Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an
menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai
anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas
saudara seayah atau seibu.
Oleh karena
itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris,
sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw.
dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan
syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara
detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan
merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di
samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu
maupun kelompok masyarakat.
Dalam hal hak
anak laki-laki dan anak perempuan di dalam hukum islam dan di jelskan juga
dalam Al-Qur’an bagiannya adalah seorang anak laki-laki sama dengan dua orang
perempuan. Dan hal itu sudah qadh’i dan
tidak bisa diubah-ubah karena telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits.
Sedangkan menurut Fazlur Rahman mungkin
dapat dicatat sebagai salah satu pembaharu yang mempromosikan metode
kontekstual. Ketika ia ingin memahami pengertian literal dari kata al-Ribā menurut
al-Qur’an, ia mengemukakan sejumlah ayat yang terkait, dan menelusuri konteks
pembicaraan ayat-ayat tersebut, kemudian mengaitkannya dengan latar sosio-historis
masyarakat Arab ketika itu demi menemukan prinsip-prinsip moral yang
dikandungnya.
Langkah ini disajikan Fazlur Rahman
sebagai bagian dari penerapan metode tafsir yang disebutnya gerak ganda (double
movement). Sederhananya pada gerakan pertama metode ini, dilakukan makna teks
yang selaras dengan konteks pada waktu teks al-Qur’an diturunkan, karenanya
pesan al-Qur’an harus dipelajari secara kronologis, dilanjutkan dengan menggali
prinsip-prinsip umum al-Qur’an melalui konteks sosio-culture masyarakat
Arab pada waktu itu. Dilanjutkan dengan gerakan yang kedua, mengkaji keadaan
sosiologis masyarakat kontemporer di atas prinsip-prinsip umum al-Qur’an yang
nantinya dapat diterapkan. Salah satu isu kontemporer yang berkembang
dalam khazanah pemikiran Islam adalah problem pembagian waris. Tidak lain
penyebab timbulnya isu ini disebabkan karena adanya dikotomi metodologi klasik
yang condong pada nilai-nilai normatif dan metodologi kontemporer yang condong
pada nilai-nilai progressif. Jika merujuk pada doktrin normatifitas kewarisan
Islam, perbandingan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1
dan sampai kapan pun akan tetap sperti itu, dengan landasan bahwa ayat-ayat
tentang ketentuan waris bersifat qath’i (tetap) dan ijbari (paksaan), implikasi dari ketentuan itu
menimbulkan tidak boleh adanya ruang ijtihad dalam kewarisan Islam. Dalam hal ini Fazlur Rahman menafsiri lain
dengan kewarisan Islam normatif, perbandingan laki-laki dan perempuan pembagian
waris yang ketentuanya 2:1 di interpretasikan menjadi menjadi 1:1, berdasarkan
teori double movementnya
dalam menafsiri ayat-ayat al-Qur’an. Menurut modernis asal Pakistan ini, bagian
waris yang diterima oleh anak perempuan sama dengan yang diterima oleh saudara
laki-lakinya (1:1). Hal ini dikarenakan kondisi perempuan telah mengalami
perubahan, sebagaimana nilai-nilai dan keajaiban ekonomi dalam suatu masyarakat
tradisional yang merupakan simbol-simbol fungsional dari peran-peran aktual
dalam masyarakat yang bersangkutan. Rahman menilai, peran-peran di masyarakat
itu tidak ada yang inherent dan
pasti mengalami perubahan. Maka jika rasa dan pertimbangan keadilan
menghendakinya, perubahan atas peran-peran tersebut sudah barang tentu tidak bertentangan
dengan prinsip moral dalam al-Qur’an. Demikian pula mengenai bagian suami dan
istri.
Rujukan :
-
Abd al-Wahab Khalla>f, ‘Ilm
Usul Fiqh, terj. Masdar Helmy, cet.1 (Bandung: Gema Risalah Press, 1996).
-
Totok Jumantoro dan Samsul Munir, Kamus
Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2009).
-
Komarudin Hidayat, “Arkoun dan
Tradisi Hermeneutika”, dalam Hendrik Meulemen, Tradisi Kemodernan dan
Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, cet. 1
(Yogyakarta: LKiS, 1996).
-
Daud Ali, Hukum Islam dan
Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali, 1997).
No comments:
Post a Comment