Subscribe di sini

Thursday, 2 October 2014

SHOLAT FARDHU


I. Pendahuluan

Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah.
Untuk membatasi bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib kaitannya dengan kehidupan sehari – hari.

I. Pengertian Shalat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology
/ istilah, para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah ditentukan (Sidi Gazalba,88)
Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau “mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya” (Hasbi Asy-Syidiqi, 59)
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Bashari Assayuthi, 30)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan denga perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
II. Sejarah Dan Dalil Tentang Kewajiban Shalat
a. Sejarah Tentang Diwajibkan Shalat
Perintah tentang diwajibkannya mendirikan shalat tidak seperti Allah mewajibkan zakat dan lainnya. Perintah mendirikan shalat yaitu melalui suatu proses yang luar biasa yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW yaitu melalui Isra dan Mi’raj, dimana proses ini tidak dapat dipahami hanya secara akal melainkan harus secara keimanan sehingga dalam sejarah digambarkan setelahnya Nabi melaksanakan Isra dan Mi’raj, umat Islam ketika itu terbagi tiga golongan yaitu, yang secara terang – terangan menolak kebenarannya itu, yang setengah – tengahnya dan yang yakin sekali kebenarannya.
Dilihat dari prosesnya yang luar biasa maka shalat merupakan kewajiban yang utama, yaitu mengerjakan shalat dapat menentukan amal – amal yang lainnya, dan mendirikan sholat berarti mendirikan agama dan banyak lagi yang lainnya

b. Dalil – Dalil Tentang Kewajiban Shalat
Al-Baqarah, 43
وَاَقِيْمُوْ الصَّلَىةَ وَآتُوْ الزَّكَوةَوَارْكَعُوْامَعَ الرَّاكِعِيْنَ
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang – orang yang ruku
Al-Baqarah 110
وَاَقِيْمُوْ الصَّلَوْةَ وَآتُوْالزَّكَوةَ وَمَاتُقَدِّمُوْا لاَِنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدُاللهِط اِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya : Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa – apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan dapat pahalanya pada sisi Allah sesungguhnya Allah maha melihat apa – apa yang kamu kerjakan
Al –Ankabut : 45
وَاَقِيْمِ الصَّلَوةَ اِنَّ الصَّلَوةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرَ
Artinya: Kerjakanlah shalat sesungguhnya shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan munkar.
An-Nuur: 56
وَاَقِيْمُوْ الصَّلاَةَ وَآتُوْ الزَّكَوةَ وَاَطِيْعُوْ االرَّسُوْلَ لَعَلَكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Artinya : Dan kerjakanlah shalat, berikanlah zakat, dan taat kepada Rasul, agar supaya kalian semua diberi rahmat
Dari dalil – dalil Al-Qur'an di atas tidak ada kata – kata perintah shalat dengan perkataan “laksanakanlah” tetapi semuanya dengan perkataan “dirikanlah”.
Dari unsur kata – kata melaksanakan itu tidak mengandung unsur batiniah sehingga banyak mereka yang Islam dan melaksanakan shalat tetapi mereka masih berbuat keji dan munkar. Sementara kata mendirikan selain mengandung unsur lahir juga mengandung unsur batiniah sehingga apabila shalat telah mereka dirikan, maka mereka tidak akan berbuat jahat
III. Batas Waktu Shalat Fardlu
1. Shalat Dzuhur
Waktunya: ketika matahari mulai condong ke arah Barat hingga bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan benda tersebut kira – kira pukul 12.00 – 15.00 siang
2. Shalat Ashar
Waktunya: sejak habisnya waktu dhuhur hingga terbenamnya matahari. Kira – kira – kira pukul 15.00 –18.00 sore
3. Shalat Magrib
Waktunya: sejak terbenamnya matahari di ufuk barat hingga hilangnya mega merah di langit. Kira – kira pukul 18.00 – 19.00 sore


4. Shalat Is’ya
Waktunya: sejak hilangnya mega merah di langit hingga terbit fajar. Kira – kira pukul 19.00 – 04.30 malam
5. Shlat Shubuh
Waktunya : sejak terbitnya fajar (shodiq) hingga terbit matahari. Kira – kira pukul 04.00 – 5.30 pagi

IV. Beberapa Pelajaran Dan Kewajiban Shalat
a. Shalat Merupakan Syarat Menjadi Takwa
Taqwa merupakan hal yang penting dalam Islam karena dapat menentukan amal / tingkah laku manusia, orang – orang yang betul – betul taqwa tidak mungkin melaksanakan perbuatan keji dan munkar, dan sebaliknya
Salah satu persyaratan orang – orang yang betul betul taqwa ialah diantaranya mendirikan shalat sebagimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah

b. Shalat Merupakan Benteng Kemaksiatan
Shalat merupakan benteng kemaksiatan artinya bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Semakin baik mutu shalat seseorang maka semakin efektiflah benteng kemampuan untuk memelihara dirinya dari perbuatan makasiat
Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar apabila dilaksanakan dengan khusu tidak akan ditemukan mereka yang melakukan shalat dengan khusu berbuat zina. Maksiat, merampok dan sebagainya. Merampok dan sebagainya tetapi sebaliknya kalau ada yang melakukan shalat tetapi tetap berbuat maksiat, tentu kekhusuan shalatnya perlu dipertanyakan. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur'an surat Al-Ankabut: 45
c. Shalat Mendidik Perbuatan Baik Dan Jujur
Dengan mendirikan shalat, maka banyak hal yang didapat, shalat akan mendidik perbuatan baik apabila dilaksanakan dengan khusus. Banyak yang celaka bagi orang – orang yang shalat yaitu mereka yang lalai shalat
selain mendidik perbuatan baik juga dapat mendidik perbuatan jujur dan tertib. Mereka yang mendirikan tidak mungkin meninggalkan syarat dan rukunnya, karena apabila salah satu syarat dan rukunnya tidak dipenuhi maka shlatnya tidak sah (batal)
d. Shalat Akan membangun etos kerja
Sebagaimana keterangan – keterangan di atas bahwa pada intinya shalat merupakan penentu apakah orang – orang itu baik atau buruk, baik dalam perbuatan sehari – hari maupun ditempat mereka bekerja
Apabila mendirikan shalat dengan khusu maka hal ini akan mempengaruhi terhadap etos kerja mereka tidak akan melakukan korupsi atau tidak jujur dalam melaksanakan tugas

KESIMPULAN

1. Shalat merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap Tuhan, dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara
2. Shalat merupakan kewajiban bagi kaum muslimin yang mukallaf tanpa kecuali
3. Hikmah mendidirkan shalat yaitu:
a. Shalat mencegah perbuatan keji dan munkar
b. Shalat mendidik perbuatan baik dan jujur
c. Shalat akan membangun etos kerja

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur'an dan terjemahnya
2. Drs. Sidi Gazalba
Asas Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975
3. Hasbi Asy Syidiqi, Pedoman Shalat, Bulan Bintang, 1976
4. Imam Basori Assuyuti
Bimbingan Shalat Lengkap, Mitra Umat, 1998
5. Mimbar Ulama, Edisi September 2004

Definisi & Pengertian Sholat Fardhu


A. Definisi & Pengertian Sholat Fardhu / Wajib Lima Waktu

Shalat secara bahasa berarti berdo’a. dengan kata lain, shalat secara bahasa mempunyai arti mengagungkan. Sedangkan pengertian shalat menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ucapan di sini adalah bacaan-bacaan al-Qur’an, takbir, tasbih, dan do’a. Sedang yang dimaksud dengan perbuatan adalah gerakan-gerakan dalam shalat misalnya berdiri, ruku’, sujud, duduk, dan gerakan-gerakan lain yang dilakukan dalam shalat. 
Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy shalat yaitu beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.
Yang dimaksudkan shalat dalam penelitian ini adalah tidak hanya sekedar shalat tanpa adanya penghayatan atau berdampak sama sekali dalam kehidupannya, akan tetapi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah shalat fardlu yang didirikan dengan khusyu’ yakni shalat yang nantinya akan berimplikasi terhadap orang yang melaksanakannya. Pengertian shalat yang dimaksudkan  lebih kepada pengertian shalat menurut Ash Shiddieqy  dari ta’rif shalat yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat); yaitu berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ dihadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji.
Inilah ruh atau jiwa shalat yang benar dan sekali-kali tidak disyari’atkan shalat karena rupanya, tetapi disyari’atkan karena mengingat jiwanya (ruhnya).
Khusyu’ secara bahasa berasal dari kata khasya’a-yakhsya’u-khusyu’an, atau ikhta dan takhasysya’a yang artinya memusatkan penglihatan pada bumi dan memejamkan mata, atau meringankan suara ketika shalat.  Khusyu’ secara bahasa juga bisa diartikan sungguh-sungguh penuh penyerahan dan kebulatan hati; penuh kesadaran hati.  Arti khusyu’ itu lebih dekat dengan khudhu’ yaitu tunduk, dan takhasysyu’ yaitu membuat diri menjadi khusyu’. Khusyu’ ini dapat terjadi baik pada suara, badan maupun penglihatan. Tiga anggota itulah yang menjadi tanda (simbol) kekhusyu’an seseorang dalam shalat.
Khusyu’ menurut istilah syara’ adalah keadaan jiwa yang tenang dan tawadhu’ (rendah hati), yang kemudian pengaruh khusyu’ dihati tadi akan menjadi tampak pada anggota tubuh yang lainnya.  Sedang menurut A. Syafi’i khusyu’ adalah menyengaja, ikhlas dan tunduk lahir dan batin; dengan menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhinya dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian (penta’rifan) segala ucapan bentuk/sikap lahir itu.
Jadi secara utuh yang dimaksudkan oleh penyusun dalam judul penelitian ini adalah mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan psikis sehari-hari seperti masalah rumah tangga, perkawinan, lingkungan kerja, sampai masalah pribadi dengan membiasakan shalat yang dilakukan dengan khusyu’.  Dengan kata lain dalam penelitian ini  akan dibahas tema shalat sebagai mediator untuk mengatasi segala permasalahan manusia sehari-hari yang berhubungan dengan psikis, karena shalat merupakan kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam. Pengertian Shalat
 
B. Hukum, Tujuan dan Syarat Solat Wajib Fardhu 'Ain
Hukum sholat fardhu lima kali sehari adalah wajib bagi semua orang yang telah dewasa atau akil baligh serta normal tidak gila. Tujuan shalat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan munkar.
Untuk melakukan shalat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dulu, yaitu :
1. Beragama Islam
2. Memiliki akal yang waras alias tidak gila atau autis
3. Berusia cukup dewasa
4. Telah sampai dakwah islam kepadanya
5. Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6. Sadar atau tidak sedang tidur
Syarat sah pelaksanaan sholat adalah sebagai berikut ini :
1. Masuk waktu sholat
2. Menghadap ke kiblat
3. Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
4. Menutup aurat
C. Rukun Shalat
Dalam sholat ada rukun-rukun yang harus kita jalankan, yakni :
1. Niat
2. Posisis berdiri bagi yang mampu
3. Takbiratul ihram
4. Membaca surat al-fatihah
5. Ruku / rukuk yang tumakninah
6. I'tidal yang tuma'ninah
7. Sujud yang tumaninah
8. Duduk di antara dua sujud yang tuma'ninah
9. Sujud kedua yang tuma'ninah
10. Tasyahud
11. Membaca salawat Nabi Muhammad SAW
12. Salam ke kanan lalu ke kiri
D. Yang Membatalkan Aktivitas Sholat Kita
Dalam melaksanakan ibadah salat, sebaiknya kita memperhatikan hal-hal yang mampu membatalkan shalat kita, contohnya seperti :
1. Menjadi hadas / najis baik pada tubuh, pakaian maupun lokasi
2. Berkata-kata kotor
3. Melakukan banyak gerakan di luar sholat bukan darurat
4. Gerakan sholat tidak sesuai rukun shalat dan gerakan yang tidak tuma'ninah.

ABORSI MENURUT HUKUM ISLAM



BAB I

PEMBUKAAN

A.    LATAR BELAKANG
Islam pada dasarnya  melarang Aborsi adalah sesuatu yang dipaksakan. Menurut Faqih, islam atau lebih tepatnya Fiqih telah membiarkan teks-teks tentang aborsi terbuka untuk diperdebatkan. Jika pada masa lalu saja, mereka membuka perbedaan dan perdebatan seputar aborsi, maka pada masa sekarang perdebatan itu juga harus diteruskan untuk menemukan pandangan yang lebih tepat dengan konteks kita saat ini.
Ayat-ayat Al Qur’an yang biasa digunakan para penulis dalam membicarakan persoalan aborsi adalah ayat-ayat yang tidak langsung, karena yang eksplisit (Terus Terang)melarang atau membolehkan aborsi sebenarnya memang tidak pernah disebutkan didalam Al Qur’an itu sendiri.
Maka dari itu marilah kita bersama-sama menemukan pandangan yang lebih tepat melalui referensi-referensi yang kita dapat mengenai hukum aborsi menurut pandangan Islam itu sendiri dengan mengajak seluruh mahasiswa untuk memperdebatkannya dimata kuliah Fiqih Ikhtilaf dan Kontemporer.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan  aborsi?
2.      Apakah ada Dalil yang melarang aborsi ?
3.      Apa hukum aborsi menurut para ulama ?

