.
81:
- Mempelai pria; petugas pencatatan yang lalai atau enggan
mencatatkan pernikahannya; atau lalai/enggan melaksanakan tugas pencatatan suatu pernikahan;
-
Siapa saja yang mendukung
atau membantu seorang laki-laki Muslim untuk memperoleh atau mempengaruhi atau
mendaftarkan suatu perceraian di luar (tidak sesuai dengan) ketentuan dalam UU
ini atau bersekongkol melanggar melalui cara lain;
-
Qadi, petugas pencatatan,
dan pihak yang turut andil (berpartisipasi) melanggar berbagai aturan dalam Ps. 56 ayat
(1) tentang larangan bagi qadi atau petugas pencatatan mengizinkan orang lain
untuk menempati posisi mereka dan menjaga semua buku, dokumen, berkas terkait;
atau Ps. 56 (4) tentang larangan, kecuali qadi atau petugas pencatatan,
menyimpan buku, daftar, atau catatan yang dimaksudkan sebagai daftar suatu
perkawinan atau perceraian orang Muslim, atau rekaman berita acara mengenai
perceraian yang diakibatkan atau mengaku diakibatkan oleh pihak lain.
Mereka di
atas akan dijatuhi hukuman untuk pertama kali adalah denda maksimal 100 rupee,
sedangkan hukuman untuk yang kedua /selanjutnya maksimal 100 rupee atau
penjara maksimal 6 bulan atau keduanya
sekaligus (denda dan penjara).[23]
c. Petugas pencatatan yang sengaja melakukan
pencatatan, dan pihak lain yang
mendukung atau membantu pencatatan suatu perkawinan yang bertentangan dengan
aturan Pasal 22 (kawin pada masa iddah), 23 (Perkawinan di bawah umur), atau 24
ayat (4) (berpoligami melalui izin Hakim) dapat dijatuhi hukuman denda
maksimal 100 rupee; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[24]
d. Setiap pihak, bukan seorang qadi (hakim), yang
mengeluarkan atau menyatakan untuk mengeluarkan izin atau daftar/catatan sebuah
perceraian berdasarkan UU ini, atau pihak yang bukan petugas pencatatan,
melakukan pencatatan atau menyatakan akan mencatat suatu perkawinan berdasarkan
UU ini dapat dijatuhi denda 100 rupee; atau hukuman penjara maksimal 6
bulan; atau keduanya sekaligus [25]
e. Setiap pihak yang sengaja atau mengetahui membuat keterangan palsu dalam
suatu pernyataan yang ditandatanganinya berdasarkan Ps. 18 ayat (1) (tentang
pengisian dan penandatangan formulir registrasi perkawinan oleh pasangan
pengantin dan wali pihak perempuan) dapat dikenakan denda maks. 100 rupee; atau
penjara maks. 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[26]
f.
Setiap petugas pencatatan:
1) Lalai atau menolak tanpa sebab/alasan yang sah melakukan pencatatan
perkawinan;
2) Kecuali dalam kasus yang terdapat pada Pasal 11, melakukan pencatatan
suatu perkawinan yang diadakan di luar wilayah tugasnya;
3) Melakukan pencatatan suatu perkawinan yang melanggar kondisi-kondisi atau
batasan yang terdapat pada surat
tugasnya;
4) Mencatat suatu perkawinan yang tidak dihadirinya;
5) Sengaja menolak untuk melaksanakan atau yang
terkait dengan pencatatan suatu
Perkawinan; suatu kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Pasal 18, 19, atau
ps. 58;
6) Sengaja melanggar / menentang berbagai aturan dalam
UU ini.
dapat
dikenakan hukuman Denda maksimal 100 rupee.[27]
- Perkawinan diluar Pengadilan
Di Irak, pria yang
melakukan perkawinan di luar pengadilan dapat dijatuhi hukuman Penjara minimal
6 bulan & maksimal 1 tahun; denda minimal 300 dinar & maksimal 1000
dinar.[28]
Melakukan
perkawinan di luar pengadilan saat perkawinan sebelumnya masih
berlangsung/terjalin dapat diganjar hukuman penjara minimal 3 tahun & maksimal
5 tahun.[29]
7. Mas kawin dan biaya perkawinan
Di kawasan Asia Selatan (anak Benua India )
persoalan mas kawin, hantaran dan biaya perkawinan sering menjadi isu kritis
dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat masih kuatnya pengaruh tradisi
(non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang kelihatan memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusus
dan menggariskan aturan sanksi hukum
dalam masalah ini.
Di Bangladesh, memberi atau mengambil atau bersekongkol
memberi atau mengambil hantaran kawin diancam dengan hukuman penjara maksimal 1
tahun; atau denda maksimal 5000 taka; atau keduanya sekaligus. Hukuman yang
sama juga berlaku bagi siapa pun yang meminta hantaran kawin kepada orang tua
atau wali dari pihak mempelai wanita atau pria.[30]
Sedangkan di Pakistan, pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya
dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act
1976) dapat dihukum penjara maksimal
6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU ini;
atau keduanya sekaligus. Dalam pada itu apabila mas
kawin, berbagai barang hantaran dan hadiah yang diberi atau diterima tidak
sesuai dengan ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada Pemerintah federal
untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur dalam UU
ini.[31]
8. Poligami & hak istri dalam poligami
Poligami merupakan masalah yang
paling banyak dikenakan pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di
negara-negara Muslim modern. Di luar negara-negara yang memberlakukan aturan
yang mempersulit ruang gerak poligami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap
pelakunya, setidaknya 8 negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi
hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara
tersebut adalah Iran , Pakistan , Yaman (Selatan), Irak ,
Tunisia , Turki ,
Malaysia , dan Indonesia .
Uraian lebih lanjut mengenai ketentuan kriminalisasi praktik poligami ini akan
dipaparkan secara khusus dalam bahasan mendatang.
9. Talak/cerai di muka pengadilan dan pendaftaran
perceraian
Menurut ketentuan Hukum Keluarga di Malaysia,
penjatuhan talak di luar dan tanpa izin pengadilan dapat dikenakan denda 1000
ringgit; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.[33]
Sedangkan di Mesir, berdasarkan Law on Personal Status 1929 yang
dipertegas lagi dalam amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A , suami yang tidak
melakukan pendaftaran perceraian dapat
dijatuhi hukuman penjara hingga 6 bulan; atau denda 200 pound ; atau keduanya
sekaligus. Begitu pula petugas pencatatan yang menolak atau tidak melaksanakan
tugas pencatatan perceraian dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 1 bulan
& denda minimal 50
pound Mesir.[34]
Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan
permohonan tertulis ke Pejabat (chairman) berwenang; atau dan tanpa
memberikan salinan (copy)nya kepada
istri, dapat dihukum penjara maksimal 1
tahun; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.[35] Dalam pada itu, Yordania
memberlakukan hukuman menurut UU Hukum Pidana negara itu terhadap suami yang
menceraikan istri (di luar Pengadilan) tanpa melakukan langkah registrasi.[36]
Sementara di Srilanka, membuat data palsu pada pencatatan, buku,
izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perceraian dapat dikenakan hukuman
penjara maksimal 3 tahun[37]
10. Hak-hak istri yang
dicerai suaminya
- Masalah hak waris perempuan
Harus diakui, mungkin, hanya Libya yang secara khusus memberikan
perhatian dalam masalah ini. Berdasarkan UU yang berlaku di Libya , pengabaian (tidak memberi)
hak warisan wanita dapat diancam dengan hukuman penjara sampai hak warisan
wanita bersangkutan diberikan/dipenuhi.[39]
12. Pelanggaran terhadap UU Hukum keluarga yang berlaku (diluar
pasal-pasal yang sudah ditentukan sanksi
hukumnya)
Jika dalam Hukum Keluarga mayoritas
negara-negara Muslim hanya mencantumkan sanksi hukum dalam beberapa pasalnya,
tidak demikian keadaannya dengan Hukum Keluarga Muslim Srilanka. Di luar
pasal-pasal tertentu yang sudah ditentukan sanksi hukumnya, setiap pelanggaran di luar pasal-pasal
tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.[40]
Dari keterangan di atas dapat ditarik
sejumlah catatan sebagai berikut:
a.
Bahwa poligami menempati urutan teratas (8 negara) dalam daftar persoalan
Hukum Keluarga yang diancam dengan sanksi hukum (kriminalisasi poligami),
menyusul masalah perceraian di luar pengadilan/ tanpa registrasi (6 negara),
dan berikutnya adalah masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan (5 negara).
b.
Meskipun secara umum sanksi yang dijatuhkan masih diarahkan kepada si
pelaku pelanggaran, namun di beberapa negara selain pelaku, hukuman juga
dijatuhkan kepada pihak pendukung, penyelenggara, bahkan petugas berwenang yang
terkait dengan pelanggaran.
c.
Sanksi yang diberikan pada umumnya berupa hukuman penjara/kurungan; atau
denda; atau keduanya sekaligus. Meskipun bersifat relatif, hukuman tertinggi
terdapat di Irak yakni 10 tahun & minimal 3 tahun penjara dalam kasus
perkawinan secara paksa. Sedangkan
sanksi paling rendah ada di Mesir yakni 1 bulan penjara dalam kasus petugas
pencatat yang menolak/tidak melaksanakan tugas pencatatan.
d.
Srilanka tercatat sebagai negara terbanyak mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum Keluarga Muslim (sekitar 11
masalah); sedangkan Libya (tentang hak waris wanita) dan Somalia (larangan
menikahi mantan istri yang ditalak tiga sebelum dipenuhi persyaratannya) sejauh
ini menjadi negara yang paling sedikit
meletakkan sanksi dalam Hukum Keluarga mereka.
C. Kriminalisasi Praktik Poligami: Identifikasi Istilah
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kriminalisasi berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang
semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan
sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.[41]
Dengan demikian kriminalisasi praktik poligami di sini dipahami sebagai sikap
yang mengategorikan praktik/perbuatan poligami sebagai sebuah tindak pidana (crime),
yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana
denda.[42]
Adapun istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly
dan gamia)[43] atau
gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus
(banyak)[44] dan gamos (kawin).[45] Jadi
secara harfiyah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan
secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan)
lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu
(bersamaan).[46] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami
didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[47]
Jika menilik definisi poligami di atas, tampak
tidak ada perbedaan istilah antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami)
atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan
pada saat bersamaan (masih dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka
praktik tersebut masuk dalam cakupan terminologi poligami. Namun di kalangan
umum, istilah ini justeru sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi
perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan
yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal dengan istilah poligini.
Jika ia dilakukan oleh wanita maka disebut dengan istilah poliandri.[48] Dalam
The Encyclopedia Americana
disebutkan:[49]
“Poligamy
is a form of poligamy in which one male is married to more than one female.
Poliandry is a form of poligamy in which one female is married to more than one
male.”
Lawan kata poligami adalah monogami, berasal dari
bahasa Latin monogamia, atau paduan kata dari bahasa Yunani, mono
dan gamy,[50] yang
berakar dari kata monos (satu, tunggal, sendirian)[51] dan gamos
(perkawinan).[52] Secara simpel monogami
dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan).
Sedangkan secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian:[53]
a.
Suatu kebiasaan atau
kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang (pasangan) pada
satu waktu.
b.
Suatu keadaan dimana
perkawinan satu pasangan berlangsung bagi
seumur hidup.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami
telah mengalami penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai
sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka
waktu tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain,
yakni monogini.[54]
Khusus dalam tulisan ini, penulis masih tetap
menggunakan istilah poligami dan monogami sebagai acuan. “Ketidaktepatan” dalam
penggunaan istilah poligami dan monogami
sebagaimana dikemukakan di atas untuk sementara dikesampingkan, beralih
kepada istilah yang “terlanjur” lebih populer dikenal.
D.
Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Perspektif Doktrin Hukum Islam
Konvensional
Pembahasan
mengenai kriminalisasi poligami dilihat dari sudut doktrin hukum konvensional
setidaknya memerlukan dua segi tinjauan: pertama, konsep kriminalisasi; kedua,
status hukum poligami. Segi yang pertama diarahkan pada kajian hukum jinayat
(pidana Islam), sementara segi yang kedua ditinjau dari kajian tafsir nas dan
pandangan mazhab fikih. Identifikasi kedua sudut tersebut penting diungkapkan
dalam rangka memahami seberapa jauh langkah kriminalisasi poligami punya
keterkaitan atau tidak dengan doktrin hukum konvensional.
Dalam
kajian hukum jinayah, dilihat dari segi kualitas dan kuantitas sanksi hukum (‘uqb±t),
fuqaha umumnya mengklasifikasikan tindak pidana (jar³mah) kepada tiga
bagian: pertama, jar³mah ¥udd; kedua, jar³mah qi¡±¡-diy±t;
ketiga, jar³mah ta‘z³r. [55]
Berikut ini gambaran umum mengenai ketiga kategori tersebut:
Kategori
pertama, ¥udd (bentuk jamak dari kata ¥ad), adalah jenis
hukuman yang bentuk dan ukurannya telah ditetapkan (oleh syara‘), terkait
dengan hak Allah atau demi kemaslahatan umum. Mengenai bentuk-bentuk tindak
pidana yang dikategorikan sebagai jar³mah
¥udd ada tujuh macam, yaitu: 1) perzinahan 2) melakukan tuduhan zina 3)
mengonsumsi minuman keras 4) pencurian 5) perampokan 6) pindah agama 7)
pemberontakan.[56]
Adapun
kategori kedua, qi¡±¡-diyat,[57]
mencakup tindak pidana: 1) pembunuhan dengan sengaja 2) pembunuhan semi sengaja
3) pembunuhan yang keliru 4) penganiayaan secara sengaja 5) penganiayaan yang
keliru. Bentuk sanksi hukum bagi tindak pidana qi¡±s-diyat, secara
variatif, meliputi: qi¡±s-diyat, kafarat, terhalang dari hak
waris, terhalang dari hak wasiat.[58]
Kategori
ketiga adalah pidana ta‘©³r, suatu tindak pidana berupa perbuatan
maksiat atau jahat yang dikenai sanksi hukuman yang tidak ditentukan oleh
syara‘ (non-¥ad dan non-kaff±rat), baik yang berkaitan
dengan hak Allah maupun hak hamba.[59]
Dengan kata lain hukuman ta‘z³r adalah hukuman yang dijatuhkan pada
perbuatan jinayah selain kedua kategori di atas (jar³mah ¥udd dan jar³mah
qi¡±¡-diyat). Kebijakan pidana ta‘©³r sendiri merupakan otoritas ulul
amri (pemerintah/yudikatif) dimana bentuk sanksi hukumannya pun beragam
bisa berupa pemukulan, penahanan (kurungan/pemenjaraan), teguran/peringatan, dan bentuk hukuman
lainnya sesuai dengan pertimbangan kontekstual.[60]
Malah sebagian ulama, kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, membolehkan penjatuhan
hukuman mati terhadap tindak pidana yang dilakukan berulang kali atau sadis,
homo seksual, pelecehan agama/simbol agama, perbuatan sihir (santet), dan
perbuatan zindiq. Semua langkah hukum ini
diletakkan dalam kerangka siyasah berdasarkan pertimbangan hakim mana
yang dipandang lebih maslahat (tepat).[61]
Sedangkan, kalangan Malikiyah dan Hanabilah juga memasukkan perbuatan spionase
dan bid’ah dalam kategori ta‘z³r
yang dapat dijatuhi hukuman mati.[62]
Adapun
mengenai jenis tindak pidana yang dapat dikenai ancaman hukuman
kurungan/penjara, dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Kalangan Hanafiyah
menetapkan hukuman kurungan/penjara dapat dikenakan pada semua jar³mah
ta‘©³r. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak
berlaku pada semua jar³mah ta‘©³r.
Menurut mereka hanya 8 (delapan) tindak pidana yang dapat dikenai
hukuman kurungan /penjara, yaitu: (1) percobaan pembunuhan; (2) pelarian diri
oleh budak; (3) pengingkaran penunaian kewajiban; (4) pengakuan palsu atas
kebangkrutan; (5) perbuatan maksiat; (5) keengganan melaksanakan kewajiban
sebagai muslim yang tidak dapat diwakilkan; (7) pengakuan kepemilikan secara
paksa; (8) keengganan melakukan kewajiban ibadah (hak Allah) yang tak dapat
diwakilkan.[63]
Dalam
hal dapat diberlakukan tidaknya hukuman denda, para ulama juga berbeda
pendapat. Sebagian ulama tidak membolehkannya dengan alasan hal itu sama dengan
pengambilan harta secara zalim. Sedangkan Abu Yusuf, Imam Malik ibn Anas, Imam
Syafi‘i (salah satu qaul-nya), dan Imam A¥mad ibn ¦anbal membolehkannya
berdasarkan praktik yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan sahabatnya,
Khalifah Umar ibn Kha¯¯±b dan Khalifah Ali ibn Abi Talib.
Sedangkan
mengenai hukuman fisik (berupa pemukulan misalnya) ulama sepakat membolehkannya
berdasarkan praktik yang pernah diterapkan oleh Rasulullah dan Khulafa’
ar-Rasyidin, meskipun dalam hal ketentuan dan batas maksimalnya terdapat
perbedaan pendapat.[64]
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa poligami, jika dilihat dari kategori dan
bentuk hukum pidana Islam di atas,
bukanlah termasuk tindak pidana kategori pertama (¥udd) dan juga tidak
termasuk kategori kedua (qi¡±¡-diyat). Jika demikian, dapat disimpulkan
bahwa hanya ada satu kemungkinan bahwa poligami lebih cenderung diposisikan dan
dilihat dalam wilayah kategori ketiga, yaitu tindak pidana ta‘z³r, dimana
peran politik hukum (siyasah) memerankan peran dominan dalam penentuan kategori
dan bentuknya. Dari sudut tinjauan ini, secara teoritis, dapat dikatakan bahwa
kriminalisasi poligami tetap relevan dengan doktrin hukum Islam konvensional,
khususnya yang terkait dalam wilayah jin±yah. Namun, apakah poligami
dapat dianggap perbuatan maksiat atau
jahat sehingga dapat dijatuhi hukuman ta‘z³r atau tidak? merupakan
pertanyaan yang perlu ditelusuri jawabannya.
Mengenai
masalah poligami, sepanjang penelusuran pustaka oleh penulis, fokus pembicaraan
dalam literatur mazhab fikih pada umumnya sama sekali tidak mempersoalkan
kebolehan poligami. Hal yang diperdebatkan adalah lebih kepada persoalan jumlah
maksimal istri yang boleh dipoligami, sebagai akibat perbedaan dalam memahami
ayat Alquran yang memuat persoalan poligami (S. an-Nisa: 3).[65]
Berbagai ulasan fikih lebih cenderung memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh suami yang ingin berpoligami seperti kemampuan materi dan kewajiban
berlaku adil kepada istri/istri-istri mereka.[66]
Sikap yang relatif sama juga ditunjukkan oleh para mufassir (kalangan klasik
khususnya) ketika memahami pernyataan nas tersebut. Berbagai uraian dalam
masalah ini tampaknya terkait erat dengan pemahaman dan interpretasi mereka
atas sejumlah pernyataan Alquran dan as-Sunnah.
Di
dalam Alquran, surat
an-Nisa: 3, dinyatakan:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا(3)
“Dan jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga,
atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Ab Bakr at-Tam³m³ telah mengabarkan kepada
kami, ‘Abdullah ibn Mu¥ammad telah mengabarkan kepada kami, katanya: Ab Ya¥y±
menceritakan kepada kami, katanya: Sahl ibn ‘U£m±n menceritakan kepada kami,
katanya: Ya¥ya ibn Z±’idah menceritakan kepada kami, dari Hisy±m ibn ‘Urwah,
dari ayahnya, dari ‘²isyah ra. mengenai firman Allah (wa in khiftum alla
tuqsi¯…), ia berkata: Ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang
laki-laki yang menjadi wali seorang anak
yatim perempuan yang memiliki harta sementara tak ada seorang pun yang
melindunginya, ayat ini melarang laki-laki tersebut menikahi anak perempuan
tersebut hanya karena menginginkan hartanya, namun menyengsarakan dan
menyakitinya, sehingga Allah berfirman: “Dan
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu
senangi. Allah (dalam kondisi seperti
ini seolah-olah ingin, pen.) mengatakan: Aku tidak menghalalkannya bagimu
karena itu tinggalkanlah (Riwayat Muslim dari Ab³ Kuraib dari Ab³ Us±mah, dari
Hisy±m).[67]
Setelah Allah melarang mengambil dan memanfaatkan
harta anak yatim secara tidak benar (an-Nisa : 2), bagian berikutnya Allah
mengingatkan agar tidak berbuat aniaya
terhadap diri (individu) anak-anak yatim tersebut. Allah menegaskan: Dan jika
kamu khawatir tidak akan dapat berbuat adil terhadap perempuan yatim, di sisi
lain kamu merasa cukup percaya diri dapat
berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain mereka, maka nikahi apa
yang kamu senangi sesuai keinginanmu dan halal dari perempuan-perempuan
tersebut, kamu dapat menikahi mereka dua, tiga, atau empat orang, tapi jangan
lebih, dalam waktu bersamaan. Namun jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil (dalam kebutuhan dan persoalan lahiriah, bukan dalam soal perasaan/cinta)
apabila kamu mempunyai lebih dari seorang istri, maka nikahilah seorang saja atau nikahilah
hamba-hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu (menikahi selain anak
yatim yang mengakibatkan ketidakadilan dan mencukupkan satu orang istri) adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu pada
keadilan.[68]
Sedangkan hadis yang
sering dikemukakan antara lain adalah:
حدثنا هناد حدثنا عبدة عن سعيد بن
أبي عروة , عن معمر, عن الزهري , عن سالم بن عبد الله , عن ابن عمر : أن غيلان بن
سلمة الثقفي أسلم وله عشرة نسوة في جاهلية , فأسلم معه. فأمره النبي صلى الله
عليه وسلم أن يتخير أربعا منهن .
“Dari Ibn Umar : bahwa Ghail±n ibn Salamah ketika
masuk Islam memiliki 10 orang istri (yang disuntingnya di saat jahiliyah), maka
Nabi saw. memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang di antara mereka
sebagai istri.”[69]
Dalam memahami ayat-ayat Alquran yang terkait dengan
poligami, kecuali batasan maksimal jumlah istri yang boleh dipoligami, secara
umum hampir tidak terdapat perbedaan penafsiran di kalangan tradisionalis.
Mayoritas ulama, dengan berdalilkan petunjuk ayat dan hadis di atas serta
praktik generasi salaf menegaskan jumlah maksimal poligami adalah empat orang
istri. Sedangkan sebagian ulama lain (minoritas), juga dengan dasar argumentasi
ayat yang sama (S. an-Nisa ayat 3), antara aliran ar-R±fi«ah (salah satu
sekte Syi‘ah) berpendapat jumlah maksimal adalah sembilan orang istri; pendapat
lain (aliran ahl a§-¨±hir) menyatakan delapan belas istri.[70]
Interpretasi
juga lebih ditekankan kepada seruan berlaku adil terhadap para istri. Hal ini
dimotivasi pesan historis ayat, sebagaimana terlihat dalam asb±b an-nuzl
di atas, yang berbicara mengenai perlakuan zalim terhadap anak-anak yatim
perempuan (obyek eksploitasi) sehingga menghimbau kepada kaum Muslimin (para
suami) untuk berlaku adil kepada mereka, ketika muncul kekhawatiran tidak dapat
berlaku adil maka sepatutnya membatasi nikah hanya dengan seorang istri, atau
dengan hamba sahaya perempuan miliknya.[71] Tampaknya penafsiran
dalam kerangka ini lebih bertendensi pada telaah tekstual, di samping dukungan
historis praktik Rasulullah, para Sahabat dan generasi setelahnya yang menunjukkan
bahwa poligami bukanlah suatu yang dilarang. Dalam pengertian lain, menurut
penafsiran tradisional izin berpoligami mempunyai kekuatan hukum, sedangkan
keharusan untuk berbuat adil kepada para istri, meskipun sangat penting,
terserah kepada kebaikan sang suami (walaupun hukum Islam tradisional
memberikan hak kepada para wanita untuk meminta pertolongan atau perceraian
apabila mereka diperlakukan suami mereka dengan buruk). Dari sudut normatif,
keadilan terhadap para istri yang memiliki posisi lemah ini tergantung pada
kebaikan suami, meskipun pasti akan dilanggar.
Sebaliknya
kalangan modernis cenderung mengedepankan keharusan bersikap adil dan
pernyataan Al-Qur’an bahwa perlakuan adil tersebut adalah mustahil, firman
Allah:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا
وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا(129)
“Dan kamu tidak akan dapat berbuat adil di antara istri-istri
(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (S. an-Nis±’:
129)
mereka
menegaskan bahwa izin berpoligami itu hanya bersifat tentatif dan untuk
tujuan-tujuan tertentu.[72]
Menurut Muhammad Abduh (1849-1905) persoalan poligami yang terdapat dalam
ayat 3 an-Nis±’ berkaitan erat dengan konteks ayat perihal anak yatim dan
larangan memanfaatkan harta mereka meskipun dengan perantaraan perkawinan.
Ketika seseorang merasa khawatir (akan)
mengonsumsi harta anak (perempuan) yatim yang bakal dinikahinya maka ia wajib
tidak menikah dengannya, sebab Allah telah memberi pilihan untuk menikah dengan
perempuan-perempuan lain hingga empat orang. Namun apabila ia juga khawatir
tidak akan mampu berlaku adil kepada para istri tersebut maka wajib baginya
menikah dengan satu orang istri saja.[73]
Adapun
ungkapan “fa in khiftum all± ta‘dil fa w±¥idah” (Tetapi
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka [nikahilah] seorang
saja), Abduh menjelaskan bahwa hal itu terkait dengan alasan “©±lika adn±
all± ta‘l” (Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim),
yakni lebih dekat kepada tidak terjadi perbuatan dosa dan kezaliman. Hal ini
memperkuat adanya syarat dan kewajiban agar berlaku adil. Sikap adil ini
sendiri adalah hal yang langka, Adapun adil yang dimaksud dalam firman Allah
dalam ayat 129 di atas (wa lan tasta¯³‘ an ta‘dil baina an-nis±’ wa
lau ¥ara¡tum…) adalah adil dalam hal kecenderungan hati, yang jelas tak seorang pun mampu melakukannya.
Berdasarkan
dua ayat di atas dapat dipahami bahwa pembolehan poligami bagi suami dalam ayat
tersebut merupakan hal yang amat dibatasi dengan ketat, sehingga seolah-olah
mencapai tingkat darurat, pembolehannya harus memenuhi syarat bahwa suami harus
dipercaya untuk dapat berlaku adil dan aman dari berbuat dosa (perbuatan
menzalimi istri dan atau anak-anaknya). Abduh
menilai bahwa jika memperhatikan poligami yang cenderung dipraktikkan secara
destruktif pada masa sekarang, dapat dipastikan bahwa tidak seorang pun mampu
membina suatu umat yang menyalahgunakan poligami secara luas. Sebab rumah tangga yang terdiri
dari dua orang istri cenderung tidak stabil dan sulit terwujud ketenangan.
Bahkan suami dan para istri sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah
tangga tersebut, karena di antara para istri satu sama lain bermusuhan,
demikian pula antara anak-anak mereka. Bahaya yang ditimbulkan tersebut akan
meluas dari lingkungan individu ke lingkungan keluarga, dari keluarga ke
lingkungan masyarakat, selanjutnya kepada kehidupan bangsa dan negara.[74]
Dengan
melihat dampak buruk yang sering terjadi akibat poligami di Mesir, Abduh
menyarankan kepada ahli hukum di masanya untuk memformulasi hukum yang lebih
kontekstual yang mengacu kepada kemaslahatan dan menepis segala kemudaratan,
dengan memperhatikan kaidah dar’ al-maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥
sebagai acuan. Ia menyimpulkan bahwa di saat timbul kekhawatiran tidak adanya
keadilan maka hukum poligami adalah haram.[75]
Dalam pada itu muridnya, Muhammad Rasyid Ri«±,
menjelaskan bahwa ayat 3 surat
an-Nisa’ juga mengandung
pesan agar berlaku adil dan bersikap hati-hati terhadap perempuan,
sebagaimana terhadap anak yatim. Sebab perlakuan tidak adil terhadap kedua
kelompok ini akan merusak tatanan hidup yang berujung pada kemurkaan Allah.