C.    TUJUAN MASALAH
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Ikhtilaf dan Kontemporer, juga untuk membahas secara luas Hukum Aborsi menurut para ulama fikih dan ulama Kontemporer.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Apa yang di maksud Aborsi ?
Aborsi dalam bahasa Arab disebut “ijhadh”, yang memiliki beberapa sinonim yakni; isqath (menjatuhkan), ilqa’ (membuang), tharah (melempar) dan imlash (menyingkirkan) . Aborsi secara terminology adalah keluarnya hasil konsepsi (janin, mudgah) sebelum bisa hidup sendiri (viable) atau Aborsi didefenisikan sebagai berakhirnya kehamilan, dapat terjadi secara spontan akibat kelainan fisik wanita / akibat penyakit biomedis intenal atau sengaja  melalui campur tangan manusia) .
Berbeda dengan aborsi yang disengaja atau akibat campur tangan manusia, yang jelas-jelas merupakan tindakan yang “menggugurkan” yakni; perbuatan yang dengan sengaja membuat gugurnya janin. Dalam hal ini, menggugurkan menimbulkan kontroversi dan berbagai pandangan tentang “boleh” dan “tidak boleh” nya menggugurkan kandungan.
Terdapat beberapa jawaban dari pertanyaan ini, akan tetapi hampir para ahli sependapat bahwa aborsi adalah pengguguran janin dalam kandungan sebelum waktunya, baik disengaja atau tidak. Aborsi yang tidak disengaja biasa disebut dengan aborsi spontan, yang oleh ulama disebut dengan  isqath al-‘afw. Aborsi spontan  tersebut bisa terjadi  karena penyakit, kecelakaan, terlalu capek, dan sebagainya. Hukum dari aborsi tersebut dimaafkan, atau tidak menimbulkan akibat hukum.  Sedangkan aborsi yang disengaja terbagi dalam dua macam:[1]
1.      Aborsi artificialis  Therapicus, yaitu aborsi yang dilakukan oleh seorang dokter  atas dasar indikasi medis sebelum janin lahir secara alami untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan dipertahankan. Aborsi ini di kalangan ulama disebut dengan isqath al-dharury (aborsi darurat) atau isqath al-‘Ilajiy (aborsi pengobatan).
2.      Aborsi Provocatus Criminal, yaitu  pengguguran kandungan yang dilakukan tanpa indikasi medis, atau tanpa sebab sebab membolehkan sebelum masa kelahiran tiba. Aborsi bentuk kedua ini biasa disebut dengan  isqath al-ikhtiyari (aborsi yang disengaja). Tindak aborsi yang disengaja tersebut bisa disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain:  kekhawatiran terhadap kemiskinan, tidak ingin mempunyai keluarga besar, kekhawatiran janin yang ada dalam kandungan akan lahir dalam keadaan cacat, hamil di luar nikah.

B.     Apakah ada Dalil yang melarang aborsi ?
Ayat-ayat Al Qur’an yang biasa digunakan para penulis dalam membicarakan persoalan aborsi adalah ayat-ayat yang tidak langsung, karena yang eksplisit melarang atau membolehkan aborsi sebenarnya memang tidak pernah disebutkan didalam Al Qur’an itu sendiri.
Ayat-ayat yang tidak langsung yang dimaksud kebanyakan berisi tentang penghormatan manusia, penciptaan proses perkembangan janin serta larangan membunuh anak seperti :[2]
•         QS. Al Isra : 70
* ô‰s)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur ’Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%y—u‘ur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4’n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan (QS. Al Isra : 70)
•         QS. Al An’am : 151

* ö@è% (#öqs9$yès? ã@ø?r& $tB tP§ym öNà6š/u‘ öNà6øŠn=tæ ( žwr& (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«ø‹x© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ( Ÿwur (#þqè=çFø)s? Nà2y‰»s9÷rr& ïÆÏiB 9,»n=øBÎ) ( ß`ós¯R öNà6è%ã—ötR öNèd$-ƒÎ)ur (Ÿwur (#qç/tø)s? |•Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $yg÷YÏB $tBur šÆsÜt/ ( Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÊÎÊÈ
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (QS. Al An’am : 151)

•         QS. Al Isra : 31
Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y‰»s9÷rr& spu‹ô±yz 9,»n=øBÎ) ( ß`øtªU öNßgè%ã—ötR ö/ä.$-ƒÎ)ur 4 ¨bÎ) öNßgn=÷Fs% tb%Ÿ2 $\«ôÜÅz #ZŽÎ6x. ÇÌÊÈ
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al Isra :31)
•         QS. Al Hajj : 5

$yg•ƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# bÎ) óOçFZä. ’Îû 5=÷ƒu‘ z`ÏiB Ï]÷èt7ø9$# $¯RÎ*sù /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜœR §NèO ô`ÏB 7ps)n=tæ ¢OèO `ÏB 7ptóôÒ•B 7ps)¯=sƒ’C ÎŽöxîur 7ps)¯=sƒèC tûÎiüt7ãYÏj9 öNä3s9 4”É)çRur ’Îû ÏQ%tnö‘F{$# $tB âä!$t±nS #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B §NèO öNä3ã_̍øƒéU WxøÿÏÛ ¢OèO (#þqäóè=ö7tFÏ9 öNà2£‰ä©r& ( Nà6ZÏBur `¨B 4†¯ûuqtGムNà6ZÏBur `¨B –Štãƒ #’n<Î) ÉAsŒö‘r&̍ßJãèø9$# Ÿxø‹x6Ï9 zNn=÷ètƒ .`ÏB ω÷èt/ 8Nù=Ïæ $\«ø‹x© 4 “ts?ur šßö‘F{$# Zoy‰ÏB$yd !#sŒÎ*sù $uZø9t“Rr& $ygøŠn=tæ uä!$yJø9$# ôN¨”tI÷d$# ôMt/u‘ur ôMtFt6/Rr&ur `ÏB Èe@à2 £l÷ry— 8kŠÎgt/ ÇÎÈ
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi Ini kering, Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
•         QS. Al Mu’minun : 31
ô‰s)s9ur $oYù=y™ö‘r& %•nqçR 4’n<Î) ¾ÏmÏBöqs% tA$s)sù ÉQöqs)»tƒ (#r߉ç7ôã$# ©!$# $tB /ä3s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ÿ¼çnçŽöxî ( Ÿxsùr& tbqà)¬Gs? ÇËÌÈ
Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?"
Sebenarnya masih sulit untuk menyatakan dengan tegas bahwa Al Qur’an telah membicarakan persoalan aborsi dan mengharamkannya. Beberapa sisi memang aborsi disamakan dengan pembunuhan yang diharamkan, tetapi dari sisi lain tidak bisa disamakan begitu saja. Contohnya pemaknaan kandungan yang masih di perdebatkan kapan ia mulai memiliki nyawa. Berbeda jelas pada objek pembunuhan yakni manusia yang jelas-jelas bernyawa.
C.    Hukum aborsi menurut para ulama
Perincian mengenai hukum menggugurkan kandungan (aborsi) adalah sebagai berikut :
a.      Sebelum ditiupnya ruh

Para ulama' berbeda pendapat mengenai hukum aborsi yang dilakukan sebelum janin ditiupkan ruh. Perincian mengenai perbedaannya adalah sebagai berikut :

•         Haram

Hukumnya haram secara mutlak. Pendapat ini merupakan pendapat "al-aujah" dalam madzhab Syafi'i, yang didukung oleh Syekh Ibnul Imad dan beberapa ulama' dari kalangan madzhab syafi'i. Alasannya ketika mani/sperma sudah menetap didalam rahim, maka mani tersebut sudah akan tiba waktunya dan sudah siap untuk ditiup ruh. Imam Ghozali dalam kitab Ihya' menyatakan; ketika mani laki-laki (sperma) sudah bercampur dengan mani perempuan (ovum) maka sudah siap menerima kehidupan, karena itu merusaknya adalah suatu tindakan kriminal (kejahatan/jinayat) hal ini lah yang membedakan aborsi dengan azl dimana azl adalah mengeluarkan sperma sebelum sperma belum bercampur dengan ovum.

Pendapat ini juga merupakan pendapat madzhab Hanbali sebagaimana dituturkan oleh Imam Al Jauzi. Pendapat ini juga merupakan pendapat yang mu'tamad dalam madzhab Maliki, Imam Malik rohimahulloh mengatakan : "Semua yang digugurkan oleh seorang wanita, baik itu berupa gumpalan daging (mudhghoh) atau segumpal darah (alaqoh) adalah suatu kejahatan (jinayah).

•         Boleh Secara Mutlak
Boleh secara mutlak. Pendapat ini diikuti oleh Syekh Abu Ishaq Al Maruzi dari kalangan madzhab syafi'i, bahkan menurut Imam Romli pendapat yang rojih (unggul) adalah diperbolehkannya menggurkan akndungan sebelum ditiupnya. Pendapat ini juga dinyatakan oleh beberapa ulama' madzhab Hanafi, sedangkan dari kalangan madzhab Maliki yang mengikuti pendapat ini adalah Syekh Ibnul Kamil Al-Lakhmi, sebagian ulama' madzhab Hanbali juga ada yang mengikutiu pendapat ini.
•         Boleh Jika Ada Udzur

Boleh jika ada udzur. Pendapat inilah sejatinya pendapat madzhab Hanafi, sebagian udzur yang memperbolehkan pengguguran kandungan sebelum ditiupnya ruh, sebagaimana dijelaskan Syekh Ibnu Wahban, semisal ketika seorang wanita sudah dinyatakan positif hamil, namun air susunya tidak bisa keluar sedangkan ayah dari bayi tersebut tidak memiliki uang untuk menyewa wanita untuk menyusui anaknya ketika bayinya lahir nanti, dan dikhawatirkan apabila kandungan tersebut tidak digugurkan, nanti saat bayi tersebut lahir akan mati karena ibunya tidak bisa menyusui.

•         Makruh Secara Mutlak

Makruh secara mutlak. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Romli dari kalangan madzhab Syafi'i, beliau menyatakan bahwa hukum pengguguran kandungan sebelum ditiupnya ruh itu dimungkinkan makruh tanzih atau makruh tahrim, dan hukum makruh tahrim akan semakin kuat ketika umjur janin didalam kandungan mendekatiu masa ditiupnya ruh. Penbdapat ini juga dinyatakan oleh Syekh Ali bin Musa, ulama' dari kalangan madzhab Hanafi, beliau memberikan asalasan dimakruhkannya sebab ketika mani sudah masuk kedalam rahim maka sudah siap untuk menerima kehidupan. Selain itu pendapat ini juga diikuti oleh sebagian ulama' madzhab Maliki dalam masalah pengguguran kandungan sebelum masa kandungan mencapai 40 hari.

b.      Setelah ditiupnya ruh

Ditiupnya ruh/nyawa pada janin yang berada dalam kandungan berarti janin tersebut sudah hidup, adapun masa ditiupnya ruh adalah setelah 120 hari (4 bulan) sebagaimana dijelaskan dalam hadits :

يَكُونُ ثُمَّ ،ذَلِكَ مِثْلَ عَلَقَةًيَكُونُ ثُمَّ ،يَوْمًا أَرْبَعِينَ أُمِّهِ بَطْنِ فِي خَلْقُهُ يُجْمَعُ أَحَدَكُمْ إِنَّ
، عَمَلَهُ اكْتُبْ :لَهُ وَيُقَالُ ،كَلِمَاتٍ بِأَرْبَعِ فَيُؤْمَرُ مَلَكًا اللَّهُ يَبْعَثُ ثُمَّ ،ذَلِكَ مِثْلَ مُضْغَةً
الرُّوحُ فِيهِ يُنْفَخُ ثُمَّ سَعِيدٌ، أَوْ وَشَقِيٌّ وَأَجَلَهُ، وَرِزْقَهُ،

"Sesungguhnya setiap orang dari kalian dikumpulkan dalam penciptaannya ketika berada di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi 'alaqah (zigot) selama itu pula kemudian menjadi mudlghah (segumpal daging), selama itu pula kemudian Allah mengirim malaikat yang diperintahkan empat ketetapan dan dikatakan kepadanya, tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya dan sengsara dan bahagianya lalu ditiupkan RUH kepadanya." [3]

Semua ulama' sepakat bahwa menggugurkan kandungan setelah kandungan berumur 120 hari/4 bulan yang berarti setelah ditiupnya ruh pada janin hukumnya adalah harom. Keharoman menggugurkan kandungan setelah bayi kandungan berumur 4 bulan itu bersifat umum yang mencapup permasalahan apabila kandungan tersebut digugurkan dengan alasan mengkhawatirkan keselamatan wanita yang mengandung, sebab kematian ibu yang mengandung adalah sesuatu yang belum pasti (mauhum) sedangkan kematian janin tersebut setelah digugurkan itu sudah pasti (qoth'i), sedangkan  pembunuhan terhadap seorang manusia itu tidak diperbolehkan hanya untuk sesuatu yang belum pasti. Jadi menggugurkan kandungan dengan alasan tersebut tetap diharamkan.


1.      Menurut ulama Hanafiyah diperbolehkan menggugurkan kandungan  yang belum berusia 120 hari, dengan alasan bahwa sebelum janin usia 120 hari atau 4 bulan  belum ditiupkan ruh. Dengan demikian kehidupan insaniyah belum dimulai. Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat makruh apabila pengguguran tersebut tanpa udzur, dan jika terjadi pengguguran maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan dosa.

2.      Madzhab Malikiyah  mengharamkan aborsi sejak terjadinya konsepsi atau bertemunya sel telur dengan sperma di rahim ibu. Sebagian ulama Malikiyah lainnya berpendapat bahwa dimakruhkan aborsi ketika usia kandungan 40 hari. Dan apabila telah mencapai usia 120 hari (4 bulan), maka haram hukumnya melakukan aborsi.

3.      Pendapat yang sama  dengan ulama Malikiyah dikemukakan oleh al-Ghazali dan ulama Dhahiriyah yang mengharamkan  aborsi  sejak masa konsepsi. Dan menurut al-Ghazali mutlak keharaman tersebut.