Pemahaman ini terefleksi dari jalinan beberapa komponen dalam ayat, yakni
ungkapan ayat “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya)” dijawab dengan “maka
nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi”
yang selanjutnya
diperkuat dengan “Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat
zalim.” [76]
Rasyid
Rida juga melihat poligami sebagai persoalan sosial yang penegasan status
hukumnya tidaklah sederhana, akan tetapi perlu pertimbangan multidimensional.
Berbagai pertimbangan tersebut mencakup persoalan watak dan potensi antara
laki-laki dan perempuan, dan bagaimana hubungan keduanya dari sudut perkawinan
dan tujuannya. Selain itu juga terkait dengan keseimbangan jumlah populasi
jenis laki-laki dan perempuan, problem kehidupan rumah tangga dan tanggung jawab
laki-laki atas perempuan atau sebaliknya; atau posisi kemandirian
masing-masing. Perlu dikaji pula sudut sejarah perkembangan manusia khususnya
keberadaan laki-laki dengan memiliki satu pasangan (istri). Hal terakhir yang
juga perlu ditinjau adalah bagaimana konsepsi Alquran mengenai persoalan
poligami, apakah poligami merupakan urusan agama dan sesuatu keharusan atau
hanya sekedar rukh¡ah (dispensasi) yang dibolehkan dalam keadaan darurat
disertai dengan sejumlah syarat yang ketat.
Berpijak
dari pertimbangan dan sudut pandang di atas Rasyid Rida menyimpulkan bahwa pada
prinsipnya kebahagiaan dalam suatu perkawinan dan kehidupan rumah tangga hanya
dapat dibangun oleh suami yang hanya memiliki seorang istri. Konsep inilah yang
semestinya dibangun oleh semua orang dalam bahtera perkawinan mereka. Poligami
sendiri sebetulnya bukanlah potret umum dari kehidupan manusia, ia hanya
dipraktikkan dalam jumlah terbatas oleh sebagian kecil kalangan masyarakat.[78]
Meskipun
demikian Rasyid Rida juga memaklumi bahwa poligami tetap punya sisi positif
(maslahat), baik bagi individu maupun kolektif. Sebagai contoh kasus, pada pasangan yang tidak dikaruniai anak, suami
terpaksa berpoligami karena si istri tidak dapat memberikan keturunan akibat
mandul atau faktor usia lanjut (menopause), atau istri mengalami sakit parah
atau berbagai problem fisik lainnya yang tidak memungkinnya untuk melayani
suami dengan baik, atau berbagai alasan lain yang jika tidak dapat dicarikan
solusinya (poligami) berpotensi besar menjerumuskan suami kepada perbuatan
zina. Sedangkan sisi positif dalam skala kolektif adalah manakala terjadi
ketimpangan jumlah populasi antara perempuan dan laki-laki, seperti kondisi
yang dialami oleh negeri-negeri yang terlibat dalam peperangan dan beberapa
negara Eropa dimana kaum perempuan terpaksa bekerja keras menghidupi keluarga
dan beraktivitas di bidang-bidang pekerjaan yang berat dengan tingkat resiko
yang sangat tinggi mengancam keselamatan mereka. Ironis bahwa pembolehan
poligami ini tak jarang disalahgunakan
sebagian kaum laki-laki (suami) hanya untuk melampiaskan keinginan biologisnya
tanpa memperhatikan upaya realisasi kemaslahatan dalam poligami. Oleh karena
itu, sejatinya rumah tangga ideal adalah monogami, Islam membolehkan poligami
hanyalah sebagai rukhsah (keringanan), bukan anjuran apalagi kewajiban.[79]
Selain itu, pembolehannya pun lebih cenderung dihubungkan pada situasi dan
kondisi darurat yang bernuansa sosiologis.[80]
Melengkapi
penjelasannya di atas, Rasyid Rida sekali lagi menekankan bahwa poligami
merupakan penyimpangan dari prinsip dan idealitas, ia dapat memupus ketenangan
jiwa, cinta dan kasih sayang (sak³nah, mawaddah wa ra¥mah) yang
merupakan pondasi dan pilar hidup berumah tangga. Tidak ada perbedaan antara
perkawinan pasangan suami istri yang tidak membangun pondasi-pondasi luhur tersebut dan pasangan yang berorientasi
kepuasan biologis semata. Oleh karena
itu sepatutnya seorang Muslim menghindari poligami kecuali karena kondisi
darurat yang disertai keyakinan mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih sak³nah,
mawaddah wa ra¥mah.[81]
Pendapat
dari sudut yang lain namun tetap senafas dengan dua tokoh di atas dikemukakan
oleh Qasim Amin (1865-1908), ia membenarkan bahwa ayat 3 surat an-Nisa itu
sepintas mengisyaratkan kebolehan poligami, namun sebenarnya sekaligus tersirat
ancaman bagi pelaku poligami. Pada hakikatnya seorang suami yang akan
berpoligami sudah tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak mampu berlaku adil. Jadi
sebelum melakukannya, ia sudah diliputi perasaan takut (khawatir). Oleh karena
itu kebolehan poligami hanya ditujukan bagi orang-orang tertentu yang sangat
yakin bahwa dirinya tidak akan terjerumus dalam prilaku tidak adil, dan yang
tahu persis tentang hal ini hanya Tuhan dan dirinya sendiri.[82]
Sementara
Ahmad Mustafa al-Maragi (w. 1952) berpendapat bahwa kebolehan yang disebut pada
surat an-Nis±’
:3 tersebut merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya,
poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang yang benar membutuhkan. Poligami, katanya, hanya dapat
dilakukan jika dalam kondisi sebagai berikut: pertama, istrinya terbukti mandul
sementara pasangan suami-istri ini
sangat menginginkan keturunan; kedua, suami memiliki libido seks yang sangat
tinggi, sementara istri tidak sanggup melayaninya; ketiga, suami memiliki
kekayaan yang mampu menopang segala kebutuhan istri dan anak-anaknya; keempat,
kuantitas wanita lebih banyak dibandingkan pria akibat peperangan, sehingga
banyak anak yatim dan janda yang perlu dilindungi. Seperti halnya Abduh, dalam
persoalan ini al-Maragi juga mengacu kepada kaidah fiqhiyyah dar’
al-Maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥ di atas.[83]
Mengenai pengertian adil pada ayat 129 surat
an-Nis±’, menurut al-Maragi yang dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan
kemampuan manusia, seperti dalam hal
memberi fasilitas sandang, pangan, dan tempat tinggal, sedangkan dalam hal
cinta (kecenderungan hati) maka hal itu di luar kemampuan manusia.[84]
Berdasarkan
pendekatan fikih dan perspektif tafsir (tradisionalis) di atas tampak jelas
bahwa poligami adalah hal yang legal menurut doktrin hukum Islam konvensional,
oleh karena itu pelarangan dan kriminalisasi terhadap poligami merupakan
deviasi dari ketentuan doktrin “Syariah”. Namun apa yang dikemukakan oleh
sejumlah mufasir modern di atas tersirat urgensi upaya formulasi hukum yang
dapat mempersulit praktik poligami dan mencegah efek negatif dari
penyalahgunaan poligami dalam masyarakat. Interpretasi seperti inilah yang
kelihatan turut mengilhami sejumlah negeri Muslim untuk memberlakukan aturan
ketat bahkan keras terhadap praktik poligami di dalam Undang-Undang mereka.
E.
Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Hukum Keluarga Negara-negara Muslim Modern
Salah satu langkah reformasi
Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern adalah meninjau kembali sejumlah
ketentuan hukum Islam klasik yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi
sosial dan tuntutan/perubahan modern. Demikian pula halnya dalam masalah
poligami. Aturan fikih konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad
kini ditinjau kembali dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya
diarahkan pada upaya mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan
perkembangan zaman.
Secara umum ketentuan
(perundang-undangan) berkaitan hukum keluarga di negara-negara Muslim modern,
dikaitkan aturan poligami, dapat diklasifikasikan kepada kategori: pertama,
negara-negara yang sama sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia .
Kedua, negara-negara yang yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang
relatif ketat (dipersulit), seperti Pakistan, Mesir, Maroko, Indonesia, dan
Malaysia. Ketiga, negara-negara yang memperlakukan poligami secara lebih
longgar, seperti Saudi Arabia ,
Iran , dan Qatar .[85]
Dari
ketiga kategori tersebut, kategori kedua menjadi kecenderungan umum Hukum Keluarga di Dunia Islam.
Pembatasan poligami yang dilakukan
bersifat variatif, dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas.
Sebagai contoh, di Libanon, berdasarkan
hukum keluarga yang diberlakukan
kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917,[86]
poligami tidak dilarang namun diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada
para istri. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Maroko berdasarkan UU
Status Pribadi tahun 1958 yang berlaku di sana .[87]
Cara lain bagi pembatasan
poligami adalah dengan pembuatan perjanjian. Istri diberi hak untuk meminta
suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika
ternyata nanti ia menikah lagi dengan wanita lain maka si istri dapat langsung
meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila
yang melanggar itu pihak istri. Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal 19
Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun 1976 yang diubah dengan Hukum Keluarga
Yordania No. 25 tahun 1977.[88] Hal
yang sama juga disebutkan dalam pasal 31 UU Status Pribadi Maroko tahun 1958.[89]
Di samping itu, ada pula
yang mempersyaratkan kondisi atau izin tertentu. Di Indonesia, contohnya,
diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa
apabila seorang suami bermaksud untuk beristri
lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis
kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit
terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun
1983, poligami praktis dilarang.[90] Hal
yang hampir sama berlaku di Pakistan ,
poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari istri pertama dan
Dewan Hakam (arbitrer) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi
pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara atau denda, atau malah
kedua-duanya.[91]
Seperti yang tampak pada
contoh yang terakhir disebut ini, praktik poligami malah telah masuk kategori
perbuatan yang dikenakan sanksi hukum tertentu. Dengan kata lain, sebagian
negara-negara Muslim memberlakukan kriminalisasi praktik poligami dalam Hukum
Keluarga mereka. Sebagaimana telah disinggung dalam bahasan terdahulu, minimal
tercatat 8 negara Muslim yang telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum
terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara
tersebut adalah Iran , Pakistan , Yaman (Selatan), Irak ,
Tunisia , Turki ,
Malaysia , dan Indonesia .
Khusus mengenai tiga negara
pertama secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut:
Di
Iran, seorang suami yang ingin menikah lagi (berpoligami) maka wajib memenuhi
dua hal: 1) Memberitahukan kepada calon istrinya bahwa ia sudah beristri. 2)
Mendapat izin dari Pengadilan. Pelanggaran atas salah satu hal tersebut dapat
mengakibatkan konsekuensi hukum. Berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Iran ,
poligami yang dilakukan dengan memalsukan keterangan atau tanpa
pemberitahuan kepada calon istri tentang eksistensi perkawinan sebelumnya,
dapat membuat pelakunya dijatuhi hukuman penjara
6 bulan – 2 tahun. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap pelaku poligami
tanpa izin Pengadilan.[92]
Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan
berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari Lembaga Arbitrase (Majelis
Hakam). Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan
mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang.[93]Bahkan
lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase (arbitration
council), dapat dijatuhi hukuman: a) wajib
membayar segera seluruh jumlah mas kawin, baik kontan maupun bertempo
(cicilan), kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar,
maka ia dapat ditukar-alih sebagai tunggakan pajak tanah; b) atas dasar
keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka
pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun, atau dengan
denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan keduanya sekaligus.[94]
Sedangkan di Yaman (Selatan), bigami
(beristri dua) hanya diperbolehkan setelah adanya izin tertulis dari
Pengadilan, yang dapat diperoleh dengan alasan: 1) istri mandul yang dinyatakan
oleh dokter dan tidak diketahui sebelumnya; atau 2) istri menderita penyakit
kronis atau penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan, serta
penyakit tersebut menghalangi kelangsungan kehidupan rumah tangga.[95]
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum dalam
pasal-pasal yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga yang
diberlakun Yaman (Selatan) menggariskan ketentuan bahwa semua pelaku/pihak yang
terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau
mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No. 1/ 1974 (salah satunya
mengenai bigami tanpa izin Pengadilan setempat), dapat dijatuhi hukuman berupa
denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua
sekaligus.[96]
Dengan demikian berdasarkan Hukum Keluarga di Yaman (Selatan), poligami yang
dilakukan tanpa izin dari Pengadilan setempat dipandang sebagai tindak kriminal
yang dapat dijerat dengan sanksi hukum.
Adapun mengenai
kriminalisasi poligami dalam Hukum Keluarga di lima negara yang terakhir disebut, yang
menjadi model kajian ini, akan diuraikan secara lebih rinci dalam bahasan
berikut:
1. Turki
Secara geografis,
Republik Turki (Turkiye Cumhuriyeti) yang didirikan pada 29 Oktober 1923
ini terletak di kawasan Asia Kecil (97%) dan Eropa Tenggara. Di bagian barat
berbatasan dengan Laut Aegean dan Yunani, dan di bagian Barat Laut berbatasan
dengan wilayah Bulgaria .
Di utara berbatasan dengan Laut Hitam. Di bagian Timur Laut berbatasan dengan Georgia , di bagian timur berbatasan dengan Armenia , dan di bagian tenggara berbatasan
dengan Iran
dan Irak. Sedangkan di selatan berbatasan dengan Syria dan Laut Tengah. Luas wilayah
Turki meliputi 755.693 km2 di Asia Kecil (semenanjung Anatolia )
dan 23.763 km2 di Eropa Tenggara, sehingga luas keseluruhan Turki adalah
779.456 km2.
Berdasarkan
sensus 21 Oktober 1990, populasi penduduknya mencapai 56.473,035 jiwa yang
menempati wilayah seluas 779, 456 km2. Mayoritas penduduk Turki adalah Muslim,
sebagian besar beraliran Sunni, namun diperkirakan di sana juga terdapat
sekitar 10 hingga 20 juta Muslim Syi’ah. Sedangkan sisanya adalah Yahudi,
Ortodok Yunani, Ortodok Armenia ,
dan Kristen Assyria.[97]
Sebagai
sebuah negara pengganti yang tercipta dari reruntuhan Kesultanan Usmaniyah
pasca Perang Dunia I, Turki menjadi negara sekular pertama di Dunia Muslim.
Pembatalan syariat dan pengambilan sebuah sistem hukum sekular berdasarkan
aturan–aturan hukum Barat, serta pendeklarasian sebuah republik sekular pada
1928, merupakan penyimpangan radikal dari tradisi.[98]
Sebelum
lahirnya kebijakan legislasi undang-undang--yang dikodifikasi secara
eklektikal, mazhab Hanafi merupakan mazhab utama yang mendasari kehidupan
keberagamaan tradisional Turki hingga tahun 1926. Adalah Undang-Undang Sipil
Islam yang dikenal dengan Majallat al-ahkam al-‘adliyyah, sebagian
materinya didasarkan pada mazhab Hanafi yang telah dipersiapkan di Turki sejak
tahun 1876, sekalipun belum memuat hukum keluarga dan hukum waris di dalamnya.
Hukum mengenai perkawinan dan perceraian sebagian dibuat pada tahun 1915 dan
dikodifikasi pada tahun 1917. Revolusi politik di negara tersebut menyebabkan
kehancuran Dinasti Ottoman sekaligus menghapus kekhalifahannya. Baik UU Sipil
Islam 1876, berbagai hukum keluarga yang
diberlakukan pada tahun 1915 dan tahun
1917, maupun hukum waris mazhab Hanafi non-kodifikasi, semuanya diganti oleh UU
Sipil baru yang komprehensif yang diberlakukan pada tahun 1926.[99] Berdasarkan the Turkish Civil
Code 1926, poligami sama sekali dilarang dan jika terjadi maka perkawinan
tersebut dinyatakan tidak sah. UU Turki tersebut melarang perkawinan lebih dari
satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. Pasal 93 menegaskan bahwa
seorang tidak dapat menikah, jika dia tidak dapat membuktikan bahwa perkawinan
yang pertama bubar karena kematian, perceraian, atau pernyataan pembatalan.
Kemudian dalam pasal 112 (1) dikemukakan bahwa perkawinan yang kedua dinyatakan
tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga
saat menikah.[100]
Ketentuan di atas juga dipertegas dalam the
Turkish Family (Marriage and Divorce) Law of 1951. Dalam pasal 8
disebutkan:[101]
“No person shall marry again unless he proves
to the satisfaction of the Court that the former marriage has been declared
invalid or void or has been dissolved by divorce or the death of the other party.”
Selanjutnya
dalam pasal 19 (a) dinyatakan:
“A
marriage shal be declared invalid where:
(a) at the date of the marriage one of parties is already married;”
Meskipun
Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara
implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan
akan dikenai ancaman hukuman (penalty).[102]
Dari
ketentuan kriminalisasi praktik poligami di atas tampak jelas bahwa hukum
positif yang berlaku di Turki telah mencitrakan deviasi yang signifikan dari ketentuan mazhab Hanafi bahkan hukum
Islam (konvensional) dari berbagai mazhab yang ada. Ketidaksahan poligami merupakan hal baru yang
belum pernah diwacanakan oleh kalangan ulama klasik.[103]
Pembolehan poligami oleh Alquran dalam kondisi tertentu telah dirubah oleh Muslim
Turki. Alasannya, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa tokoh intelektual Turki,
bahwa legalisasi Alquran atas poligami merupakan “sebuah perbaikan besar
terhadap praktik poligami tak terbatas pada masa Arab pra-Islam melalui cara
monogami.” Perubahan kondisi sosial dan ekonomi di Turki telah membuat kondisi
qur’ani poligami tidak dapat direalisasikan.[104]
2. Tunisia
Langkah
nasionalisme bangsa Tunisia
dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young
Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis
sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka
menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara
serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi
hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang
dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an
saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan
DESTOUR PARTY dan memproklamasikan
Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan
kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai
presiden pertamanya.[107]
Setelah
merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia
segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab
Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal
terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat
al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden
Habib Bourguiba Tunisia
menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami.[108] Majallat itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan,
perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam
klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang
Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan,
penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai
dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk
sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk
memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut
berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang
diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania,
Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang
hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang
tersebut pada tahun 1956.[109]
Undang-Undang
tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup
komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan.
Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode
1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No.
7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang
sebelumnya.
1)
Untuk menghindari
pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2)
Untuk penyatuan pengadilan
menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara
pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3)
Untuk membentuk
undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4)
Untuk menyatukan pandangan
masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab
klasik;
5)
Untuk memperkenalkan
undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
Undang-Undang
Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia , khususnya setelah tercapai
kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai pembaharuan yang
terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif
dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di
pengadilan.[111]
Berkaitan
dengan kriminalisasi poligami di Tunisia , pasal 18 menyatakan:
a.
Poligami dilarang, siapa
saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir,
lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda
sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b.
Siapa yang telah menikah,
melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih
terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
c.
Siapa yang dengan sengaja
menikahkan seseorang yang dikenai
hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.[112]
UU
mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas
menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum
pada ayat lain dalam Alquran, yang
menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia
yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] :
3). Ternyata, baik dari pengalaman
maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak
akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqah±’ salaf,
dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu
saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang
dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang
dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.[113]
Sebelum
kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi
bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut
mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru
dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh
dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah
dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan
pengadilan-pengadilan nasional. Presiden Bourguiba secara terang-terangan
menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang
ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan
perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah
yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah
membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama
sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia.
Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan
Salaf.[115]
Selain
itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami
harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga
mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan
Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral,
namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak
satupun perkawinan kedua dapat diizinkan
kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri
diperlakukan dengan adil. Namun melihat
kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal
yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia
secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.” [116]
Apa
yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut, menurut Atho Mudzhar
sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti
telah keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang
melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Antara tahun 1885 sampai tahun 1912,
sekitar 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris, meskipun pada saat
yang sama orang-orang Perancis melakukan
kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal
di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945. Mereka
memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia .
Di pihak lain orang Tunisia
juga belajar ke Paris , setelah kembali mereka
melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan Sadi
College yang kemudian melahirkan Khalduniyyah College —yang menjadi pusat gerakan”The
Young Tunisians”.[118]Jadi
terobosan yang dilakukan Tunisia
tampaknya tak lebih dari revolusi interpretasi “fikih baru” dari sebuah negara
yang sedang gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan di berbagai dimensi
kehidupan masyarakatnya.
3. Irak
Irak merupakan negara yang
menganut sistem hukum campuran yang diinspirasi dua aliran, fikih Sunni dan
Syi‘i, sebagai landasan hukum yang diterapkan di Pengadilan Syariah. Pada abad ke-17, Iraq yang merupakan tempat lahirnya mazhab Hanafi, masih berada
di bawah kekuasaan dan hukum Imperium Ottoman. Mulai 1850 sejumlah hukum sipil,
pidana, dagang, diadopsi oleh Imperium Ottoman berdasarkan model Eropa
(terutama Perancis), namun Undang-Undang OLFR yang diberlakukan pada tahun 1917
tersebut tidak pernah dimplementasikan di Irak akibat hilangnya pengaruh
imperium dan hadirnya kekuatan Inggris di sana. Pemerintahan Inggris sendiri
tidak mengadopsinya dikarenakan tidak mencitrakan hukum dan adat setempat di
samping dalam realitasnya Irak dipengaruhi oleh hukum Sunni dan Syi‘i dalam proporsi yang berimbang.Pada tahun
1921, Raja Faisal mendirikan sebuah kerajaan monarki Irak dengan kemerdekaan
penuh diraih pada 1932. Melalui sebuah kudeta militer pada tahun
1958 kerajaan monarki akhirnya digantikan dengan berdirinya republik Irak.[119]
Hukum
yang berhubungan dengan poligami sebagaimana yang diberlakukan saat ini di Irak
terdapat dalam the Iraqi Law of
Personal Status 1959 senada dengan Amendment Law 1963 yang
memodifikasi pasal 13 dari Undang-Undang tersebut. Menurut pasal 4 dan 5,
seorang pria yang ingin menikah lagi (bigami) harus meminta izin dari
Pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin kepadanya berdasarkan tiga syarat:
pertama, ia harus memiliki kemampuan finansial menafkahi lebih dari satu orang
istri sekaligus; kedua, terdapat kepentingan yang sah secara hukum
(kemaslahatan syar‘i) melalui perkawinan kedua; ketiga, tidak ada kekhawatiran
terjadinya perlakuan tidak adil terhadap para istri.[120]
Setiap
pria yang berpoligami namun tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut dapat
dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 dinar; atau
kedua-duanya (pasal 6).
ketentuan-ketentuan pasal 4 dan 5 dipandang tidak berlaku bagi mereka
yang berpoligami dimana wanita yang dinikahinya tersebut adalah janda. Sedangkan dalam pasal 7 ditegaskan bahwa bagi
mereka yang menikah (berpoligami) tanpa
ada izin dari pengadilan akan dijatuhi hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal
5 tahun.[121]
Jika
diperhatikan dari ketentuan pasal di atas, dapat dikatakan pada prinsipnya
ketentuan tersebut merupakan pengembangan lebih jauh dari pemikiran
mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i[122] yang
dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami.
Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami
yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda.[123]
4. Malaysia
Sebelum kehadiran penjajah,
hukum yang berlaku di Malaysia
adalah hukum Islam bercampur hukum adat.[125] Namun
selama masa pemerintahan kolonial
Inggris, nafas Islam telah mewarnai berbagai kebijakan legislatif lokal yang
berhubungan dengan fungsi-fungsi negara, keberadaan dan prosesi lembaga
peradilan Syariah untuk menerapkan hukum Islam dan regulasi adiministrasi
institusi social-legal Islam diberlakukan di seluruh negeri tersebut,
seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris. Kondisi ini terus
berlanjut di saat Malaysia
memperoleh kemerdekaannya.[126]
Setelah
Malaysia memperoleh kemerdekaannya, konstitusi federal Malaysia tahun 1957
begitu juga konstitusi federal tahun 1963 mendeklarasikan agama Islam sebagai
agama resmi negara. Di negeri yang bermazhab Syafi’i ini, hukum Islam dan
administrasinya diberlakukan secara resmi di seluruh wilayah negara Malaysia
meliputi Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Pahang, Kelantan, Trengganu, Kedah,
dan Johor. Pada dua negara bagian, Sabah dan Sarawak ,
penduduk Muslim merupakan minoritas. Sabah yang memiliki jumlah penduduk Muslim
lebih sedikit dari Sarawak , memakai
adiministrasi hukum Islam pada tahun 1971. Sedangkan Sarawak masih menerapkan
Undang-Undang Mahkamah Melayu tahun 1915. Hukuman negara-negara bagian di
Malaysia memuat ketetapan hukum keluarga melalui pengadilan-pengadilan kathis.[127]
Dalam
konteks reformasi Hukum Keluarga khususnya di rantau Asia Tenggara—boleh jadi
malah skup Dunia Muslim—sebetulnya Malaysia tercatat sebagai negara
pertama melakukan langkah ini, ditandai
oleh lahirnya Mohammedan Marriage Ordinance, No. V Tahun 1880 di
negara-negara Selat (Pulau Pinang, Malak, dan Singapura). Dilanjutkan wilayah
negara-negara Melayu Bersekutu (Perak,
Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang) melalui Registration of Muhammadan
Marriages and Divorces Enactment 1885, kemudian bagi negara-negara Melayu tidak
bersekutu atau negara-negara Bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah, dan
Johor), yang dipelopori oleh Kelantan adalah The Divorce Regulation Tahun
1907.[128]
Namun
demikian, jika dilihat dari era pasca berakhirnya kolonialisme dan imperialisme
di seluruh Dunia, perundang-undangan Malaysia telah mengalami beberapa
kali pembaharuan. Taher Mahmood mencatat bahwa pembaharuan pertama berlangsung
pada tahun 1976-1980 yang berisi tentang perkawinan dan perceraian. Sedangkan
pembaharuan kedua dilaksanakan pada tahun 1983-1985 yang diberi nama Islamic
Family Law Act. Hukum baru ini berlaku pada tahun 1983 di Kelantan, Negeri
Sembilan, dan Malaka. Kemudian tahun 1984 dilaksanakan di Kedah, Selangor, dan
wilayah Persekutuan, serta tahun 1985 dilaksanakan di Penang .[129]
Dalam perkembangan terakhir pembaharuan juga terjadi di Terengganu (1985),
Pahang 1987 (No. 3), Selangor 1989 (No.2), Johor (1990), Sarawak (1991),
Perlis, dan terakhir Sabah melalui UU No. 18
tahun 1992.[130]
Mengenai
kriminalisasi poligami dalam hukum positif di Malaysia , antara lain tergambar
dalam UU Hukum Keluarga Islam
[Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun 1984). Dalam pasal 123 disebutkan:[131]
Any man who,
during the subsistence of a marriage, contracts another marriage in any place
without the prior permission in writing of the court commits an offence and
shall be punished with a fine not exceeding one thousand ringgit or with
imprisonment not exceeding six months or with both such fine and imprisonment.
Pasal
di atas menegaskan bahwa seorang pria yang masih terikat dalam suatu perkawinan
hanya dapat berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari pengadilan, bagi
mereka yang melanggar ketentuan ini akan dijatuhi hukuman denda maksimal 1000
ringgit; atau dipenjara maksimal 6 bulan; atau dijatuhi hukuman keduanya
sekaligus.