4.      Madzhab Syafi’iyah berpendapat dimakruhkamn  aborsi ketika usia kandungan belum sampai 40 hari,  42 hari atau 45 hari. Disamping itu, ulama Syafi’iyyah juga mensyaratkan adanya kerelaan kedua belah pihak. Dan apabila usia kandungan lebih dari 40 hari, maka hukumnya haram.

5.      Menurut Romli, diperbolehkan aborsi sebelum ditiupkan ruh dan dilarang ketika usia kandungan 120 hari atau telah ditiupkan ruh.

6.      Menurut Madhab Hanabilah—sebagaimana pendapat ulama Hanfiyah—memperbolehkan aborsi ketika usia kendungan belum sampai 120 hari atau sebelum ditiupkan ruh. Apabila lebih dari  120 hari atau telah ditiupkan ruh maka hukumnya haram.
Dalam kitab-kitab fiqh juga disebutkan bahwa tindak aborsi boleh dilakukan apabila benar-benar dalam keadaan terpaksa, dalam kondisi darurat, seperti demi menyelamatkan ibu—sebagaimana disebutkan dalam aborsi bentuk pertama—maka pengguguran kandungan diperbolehkan.
Sebagaimana menurut Kaidah Ushul Fiqhi :
الْمَحْظُوْرَاتِ تُبِيْحُ الضَّرُوْرَاتُ
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan)”[4]
Dan nyawa ibu lebih diutamakan  mengingat ia sebagai sendi keluarga yang telah mempunyai kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama makhluk. Sedangkan janin sebelum ia lahir dalam keadaan hidup, maka ia belum mempunyai hak dan kewajiban. Hal yang sama dapat diterapkan dalam kasus korban perkosaan yang mengakibatkan stress berat, jika tidak melakukan aborsi maka  ia akan sakit jiwa. Sedangkan ia telah berkonsultasi dengan ahli psikoterapi dan ahli agama tetapi tidak berhasil.
Sementara ini, keputusan yang diambil oleh perempuan untuk melakukan aborsi bukanlah keputusan yang mudah dan sangatlah dilematis. Karena tindakan tersebut bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Sering kali perempuan yang melakukan aborsi merasa malu, takut, sedih, stress, merasa berdosa, ingin bunuh diri dan lain sebagainya. Dan biasanya keputusan tersebut diambil setelah perempuan merasa tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Jika terjadi demikian maka factor kesehatan sering kali terabaikan.
Bila memang aborsi menjadi jalan yang terakhir yang diambil, maka yang harus diperhatikan adalah persiapan secara fisik dan mental serta informasi yang cukup agar aborsi bisa berlangsung secara aman. Aborsi aman apabila: dilakukan oleh pekerja kesehatan (dokter umum & dokter spesialis obstetri) yang benar-benar terlatih dan berpengalaman melakukan aborsi, pelaksanaannya mempergunakan alat-alat kedokteran yang layak, dilakukan dalam kondisi bersih, apapun yang masuk vagina atau rahim harus steril atau tidak tercemar kuman dan bakteri, dilakukan kurang dari 3 bulan (12 minggu) sesudan terakhir kali mendapat haid.
Upaya yang bisa dilakukan untuk menangani masalah ini antara lain:  mengadakan layanan aborsi yang aman dilengkapi dengan pelaksana terlatih dan terstandard, konseling yang memberdayakan perempuan dalam mengambil keputusan, sarana dan metode yang aman, sesuai standard WHO; memberikan informasi dan konseling mengenai kesehatan reproduksi terutama pemahaman upaya pencegahan kehamilan dan bahaya aborsi yang tidak aman; dan melatih kaum perempuan untuk aktif menjadi pendidik sebaya (peer educator) dan konselor bagi kaumnya.
PP Fatayat NU sebagai sebuah organisasi massa keagamaan yang beranggotakan perempuan usia produktif merasa terpanggil untuk memberikan kontribusi positif terhadap persoalan perempuan, khususnya dalam bidang kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya aborsi. Salah satu  aksi untuk merealisasikan program tersebut  adalah diselenggarakan seminar dengan tema ‘ABORSI DALAM PERSPEKTIF FIQH KONTEMPORER’.[5]
Dalam kenyataannya, informasi mengenai aborsi ditinjau dari sisi Agama Islam, khususnya fiqh, banyak yang masih dalam bentuk kitab-kitab klasik sehingga sulit untuk dipahami oleh masyarakat pada umumnya.  Berangkat dari kenyataan di atas, maka seminar mengenai aborsi tersebut dilanjutkan dengan bedah kitab yang mengupas permasalahan aborsi dengan merujuk pada  kitab-kitab klasik.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Semua ulama' sepakat bahwa menggugurkan kandungan setelah usia kehamilan mencapai 4 bulan hukumnya haram. Sedangkan menggugurkan kandungan sebelum masa itu, hukumnya diperselisihkan oleh ulama', terdapat 4 pendapat yang berbeda yaitu; Harom, boleh, boleh jika ada udzur dan makruh. Wallohu a'lam.



















DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI , Al Qur’an Terjemahan
Prof. Dr.Gulardi H. Winknjossastro, K.H. Husain Muhammad, dkk. 2002. Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, Penerbit: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim. Penerbit: Insan Kamil.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta. 2010, Penerbit : Sekertariat Majelis Ulama Indonesia.
http://fatayat.or.id/pustaka/detail/5



________________________________________
[1]  Prof. Dr.Gulardi H. Winknjossastro, K.H. Husain Muhammad, dkk. 2002. Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, Penerbit: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Fatayat NU, h. 12
[2]  Departemen Agama RI , Al Qur’an Terjemahan
[3]  Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim.Shohih Bukhori, no.3208 dan Shohih Muslim, no.2643.
[4]  Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. 2010, h. 452
[5]  http://fatayat.or.id/pustaka/detail/5

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM : STUDI ATAS PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN



ABSTRAK

Penelitian ini memfokuskan pada tema tentang pembaharuan pendidikan Islam, yang berupaya membawa suasana baru memperkenalkan kembali salah satu khasanah pemikiran keislaman abad modern di dunia Islam yaitu Fazlur Rahman.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library re¬search), Sedangkan Penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam. Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan historis dan analisis data digunakan analisis isi (content analysis).
Kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah bahwa kemunculan gagasan Rahman dilatarbelakangi oleh pengamatanya terhadap perkembangan pendidikan Islam di era modern di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Indonesia, Mesir dan Pakistan. Menurut Rahman Pendidikan islam di negara-negara tersebut masih dihadapkan kepada beberapa problema pendidikan yang antara laian berkaitan dengan; (1) Tujuan Pendidikan tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. (2) Dikotomi sistem pendidikan (3) Rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam (4) Sulitnya menemukan pendidik yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran yang kreatif dan terpadu, dan (5) minimnya buku-buku yang tersedia di perpustakaan.

Kata Kunci : Pembaharuan, Pendidikan Islam, Fazlur Rahman

A. PENDAHULUAN
Ketika memasuki abad ke-18 terjadilah desakan yang begitu hebat oleh penetrasi Barat terhadap dunia Islam, yang membuat umat Islam membuka mata dan menyadari betapa mundurnya umat Islam itu jika dihadapkan dengan kemajuan Barat. Untuk mengobati kemunduran umat Islam tersebut, maka pada abad ke-20 mulailah diadakan usaha-usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan manusia termasuk dalam bidang pendidikan.
Manurut Fazlur Rahman, meskipun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan Pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan pada tujuan yang positif. Tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu untuk menyelamatkan umat Islam dan pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang dating melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam standar-standar moralitas tradisional Islam. (Rahman, 1984 : 86)
Pada dasarnya ada tiga pendekatan pembaharuan pendidikan yang dilakukan pada waktu itu, yaitu pengislaman pendidikan sekuler modern, menyederhanakan silabus-silabus tradisional dan menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lama dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan modern.
Pertama, mengislamkan pendidikan sekuler modern. Pendekatan ini dilakukan dengan cara menerima pendidikan sekuler modern yang telah berkembang  pada umumnya di Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya, yaitu mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Ada dua tujuan dari mengislamkan pendidikan sekuler modern ini, yaitu ; (1) membentuk watak pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, (2) memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern menangani bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi, menggunakan perspektif Islam untuk mengubah kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka. (Rahman, 1984 : 131)
Kedua tujuan tersebut berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga apabila pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam yang dilakukan pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia muda dan mudah menerima kesan, tanpa sesuatu pun yang dilakukan untuk mewarnai pendidikan tinggi dengan orientasi Islam, maka pandangan pelajar-pelajar yang telah mencapai tingkat yang tinggi dalam pendidikannya akan tersekulerkan dan bahkan kemungkinan besar mereka akan membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Hal ini akan terjadi dalam skala yang luas (Rahman, 1984 : 131).
Kedua, menyederhanakan silabus-silabus tradisional. Pendekatan ini diarahkan dalam kerangka pendidikan tradisional itu sendiri. Pembaharuan ini cenderung menyederhanakan silabus-silabus pendidikan tradisional yang sarat dengan materi-materi tambahan yang tidak perlu seprti : teologi zaman pertengahan cabang-cabang filsafat tertentu (seperti logika), dan segudang karya tentang hukum Islam> penyederhanaan ini berupa pengesampingan sebagian besar karya-karya dalam berbagai disiplin zaman pertengahan dan menekankan pada bidang hadits, bahasa dan kesusastraan Arab serta prinsip-prinsip tafsir al-Qur’an (Rahman, 1984 : 138).
Ketiga, menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru. Dalam kasus seperti ini, lama waktu belajar diperpanjang dan disesuaikan dengan panjang lingkup kurikulum sekolah-sekolah dan akademi modern. Di Indonesia pada tingkat akademi telah dimulai dilakukan upaya-upaya yang ditujukan untuk menggabungkan ilmu-ilmu pengetahuan modern dengan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional. (Rahman, 1984 : 138)
Akan tetapi menurut Fazlur Rahman, integrasi dan penggabungan yang seperti diuraikan di atas tidak ada, karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis dan hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yang lama dengan ilmu pengetahuan yang modern. Situasi ini diperburuk lagi dengan masih minimnya jumlah buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Sehingga hal ini mengakibatkan, di satu pihak pengajaran akan tetap mandul sekalipun anak didik mempunyai bakat dan kemauan, di lain pihak guru-guru yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu tidak akan dihasilkan dalam skala yang mencukupi (Rahman, 1984 : 139). Melihat kondisi yangh demikian ini, Rahman mencoba menawarkan solusinya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pemecahan problema pendidikan Islam tersebut, maka studi gagasan Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam modern menjadi sangat penting.
1. Perumusan Masalah
Penelitian ini mengkaji pandangan seorang sarjana Muslim yang memiliki dua tradisi lingkungan pendidikan – lingkungan pendidikan Deoband, dan lingkungan pendidikan modern Barat – yakni Fazlur Rahman, penggagas metodologi noemodernisme. Salah satu pemikirannya yang sangat urgen dibahas di sini adalah tentang sifat dari sistem pendidikan Islam.
Dari latar belakan masalah yang diuraikan di atas dapat diketahui bahwa pada masa modern ini, dunia pendidikan Islam masih dihadapkan kepada beberapa problerm pendidikan.
Oleh karena itu yang menjadi masalah pokok dalam tulisan ini adalah
1. Bagaimana latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman?
2. Bagaimana gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam modern itu ?
2. Tinjauan Pustaka
Beberapa konsep kunci yang perlu dielaborasi atau dijelaskan agar bisa lebih terfokus yang tidak bias oleh beragam pengertian dan interpretasi dalam menelusuri gagasan genuine Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam, adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan Islam
Istilah education dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa latin educere berarti memasukkan sesuatu atau memasukkan ilmu ke dalam kepala seseorang. Dari pengertian istilah ini ada tiga hal yang terlibat ; Yaitu imu, proses memasukkan dan kepala orang, kalaulah ilmu itu masuk di kepala (Langgulung, 1992 : 4).
Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Namun menurut beberapa ahli pendidikan, terdapat perbedaan antara ketiga istilah itu. Ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah yang lebih sering dipergunakan di negara-negara berbahasa Arab terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang, tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela atau menternak. Sementara pendidikan yang diambilm dari istilah education itu hanya untuk manusia saja (Langgulung, 1992 : 4-5).
Pemakaian ta’dib, menurut al-Atas, lebih tepat, sebab tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, tetapi juga tidak luas meliputi makhluk makhluk selain manusia. Ta’dib sudah meliputi ta’lim dan tarbiyah. Selain itu kata ta’dib erat hubunganya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam isi pendidikan (al-Attas, 1992 : 5).
Dalam kamus kontemporer Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan, dan latihan proses mendidik (Peter dan Penny, 1991 : 353).
Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang berwarna Islam. Menurut Ahmad Tafsir pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar dia menjadi seorang Muslim yang semaksimal mungkin (Tafsir, 1992 : 32). Sementara itu, Syahminan Zaini, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam agar terwujud kehidupan yang makmur dan bahagia (Zaini, 1986 : 12).
Pendidikan Islam yang dimaksud dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang telah dikemukakan oleh para pakar pendidikan Islam di atas. Yang dimaksud pendidikan Islam dalam penelitian ini adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang atau kelompok orang kepada orang lain atau masyarakat agar orang lain atau masyarakat itu berkembang secara maksimal sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.
2. Modern
Istilah modern berasal dari bahasa Ingrris, “modern” yang berrti sejarah modern (Echols dan Shadily, 1990 : 384). Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia istilah modern diartikan sebagai yang terbaru atau mutakhir (Poerwadarminta, 1985 : 653) . Sedangkan menurut Harun Nasution, istilah modern berarti masa yang dimuali dari tahun 1800 M sampai seterusnya (Nasution, 1994 : 14). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan istilah modern adalah seperti yang dikemukakan oleh Harun Nasution yaitu masa atau periode sejarah dunia yang dimuai sejak tahun 1800 M semapai sekarang ini.
Meskipun pendidikan Islam telah banyak dibahas oleh para ahli pendidikan, namun masih sedikit yang mengkaji pemikiran tokoh tentang pendidikan Islam.
Buku-buku yang membahas tentang pendidikan Islam antara lain : Asas-Asas Pendidikan Islam oleh Hasan Langgulung, Konsep Pendidikan Islam oleh Naquib al-Attas, Sistem Pendidikan Islam oleh Muhammad Quthb, dan Horison Pendidikan Islam oleh S. Ali Asyraf.
Khusus kajian terhadap Fazlur Rahman, kajian yang ada tekananya lebih banyak pada gagasannya tentang hukum dan politik. Kajian-kajian tersebut antara lain The Islamic Concept of The State karya John L. Esposito, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman oleh Taufiq Adnan Amal, dan Pandangan Kemasyarakatan Fazlur Rahman oleh Sudirman Tebba.
Namun sejauh pengamatan peneliti, meskipun gagasan Fazlur Rahman tentang pendidikan Islam merupakan salah satu proyek sentralnya, namun penelitian tentang gagasan tentang solusi atas problematika pendidikan Islam secara analitis, ilmiah, dan filosofis belum pernah dilakukan. Sehingga pemikiran tentang gagasan solusi atas problematika pendidikan Islamnya Fazlur Rahman secara memadai belum banyak dikenal oleh kalangan pemerhati Islam kontempoter di Indonesia. Kebanyakan orang mengenal Fazlur Rahman pada bidang filsafat dan hukum Islam.
Semenatara untuk melihat pemikiran Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam secara kongkret dan menyeluruh, maka penyusun mengupayakan pengumpulan semua karya-karya Fazlur Rahman, baik dalam bentuk buku, artikel maupun makalah. Setelah itu dilakukan telaah dan klasifikasi, mana yang membahas atau yang ada kaitannya dengan tema pendidikan Islam.
Dari survei kepustakaan tentang karya-karya Fazlur Rahman yangberkaitan dengan paradigma pemikiran pendidikan Islam dan latar belakannya, sumber uatama yang digunakan antara lain : (1) Islam, (2) Islam and Modernity : Transformation of Intellectual Tradition, (3) The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems, (4) Recommendation for Improvement of IAIN Curriculum and Instruction Submitted to The minister of Religious Affair, His Excellence, Munawil Sjadzali dan (5) Revival and Reform in Islam.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian ini pada garis besarnya ada tiga, yaitu :
3. Mengungkap latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman
4. Menjelaskan gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam modern itu
Sedangkan manfaat penelitian  diarahkan pada dua hal berikut : Pertama mencari latar belakang sosial, politik dan perkembangan pemikiran bagi perkembangan pemikiran Fazalur Rahman. Kedua, Mengembangkan gagasan segar Fazlur Rahman berkaitan dengan teori-teori baru tentang Pendidikan Islam. Diharapkan dari sini dapat dimulai proyek besar pembaharuan pendidikan di Indonesia yang lebih menjamin terjadinya pencerahan.

B. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan data
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library re¬search), yaitu menganalisis muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.
Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam.Untuk memperoleh data tentang pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam, penyusun menggunakan sumber-sumber primer berupa buku-buku dan makalah-makalah yang ada relevansinya dengan penyusunan penelitian ini, dan sumber-sumber sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, jurn¬al-jurnal yang terkait.
2. Pendekatan yang digunakan
Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan historis.
Pendekatan historis untuk menelusuri latar belakang pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam dengan mengurai faktor-faktor yang menjadi pemicu lahirnya pemikiran tersebut..
.
3. Metode analisis data
Dalam menganalisis data digunakan analisis isi (content analysis). Metode ini digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam pemikiran Fazlur Rahman. Berdasarkan isi yang terkandung dalam pemikiran Fazlur Rahman tersebut kemudian dilakukan pengelompokan dengan tahapan identifikasi, klasifikasi, kategorisasi, baru dilakukan interpretasi.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Pembaharuan Pemikiran Fazlur Rahman
Penelitian sejarah Islam pada umumnya menggarisbawahi bahwa gerakan modernisme Islam timbul dari dampak penetrasi Barat, semenjak abad 17 M/12 H. Keunggulan militer dan sains Barat menyadarkan keterbelakangan masyarakat Islam lalu menumbuhkan semangat kebangkitan Islam.
Gambaran masyarakat Islam pada saat itu ibarat sebuah masyarakat yang semi-mati yang menerima pukulan-pukulan destruktif atau pengaruh-pengaruh Barat yang menekan. Sebetulnya krisis intelektual dan benturan kultural semacam ini pernah dihadapi oleh masyarakat muslim dari abad 2 H./8 M. Mereka, pada saat itu, dihadapkan dengan tantangan intelektual “Hellenis” (Pringgodigdo, 1977 : 402). Namun mereka berhasil mengatasi benturan dan tantangan tersebut dengan cara asimilasi-kreatif. Faktor keberhasilan tersebut adalah adanya dominasi politik Islam. Secara praktis Islam pada saat itu adalah penguasa politik terbesar dunia, faktor lainnya adalah kondisi dan situasi Islam saat itu belum terbebani oleh tradisi agama yang semi-mati, hal ini sangat berbeda dengan kondisi dan situasi Islam pada abad 17 M dan lebih khusus pada akhir abad 18 M.
Akibat kekalahan dan penyerahan politik, menjadikan umat Islam secara psikoligis tidak mampu merumuskan kembali warisannya secara konstruktif, sehingga upaya modernisasi yang berkembang terkesan sekedar meminjam dan mengimpor/mengoper kemajuan peradaban Barat. Bagaimanapun juga umat Islam yang baru bangun dan baru bangkit tersebut belum siap mengadakan modernisasi yang lebih besar dan mendasar. Untuk arah kesana diperlukan proses dan waktu yang panjang.
Kondisi obyektif masyarakat Islam yang mengalami kemacetan tidak hanya di bidang lahiriyah tetapi juga di bidang intelektual, maka dominasi politik dan teknologi penjajah Barat segera mendapat tanggapan dari tokoh-tokoh modernis, sehingga ide yang berkembang adalah modernisme intelektual dan modernisme politik. Untuk mengatasi kemacetan di bidang intelektual. Semua pembaharu klasik menekankan arti pentingnya rasio (pikiran) dan paham rasionalisme, sekalipun dalam tatanan yang berbeda-beda. Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (1255-1315 H/1839-1897 M) yang menyerukan peningkatan standar moral dan intelektual untuk menanggulangi bahaya ekspansionisme Barat. Walaupun ia sendiri tidak melakukan modernisasi intelektual, namun seruannya menggugah masyarakat Muslim untuk mengembangkan dan menyebarkan disiplin-disiplin filosofis, dan ia hanya mengadakan sedikit upaya pembaharuan pendidikan secara umum. Maka, selanjutnya menjadi tugas Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M) di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M) di India untuk membuktikan pernyataan al-Afghani bahwa akal dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan Islam. Keduanya, yakni Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Khan, sama-sama lahir dari tradisi madrasah, sama-sama menekankan paham rasionalisme Islam dan free will, sama-sama mengadakan pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar, sedang Ahmad Khan dengan mendirikan perguruan tinggi Aligarh yang sekuler (Abduh, 1970 : 107-119).
Upaya dan tokoh-tokoh pembaharu ini pada akhirnya melahirkan sejumlah murid yang meneruskan proses modernisme. Jadi inilah yang dimaksudkan oleh kutipan Rahman di atas,”bahwa pembaharuan modernisme klasik setidak-tidaknya telah berupaya mengadakan reformasi internal, yakni menanamkan rasionalisme sebagai solusi awal terhadap kemacetan dan kemerosotan intelektual.
  Ide-ide kreatif yang dimunculkan oleh kebanyakan modernis kontemporer pada umumnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan modernisme klasik. Mereka mencarikan konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara lebih sistematis. Adalah Ziauddin Sardar, pakar fisika Pakistan, bersama dengan Ali Syari’ati (1933-1977), intelektual sosial Iran, menampilkan ide membangun peradaban yang Islami, atau Islamisasi peradaban. Keduanyta menolak alih teknologi Barat dapat “mendongkrak” dunia Islam untuk maju.
Karena teknologi yang dipinjam dari Barat selalu tidak cocok dengan masyarakat Muslim (Sardar, 1991 : 59). Alih teknologi tidak hanya menyebabkan mapannya ketergantungan dunia Islam terhadap Barat, juga merusak kebudayaan dan lingkungan Muslim. Solusi yang disampaikan oleh Sardar adalah mengembangkan teknologi yang mencerminkan norma-norma budaya Islam, dalam aspek sejarah, ekonomi, pendidikan dan pemerintahan.
Bersama-sama dengan Hossein Nasr (Nasr, 1987 : 183), Sardar menilai bahwa peradaban Barat telah menghancurkan dan melepaskan nilai-nilai sakral dan spiritual alam. Kemajuan teknologi yang tidak terkendali telah menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan peradaban manusia, karena kehidupan modern Barat telah kehilangan visi transendental (Ilahiyah). Dalam hal ini Nasr memilih spiritualisme sebagai solusi alternatif upaya pembebasan manusia modern. Nasr sangat optimis  dengan solusi sufistik ini. Menurut sufisme akan memuaskan manusia modern dalam mencari Tuhan (Nasr, 1976 : vi). Masyarakat Barat modern hampir-hampir bosan dengan tradisi ilmiah teknologis yang kering dan mereka tidak menemukan pemuasnya dalam ajaran Kristen dan Budha, maka upaya memperkenalkan sufisme Islam kian mendesak.
Dalam konteks Islam, menurutnya, spiritualitas mengandung beberapa dimensi seperti tercermin melalui istilah ruh dan sikap batin. Inilah yang membedakannya spiritual dalam pengertian Barat, yang dipahami sekadar fenomena psikologis. Menurut krisis peradaban Barat modern bersumber dari penolakan ruh dan pengingkaran ma’nawiah dalam kehidupan. Manusia Barat membebaskan diri dari Tuhan dan mereka menjadi tuan bagi kehidupan sehingga terputus dari spiritualitasnya, maka terjadilah desakralisasi. Alam hanya difungsikan sebagai obyek dan sumber daya untuk diekspolitasi semaksimal mungkin (Ulumul Qur’an, 1993 : 108).
Fenomena inilah yang dianggap paling penting oleh Nasr untuk dicarikan solusinya melalui spiritualisme Islam. Solusi lainnya yang dikembangkan oleh sejumlah pemikir modernis, sehingga gemanya lebih terdengar dibanding dua solusi di atas, adalah Islamisasi sains (ilmu pengetahuan). Adalah Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib al-attas, dua tokoh modernis yang paling awal yang menyuarakan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dari dua konsep yang disampaikan dua tokoh tersebut tergambar adanya keinginan memberi warna atau nilai agamis pada pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan sampai sekarang, walaupun telah menjadi tema sentral yang trendi di kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan gagasan dasar dan kontroversial yang memerlukan waktu lama untuk mencapai apa yang dikehendaki dengan “sains yang Islami”.
Ketiga solusi alternatif di atas masing-masing mengandung karakter yang berbeda. Rekayasa peradaban Islam cenderung eksklusifme. Spiritualisme Nasr dan islamisasi ilmu pengetahuan cenderung moderat dengan memadukan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai Islam. Persamaan ketiga gagasan itu adalah posisinya yang menjadikan krisis peradaban modern sebagai orientasi nilai-nilai Islam. Dalam tata ilmu, ketiga gagasan tersebut berada pada tataran aksiologis.
Kembali ke pokok permasalahan, pemikiran Rahman tokoh modernis yang menjadi sentral penelitian ini tidak sebagaimana tokoh-tokoh pemikir kontemporer lainnya yang menjadikan fakta empirik kehidupan modern sebagai sentral obyek gagasan, sebagaimana telah disinggung di muka.
Rahman menjadikan al-Quran sebagai sentral penelitian (Yuyun, 1993) untuk membangun konsep-konsep metodologis dan rumusan metodis interpretasi al-Quran. “Pemahaman al-Quran dengan konteks kemoderenan” merupakan tujuan yang hendak disumbangkan oleh Rahman melalui usaha keras dalam membangun konsep dan merumuskan pemikirannya. Mengenai studi Rahman ini, Montgomery Watt berkomentar bahwa dua tokoh pemikir Islam kontemporer yang paling terkenal adalah Rahman bersama dengan Arkoun (Mouleman, 1993 : 93).
Program Rahman yang terbesar adalah keberhasilannya merancang metode baru dalam penafsiran Al-Qur’an. Jadi tataran pemikiran Rahman berada pada tingkat ontologi dan epistemologi, tidak pada tataran aksiologi. Agaknya Rahman menyadari bahwa masalah internal yang harus diselesaikan oleh modernisme kontemporer. Masalah tersebut, menurut Rahman tidak cukup diselesaikan melalui gerakan reformasi tetapi harus diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi pemikiran Islam.
2.  Pemikiran Pembaharuan pendidikan Islam
a. Tujuan Pendidikan
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dohadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat dari masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme umat  manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda dengan  tuntutan hidup yang multi  komplek pula .Ditanbah lagi dengan beban psikologis umat islam dalam menghadapi barat bekas saingan jika bukanya musus sepanjang sejarah . Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis yang lain , yang timbul sebagai komplek pihak yang kalah , berbeda dengan kedudakan umat islam klasik  pada waktu itu umat islam adalah pihak yang menang dan berkuas).
Fenomena tersebut, menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf,  telah menyuburkan  tumbuhnya golongan -golongan penekan .Golongan-golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan dari  orang -orang yang pikiranya lebih cenderung kepada agama.Akibatnya munculah suatu ketergantungan dan pertentangan antara golongan sekular dengan golongan agama.Pertentangan ini telah menampakan diri secara terang-terangan dibeberapa negara seperti Turki,Mesir,Pakistan dan Indonesia (Arifin, 1993 : 5).
Fenomina pada gilirannya mengakibatkan pendidikan islam tidak diarahkan kepada tujuan yang positip.Tujuan pendidikan islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat semata dan bersifat desentif. Hal ini sebagai mana yang dikemukakan oleh Rahman bahwa :
Strategi pendidikan islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan kepada tujuan yang positif,tetapi lebih cenderung bersifat defensif yaitu untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu,terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan standar moralitas Islam (Nurcholish, 1992 : 455).
Dalam kondisi kepanikan spiritual itu,strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis.Akibatnya munculah golongan yang menolak segala apa yang berbau Barat,bahkan adapula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan teknologinya.Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat menyebabkan kemunduran umat Islam.
Menurut Rahman, ada beberapa hal yang haruh dilakukan Pertama, tujuan pendidikanIslam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tersebut harus segera diubah.Tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada klehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada AL-Qur’an.Menurutnya bahwa :
Tujuan pendidikan dalam pandangan AL-Qur’an adalah untuk mengembangkan kemampuan inti manusia dengan cara yang sedemikian rupa sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya (Ibid).
Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera dihilangkan.Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi,hukum,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,dengan berpegang kepada AL-Qur’an sebagai penilai.Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang dalam sejarah itulah yang memberikan kontiunitas kepada wujud intelektual dan spiritual masyarakat Muslim.Sehingga melalui upaya ini diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat.
Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan energi hasil reaksi inti yang dapat ditransformasikan menjadi energi listrik) atau menggunakannya buat hal-hal yang berbguna, mereka menciptakan bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang perlombaan. Para saintis kemudian dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu.
  Rahman juga menyatakan bahwa di dalam Al-Qur’an kata al-ilm (ilmu pengetahuan) digunakan untuk semua jenis ilmu pengetahuan. Contohnya, ketika Allah mengajarkan bagaimana Daud membuat baju perang, itu juga al-’ilm. Bahkan sihir (sihr), sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Harut dan Marut kepada manusia, itu juga merupakan salah satu jenis al-’ilm meskipun jelek dalam arti praktek dan pemakaiannya. Sebab banyak yang menyalahgunakan sihir itu untuk memisahkan suami dari istrinya. Begitu pula hal-hal yang memberi wawasan baru pada akal termasul al-’ilm (Rahman, 1992 : 69) .

b. Sistem Pendidikan
Persoalan dualisme dikotomi sistem pendidikan itu telah melanda seluruh negara Muslim atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, dikotomi sistem pendidikan itu bukan hanya menyangkut perbedaan dalam struktur luarnya saja tapi juga perbedaan yang lahir dari pendekatan mereka terhadap tujuan-tujuan pendidikan.
Sistem tradisional kuno dalam Islam didasarkan atas seperangkat nilai-nilai yang berasal dari Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan manusia yang taat kepada Tuhan dan akan selalu berusaha untuk patuh pada perintah-perintah-Nya sebagaimana yang dituliskan dalam kitab suci. Orang semacam ini akan berusaha untuk memahami seluruh fenomena di dalam dan di luar khazanah kekuasaan Tuhan. Di lain pihak sistem modern, yang tidak secara khusus mengesampingkan Tuhan, berusaha untuk tidak melibatkan-Nya dalam penjelasannya mengenai asal-usul alam raya atau fenomena dengan mana manusia selalu berhubungan setiap harinya.
Di tengah maraknya persoalan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut, Rahman berupaya untuk menawarkan solusinya. Menurutnya untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut adalah dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh (Ibid). Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat dipisah-pisahkan (Nafis, 1995 : 251)
Dengan demikian di dalam kurikulum maupun silabus pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu umum seperti ilmu sosial, ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam, tafsir, Hadis. 28
Menurut hemat penyusun, metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh Rahman itulah yang pernah diterapkan pada masa keemasan Islam. Pada masa itu ilmu dipelajari secara utuh dan seimbang antara ilmu-ilmu yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan di dunia (ilmu-ilmu umum) maupun ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagiaan di akhirat (ilmu-ilmu agama).
Pendekatan integralistik seperti itu, yang melihat adanya hubungan fungsional antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu serta memiliki pengetahuan luas dan mendalam pada masa klasik. Ibn Sina misalnya, selain ahli agama, juga seorang psikolog, ahli dalam ilmu kedokteran dan sebagainya. Demikian pula dengan Ibn Rusyd, ia di samping sebagai ahli hukum Islam, juga ahli dalam bidang matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan (Nata, 1993 : 31)
Adanya keseimbangan antara ilmu-ilmu umum (dunia) dengan ilmu-ilmu agama dalam suatu kurikulum pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung, oada gilirannya akan melahirkan spesialisasi pada bagian ilmu sesuai dengan periode perkembangan, sesuai dengan tingkat pendidikan, sesuai dengan spesilalisasi sempit pada tingkat pendidikan tinggi, di masjid-masjid dan rumah-rumah hikmah (universitas-universitas) kemudian hari sampai sekarang (Hutagalung, 1992 : 117-118)
Menurut Rahman bahwa ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya adalah satu yaitu berasal dari Allah SWT.31 Hal ini sesuai degan apa yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya melalui ayat-ayat Qur’aniyah dan sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yang diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolut sedangkan pengetahuan yang diperoleh, kebenarannya tidak mutlak (Rahman, 1984: 72)
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ilmu Allah dapat diketahui dan dipelajari melalui dua jalur yaitu jalur ayat-ayat Qur’aniyah dan jalur ayat-ayat kauniyah.33 Untuk lebih jelasnya lihat skema di bawah ini :










c. Anak Didik (Peserta Didik)
Anak didik yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di negara-negara Islam berkaitan erat dengan belum berhasilnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum ditumbangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum mengakibatkan rendahnya kualitas intelektual anak didik dan munculnya pribadi-pribadi yang pecah (split personality) dari kaum Muslim. Misalnya seorang muslim yang saleh dan taat menjalankan ibadah, pada waktu yang sama ia dapat menjadi pemeras, penindas, koruptor, atau melakukan perbuatan tercela lainnya (Mujib, 1992 : 234). Bahkan yang lebih ironis lagi dikotomi sistem pendidikan tersebut mengakibatkna tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam.  (Ma’arif, 1991 : 20) Sebagian dari mereka lebih berperan sebagai pemain-pemain teknis dalam masalah-masalah agama. Sementara ruh agama itu sendiri jarang benar digumulinya secara intens dan akrab.
Menurut Rahman, beberapa usaha yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di atas. Pertama, anak didik harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan kitab suci bukan hanya dijadikan sebagai sumber inspirasi moral tapi juga dapat dijadikan sebagai rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menantang (Rahman, Loc.cit). Dalam kaitan itu Rahman menawarkan metode sistematisnya dalam memahami dan menafsirkan Al Qur’an. Metode itu terdiri dari dua gerakan ganda yaitu dari situasi sekarang ke masa Al Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Gerakan pertama mempunyai dua langkah.
1. Orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi dan problem historis di mana pernyataan AL Qur’an tersebut merupakan jawaban. Sebelum mengkaji ayat-ayat spesifiknya, sutau kajian mengenai mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga dan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam, khususnya di sekitar Mekkah harus dilakukan (Rahman, 1979 : 219-224).
2. Menggenerasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral dan sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis yang sering dinyatakan. Selama proses ini, perhatian harus diberikan kepada arah ajaran Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang difahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Al Qur’an sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan sikap yang pasti terhadap hidup dan memenuhi suatu pandangan dunia yang kongkrit (Rahman, 1984 : 6).
Jika dua momen gerakan ganda ini dapat dicapai, menurut Rahman, perintah-perintah Al-Qur’an akan hidup dan efektif kembali (Ibid) Metode penafsiran yang ditawarkan Rahman itulah yang disebutnya sebagai prosedur ijtihad. Dalam metode tersebut Rahman telah mengasimilasi dan mengkolaborasi secara sistematis pandangan yuridis Maliki dan Syathibi tentang betapa mendesaknya memahami Al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif ke dalam gerakan pertama dari metodenya (Taufiq, 1990 : 103) Kedua, memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis dan holistik. Disiplin ilmu-ilmu Islam itu meliputi: Teologi, hukum etika, ilmu-ilmu sosial dan filsafat (Rahman, op.cit : 20)
d. Pendidik (Mu’allim)
Untuk mendapatkan kualitas pendidik seperti itu di lembaga-lembaga pendidikan Islam dewasa ini sangat sulit sekali. Hal ini dibuktikan Rahman, melalui pengamatannya terhadap perkembangan pendidikan Islam di beberapa negara Islam. Ia melihat bahwa pendidik yang berkualitas dan profesional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu yang mampu menafsirkan hal-hal yang lama dalam bahasa yang baru sejauh menyangkut substansi dan menjadikan hal-hal yang baru sebagai alat yang berguna untuk idealita  masih sulit ditemukan pada masa modern (Rahman, Op.Cit. : 139). Masalah kelangkaan tenaga pendidik seperti ini telah melanda hampir semua negara Islam.
Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik seperti itu, Rahman menawarkan beberapa gagasan: Pertama, merekrut dan mempersiapkan anak didik yang memiliki bakat-bakat terbaik dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap lapangan agama (Islam). Anak didik seperti ini harus dibina dan diberikan insentif yang memadai untuk membantu memnuhi keperluannya dalam peningkatan karir intelektual mereka (Ibid). Apabila hal ini tidak segera dilakukan maka upaya untuk menciptakan pendidik yang berkualitas tidak akan terwujud. Sebab hampir sebagian besar pelajar yang memasuki lapangan pendidikan agama adalah mereka yang gagal memasuki karir-karir yang lebih basah.
Kedua, mengangkat lulusan mdrasah yang relatif cerdas atau menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh gelar doktor di universitas-universitas Barat dan telah berada di lembaga-lembaga keilmuan tinggi sebagai guru besar-guru besar bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi, dan sejarah Islam. Ketiga, para pendidik harus dilatih di pusat-puast studi keislaman di luar negeri khususnya ke Barat (Rahman, Op.Cit. : 522). Hal ini pernah direalisasikan Rahman, sewaktu ia menjabat direktur Institut Pusat Penelitian Islam (Rahman, Op.Cit : 123). Atas gagasan Rahman ini, Institut yang dipimpinnya berhasil menerbitkan jurnal berkala ilmiah yang berbobot yaitu Islamic Studies. Melalui jurnal inilah para anggota institut mulai menyumbangkan karya riset nereka yang bermutu, di samping beberapa buku dan suntingan-suntingan dari naskah-naskah klasik (Rahman, Loc.Cit). Kasus institut ini melukiskan telah lahirnya kesarjanaan yang kreatif dan bertujuan.
Gagasan Rahman itu juga pernah diterapkan di Indonesia melalui pengiriman pendidik atau tenaga pengajar IAIN yang potensial untuk melanjutkan studinya ke universitas di negeri Barat yang mempunyai pusat-pusat studi Islam. Awal dari dampak positif pengiriman pengiriman pendidik ke luar negeri itu memang mulai terasa antara lain seperti terlaksananya pembaruan sistem, metode dan teknik di bidang pengajaran dan penyempurnaan struktur kelembagaan serta susunan kurikulum.
Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik para lulusan universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan memberi meeka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik seperti Hadis, dan yiurisprudensi Islam (Ibid.). Di sini tampak Rahman ingin memberikan bekal ilmu pengetahuan secara terpadu baik kepada para lulusan madrasah maupun kepada mereka yang lulusan universitas. Sehingga melalui upayanya ini akan lahir pendidik-pendidik yang kreatif dan mempunyai komitmen yang kuat terhadap Islam.
Kelima, menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan. Di samping menlulis karya-karya tentang sejarah, filsafat, seni, juga harus mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam (Ibid),. Di samping itu para pendidik juga harus bersunggguh-sungguh dalam mengadakan penelitian dan berusaha untu menerbitkan karyanya tersebut. Bagi mereka yang memiliki karya yang bagus harus diberi penghargaan antara lain dengan meningkatkan gajinya (Rahman, Loc.Cit. : 522)

D. KESIMPULAN
Berdasarkan data dan analisis terdahulu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kemunculan gagasan Rahman dilatarbelakangi oleh pengamatanya terhadap perkembangan pendidikan Islam di era modern di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Indonesia, Mesir dan Pakistan. Menurut Rahman Pendidikan islam di negara-negara tersebut masih dihadapkan kepada beberapa problema pendidikan yang antara laian berkaitan dengan; (1) Tujuan Pendidikan tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. (2) Dikotomi sistem pendidikan (3) Rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam (4) Sulitnya menemukan pendidik yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran yang kreatif dan terpadu, dan (5) minimnya buku-buku yang tersedia di perpustakaan.
2. Kontribusi terhadap upaya modernisasi pendidikan Islam meliputi lima bidang, yaitu (1) tujuan pendidikan (2) dikotomi sistem pendidikan (3) anak didik (4) pendidik (mu’alim), dan (5) peralatan pendidikan.
Beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat telah menyebabkan tujuan pendidikan Islam tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. Tujuan pendidikan Islam hanya berorientasi kepada kehidupan akherat semata dan bersifat defensif terhadap ilmu pengetahuan. Untuk mengatasi ini menurut Rahman ada tiga usaha yang harus dilakukan : (a) mengorientasikan tujuan Pendidikan Islam kepada kehidupan dunia dan akherat sekaligus dan bersumber dari al-Qur’an. (b) menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat, dan (c) menghilangkan sikap negatif terhadap ilmu pengetahuan.
Adanya dikotomi sistem pendidikan Islam telah menyebabkan rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang amemiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam. Untuk mengatasi masalah ini ada empat buah usaha yang harus dilakukan ; (a) memberikan pelajaran al-Qur’an dan metode tafsir sistematis, sehingga memungkinkan al-Qur’an tidak saja berfungsi sebagai sumber inspirasi moral tetapi juga tidak dijadikan sebagai rujukan sentral bagi pemecahan persoalan yang muncul ke permukaan, (b) memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis, dan menyelurruh, sehingga melalui upaya ini dapatmengintegrasikan pikiran-pikiran itu ke dalam konsep Islam yang utuh dan terpadu, (c) mengintensifkan penguasaan bahasa asing seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris disamping bahasa nasional (d) menumbuhkan sikap toleran terhadap perbedaan pendapat.