Pemberian
izin poligami oleh pengadilan amat terkait dengan hasil pertimbangan institusi
tersebut terhadap keterangan yang diberikan pemohon dan para istri yang lebih
dahulu dinikahinya. Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberikan izin
poligami berkaitan dengan kondisi/prilaku istri dan suami. Dari sudut istri
adalah: 1) Kemandulan; 2) Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari segi jasmani
untuk bersetubuh; 4) Sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau 5)
Sakit jiwa/ gila. Sedangkan pertimbangan pada sudut suami adalah: 1) Mampu
secara ekonomi untuk menanggung istri-istri dan anak keturunan, 2) Mampu
berlaku adil kepada para istri 3) Perkawinan itu tidak menyebabkan «ar±r
syar‘i (bahaya bagi agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda)
istri yang telah lebih dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu tidak akan
menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan
perkawinan, langsung atau tidak.[132]
Secara
umum Hukum Keluarga Malaysia
tampaknya masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab
Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami
terlihat diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri
dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin
poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah
syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap
penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran
terkait masalah poligami dan langkah perlindungan pada kaum wanita juga menjadi
bagian inheren dari alasan dasar ditetapkankannya pasal-pasal tersebut.
5.
Indonesia [133]
Sebelum pemberlakuan UU
Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk
melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan
barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para
istrinya. Secara substansial Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, walaupun
sesungguhnya masih bersifat mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa
perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari
ketentuan-ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan
utama dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di
sisi lain, UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari
seorang istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU
tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan
Agama.[134] Meskipun hak tersebut
tetap dipertahankan, namun secara prosedur administratifnya tidaklah mudah,
secara umum ia membatasi kemungkinan terjadinya penggunaan hak tersebut secara
sewenang-wenang.[135]
Ketentuan yang sama
tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada
tahun 1991.[136] Pengadilan dalam hal ini
memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami.
Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi
hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami diatur dalam
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974,
disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman
denda Rp. 7.500,-.[137]
Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan
hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.[138]
Dalam pada itu, hukuman yang
relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar
ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang
Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau
atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah
satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan
Disiplin PNS.[139]
Berbagai ketentuan dalam UU
Perkawinan No. 1/1974 maupun dalam KHI mengenai poligami di atas pada dasarnya
tidak bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional, termasuk mazhab
Syafi‘i. Hampir sama dengan Hukum Keluarga Malaysia, persyaratan bagi seorang
suami yang ingin berpoligami juga dihubungkan dengan kewajiban suami yang diatur dalam konsepsi fikih tradisional,
yakni kemampuan memberi nafkah dan dapat berlaku adil kepada para istri. Begitu
pula dengan kondisi darurat istri yang dimadu tampaknya dikaitkan dengan alasan
fasakh. Lebih jauh produk hukum ini juga diorientasikan untuk mengangkat status
wanita dan memberikan perlindungan kepada mereka, suatu hal yang sejalan dengan
semangat Alquran dan Sunnah Rasul.
Meskipun kini perkawinan
poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia,
namun efektifas hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di
antara faktor penyebabnya adalah sanksi
hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah
dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras
mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya dualisme hukum
di Indonesia :
Hukum Islam tradisional versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami
lebih memilih berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan
poligami tanpa khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh
Hukum Islam “produk negara”. Sedangkan
pemberlakuan sanksi bagi PNS meskipun cukup berat namun disayangkan hanya untuk
kalangan terbatas.
F. Poligami dan Ketentuan Hukum di
Negara-Negara Barat [140]
Sebelum
kedatangan Islam, poligami sudah dikenal di kalangan mayoritas bangsa-bangsa
kuno. Ia dibolehkan dan telah dipraktikkan di Mesir , Persia ,
Cina, dan kalangan masyarakat Yahudi (ajaran hukum Nabi Musa). Dalam agama
Kristen, meskipun Perjanjian Baru mengabsahkan monogami sebagai bentuk ideal
perkawinan, tidak ada secara eksplisit melarang poligami selain terhadap uskup
dan pembantu gereja. Para tokoh agama Kristen
era awal tidak menemukan keperluan mengutuk poligami karena monogami adalah hal
biasa di kalangan masyarakat sebagaimana diajarkan dalam agama Kristen. Bahkan,
tak satupun lembaga gereja di abad awal yang menyalahkan poligami, jadi tidak
ada halangan mempraktikkannya. Sebaliknya, banyak tokoh agama membicarakan
poligami dengan nuansa penuh toleransi.
Sebagai contoh, Saint Augustine
sama sekali tidak pernah menyalahkan poligami, begitu pula Martin Luther,
menyetujui perkawinan bigami yang dilakukan Philip Hesse. Hingga abad ke-16,
sejumlah tokoh reformis Jerman menerima sahnya perkawinan yang kedua kali,
bahkan perkawinan ketiga. Pada tahun 1650, beberapa tokoh Kristen memutuskan
seseorang boleh menikahi dua orang perempuan.[141] Lebih belakangan,
ditemukan doktrin sekte Brigham Young’s
Mormon, yang mengabsahkan praktik poligami hingga tahun 1880-an, saat Konggres
Amerika Serikat mensahkan sebuah resolusi larangan praktik poligami.[142] Poligami juga merupakan
bagian dari kebiasaan di kalangan suku-suku Afrika dan Australia . Begitu pula dengan hukum
perkawinan Hindu yang tidak membatasi jumlah istri yang boleh dimiliki oleh
seorang laki-laki.[143]
Singkatnya,
dalam masalah praktik poligami, orang-orang Kristen tidaklah sebanyak orang
Yahudi ataupun Muslim. Namun, penting untuk ditekankan bahwa ajaran Kristen tidak
pernah mengintrodusir monogami kepada dunia Barat, juga tidak pernah mengukuhkan perlunya
mereformasi masyarakat. Tampaknya monogami hanyalah bentuk legal dari
perkawinan di masyarakat Barat dimana agama Kristenlah yang pertama kali
diperkenalkan. Hal ini semakin diperkuat
oleh fakta bahwa tradisi kuatnya monogami formal merupakan hal yang
lazim di Yunani dan Roma. Selain itu, kenyataannya ajaran Kristen telah
mengakar di kalangan masyarakat kelas atas tempo dulu, yang bukan saja tidak
berpoligami, namun lebih jauh mereka mendukung monogami.[144]
Gambaran
historis di atas perlu dikemukakan untuk melihat rentang sejarah praktik
poligami di masyarakat Dunia dan sejauhmana
titik hubungnya dengan perkembangan di Dunia Barat era modern. Tak
dipungkiri bahwa negara-negara
Barat, era modern, sama sekali menolak keberadaan poligami dalam kehidupan
institusi keluarga mereka. Hal ini ditunjukkan dan dikukuhkan oleh produk hukum
negara mereka yang secara umum menempatkan poligami sebagai sesuatu yang
illegal atau malah dianggap sebagai perbuatan kriminal. Ketentuan yang sama
berlaku bagi komunitas lain yang menetap di negara Barat yang diikat keharusan
tunduk pada ketentuan UU di sana .
Namun demikian seiring semakin meningkatnya jumlah komunitas Muslim dan
keberadaan mereka yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Barat perlahan
menjadi pertimbangan lebih lanjut oleh pemerintah negara Barat dalam merespon
kepentingan seluruh elemen masyarakatnya. Bahasan ini akan mencoba menyoroti,
dan membatasi hanya pada beberapa contoh negara Barat seperti Perancis, Jerman,
Inggris, dan Amerika Serikat.
Di Perancis,
suatu perkawinan menurut tata cara Islami tidak memiliki kekuatan hukum apabila
perkawinan tersebut mengambil tempat di wilayah Perancis. Poligami tidak hanya
menjadi halangan untuk mendapat nasionalisasi Perancis namun pasal 147 Civil
Code Perancis secara khusus menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi
perkawinan kedua kecuali jika perkawinan pertama telah bubar. Sebagai
akibatnya, meskipun pasangan suami istri tersebut berasal dari negeri yang
mengizinkan poligami, tidak ada lembaga poligami dapat secara legal diakui di
Perancis. Perkawinan kedua sama sekali dinyatakan batal. Atas dasar inilah
pengadilan beberapa kali menolak kepentingan wanita muslim tinggal di Perancis dalam
ikatan perkawinan poligami. Pada tahun 1992, misalnya, Cour d’Appel de
Versailles (Pengadilan Banding)
menolak jaminan keamanan sosial bagi istri kedua dari suaminya yang muslim dan pada tahun 1988
Cour d’Appel d’Aix-en-Provence juga menolak pemberian hak tunjangan
cerai seorang wanita muslim dengan alasan bahwa dia istri kedua dan bahwa
poligami dianggap bertentangan dengan tatanan (ketertiban) publik Perancis.
Namun demikian, jika upacara secara Islami itu diadakan
di negeri asal pasangan suami-istri tersebut, perkawinan itu dianggap memiliki
kekuatan hukum menurut hukum Perancis
selama ia tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Cour de Cassation
berulang kali menegaskan bahwa poligami bukanlah pelanggaran pokok dari aturan
publik Perancis menurut adat tradisi mereka, sekalipun lembaga yang sama dinyatakan sama sekali tidak sah
jika dilangsungkan di Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan
kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya
sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap
sah secara hukum. Apabila istri pertama telah menerima fasilitas keamanan
sosial, maka istri kedua tidak dapat menuntutnya juga, sekalipun istri pertama
tidak lama hidup di Perancis. Oleh karena itu, para suami muslim dipaksa untuk
membayar nafkah anak meskipun anak tersebut berasal dari buah perkawinan secara
agama bukan melalui upacara sipil.
Hingga tahun 1980, reunifikasi keluarga poligami
dilarang di Perancis: Pemerintah Perancis menolak kewarganegaraan penuh bagi
para istri dan anak-anak dari para suami yang telah lebih dahulu menetap di
Perancis dengan istri dan anak-anaknya yang lain. Dalam kasus Montcho pada
tahun 1980, bagaimanapun juga, Conseil d’Etat untuk pertama kalinya memberikan status
kewarganegaraan penuh bagi istri kedua dari seorang laki-laki Aljazair, suatu
pemberian signifikan bagi hak penyatuan kembali keluarga. Pengadilan beralasan
bahwa, untuk tujuan terbatas fasilitas keamanan sosial, poligami adalah sesuatu
yang
berbeda, tetapi meskipun begitu format perkawinan sah. Yang
jelas, pemerintah Perancis bereaksi melawan ekspansi poligami di wilayah
Perancis. Menurut UU baru yang disahkan pada Agustus 1993, suatu perkawinan
poligami tidak lagi memberi hak suami untuk membawa istri keduanya dan anak-anak
mereka ke Perancis. Anak-anak hasil perkawinan poligami yang tinggal di luar
negeri tanpa ayahnya hanya dapat menghubungi ayahnya yang berada di Perancis di
saat ibu mereka yang berada di negeri asal telah meninggal dunia. UU 24 Agustus
1993 Pasal 30 selanjutnya menyatakan:
“Ketika seorang warga asing yang berpoligami menetap
di wilayah Perancis bersama istri pertamanya, kepentingan/hak penyatuan
keluarga kembali tidak dapat diberikan kepada istrinya yang lain. Kecuali jika
istri pertama tersebut meninggal dunia atau kehilangan hak sebagai orang tua,
anak-anaknya tidak mendapat hak dari penyatuan kembali keluarga yang lain.”
UU
ini dikritik oleh banyak organisasi imigran karena dinilai memperlakukan wanita
muslim secara tidak adil yang, berhadapan dengan kemustahilan secara legal
hidup bersama suami mereka, sering masuk ke negara tersebut secara illegal dan
kemudian ditempatkan pada posisi yang mudah diserang/kritik.[145]
Sedangkan
di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai
norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik
dibanding hukum tempat berdomisili. Sebagai contoh, penerapan hukum dalam kasus
perceraian pasangan Syria
yang perkawinannya dilangsungkan di Syria
adalah didasarkan pada hukum keluarga Islam atau Syria , termasuk tuntutan tunjangan
bagi mantan istri pasca perceraian. Hukum setempat hanya akan diterapkan dalam
kasus tuntutan nafkah anak atau kewarganegaraan yang majemuk dari pihak
tertentu.
Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman
yang terkemuka, sebagaimana diatur oleh §
1306 BGB. Oleh karena itu, tidak mungkin
memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya dengan
Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah secara
hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan poligami.
Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi pengertian
bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu
pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak.
Adapun mengenai hak menyatukan keluarga kembali
(reunifikasi), OVG Nordrhein-Westfalen menetapkan bahwa seorang wanita
Muslim Yordania tidak berhak berkumpul dengan suami dan istri pertama di Jerman.
Dalam kasus yang sama, beberapa pengadilan menetapkan bahwa para istri
(poligami) tidak punya hak untuk berkumpul dengan suaminya di Jerman, sekalipun
suatu ketika mereka berada (tinggal) di negeri itu dengan suami mereka,
penuntutan tidak bisa diajukan karena poligami tidak dianggap sebagai
perbuatan melawan tata aturan publik Jerman.[146]
Berbeda dengan kedua negara di atas,
Inggris cenderung memberlakukan kebijakan yang lebih tegas. Dari potret
historis, dapat dikatakan sampai tahun 1604, tidak ada satu pun UU Inggris
yang mendefinisikan dan menetapkan hukuman bagi bigami/poligami sebagai
perbuatan kriminal. Hukum Inggris mengenai hal ini lebih terkebelakang dari
hukum Skotlandia, yang lebih dahulu pada tahun 1551 menyatakan bigami sebagai
sebuah perbuatan kriminal yang dapat dijatuhi hukuman ancaman sumpah palsu,
penyitaan harta harta, kurungan, dan perlakuan buruk (siksaan). Melalui UU
Inggris 1604, yang menjadi contoh hukum-hukum Inggris dan Amerika Serikat di
kemudian hari, ditegaskan bahwa siapa
saja yang melangsungkan perkawinan dalam wilayah Inggris atau Wales, sementara
suami atau istri pertamanya masing hidup, dinyatakan sebagai kesalahan/kejahatan
pidana perkawinan.