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, 1995, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Abdullah, Abdurrahman Shaleh, Educational Theory : A Qur’anic Outlook, terj. M. Arifin dan Zainuddin, 1990, Teori-teori Pndidikan Berdasarkan al-Qur’an, Jakarta : Rineka Cipta

Achmad, Amrullah, “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed.), 1991, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya

Adams, Charles C., 1968, Islam and Modernity in Egypt, New York : Russel

Amal, Taufiq Adnan, 1987, Islam Tantangan Modernitas : Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan

______, (ed), 1987, Motode dan Alternatif Neo Modernisme Islam, Bandung : Mizan

______, dan Fauzi, Ihsan Ali, Fazlur Rahman Sang Sarjana Sang Pemikir, Jakarta : LSAF, 1988

Anderson, Norman, 1976, Law Reform in The Muslim World, London : University of London

Anshari, Endang Saefuddin, “Dunia Islam Masa Lalu dan Kini Menyongsong Abad XV Hijrah”, dalam Rdan Iqbal Emsyarif Saimina (ed.), tt.,  Kebangkitan Islam dalam Pembaharuan, Jakarta : Bumi Aksara

Bawani, Imam, 1987, Segi-Segi Pendidikan Islam, Surabaya : Ihklas

B. Suryosubroto, 1983, Beberapa Aspek dasar Pendidikan, Jakarta : Bina Aksara

Bakker, Anton, 1994, Metode-Metode Filsafat, Jakarta : Ghalia Indonesia

Berkes, Niyazi, 1964, The Developments of Secularism in Turkey, Montreal : McGill university Press

Esposito, John L., 1984, Islam and Politics, New York : Syracuse University Press

Fahmi, Asma Hasan, 1979, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang.

Faruqi, Isla’il Raji, 1984, Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Pustaka.

Harahap, Syahrin, Al-Qur;’an dan Sekularisasi : Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein, Yogaykarta : Tiara Wacana Yogya.

Langgulung, Hasan, 1992, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka al-Husna

Ma’arif, Syafi’I, 1993, Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, Bandung : Mizan

Madjid, Nurcholish, 1992, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina.

Nasution, Harun, 1994, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang.

Rahman, Fazlur, 1968, Islam, New York : Anchor Book

________, 1982, Islam and Modernity ; Transformation An Intellectual Tradition, Chicago : University of Chicago Press

________, 1983, Major Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, Bandung : Pustaka

Zuhairini dkk, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi IAIN


zakat fitrah



Zakat : Macam-macam Zakat dan Dalil-dalilnya
Judul :Zakat : Macam-macam Zakat dan Dalil-dalilnya. Label: Artikel Islam,Zakat .

Zakat : Macam-macam Zakat dan Dalil-dalilnya. Mungkin selama ini telinga kita sangat akrab dengan istilah zakat fitrah dan zakat mal tapi apa dan bagaimananya zakat fitri dan zakat mal dilaksanakan , ditentukan dan landasan hukum secara sya'rii itu mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang paham.

Khusus untuk pembahasan zakat fitrah mengenail dalil hukum , syarat , penghitungan , waktu , tempat dan orang-orang yang berhak mendapatkan silahkan klik disini semua tentang zakat fitrah.

Oleh sebab itu tim bacaankeluarga.blogspot.com melihat hal ini adalah penting untuk dipaham dan dipelajari bersama maka kami menyajikan artikel Macam-macam Zakat dan Dalil-dalilnya diambil dari tulisan ustad Farid Nu’man Hasan semoga bermanfaat dan jangan lupa di SHARE dan di LIKE ya :

Muqadimah Pengertian Zakat - Macam macam zakat dan dalil-dalil berzakat

Zakat termasuk ibadah maaliyah (harta) yang paling pokok di antara ibadah maaliyah lainnya. Perintah zakat termaktub dalam Al Quran, dan kewajibannya sering digandeng dengan shalat sebanyak di 82 ayat. (Fiqhus Sunnah, 1/327).

Di antaranya:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al Baqarah (2): 110)

Ayat lainnya:

لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآَمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ

Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. (QS. Al Maidah (5): 12) dan berbagai ayat lainnya.

Hikmah Zakat

Ada beberapa hikmah yang bisa kita petik dari amal zakat ini.

1. Agar muzakki mampu mengontrol harta kekayaannya, sehingga dia tidak dilalaikan dengan hartanya tersebut.
2. Agar harta tidak berputar hanya pada orang kaya saja.
3. Meminimkan kesenjangan dan kecemburuan sosial sehingga mampu mendekatkan hubungan antara muzakki dan mustahiq, sehingga ukhuwah islamiyah dapat terwujud dengan harmonis. Bahkan jika dikelola dengan profesional, zakat bisa menjadi sarana pengentasan kemiskinan.
4. Melatih dan melahirkan sifat dermawan dan cinta kebaikan bagi muzakki.


Pembagian Jenis Zakat Menurut Macam-Macam Harta

Tentang zakat, secara global ada dua macam.

1. Zakat Fitri

Yaitu zakat yang dikeluarkan pada saat menjelang hari raya, paling lambat sebelum shalat Idul Fitri, untuk mengenyangkan kaum fakir miskin saat hari raya, dan hukumnya wajib. Untuk lebih lengkap tentang zakat fitri silahkan baca artikel :Zakat fitrah - dalil dan cara penghitungannya.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:


أي الزكاة التي تجب بالفطر من رمضان. وهي واجبة على كل فرد من المسلمين، صغير أو كبير، ذكر أو أنثى، حر أو عبد

Yaitu zakat yang diwajibkan karena berbuka dari Ramadhan (maksudnya: berakhirnya Ramadhan). Dia wajib bagi setiap pribadi umat Islam, anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak. (Fiqhus Sunnah, 1/412)

Beliau juga mengatakan:


تجب على الحر المسلم، المالك لمقدار صاع، يزيد عن قوته وقوت عياله، يوما وليلة. وتجب عليه، عن نفسه، وعمن تلزمه نفقته، كزوجته، وأبنائه، وخدمه الذين يتولى أمورهم، ويقوم بالانفاق عليهم.

Wajib bagi setiap muslim yang merdeka, yang memiliki kelebihan satu sha’ makanan bagi dirinya dan keluarganya satu hari satu malam. Zakat itu wajib, bagi dirinya, bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri dan anak-anaknya, pembantu yang melayani urusan mereka, dan itu merupakan nafkah bagi mereka. (Ibid, 1/412-413)

Harta yang dikeluarkan adalah makanan pokok di negeri masing-masing, kalau di negeri kita sebanyak (+/-) 2,5 Kg beras. Ini pandangan jumhur (mayoritas) imam madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Mereka menolak pembayaran zakat fitri dengan nilai harganya (uang), karena hal itu dianggap bertentangan dengan sunah nabi. Ini juga menjadi pandangan sebagian besar ulama kerajaan Arab Saudi, dan yang mengikuti mereka.

Dasarnya adalah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitri pada bulan Ramadhan untuk setiap jiwa kaum muslimin, baik yang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ biji-bijian. (HR. Muslim No. 984)

Hadits ini menunjukkan bahwa yang mesti dikeluarkan dalam zakat fitri adalah makanan pokok pada sebuah negeri, sebagaimana contoh dalam hadits ini. Maka, menggunakan nilai atau harga dari makanan pokok merupakan pelanggaran terhadap sunah ini.

Sedangkan Imam Abu Hanifah, menyatakan bolehnya zakat fitri dengan uang. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

وجوز أبو حنيفة إخراج القيمة

Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan harganya. (Fiqhus Sunnah, 1/413)

Ini juga pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam ‘Atha, Imam Al Hasan Al Bashri, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan juga sahabat nabi, seperti Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu dan Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, membolehkannya dengan nilainya, sebab yang menjadi prinsip adalah terpenuhi kebutuhan fakir miskin pada hari raya dan agar mereka tidak meminta-minta pada hari itu. Sebagaimana hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:


فرض رسول الله صلى الله عليه و سلم زكاة الفطر وقال أغنوهم في هذا اليوم

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitri, Beliau bersabda: “Penuhilah kebetuhan mereka pada hari ini.” (HR. Ad Daruquthni, 2/152)

Dalam riwayat lain:


أَغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ

Penuhilah kebutuhan mereka, jangan sampai mereka berkeliling (untuk minta-minta) pada hari ini. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7528)

Dari riwayat ini, bisa dipahami bahwa yang menjadi substansi adalah terpenuhinya kebutuhan mereka ketika hari raya dan jangan sampai mereka mengemis. Pemenuhan kebutuhan itu bisa saja dilakukan dengan memberikan nilai dari kebutuhan pokoknya, atau juga dengan barangnya. Apalagi untuk daerah pertanian, bisa jadi mereka lebih membutuhkan uang dibanding makanan pokok, mengingat daerah seperti itu biasanya tidak kekurangan makanan pokok.

Sebagaian ulama kontemporer, seperti Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullahu Ta’ala membolehkan dengan uang, jika memang itu lebih membawa maslahat dan lebih dibutuhkan oleh mustahiq, tapi jika tidak, maka tetaplah menggunakan makanan pokok. Ini juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hanya saja Beliau membicarakannya bukan dalam konteks zakat fitri tapi zakat peternakan, bolehnya dibayarkan dengan uang jika memang itu lebih membawa maslahat, jika tidak ada maslahat, maka tetap tidak boleh menggunakan uang (harganya). Wallahu A’lam

Kepada siapa dibagikan zakat fitri? Tidak ada bedanya dengan zakat lain, bahwa zakat fitri hendaknya diberikan kepada delapan ashnaf yang telah dikenal. Tetapi, untuk zakat fitri penekanannya adalah kepada fakir miskin, sebagaimana riwayat di atas, agar mereka terpenuhi kebutuahnya dan tidak mengemis.

Syaikh Sayyid Sabiq berkata:


والفقراء هم أولى الاصناف بها
Orang-orang fakir, mereka adalah ashnaf yang lebih utama untuk memperoleh zakat fitri. (Fiqhus Sunnah, 1/415)

Dasarnya adalah hadits:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Dari Ibnu Abbas, katanya: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitri, untuk mensucikan orang yang berpuasa dari hal-hal yang sia-sia, perbuatan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. (HR. Abu Daud No. 1609, Ibnu Majah No. 1827. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1488, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari. Imam Ibnu Mulqin mengatakan: hadits ini shahih. Lihat Badrul Munir, 5/618.)

2. Zakat Mal (Zakat Harta)

Zakat Mal mencakup beberapa jenis harta, yakni:

A. Zakat Emas dan Perak

Kewajiban zakat emas dan perak, diperintahkan dalam Al Quran:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)

34. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
35. pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS. At Taubah (9): 34-35)

Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:


والزكاة واجبة فيهما، سواء أكانا نقودا، أم سبائك، أم تبرأ، متى بلغ مقدار المملوك من كل منهما نصابا، وحال عليه الحول، وكان فارغا عن الدين، والحاجات الاصلية.

Zakat diwajibkan atas keduanya (emas dan perak), sama saja apakah berupa mata uang, kepingan, atau masih gumpalan, pada saat dimiliki keduanya sudah mencapai nishab dan sudah se-haul (satu tahun) kepemilikannya, dan pemiliknya bebas dari hutang dan berbagai kebutuhan mendasar. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/339. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Nishab zakat emas adalah jika telah mencapai 20 Dinar dan selama satu tahun kepemilikan, maka zakatnya 1/40-nya, yakni setengah Dinar. (HR. Abu Daud No. 1573, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7325, dishahihkan Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1573)

Satu Dinar adalah 4,25 gram emas. Jadi, jika sudah memiliki 85 gram emas, maka dikeluarkan zakatnya 2,125 gram.

Nishab zakat perak adalah jika telah mencapai 200 Dirham selama setahun kepemilikan sebanyak 1/40-nya, yakni 5 dirham. (HR. Abu Daud No. 1574, At Tirmdizi No. 620, Ahmad No. 711, 1232, Al Bazar No. 679, dan lainnya. Imam At Tirmidzi bertanya kepada Imam Bukhari, apakah hadits ini shahih? Beliau menjawab: “shahih.” Lihat Sunan At Tirmidzi No. 620)

Satu Dirham adalah 2,975 gram perak. Jadi, jika sudah memiliki 595 gram perak, maka dikeluarkan zakatnya 14,875 gram.


B. Zakat Tijarah (Perniagaan)

Ini adalah pandangan jumhur ulama sejak zaman sahabat, tabi’in, dan fuqaha berikutnya, tentang wajibnya zakat harta perniagaan, ada pun kalangan zhahiriyah mengatakan tidak ada zakat pada harta perniagaan.

Zakat ini adalah pada harta apa saja yang memang diniatkan untuk didagangkan, bukan menjadi harta tetap dan dipakai sendiri.

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah mengatakan tentang batasan barang dagangan:


ولو اشترى شيئًا للقنية كسيارة ليركبها، ناويًا أنه إن وجد ربحًا باعها، لم يعد ذلك مال تجارة بخلاف ما لو كان يشتري سيارات ليتاجر فيها ويربح منها، فإذا ركب سيارة منها واستعملها لنفسه حتى يجد الربح المطلوب فيها فيبيعها، فإن استعماله لها لا يخرجها عن التجارة، إذ العبرة في النية بما هو الأصل، فما كان الأصل فيه الاقتناء والاستعمال الشخصي: لم يجعله للتجارة مجرد رغبته في البيع إذا وجد ربحًا، وما كان الأصل فيه الاتجار والبيع: لم يخرجه عن التجارة طروء استعماله. أما إذا نوى تحويل عرض تجاري معين إلى استعماله الشخصي، فتكفي هذه النية عند جمهور الفقهاء لإخراجه من مال التجارة، وإدخاله في المقتنيات الشخصية غير النامية

Seandainya seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri seperti mobil yang akan dikendarainya, dengan niat apabila mendatangkan keuntungan nanti dia akan menjualnya, maka itu juga bukan termasuk barang tijarah (artinya tidak wajib zakat, ). Hal ini berbeda dengan jika seseorang membeli beberapa buah mobil memang untuk dijual dan mengambil keuntungan darinya, lalu jika dia mengendarai dan menggunakan mobil itu untuk dirinya, dia menemukan adanya keuntungan dan menjualnya, maka apa yang dilakukannya yaitu memakai kendaraan itu tidaklah mengeluarkan status barang itu sebagai barang perniagaan. Jadi, yang jadi prinsip adalah niatnya. Jika membeli barang untuk dipakai sendiri, dia tidak meniatkan untuk menjual dan mencari keuntungan, maka hal itu tidak merubahnya menjadi barang tijarah walau pun akhirnya dia menjualnya dan mendapat keuntungan. Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat merubah barang dagangan menjadi barang yang dia pakai sendiri, maka niat itu sudah cukup menurut pendapat mayoritas fuqaha (ahli fiqih) untuk mengeluarkan statusnya sebagai barang dagangan, dan masuk ke dalam kategori milik pribadi yang tidak berkembang. (Fiqhuz Zakah, 1/290)

Contoh si A membeli barang-barang meubel untuk dipakai dan ditaruh dirumah, maka ini tidak kena zakat, sebab tidak ada zakat pada harta yang kita gunakan sendiri seperti rumah, kendaraan, pakaian, walaupun berjumlah banyak kecuali jika itu diperdagangkan . Nah, jika si A membeli barang-barang tersebut untuk dijual, maka barang tersebut wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishabnya dan jika sudah satu haul (setahun), yaitu dengan cara ditaksir harganya dan dikeluarkan dalam bentuk harganya itu, sebanyak 1/40 harganya.

Abu Amr bin Himas menceritakan, bahwa ayahnya menjual kulit dan alat-alat yang terbuat dari kulit, lalu Umar bin Al Khathab berkata kepadanya:


يَا حِمَاسُ ، أَدِّ زَكَاةَ مَالَك ، فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا لِي مَالٌ ، إنَّمَا أَبِيعُ الأَدَمَ وَالْجِعَابَ ، فَقَالَ : قَوِّمْهُ وَأَدِّ زَكَاتَهُ.

“Wahai Himas, tunaikanlah zakat hartamu itu.” Beliau menjawab: “Demi Allah, saya tidak punya harta, sesungguhnya saya cuma menjual kulit.” Umar berkata: “Perkirakan harganya, dan keluarkan zakatnya!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 10557, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7099, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7392)

Dari kisah ini, Imam Ibnu Qudamah mengatakan adanya zakat tijarah adalah ijma’, sebab tidak ada pengingkaran terhadap sikap Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu.

Beliau mengatakan:


وَهَذِهِ قِصَّةٌ يَشْتَهِرُ مِثْلُهَا وَلَمْ تُنْكَرْ ، فَيَكُونُ إجْمَاعًا

Kisah seperti ini masyhur (tenar), dan tidak ada yang mengingkarinya, maka hal ini menjadi ijma’. (Lihat Al Mughni, 5/414. Mawqi’ Al Islam)

Yang termasuk kategori ini, adalah hasil dari sewa menyewa. Tanah, kios, kebun, rumah, tidaklah ada zakatnya, tetapi jika disewakan maka harga sewa itu yang dizakatkan.

Syaikh Muhammad Khaathir Rahimahullah (mufti Mesir pada zamannya) berkata:


لا تجب فى الأرض المعدة للبناء زكاة إلا إذا نوى التجارة بشأنها


Tanah yang dipersiapkan untuk didirikan bangunan tidak wajib dizakati, kecuali diniatkan untuk dibisniskan dengan mengembangkannya. (Fatawa Al Azhar, 1/157. Fatwa 15 Muharam 1398)

C. Zakat Hasil Tanaman dan Buah-Buahan

Para fuqaha sepakat atas kewajiban zakat tanaman dan buah-buahan. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam jenis tanaman dan buah apa saja yang dizakatkan.

Secara ringkas sebagai berikut:

a. Zakat tanaman dan buah-buahan hanya pada yang disebutkan secara tegas oleh syariat, seperti gandum, padi, biji-bijian, kurma dan anggur, selain itu tidak ada zakat. Ini pendapat Imam Al Hasan Al Bashri, Imam Sufyan Ats Tsauri, dan Imam Asy Sya’bi. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy Syaukani.

Pendapat ini berdasarkan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari ketika mereka diutus ke Yaman:


لا تأخذوا الصدقة إلا من هذه الأربعة الشعير والحنطة والزبيب والتمر

“Janganlah kalian ambil zakat kecuali dari empat macam: biji-bijian, gandum, anggur kering, dan kurma. “ (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1459, katanya: shahih. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7242 , Ad Daruquthni No. 15)

Secara khusus tidak adanya zakat sayur-sayuran (Al Khadharawat), Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


لَيْسَ فِي الْخُضْرَوَاتِ صَدَقَةٌ.

Pada sayur-sayuran tidak ada zakatnya. (HR. Al Bazzar No. 940, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 5921. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 5411)

Maka, tidak ada zakat pada semangka, jambu, durian, sayur-sayuran, dan lainnya yang tidak disebutkan oleh nash. Kecuali jika buah-buahan dan tanaman ini diperdagangkan, maka masuknya dalam zakat tijarah.

b. Sayur-sayuran dan semua yang dihasilkan oleh bumi (tanah) wajib dizakati, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, juga Imam Ibnul ‘Arabi, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, dan umumnya ulama kontemporer.

Dasarnya keumuman firman Allah Ta’ala:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu .. (QS. Al Baqarah (2): 267)

Juga keumuman hadits:

فيما سقت السماء العشر

Apa saja yang disirami air hujan maka zakatnya sepersepuluh. (Hadits yang semisal ini diriwayatkan oleh banyak imam diantaranya: Al Bukhari, At Tirmidzi, An Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Al Baihaqi, Ath Thabarani, Ad Daruquthni, Al Baghawi, Al Bazzar, Ibnu Hibban, Ath Thahawi, dan Ibnu Khuzaimah)

Maka, hasil tanaman apa pun mesti dikelurkan zakatnya, baik yang dikeluarkan adalah hasilnya itu, atau harganya.

c. Pendapat Al Qadhi Abu Yusuf yang mengatakan semua yang tumbuh dari bumi mesti dizakatkan, selama yang bisa bertahan dalam setahun. Ada pun yang tidak bisa bertahan dalam setahun seperti mentimun, sayur-sayuran, semangka, dan yang apa saja yang akan busuk dalam waktu sebelum setahun, maka itu tidak ada zakat.


d. Kalangan Malikiyah berpendapat, hasil bumi yang dizakatkan memiliki syarat yaitu yang bertahan (awet) dan kering, dan ditanam oleh orang, baik sebagai makanan pokok seperti gandum dan padi, atau bukan makanan pokok seperti jahe dan kunyit. Mereka berpendapat tidak wajib zakat pada buah tin, delima, dan sayur-sayuran.

e. Kalangan Syafi’iyah berpendapat, hasil bumi wajib dizakatkan dengan syarat sebagai makanan pokok dan dapat disimpan, serta ditanam oleh manusia, seperti padi dan gandum. Tidak wajib zakat pada sayur-sayuran.

f. Imam Ahmad berpendapat, hasil bumi wajib dizakatkan baik biji-bijian dan buah-buahan, yang bisa kering dan tahan lama, baik yang ditakar dan ditanam manusia, baik makanan pokok seperti gandum dan padi, atau bukan seperti jahe dan kunyit. Juga wajib zakat buah-buahan yang punya ciri di atas seperti kurma, anggur, tin, kenari, dan lainnya. Sedangkan yang tidak bisa dikeringkan tidak wajib zakat seperti semangka, pepaya, jambu, dan semisalnya.

Kita lihat, para ulama sepakat tentang wajibnya zakat tanaman hanya pada kurma, padi, gandum, biji-bijian, dan anggur. Tetapi mereka tidak sepakat tentang wajibnya zakat pada tanaman yang bukan menjadi makanan pokok, seperti jahe, kunyit, buah-buahan selain anggur dan kurma, dan sayur-sayuran, sebagian mengatakan wajib, sebagian lain tidak. Masing-masing alasan telah dipaparkan di atas.

Nishabnya adalah jika hasilnya sudah mencapai 5 wasaq, sebagaimana disebutkan dalam hadits:


لَيْسَ فِيمَا أَقَلُّ مِنْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ

Tidak ada zakat pada apa-apa yang kurang dari lima wasaq. (HR. Bukhari No. 1484, Muslim No. 979)

Lima wasaq adalah enam puluh sha’ berdasarkan ijma’, dan satu sha’ adalah empat mud, lalu satu mud adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang dewasa. Dr. Yusuf Al Qaradhawi telah membahas ini secara rinci dalam kitab monumental beliau, Fiqhuz Zakah, dan menyimpulkan bahwa lima wasaq adalah setara dengan +/- 653 Kg.

D. Zakat Ternak

Zakat hewan ternak (Al An’am) pada Unta, Sapi, Kerbau dan Kambing (dengan berbagai variannya) adalah ijma’ , tidak ada perbedaan pendapat.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:


جاءت الاحاديث الصحيحة، مصرحة بإيجاب الزكاة في الابل، والبقر، والغنم، وأجمعت الامة على العمل.
ويشترط لايجاب الزكاة فيها: أن تبلغ نصابا وأن يحول عليها الحول وأن تكون سائمة، أي راعية من الكلا المباح أكثر العام

Telah datang berbagai hadits shahih yang menjelaskan kewajiban zakat pada Unta, Sapi, dan Kambing, dan umat telah ijma’ (sepakat) untuk mengamalkannya. Zakat ini memiliki syarat: sudah sampai satu nishab, berlangsung selama satu tahun, dan hendaknya hewan tersebut adalah hewan yang digembalakan, yaitu memakan rumput yang tidak terlarang sepanjang tahun itu. (Fiqhus Sunnah, 1/363)

Sedangkan, selain hewan Al An’am tidak wajib dizakatkan, seperti kuda, keledai, ayam, ikan, bighal, kecuali jika semua dijual, maka masuknya dalam zakat tijarah (perniagaan). Wallahu A’lam

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:


لا زكاة في شئ من الحيوانات غير الانعام.فلا زكاة في الخيل والبغال والحمير، إلا إذا كانت للتجارة

Tidak ada zakat pada hewan-hewan selain Al An’am, maka tidak ada zakat pada kuda, bighal (peranakan kuda dan keledai), keledai, kecuali jika untuk diperdagangkan. (Fiqhus Sunnah, 1/368)

Namun demikian, tidak semua Al An’am bisa dizakatkan, ada syarat yang mesti dipenuhi:
1. Sampai nishabnya
2. Sudah berlangsung satu tahun (haul)
3. Hendaknya hewan ternak itu adalah hewan yang digembalakan, yang memakan rumput yang tidak terlarang dalam sebagai besar masa setahun itu.

Tiga syarat ini merupakan pendapat mayoritas ulama, kecuali Imam Malik dan Imam Laits bin Sa’ad. Menurut mereka berdua, hewan ternak yang makanannya disabitkan (bukan digembalakan) juga boleh dizakatkan.

Syaikh Sayyid Sabiq mengomentari:


لكن الاحاديث جاءت مصرحة بالتقييد بالسائمة، وهو يفيد بمفهومه: أن المعلوفة لا زكاة فيها، لانه لا بد للكلام عن فائدة، صونا له عن اللغو.