Sedangkan UU Inggris 1861, yang berlaku sekarang, hanya
membebaskan perkawinan kedua dari hukuman jika salah satu pasangan
(suami/istri) raib selama 7 tahun berturut-turut, dan pasangan yang menikah
lagi tidak tahu bahwa suami atau istrinya ternyata masih hidup pada saat itu.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini menurut UU dapat dijatuhi hukuman maksimal 7
tahun dan minimal 3 tahun atau kurungan tidak lebih dari 2 tahun. Bigami
merupakan tindakan kriminal menurut UU, jika dilakukan oleh orang Inggris, maka
kapanpun dapat diambil tindakan.
Tidak jauh berbeda dengan sikap hukum
Inggris, boleh jadi turut dipengaruhi oleh ikatan sejarah kedua negara, Amerika
Serikat memberlakukan larangan poligami di wilayahnya, kecuali jika salah satu
pasangan dinyatakan hilang (tidak diketahui rimbanya) selama 5 tahun, tidak
diketahui apakah ia masih hidup dan diyakini ia telah meninggal dunia, atau
terjadi perceraian, atau
penghapusan/pembatalan oleh pengadilan [menyangkut] perkawinan yang sebelumnya. Adapun sanksi yang dijatuhkan kepada pelakunya adalah
berupa denda maksimal 500 dolar dan penjara tidak kurang dari 5 tahun.[147]
Beberapa kitab UU dari sejumlah
negara (bagian) Amerika Serikat berisi hukum–hukum yang dibuat atas, dan dengan
peraturan-peraturan yang lebih kurang sama dengan, UU hukum Inggris 1604, dan
mendefinisikan bigami, atau dalam per-UU-an beberapa negara bagian disebut
poligami, sebagai suatu perbuatan kriminal. Tadinya oleh hukum Virginia dan hukum North
Carolina , pelaku bigami dijatuhi hukuman mati.
Sekarang hukuman poligami di Virginia
adalah dipenjara maksimal 8 tahun dan
minimal 3 tahun. Sedangkan di North
Carolina maksimal 10 tahun dan minimal 4 bulan. Di
New York hukumannya maksimal 5 tahun, dan masa raib [yang] membebaskan
perkawinan yang kedua ditetapkan lima tahun, istri atau suami terdahulu yang
raib dari pasangan yang menikah lagi tanpa diketahui olehnya (suami/istri) pada
waktu itu masih hidup dan yang diyakininya (suami/istri) telah mati. Perceraian (kecuali jika untuk menggagalkan satu
pihak untuk kawin kembali) mendapat izin pengadilan, atau pembatalan perkawinan
sebelumnya, atau hukuman penjara terhadap suami atau istri juga dapat
membebaskan kawin lagi. Raib, karena itu, tidak membatalkan perkawinan
sebelumnya, atas dasar bukti bahwa suami atau istri yang telah dinyatakan
meninggal dunia ternyata masih hidup, perkawinan kedua dapat dihukumkan
batal. Tidak ada hukum atas sangsi bagi
bigami yang mengakui dua perkawinan sah secara bersamaan/ dalam waktu yang
sama. Menurut hukum New York ,
perkawinan yang terdahulu berhenti mengikat hingga salah satu dari 3 pihak pada
dua perkawinan memperoleh suatu keputusan hukum yang menyatakan perkawinan
kedua tidak berlaku lagi.[148]
G. Analisa Komparatif
Dari uraian
di atas dapat diperoleh pemahaman
bahwa secara vertikal, langkah
kriminalisasi poligami kelima negara Muslim di atas telah menunjukkan suatu
keberanjakan Hukum Keluarga dari aturan doktrin hukum Islam konvensional.
Keberanjakan tersebut bersifat variatif, Turki, misalnya, lebih cenderung
memakai metode extra-doctrinal reform semata yang akhirnya menghasilkan
kesimpulan larangan mutlak terhadap poligami. Penerapan hukum sipil Barat oleh
Turki diklaim oleh sebagian sarjana Turki bukan penyimpangan dari hukum
keluarga Islam, melainkan sebagai hasil penafsiran baru terhadap pemahaman yang
ada. Demikian pula Tunisia
mengambil kebijakan yang hampir sama dengan Turki bahkan dalam bentuk yang
lebih ekstrim. Dengan demikian dapat dikatakan pengaruh mazhab-mazhab,
baik mazhab mayoritas di kedua negara
tersebut (Hanafi untuk Turki dan Maliki untuk Tunisia) atau mazhab-mazhab
lainnya paling tidak dalam masalah poligami
telah digeser dan digantikan oleh penafsiran baru yang dititikberatkan
pada pertimbangan rasional dan kontekstual.
UU Irak pada prinsipnya ia merupakan pengembangan
pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i yang dikombinasikan dengan hasil
reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian poligami bagi
para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran,
yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda. Sedangkan Malaysia dan Indonesia masih berpegang pada
konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan
poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami diinspirasi oleh konsepsi
fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh.
Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi
poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan
mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di
samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan
semakin tingginya perhatian terhadap hak-hak kaum wanita juga menjiwai
penetapan dan pemberlakuan aturan kriminalisasi poligami tersebut. Dengan demikian Irak, Malaysia, dan
Indonesia, dalam melakukan pembaharuan hukum keluarganya, khususnya dalam
persoalan poligami, telah menggunakan metode intra-doctrinal dan extra-doctrinal sekaligus.
Secara horizontal, kecuali Turki, empat negara
lainnya memiliki kesamaan dalam hal bentuk sanksi hukum yang dijatuhkan kepada
pelaku poligami, yakni hukuman penjara dan atau denda. Tunisia , Irak, dan Malaysia malah menetapkan
kemungkinan penjatuhan hukuman penjara dan denda sekaligus. Sementara Indonesia
hanya memberlakukan hukuman denda kepada pelakunya; penjara atau denda bagi
petugas pencatat perkawinan poligami tersebut. Meskipun Turki tidak secara
eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki
menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman
hukuman (penalty).
Turki dan Tunisia merupakan pengusung
terdepan pelarangan dan penegasian keabsahan poligami. Sedangkan
Irak , Malaysia ,
dan Indonesia
mengambil arah kebijakan poligami bersyarat, yakni tetap melegalkan poligami
sepanjang telah mendapatkan izin dari pengadilan dan memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh UU. Mengenai hal yang terakhir ini, Malaysia
dan Indonesia
memiliki aturan yang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama memasukkan faktor
kondisi/prilaku baik dari suami maupun istri sebagai dasar pertimbangan oleh
pengadilan. Sedangkan Irak hanya mengaitkan persyaratan pada pihak suami dalam
hal kemampuan finansial dan adanya kebutuhan yang sah secara hukum
(kemaslahatan syar‘i), di samping dapat berlaku adil pada para istri. Irak
punya ‘ciri khas’ lain dengan mengecualikan kasus poligami bagi janda, suatu
hal yang tak diatur baik dalam Hukum keluarga Malaysia
maupun Indonesia .
Berbeda dengan Turki dan Tunisia, baik Irak, Malaysia, maupun Indonesia,
meskipun memberlakukan sanksi hukum dalam poligami, namun tidak mengisyaratkan
penolakan keabsahan poligami yang dilakukan. Pada bagian lain, Tunisia dan Indonesia
memiliki kesamaan dalam hal penjatuhan sanksi yang dapat menjerat pihak diluar
pelaku poligami, suatu ketentuan yang tidak ditemukan baik pada Turki, Irak,
maupun Malaysia .
Secara diagonal, Tunisia tampak telah beranjak
paling jauh dan radikal dengan menutup pintu poligami serapat-rapatnya melalui
pelarangan mutlak disertai hukuman bagi pelanggarnya. Kemudian menyusul Turki
dalam posisi selanjutnya, dengan menegasi keabsahan perkawinan poligami. Sedangkan Irak , Malaysia ,
dan Indonesia
pada prinsipnya berada dalam garis keberanjakan yang hampir sama, yakni
membolehkan praktik poligami dengan persyaratan tertentu dan menempatkan peran
Pengadilan dalam posisi menentukan. Meskipun demikian, secara hirarkis Irak
agaknya sedikit berada di bawah Malaysia
karena sikapnya yang tampak lebih longgar dibanding Malaysia dimana UU-nya memberi
pengizinan terhadap poligami terhadap janda.
Diikuti Indonesia ,
meskipun UU perkawinannya didasarkan pada asas monogami, namun hal tersebut
tidak terefleksi pada kualitas dan kuantitas sanksinya yang dijatuhkan,
sehingga Indonesia
dapat dikatakan berada dalam posisi yang paling lunak. Dengan demikian, dari
sudut komparasi diagonal dapat digambarkan tangga hirarkisnya adalah Tunisia , kemudian Turki , Malaysia ,
Irak, dan terakhir Indonesia .
Dari komparasi hukum di Dunia Barat diperoleh
gambaran bahwa poligami mutlak dinyatakan sebagai suatu tindakan kriminal.
Inggris dan Amerika Serikat tampak tidak memberi sedikit pun ruang bagi
poligami, para pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara dan malah di Amerika
disertai dengan denda. Dibanding kedua negara tersebut, Perancis dan Jerman
relatif lebih moderat. Meskipun Perancis melarang dan menolak keabsahan
poligami yang berakibat hilangnya hak fasilitas sosial yang diberikan negara
bagi warganya, namun perkawinan yang diadakan di negeri asal pasangan
suami-istri dianggap memiliki kekuatan hukum menurut hukum Perancis selama ia
tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak
jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh
suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya
dianggap sah secara hukum. Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum keluarga
dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum
nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili.
Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka sehingga
tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama
halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi
sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan
poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi
pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan
sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak. Di bagian
lain, baik Perancis maupun Jerman tetap
melarang reunifikasi keluarga poligami. Dari perbandingan sejumlah aturan hukum
dan keputusan Pengadilan di negara-negara Barat tersebut, jika dibuat suatu
hirarki dari sudut yang paling tegas hingga relatif lunak adalah Inggris,
Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman.
Dalam perspektif titik hubung antara Hukum Keluarga
di Dunia Islam modern dan hukum yang berlaku di Dunia Barat, khususnya yang
terkait dengan poligami, antara keduanya terdapat kemiripan—jika tidak dapat
dikatakan malah dipengaruhi. Sejumlah hal itu adalah asas monogami, sanksi
penjara dan denda, pelarangan dan penetapan poligami sebagai suatu tindak
kriminal, dan status perkawinan poligami yang dinyatakan invalid (tidak sah).
Fenomena Hukum Keluarga di Turki dan Tunisia sedikit banyak
merepresentasikan hal tersebut.
H. Penutup
Masuknya komponen kriminalisasi dalam masalah
poligami menjadi bagian inheren dalam reformasi Hukum Keluarga di negeri-negeri
Muslim modern. Ia menjadi bagian dari
implementasi semangat dasar Hukum Keluarga negara-negara Muslim modern yakni
melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat kaum perempuan. Pengaruh pemikiran
yang digagas dan diprakarsai sejumlah tokoh cendikiawan Muslim modern dalam
mereinterpretasi sumber ajaran/nas menjadi sisi lain bagaimana negara dapat
memberlakukan suatu ketentuan keluar dari konsepsi khazanah klasik. Kolaborasi
antara ijtihad yang mengusung prinsip maslahat dan siyasah syariah menjadi
trend penting dalam pembangunan dan penerapan Hukum Islam di negeri Muslim modern.
Disadari bahwa
kajian ini masih berada dalam lapisan apa yang digariskan dalam Undang-Undang
di sejumlah negeri Muslim modern. Seberapa jauh UU tersebut berlaku efektif di
lapangan dan bagaimana sesungguhnya yang terlaksana di masyarakat belum dapat
terjawab oleh kajian ini. Memperhatikan kekurangan tersebut, studi tersendiri
dan tajam otomatis menjadi hal yang patut untuk dipertimbangkan.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Buku-buku:
‘Audah,
‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘ al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±nn
al-Wa«‘³,
Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut ,
1997.
A. Jawad, Haifaa, The Right of
Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York , 1998.
Ab³ D±wud, Sunan
Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia ,
t.t.
Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia :
Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya .
_______________ , “The Tunisian Law of Personal
Status”, dalam International and
Comparative Law Quarterly, 7 April 1985.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia :
a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque,
1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld.
IV, Ichtiar Baru van Houve, Jakarta ,
1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford
Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford
University Press, Oxford , 1991.
Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern
Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol
XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka
Cipta, Jakarta ,
1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Beirut ,
1988,
Ibn Rusyd, Bid±yat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut , 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh ‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld. V,
D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut ,
1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut , 1993.
Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar Hukum Pidana,
Penerbit Sinar Baru, Bandung ,
1990.
Lindsey, Timothy (Ed.), Indonesia :
Law and Society,
The Federation Press, Leichhardt, 1999.
M. Hawes, Joseph & Elizabeth
F. Shores
(Ed.s), The Family in a America an Encyclopedia, vol.
II, ABC-CLIO, Inc., Santa Barbara
California , 2001.
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay , 1972.
______________ , Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative
Analysis), Academy
of Law and Religion New Delhi , New Delhi ,
1987.
Mallat, Chibli, & Jane Connors, Islamic Family Law, Graham & Trotman, London , 1993.
al-Maragi, A¥mad Mu¡taf±, Tafs³r al-Mar±g³, juz IV,
Mustaf± al-B±b³ al-¦alab³ wa Aul±duh, 1974.
Morris, William,
The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol.
II, Houghton Mifflin Campany, Boston ,
1979.
Mudzhar, M. Atho’ dan Khairuddin Nasution (Ed.s), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Ciputat
Press, Jakarta ,
2003.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia
dan Malaysia , INIS,
Leiden-Jakarta, 2002.
al-Qur¯b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V, t.p.,
Kairo, t.t.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, Edisi Indonesia : Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj.
Anas Mahyuddin, Penerbit Pustaka, Bandung ,
1996.
Ri«±, Mu¥ammad Rasy³d, Tafs³r al-Man±r, juz IV, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut , 1999.
Shahrur, Muhammad, Na¥w U¡l Jad³dah li al-Fiqh al-Islam³, Edisi Indonesia :
Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin,
elSAQ Press, Yogyakarta , 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, vol. II, Lentera Hati, Jakarta , 2000.