Tetapi hadits-hadits yang ada dengan gamblang mengkhususkan dengan hewan yang digembalakan, dan hal itu membawa pengertian: bahwa yang disabitkan rumputnya tidaklah wajib zakat, karena penyebutan tersebut mesti ada faidahnya, agar ucapan itu tidak sia-sia. (Ibid, 1/364)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:


ولا أعلم من قال بقول مالك والليث من فقهاء الأمصار

Saya tidak ketahui ada fuqaha sepenjuru negeri yang setuju dengan pendapat Malik dan Al Laits. (Imam Az Zarqani, Syarh ‘Alal Muwaththa’, 2/154)

- Zakat Unta, berikut rincian dalam Fiqhus Sunnah:

• Nishabnya 5 ekor, mesti dikeluarkan 1 ekor kambing biasa yang sudah berusia setahun lebih, atau kambing benggala (dha’n), seperti kibas, biri-biri, berusia setahun.
• Jika 10 ekor, maka yang dikeluarkan 2 ekor kambing betina, dan seterusnya jika bertambah lima bertambah pula zakatnya satu ekor kambing betina.
• Jika banyaknya 25 ekor, maka zakatnya 1 ekor anak unta betina umur 1-2 tahun, atau 1 ekor anak unta jantan umur 2-3 tahun.
• Jika 36 ekor, zakatnya 1 ekor anak unta betina usia 2-3 tahun
• Jika 46 ekor, zakatnya 1 ekor unta betina berumur 3-4 tahun
• Jika 61 ekor, zakatnya 1 ekor unta betina 4-5tahun
• Jika 76 ekor, zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 2-3 tahun
• Jika 91 ekor sampai 120 ekor, zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 3-4 tahun

- Zakat Sapi

• Tidak wajib zakat jika belum sampai 30 ekor, dalam keadaan digembalakan, dan sudah satu haul, zakatnya 1 ekor sapi jantan atau betina berumur 1 tahun
• Jika 40 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina berumur 2 tahun
• Jika 60 ekor, zakatnya 2 ekor sapi berumur 1 tahun
• Jika 70 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina umur 2 tahun dan 1 ekor sapi jantan berumur 1 tahun
• Jika 80 ekor, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun
• Jika 90 ekor, zakatnya 3 ekor sapi umur 1 tahun
• Jika 100 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina umur 2 tahun, serta 2 ekor sapi jantan umur 1 tahun
• 110 ekor, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun, dan 1 ekor sapi jantan umur 1 tahun
• 120 ekor, zakatnya 3 ekor sapi betina berumur 2 tahun, atau 4 ekor sapi umur 1 tahun.

Dan seterusnya, jika banyaknya bertambah, maka setiap 30 ekor adalah 1 ekor sapi umur 1 tahun, dan setiap 40 ekor adalah 1 ekor sapi betina berumur 2 tahun.

- Zakat kambing

• Tidak dizakatkan kecuali sudah mencapai 40 ekor. Jika berjumlah antara 40-120 ekor dan sudah cukup satu haul, maka zakatnya 1 ekor kambing betina.
• Dari 121-200 ekor, zakatnya adalah 2 ekor kambing betina
• Dari 201-300 ekor, zakatnya adalah 3 ekor kambing betina. Dan seterusnya, tiap tambahan 100 ekor, dikelurkan 1 ekor kambing betina. Dari domba berumur 1 tahun, dari kambing biasa 2 tahun.
Jika kambingnya hanya ada yang jantan, maka boleh dikeluarkan yang jantan. Jika sebagian jantan dan sebagian betina, atau semuanya betina, ada yang membolehkan jantan, ada juga hanya betina yang dizakatkan.

E. Zakat Rikaz dan Barang Tambang (Ma’din)

Definisi Rikaz sebagai berikut:

قَالَ مَالِك الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا وَالَّذِي سَمِعْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ يَقُولُونَهُ إِنَّ الرِّكَازَ إِنَّمَا هُوَ دِفْنٌ يُوجَدُ مِنْ دِفْنِ الْجَاهِلِيَّةِ مَا لَمْ يُطْلَبْ بِمَالٍ وَلَمْ يُتَكَلَّفْ فِيهِ نَفَقَةٌ وَلَا كَبِيرُ عَمَلٍ وَلَا مَئُونَةٍ فَأَمَّا مَا طُلِبَ بِمَالٍ وَتُكُلِّفَ فِيهِ كَبِيرُ عَمَلٍ فَأُصِيبَ مَرَّةً وَأُخْطِئَ مَرَّةً فَلَيْسَ بِرِكَازٍ

Berkata Imam Malik: “Perkara yang tidak lagi diperselisihkan bagi kami dan yang saya dengar dari para ulama, bahwa mereka mengatakan rikaz adalah harta terpendam yang dipendam sejak masa jahiliyah, untuk menemukannya tidak membutuhkan ongkos, tidak juga upaya keras dan tenaga besar untuk mencarinya. Sedangkan yang ditemukan dengan menggunakan ongkos dan bersusah payah mencarinya, yang kadang bisa berhasil, waktu lain bisa gagal, maka itu bukan rikaz.” (Al Muwaththa’ No. 585, riwayat Yahya Al Laitsi)
Sedangkan Ma’din (barang tambang) adalah: diambil dari kata ya’danu – ‘ad-nan yang artinya menetap pada suatu tempat.

Nishab zakat emas adalah jika telah mencapai 20 Dinar dan selama satu tahun kepemilikan, maka zakatnya 1/40-nya, yakni setengah Dinar. (HR. Abu Daud No. 1573, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7325, dishahihkan Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1573)

Nishab zakat perak adalah jika telah mencapai 200 Dirham selama setahun kepemilikan sebanyak 1/40-nya, yakni 5 dirham. (HR. Abu Daud No. 1574, At Tirmdizi No. 620, Ahmad No. 711, 1232, Al Bazar No. 679, dan lainnya. Imam At Tirmidzi bertanya kepada Imam Bukhari, apakah hadits ini shahih? Beliau menjawab: “shahih.” Lihat Sunan At Tirmidzi No. 620)

Dalil wajibnya zakat rikaz adalah:

وفي الركاز الخمس

Dan pada rikaz zakatnya adalah seperlima (khumus). (HR. Bukhari No. 1499, Muslim No. 1710)
Hadits ini menunjukkan wajibnya zakat rikaz, dan berapa yang mesti dikeluarkan, yakni 1/5, atau 20 %.
Rikaz yang mesti dikeluarkan zakatnya adalah:


الركاز الذي يجب فيه الخمس، هو كل ما كان مالا، كالذهب والفضة، والحديد، والرصاص، والصفر، والانية، وما أشبه ذلك.وهو مذهب الاحناف، والحنابلة، وإسحق، وابن المنذر، ورواية عن مالك، وأحد قولي الشافعي.وله قول آخر: أن الخمس لا يجب إلا في الاثمان: الذهب والفضة

Rikaz yang wajib dikeluarkan zakatnya seperlima adalah semua yang berupa harta seperti emas, perak, besi, timah, tembaga, bejana, dan yang semisalnya. Inilah pendapat Hanafiyah, Hanabilah, Ishaq, Ibnul Mundzir, satu riwayat dari Malik, salah satu pendapat dari Asy Syafi’i. Pendapat yang lain: bahwa seperlima tidaklah wajib kecuali pada mata uang: yaitu emas dan perak. (Fiqhus Sunah, 1/374)

Kepada siapa diwajibkan? Siapa saja yang menemukan rikaz, wajib mengeluarkan zakatnya, baik dewasa atau anak-anak, berakal atau gila, bahkan kafir dzimmi sekali pun. Ada pun untuk anak-anak dan orang gila yang mengurus pengeluaran zakatnya adalah walinya.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mennyebutkan:


قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ ، عَلَى أَنَّ عَلَى الذِّمِّيِّ فِي الرِّكَازِ يَجِدُهُ الْخُمْسَ .
قَالَهُ مَالِكٌ ، وَأَهْلُ الْمَدِينَةِ ، وَالثَّوْرِيُّ ، وَالْأَوْزَاعِيُّ ، وَأَهْلُ الْعِرَاقِ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ ، وَغَيْرُهُمْ .
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ : لَا يَجِبُ الْخُمْسُ إلَّا عَلَى مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ ؛ لِأَنَّهُ زَكَاةٌ .
وَحُكِيَ عَنْهُ فِي الصَّبِيِّ وَالْمَرْأَةِ أَنَّهُمَا لَا يَمْلِكَانِ الرِّكَازَ .

Semua ulama yang telah saya ketahui telah sepakat, bahwa orang dzimmi juga wajib mengeluarkan zakat rikaz yang ditemukannya sebesar 1/5. Ini menjadi pendapat Malik, penduduk Madinah, Ats Tsauri, Al Awza’i, penduduk Iraq, ashhab ar ra’yi (pengikut Imam Abu Hanifah), dan selain mereka. Imam Asy Syafi’i berkata: tidak wajib seperlima kecuali kepada orang yang wajib berzakat, karena zakat adalah zakat. Diceritakan darinya, bahwa anak-anak dan wanita tidaklah memiliki rikaz. (Al Mughni, 5/400)

Zakat rikaz dikeluarkan tanpa menunggu haul, tapi dikeluarkan ketika menemukannya, juga tidak ada nishab. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas).


F. Zakat Profesi/Penghasilan/Mata Pencaharian

Ini adalah jenis zakat yang diperselisihkan para ulama. Hal ini sama dengan sebagian zakat lainnya, seperti zakat sayur-sayuran, buah-buahan selain kurma, dan zakat perdagangan. Sebagian kalangan ada yang bersikap keras menentang zakat profesi, padahal perbedaan seperti ini sudah ada sejak masa lalu, ketika mereka berbeda pendapat tentang ada tidaknya zakat sayuran, buah, dan perdagangan tersebut. Seharusnya perbedaan pendapat yang disebabkan ijtihad seperti ini tidak boleh sampai lahir sikap keras apalagi membid’ahkan.
Mereka yang mendukung pendapat ini seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdurrahman Hasan, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, memandang ada beberapa alasan keharusan adanya zakat profesi:

- Profesi yang dengannya menghasilkan uang, termasuk kategori harta dan kekayaan.

- Kekayaan dari penghasilan bersifat berkembang dan bertambah, tidak tetap, ini sama halnya dengan barang yang dimanfaatkan untuk disewakan. Dilaporkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencaharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab, walau tanpa haul.

- Selain itu, hal ini juga diqiyaskan dengan zakat tanaman, yang mesti dikeluarkan oleh petani setiap memetik hasilnya. Bukankah petani juga profesi? Sebagian ulama menolak menggunakan qiyas dalam masalah ini, tetapi pihak yang mendukung mengatakan bukankah zakat fitri dengan beras ketika zaman nabi juga tidak ada? Bukankah nabi hanya menyontohkan dengan kurma dan gandum? Saat ini ada zakat fitri dengan beras karena beras adalah makanan pokok di Indonesia, tentunya ini juga menggunakan qiyas, yakni mengqiyaskan dengan makanan pokok negeri Arab saat itu, kurma dan gandum. Jadi, makanan apa saja yang menjadi makanan pokok-lah yang dijadikan alat pembayaran zakat. Jika mau menolak, seharusnya tolak pula zakat fitri dengan beras yang hanya didasarkan dengan qiyas sebagai makanan pokok.

- Dalam perspektif keadilan Islam, maka adanya zakat profesi adalah keniscayaan. Bagaimana mungkin Islam mewajibkan zakat kepada petani yang pendapatannya tidak seberapa, namun membiarkan para pengusaha kaya, pengacara, dokter, dan profesi prestise lainnya menimbun harta mereka? Kita hanya berharap mereka mau bersedekah sesuai kerelaan hati?

- Dalam perspektif maqashid syari’ah (tujuan dan maksud syariat), adanya zakat profesi adalah sah. Sebab lebih mendekati keadilan dan kemaslahatan, serta sesuai ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (keluarkan zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.“ (QS. Al Baqarah (2): 267)
Bukankah zakat penghasilan diambil dari hasil usaha yang baik-baik saja?

- Mereka berpendapat bahwa zakat profesi ada dua jenis pelaksanaan, sesuai jenis pendapatan manusia. Pertama, untuk orang yang gajian bulanan, maka pendekatannya dengan zakat tanaman, yaitu nishabnya adalah 5 wasaq, senilai dengan 653 Kg gabah kering giling, dan dikeluarkan 2,5%, yang dikeluarkan ketika menerima hasil (gaji), tidak ada haul. Kedua, bagi yang penghasilannya bukan bulanan, seperti tukang jahit, kontraktor, pengacara, dokter, dan semisalnya, menggunakan pendekatan zakat harta, yakni nishab senilai dengan 85gr emas setelah diakumulasi dalam setahun, setelah dikurangi hutang konsumtif, dikeluarkan sebesar 2,5%.

Pihak yang menolak, umumnya para ulama Arab Saudi dan yang mengikuti mereka, berpendapat tidak ada zakat profesi. Sebab Al Quran dan As Sunnah secara tekstual tidak menyebutkannya.

Mereka menganggap, aturan main zakat profesi tidaklah konsisten. Kenapa nishabnya diqiyaskan dengan zakat tanaman (5 wasaq), tetapi yang dikeluarkan bukan dengan ukuran zakat tanaman pula? Seharusnya dikeluarkan adalah 5% atau 10% sebagaimana zakat tanaman, tetapi zakat profesi mengeluarkan zakatnya adalah 2,5% mengikuti zakat emas.
Sementara Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Al Munajjid dan lainnya mengatakan bahwa zakat penghasilan itu ada, tetapi seperti zakat lainnya, mesti mencapai nishab, dan menunggu selama satu haul. Dengan kata lain, tidak diwajibkan zakat penghasilan pada gaji bulanan.
Demikianlah perselisihan ini.

Wallahu A’lam
Sumber : http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/292

Untuk mengetahui lembaga zah penerima zakat silahkan ikuti link berikut :Lembaga Sah Penerima Zakat.
Semoga artikel Zakat : Macam-macam Zakat dan Dalil-dalilnya ini bermanfaat  bagi kita semua. Aamiin

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...