Simon, Reeva S., Philip Mattar, Richard W. Bulliet
(Ed.s), Encyclopedia of the Modern
Middle East, vol.4, Simon & Schuster Macmillan , New York ,
1996.
S. Cayne, Bernard (Ed.), The Encyclopedia Americana , Grolier
Incorporated, New York ,
1996 & 2001.
a¯-°ab±r³,
Mu¥ammad Ibn Jar³r, J±mi‘ al-Bay±n ‘an
Ta’w³l ²yi al-Qur’±n, juz III, D±r al-Fikr, Beirut, 1988.
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi
III, Balai Pustaka, Jakarta ,
2001.
al-W±¥id³, al-W±lib³, Asb±b an-Nuzl, D±r al-¦arm li at-Tur±£, Kairo,
1996.
Yeshua, Ilan (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV,
Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003.
az-Zajj±j, Ma‘±n³ al-Qur’±n wa I’r±buhu, juz II, ²lam
al-Kutub, Beirut ,
1988.
az-Zamakhsyar³, al-Kasysy±f ‘an Haq±iq Gaw±mi« at-tanz³l
wa ‘Aun al-Aq±w³l f³ Wujh at-Ta’w³l (Tafsir al-Kasysy±f), juz I, D±r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut ,
1995.
az-Zuhail³, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz
VII, D±r al-Fikr, Damaskus, 1997.
Data internet:
Charles W. Sloane, “Bigamy
(in Civil Jurisprudence)”, dalam Catholic Encyclopedia. http://www.newadvent.org/cathen/12564a.htm
Pascale Fournier, “The
Reception of Muslim Family Law in Western Liberal States” dalam Canadian
Council of Muslim Women, Sharia/Muslim Law Project, 30/09/2004.
Lampiran
SKEMA
KOMPARASI HORIZONTAL & DIAGONAL
Kriminalisasi
Praktik Poligami
Negara
Aspek
Komparasi
|
Turki
|
||||
Larangan Perkawinan
|
Mutlak
|
Mutlak
|
Bersyarat
|
Bersyarat
|
Bersyarat
|
Hukuman
|
Penjara/denda
/keduanya sekaligus
|
Penalty
(Hukuman Pidana)
|
Penjara/denda
/keduanya sekaligus
|
Penjara/denda
/keduanya sekaligus
|
Penjara/denda
|
Terhukum
|
Pelaku & Pihak yang
menikahkan
|
Pelaku
|
Pelaku
|
Pelaku
|
Pelaku & Petugas Pencatat
|
Status Perkawinan
|
Tidak sah
|
Tidak sah
|
Tidak diatur
|
Tidak diatur
|
Tidak diatur
|
Komparasi Diagonal
Turki
Irak Malaysia
Keberanjakan
rendah
* Dipresentasikan pada forum Annual
Conference Kajian Islam di Lembang, Bandung, 26-30 Nopember 2006.
** Dosen Fak. Syariah IAIN
Sultan Thaha Saifuddin Jambi/Mahasiswa Prog. Doktor UIN Syahid Jakarta.
[1]Pemilihan ke lima negara ini sebagai
model lebih didasari pada pertimbangan subyektifitas penulis, dengan
memperhatikan tingkat variasi dan relevansinya dengan topik yang diangkat
(kriminalisasi praktik poligami). Selain itu penulis juga berupaya menghindari
pengulangan seminimum mungkin dari tulisan-tulisan penulis lain sebelumnya.
[2] Identifikasi ini berpijak
dari hasil telaah penulis terhadap sejumlah UU/ Hukum Keluarga Negara-negara
Muslim. Sumber rujukan yang digunakan adalah dua karya Taher Mahmood, yaitu Family
Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972, dan Personal Law in
Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and
Religion New Delhi, New Delhi, 1987.
[4] The Marriage Law
1931-1937 Pasal 3.
[5] Child
Marriage Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya (Ordonansi No.8
/1961) Pasal 4.
[9] Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49.
[10] The Code Personal 1959
Pasal 9 (2).
[11] Islamic Family Law
(Federal Teritory) Act 1984 (Act 304 of 1984)
Pasal 37.
[12] Ibid.,.
[13] The Family Code 1975 (UU No. 23/1975) Pasal 15.
[17] Peraturan Pemerintah (PP)
No. 9 tahun 1975 Pasal 45 ayat (2).
[19] Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49. Di
antara bentuk perkawinan yang bertentangan dengan UU ini adalah perkawinan yang
melanggar ketentuan usia minimal dan selisih usia calon mempelai, bigami tanpa
izin Pengadilan setempat.
[21] Hal ini tampaknya
dilatarbelakangi oleh keberadaan komunitas Muslim yang relatif signifikan di sana . Atas dasar itu pulalah penulis cenderung memasukkan Srilanka dalam
daftar negara-negara Muslim yang dibahas dalam bagian ini, tentu dalam konteks
pemberlakuan sanksi dalam Hukum Keluarga Muslim.
[28] The Code Personal 1959
Pasal 10 ayat (5)
[29] Ibid., Pasal 10 ayat (5)
[30] Dowry Prohibition Act 1980 dan Amandemennya
(Ordonansi No. 64/ 1984) Pasal 3 dan 4
[31] Dowry
and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dan amandemennya Ordonansi
No.36 /1980 Pasal 9 ayat (1). Disebutkan
dalam pasal ini bahwa Jika orang tua dari pihak mempelai pria melanggar atau
gagal memenuhinya tersebut terdiri dari ayah dan ibunya maka yang dikenakan
hukuman adalah sang ayah saja. Sedangkan jika pihak orang tua pria hanya ibunya
maka cukup dikenakan denda, bukan hukuman penjara.
[35] The Muslim Laws
Ordinance 1961 (Ordinance No.8/1981) dan amandemennya (Ordonansi No. 21
& 30/1961) Pasal 7 (2)
[39] Law on Protection of Women’s Right to Inheritence 1959 Pasal 5
[40] Muslim Marriage and
Divorce Act 1951 Pasal 92
[41] Tim Depdikbud, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 600.
[42] Andi Hamzah, Asas-Asas
Hukum Pidana,
Rineka Cipta, Jakarta ,
1991, hlm. 5. Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
Secara kusus hukum pidana—sebagai bagian dari hukum publik—memiliki sejumlah
fungsi, yakni (1) melindungi kepentingan umum dari perbuatan yang bersifat
menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut; (2) memberi dasar
legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi perlindungan atas
berbagai kepentingan hukum; dan (3) mengatur dan membatasi kekuasaan negara
dalam rangka melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum. Lihat
Satochid Kartanegara, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung , 1990, hlm.7.
[43] William Morris, The
Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II, Houghton
Mifflin Campany, Boston ,
1979, hlm. 1016.
[44] Ibid.
[45] Ibid., hlm. 542.
[46] Ibid., hlm. 1016.
[47] Tim Depdikbud, op.
cit., hlm. 885.
[48] Poligini adalah sistem
perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai
istrinya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan poliandri adalah sistem
perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu
orang dalam waktu yang bersamaan. Lihat Ibid. Dalam pada itu terdapat
pula istilah lain yang dikenal dengan bigami (bi dan gamous),
yaitu beristri atau bersuami dua dalam waktu bersamaan. Dalam konteks hukum
Islam, istilah bigami lebih ditujukan bagi istilah wanita yang bersuami dua
yang secara absolut sama seperti poliandri dalam praktinya dilarang oleh Islam.
Lihat Abdul Aziz Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru
van Houve, Jakarta ,
1997, hlm. 1185.
[49] Lihat entri Marriage
dalam Bernard S. Cayne (Ed.), The Encyclopedia Americana, vol. XVIII, Grolier
Incorporated, New York, 1996, hlm. 345.
[50] William Morris, op.
cit., hlm. 849.
[51] Ibid., hlm. 848.
[52] Ibid., hlm. 542.
[53] Ibid., hlm. 849.
[54] Monogini adalah prinsip
hanya punya satu istri. Lihat Tim Depdikbud, op. cit., hlm. 664.
[55] ‘Abdurra¥man al-Jaz³r³, Kit±b
al-Fiqh ‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld. V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut , 1999, hlm 12.
[56] ‘Abd al-Q±dir ‘Audah, at-Tasyr³‘
al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±nn al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut , 1997, hlm. 634. Menurut catatan
Wahbah az-Zuhaili, mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang dikategorikan
sebagai jar³mah ¥udd terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut kalangan jumhur ulama jar³mah ¥udd mencakup tujuh macam tindak
pidana, yaitu (1) pencurian; (2) perzinahan; (3) penggunaan minuman khamar; (4)
penggunaan sesuatu yang berefek memabukkan non-khamar; (5) tuduhan zina palsu (qa©f);
(6) qi¡±¡; (7) riddah (pindah agama). Sedangkan kalangan Hanafiyah hanya
mengintrodusir 5 macam jar³mah ¥udd
dengan tidak memasukkan dua kategori terakhir sebagai bagian dari jar³mah
¥udd. Perbedaan ini muncul antara lain dilatarbelakangi perbedaan
terminologis yang digunakan kedua pihak. Kalangan jumhur mendefinisikan ¥ad
sebagai hukuman (uqbah) yang telah ditentukan (bentuk dan ukurannya)
oleh syarak, baik yang terkait dengan hak Allah maupun hak hamba (manusia).
Sedangkan kalangan Hanafiyah mendefinisikan ¥ad sebagai hukuman yang telah
ditentukan oleh Allah sehingga tak seorang pun boleh menepikannya, dan ia lebih
terkait pada hak-hak Allah. Lihat Wahbah az-Zuhail³, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh, juz VII, D±r al-Fikr, Damaskus, 1997, hlm. 5275.
[57] Qi¡±¡ adalah
menghukum seorang pelaku jinayah (tindakan kriminal) dengan hukuman yang sama
dengan perbuatannya. Seperti perbuatan membunuh maka hukumannya adalah dibunuh,
begitu pula dengan penganiayaan. ‘Abd al-Q±dir ‘Audah, op. cit., hlm. 663.
[58]Ibid. Lihat penempatan
masing-masing sanksi tersebut pada tindak pidana qi¡±¡-diyat dalam ibid.., hlm. 664-682.
[59] Wahbah az-Zuhail³, op.
cit., hlm. 5591.
[60] Ibid., hlm, 5592.
[61] Ibid., hlm. 5594.
[62]Ibid.
[63]Ibid., hlm. 5592-5593.
[64] Lihat lebih jauh dalam
‘Abdurra¥man al-Jaz³r³, op. cit., hlm. 349-351.
[65] Jumhur ulama menetapkan
jumlah istri yang boleh dipoligami adalah empat orang, berdasarkan petunjuk
ayat …ma£n±, wa £ula£a wa rub±‘ (S. an-Nisa: 3) dan hadis tentang Gail±n
ibn Salamah a£-¤aqaf³ yang diminta Nabi saw. untuk memilih dan mempertahankan
empat dari sepuluh istri yang dimilikinya pada masa Jahiliyah (sebelum memeluk
Islam) dan menceraikan sisanya (Redaksi hadis akan ditampilkan dalam uraian
mendatang). Sedangkan sekelompok ulama yang lain, dengan berlandaskan petunjuk
ayat yang sama, berpendapat bahwa jumlah maksimal istri adalah 9 orang, menurut
mereka ungkapan ayat …ma£n±, wa £ula£± wa rub±‘ menunjukkan makna
kumulatif (2+3+4=9). Lihat Ibn Rusyd, Bid±yat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqta¡id, juz
II, D±r al-Fikr, Beirut ,
1995, hlm. 33.
[66] Ibid., Jld. IV, hlm. 221;
Wahbah az-Zuhaili, op.cit., hlm. 6669-6670.
[67] Riwayat lain berasal dari
Sa‘³d ibn Jubair, Qat±dah, ar-Rab³‘, a«-¬a¥¥±k, dan as-Sud±, bahwa para wali
tersebut menginginkan harta anak-anak yatim, mereka juga menikahi wanita manapun yang mereka inginkan,
adakalanya mereka berlaku adil; adakalanya tidak, tatkala mereka mempertanyakan
soal anak-anak yatim tersebut maka turun ayat al-yat±m± : wa ²tu
al-yat±m± amw±lahum…, dan ayat : wa in khiftum all± tuqsi¯ f³
al-yat±m±…, Allah (seakan-akan hendak, pen.) menegaskan: Sebagaimana
kekhawatiranmu tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka kamu juga
semestinya khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, oleh
karena itu janganlah kamu nikahi
perempuan melebihi dari kesanggupanmu memenuhi hak-hak mereka, karena
para perempuan itu keadaannya sama dengan para yatim yang lemah dan tak
memiliki kekuatan. Demikian pendapat Ibn ‘Abb±s dalam riwayat al-W±¥id³, Asb±b
an-Nuzl, D±r
al-¦arm li at-Tur±£, Kairo, 1996, hlm. 101.
[68] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. II, Lentera Hati, Jakarta , 2000, hlm. 321.
[69] Lihat hadis no. 1131 (Kit±b
an-Nik±¥) dalam at-Tirmi©³, Sunan at-Tirmi©³, juz II, D±r al-Fikr, Beirut , 1994, hlm. 368;
hadis no. 2240 (Kit±b a¯-°al±q) dalam Ab³ D±wud, Sunan Ab³
D±wud, juz I,
D±r al-Fikr, 1994, hlm. 515.
[70] Lihat argumentasi mereka
dalam al-Qur¯b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V, t.p.,
Kairo, t.t., hlm. 17.
[71] Lihat antara
lain Mu¥ammad Ibn Jar³r a¯-°ab±r³, J±mi‘
al-Bay±n ‘an Ta’w³l ²yi al-Qur’±n, juz III, D±r al-Fikr, Beirut,
1988, hlm. 236-237; az-Zajj±j, Ma‘±n³
al-Qur’±n wa I’r±buhu, juz II, ²lam al-Kutub, Beirut , 1988, hlm. 8-10; al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut , 1993, hlm.
77-82.; al-Qur¯b³, op. cit. hlm. 12. Dalam pada itu patut
dicatat bahwa sedikit berbeda dengan kebanyakan ulama tradisionalis,
az-Zamakhsar³ (467-538 H.) cenderung memberi tekanan (perintah) lebih tegas
agar membatasi pada seorang istri saja jika peluang keadilan lebih dapat
direalisasikan. Lihat az-Zamakhsyar³, juz I, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut , 1995, hlm. 458; Sedangkan Ibn al-‘Arabi (468–543 H.)
bahkan menegaskan bahwa berlaku adil kepada para istri adalah wajib, lihat Ibn
al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r
al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut ,
1988, hlm. 409.
.
[72] Fazlur Rahman, Major
Themes of the Qur’an, Edisi Indonesia :
Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Penerbit Pustaka, Bandung , 1996, hlm. 69.
[73] Ukuran kekhawatiran di
sini adalah jika tingkat kemungkinan dirinya tidak dapat berlaku adil mencapai
setidaknya 50% - 50% (syakk ), malah pada tingkat wahm (25 %)
sekalipun dapat menjadi ukuran, meskipun untuk yang terakhir ini masih dapat
ditoleran. Sedangkan perasaan dapat berlaku adil harus didasari dengan
keyakinan atau paling tidak mencapai §ann (dugaan kuat). Mu¥ammad Rasy³d
Ri«±, Tafs³r al-Man±r, juz IV, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut , 1999, hlm. 284.
[74] Ibid., hlm. 284-285.
[75] Ibid.
[76] Ibid., hlm. 283.
[77] Ibid., hlm. 286.
[78] Ibid., hlm. 291.
[79] Ibid., hlm. 291-292.
[80] Ibid., hlm. 293.
[81] Ibid., hlm. 302.
[83] Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafs³r
al-Mar±g³, juz
IV, Mu¡¯af± al-B±b³ al-¦alab³ wa Aul±duh, 1974, hlm. 181.
[84] Ibid., hlm. 180.
[85]Tahir Mahmood, Personal
Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and
Religion New Delhi, New Delhi, 1987, hlm. 14, 273-274.
[86]Tahir Mahmood, Family
Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay ,
1972, hlm. 37.
[87]Ibid., hlm. 117
[88] Tahir Mahmood, Personal
Law…, hlm.
80.
[89]Ibid., hlm. 121.
[90] PP No. 10/1983 Pasal 3
ayat (1): PNS yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dahulu
dari pejabat. Pasal 4: (1) PNS pria yang akan beristri lebih dari seorang,
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.. (2) PNS wanita tidak
diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari PNS. Sedangkan Pasal 16
menegaskan: Pegawai Negeri Sipil melanggar ketentuan Ps.3 ayat (1) dan Ps.4
(1), ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah ini kini sudah direvisi oleh PP No.45/1990 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.10/1983, disebutkan bahwa (PP terakhir
ini) mengubah ketentuan Ps.16 dan selanjutnya dijadikan ketentuan Ps.15 baru,
sehingga berbunyi sebagai berikut: ayat (1) : PNS yang melanggar salah
satu/lebih kewajiban/ketentuan Ps. 2 ayat (1), ayat (2), Ps.3 ayat (1), Ps. 4
ayat (1), Ps. 14, tidak melaporkan perceraiannya, dan tidak melaporkan
perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1
tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilanjutkan dilangsungkan, dijatuhi
slah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan
Disiplin PNS; ayat (3) Atasan yang melanggar ketentuan Ps.5 ayat (2), dan
Pejabat yang melanggar ketentuan Ps.12, dijatuhi hukuman disiplin berat
berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.
[91] Tahir Mahmood, Personal
Law…, hlm., 245-246.
[93] The
Muslim Laws Ordinance 1961 (Ordinance 8/1981) dan amandemennya: Ordonansi
21 & 30 /1961 Pasal 6 ayat (1)
[95]
Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 9.
[96] Family Law 1974 (UU No. 1/1974) Pasal 49
[97] David Waldner, “Turkey”,
dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), Encyclopedia
of the Modern Middle East, vol.4, Simon & Schuster Macmillan, New York, 1996.
[98] Turki mengadopsi Hukum
Sipil Swiss, yang disesuaikan dengan kondisi Turki, menggantikan hukum syariat pada 17 Januari 1926 sehingga memisahkan para
ulama dari sumber pengaruh tradisional mereka. Kemudian, pada April 1928,
Majelis memutuskan untuk menghilangkan kalimat “Agama negara Turki adalah
Islam“ dari Pasal 2 konstitusi negara
menuntaskan penyingkiran Islam. Lihat Feroz Ahmad, “Tunisia” dalam John L.
Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jld IV, Oxford
University Press, 1991.
[99] Taher Mahmood, Family
Law Reform…, hlm.15.
[100] Ibid., hlm. 21.
[101] Tahir Mahmood, Personal
Law…, hlm., 263-267.
[102] Ibid., hlm 267.
[103] Mazhab Hanafi sendiri,
seperti halnya mazhab yang lain, memperbolehkan praktik poligami dengan
persyaratan-persyaratan tertentu seperti mampu berlaku adil kepada semua
istrinya, secara materil maupun non-materil. Wahbah az-Zuhail³, op.cit., juz IX, hlm. 6669.
[104] Tahir Mahmood, Family
Law Reform…,
hlm. 21.
[105]
Larry A.. Barrie , “Tunisia ”
dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), op. cit., hlm. 1796.
[106] Lihat John P. Entelis,
“Tunisia” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of
the Modern Islamic World, jld IV, Oxford University Press, 1991.
[107] Larry A. Barrie,
“Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), op. cit., hlm. 1798.
[108] Ibid., hlm. 235-239.
[109] Tahir Mahmood, Personal Law…, hlm. 152.
[110]J.N.D. Anderson, “The
Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and
Comparative Law Quarterly, 7 April 1985, hlm. 262.
[111] Kiran Gupta, “Polygamy
Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative
Law, vol XVIII,
No. 2 Thaun 1992, hlm. 121.
[112] Tahir Mahmood, Personal
Law…, hlm.
155-157.
[113] Ibid., hlm. 54.
[115] J.N.D. Anderson, Islamic
Law in the Modern World, Edisi Indonesia :
Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya , 1991, hlm. 35.
[116] Entri “Islam” dalam Ilan
Yeshua (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV,
Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003, hlm. 35.
[117] Lihat Gordon N. Newby, “Family Law” dalam John L.
Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, jld IV, Oxford
University Press, 1991.
[118]Fauzul Iman, Pemikiran
Muhammad Rasyid Ridla tentang Ijtihad dan Manifestasinya dalam Fiqh (Kajian
terhadap Kitab Yusr al-Islam wa Ushul at-Tasyri‘ al-‘Am), Sinopsis Disertasi,
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004, hlm. 32.
[120] Tahir Mahmood, Family
Law…, hlm.
138-139.
[121] Tahir Mahmood, Personal
Law…, hlm. 56-59.
[122]
Syiah Ja‘fari
menerima kondisi pertama, kemampuan (kafa’ah), yang didefinisikan sebagai
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan seiman. Beberapa ulama Syiah
modern meragukan perihal syarat kemampuan finansial. Bagi mereka, hal tersebut
bukanlah syarat sah perkawinan. Sebagian yang lain, masih, mendefinisikan sisi
kemampuan finansial dengan pemberian nafkah, dengan segera atau secara potensi,
sementara sebagian lainnya merasa cukup dengan kemampuan untuk memberikan
nafkah semata untuk bulan pertama perkawinan.
Di kalangan Sunni, kalangan Hanafiyah dan Hanbaliyah memasukkan uang
dalam definisi kafa’ah. Sebaliknya, ulama Syafi‘iyah dan Malikiyah tidak
memandangnya sebagai syarat sah perkawinan. Bagi beberapa ulama Hanafiyah yang
juga mempertimbangkan kemampuan finansial, jumlah yang dianggap pantas adalah
gabungan pemberian nafkah dan mas kawin,
meskipun nafkah memeainkan perna lebih besar dalam kafa’ah. Namun Abu Yusuf, salah seorang ulama Hanafiyah
awal, menganggap mas kawin lebih penting daripada nafkah. Asy-Syafi‘i
menggambarkan 3 pandangan berbeda tentang kafa’ah, yang definisikan sebagai
kemudahan (yasar) secara umum, atau kemudahan dalam arti kemampuan
memberikan mas kawin dan nafkah, atau sebagai kemampuan memberikan jaminan
nafkah dengan pertimbangan persetujuan yang beraneka ragam dari kekayaan dalam
masyarakat. Adapun syarat kedua dimana
qadi dapat menolak poligami, ada kepentingan yang sah menurut hukum
(kemaslahatan syar‘i), tidak didapati
(referensinya) dalam kelima mazhab yang ada. Lihat Chibli Mallat, “Shi’ism and
Sunnism in Iraq : Revisiting
the Codes” dalam Chibli Mallat dan Jane Connors, Islamic Family Law, Graham & Trotman, London , 1993, hlm. 83.
[123] Interpretasi senada juga
dikemukakan oleh seorang pemikir kontemporer Timur Tengah, Muhammad Shahrur. Ia
menegaskan bahwa seseorang yang ingin berpoligami harus memenuhi dua
persyaratan: 1) bahwa istri kedua, ketiga, atau keempat adalah para janda yang
memiliki anak yatim; 2) harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil
kepada anak-anak yatim tersebut. Lihat Muhammad Shahrur, Na¥w U¡l
Jad³dah li al-Fiqh al-Islam³, Edisi Indonesia :
Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin,
elSAQ Press, Yogyakarta , 2004, hlm. 428.
[124] Felix V. Gagliano, “Malaysia ”
dalam Bernard S. Cayne, The Encyclopedia Americana International
Edition, vol.
18, Grolier Incorporated, 2001.
[125] David C. Buxbaum (Ed.), Family
Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The
Haque, 1968, hlm.107.
[126] Tahir Mahmood, Personal
Law…, hlm. 219.
[127] Tahir Mahmood, Family
Law…, hlm.
198-205.
[128] Khoiruddin Nasution,
“Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim” dalam M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin
Nasution (Ed.s), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Ciputat Press, Jakarta , 2003, hlm. 20.
[129] Tahir Mahmood, Personal
Law…, hlm. 221.
[130] Khoiruddin Nasution,
“Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim” dalam M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin
Nasution (Ed.s), op. cit., hlm. 21-22.
[131] Tahir Mahmood, Personal
Law…, hlm. 235.
[132] UU Hukum Keluarga Islam
[Wilayah Federal] 1984 (UU 304) tahun 1984 Pasal 23 ayat (4). Lihat Ibid., hlm. 225; Khoiruddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia
dan Malaysia , INIS, Leiden-Jakarta,
2002, hlm. 112.
[133] Dalam membahas tentang
Indonesia, penulis sengaja tidak menampilkan potret umum mengenai Indonesia,
dengan alasan bahwa hal tersebut dianggap telah diketahui sehingga bahasan dapat
langsung diarahkan pada pokok persoalan, kriminalisasi poligami di
Indonesia.
[134] Disebutkan dalam Pasal 4
: (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan pada Pasal 5 (1): Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (ayat 1) Undang-Undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari
istri/istri-istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istti-istri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
[135] Simon Butt, “Polygamy and
Mixed Marriage in Indonesia :
The Application of The Marriage Law in Courts,” dalam Timothy Lindsey (Ed.), Indonesia:
Law and Society,
The Federation Press, Leichhardt, 1999, hlm. 132.
[136] Dalam KHI persoalan
poligami diatur dalam pasal 55-59, dari segi substansi pasal-pasal tersebut
mengacu dan selaras dengan ketentuan yang diatur oleh UU No. 1/1974 Pasal 3, 4,
dan 5.
[138] Ibid., Pasal 45 ayat (2)
[139] Dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bagian VII perihal Sanksi,
disebutkan bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di
samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP
No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS, apabila melakukan salah satu/lebih
perbuatan berikut:
a.
Tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat kepada Pejabat
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 tahun setelah perkawinan dilangsungkan.
b.
Setiap atasan yang tidak memberi pertimbangan dan tidak meneruskan
permintaan izin/pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk melakukan perceraian,
dan atau untuk beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 3 bulan setelah ia menerima permintaan izin/pemberhentian
adanya gugatan perceraian.
c.
Pejabat yang tidak memberikan putusan terhadap permintaan izin
perceraian/tidak memberikan surat keterangan atas pemberitahuan adanya gugatan
perceraian dan atau tidak memberikan keputusan terhadap permintaan izin untuk
beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan
setelah ia menerima permintaan izin/pemberitahuan adanya gugatan perceraian.
[140] Istilah negara Barat pada
dasarnya digunakan dalam kerangka pemilahan bagian Dunia yang lazim terpola
pada dua kutub, Barat dan Timur. Barat sering diidentikkan negara-negara ras
merah (Eropa) dan Biru (Amerika) sementara Timur adalah negara-negara Asia (ras kuning, coklat/sawo matang) dan sekitarnya.
Penggunaan istilah Barat-Timur ini sendiri cenderung berkembang dan mengalami
distorsi makna, bahkan bernuansa diskriminatif, seperti maju-terkebelakang,
modern-tradisional, dan sebagainya. Dalam tulisan ini Barat-Timur lebih
dimaksudkan pada pemilahan antara Muslim dan non-Muslim (terutama
Sekular/Kristen).
[141]
Haifaa A. Jawad, The
Right of Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York , 1998, hlm. 43.
[142] Kathryn M. Daynes,”Mormon
Polygamy”, dalam Joseph M. Hawes & Elizabeth F. Shores (Ed.s), The
Family in a America an Encyclopedia, vol. II, ABC-CLIO, Inc., Santa Barbara California,
2001.
[143] Haifaa A. Jawad, op.
cit.,
hlm.44.
[144] Ibid.
[145] Pascale Fournier, “The
Reception of Muslim Family Law in Western Liberal States” dalam Canadian
Council of Muslim Women, Sharia/Muslim Law Project, 30/09/2004, (pfournie@law.harvard.edu)
atau (http://www.ccmw.com/Position%20Papers/Pascale%20Paper.doc).
[146] Ibid.,
[147] Charles W. Sloane,
“Bigamy (in Civil Jurisprudence)”, dalam Catholic Encyclopedia, hlm. 2. http://www.newadvent.org/cathen/12564a.htm
[148] Ibid., hlm. 3.
No comments:
Post a Comment