Hukum Menikahi Wanita Tidak Perawan Karena Zina. Ketika malam pertama perkawinan anda menjumpai istri tidak perawan, apa respons anda? Marah dan kecewa itu pasti. Tapi tunggu dulu, adakalanya ketidakperawanan disebabkan oleh ketidaksengajaan seperti jatuh, olahraga, diperkosa. Tapi banyak juga disebabkan karena pernah berbuat zina dengan pacar atau siapapun. Bagaimana hukum pernikahan wanita pezina, apakah sah? Perlukah diulangi?
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
Ada dua kategori wanita yang tidak perawan, yaitu karena berstatus janda atau pernah berzina. Yang dimaksud dalam judul tulisan ini adalah makna yang kedua. Tulisan ini berasal dari sebuah pertanyaan yang dikirim ke info@alkhoirot.com sebagai berikut: “Apakah hukum dalam agama Islam menikah dengan wanita yang pernah berzina atau sudah tidak perawan lagi akibat pergaulan bebas?”
Pertanyaan itu timbul karena ada firman Allah dalam QS An-Nur 24:3 yang menyatakan: “Seorang lelaki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Seorang wanita pezina tidak boleh menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Hal itu diharamkan bagi seorang mukmin.”[1] Secara eksplisit ayat ini jelas menyatakan larangan menikah dengan wanita yang pernah berzina. Itulah sebabnya si penanya menjadi ragu-ragu ketika hendak menikahi seorang perempuan yang ternyata sudah tidak perawan lagi karena pernah melakukan hubungan zina dengan lelaki yang dikenal sebelumnya.
Ismail bin Umar Ibnu Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi dalam Tafsir Ibnu Katsir membandingkan ayat ini dengan QS An-Nisa’ 4:25 di mana Allah berfirman “…sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;”[2] Dalam konteks inilah Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal demikian:
ذهب الإمام أحمد بن حنبل ، رحمه الله ، إلى أنه لا يصح العقد من الرجل العفيف على المرأة البغي ما دامت كذلك حتى تستتاب ، فإن تابت صح العقد عليها وإلا فلا وكذلك لا يصح تزويج المرأة الحرة العفيفة بالرجل الفاجر المسافح ، حتى يتوب توبة صحيحة; لقوله تعالى : وحرم ذلك على المؤمنين
(Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwasanya tidak sah akad nikah laki-laki saleh yang menikahi wanita nakal (pezina) kecuali setelah bertaubat. Apabila wanita itu bertaubat maka sah akad nikahnya. Begitu juga tidak sah perkawinan wanita salihah dengan laki-laki pezina kecuali setelah melakukan taubat yang benar karena berdasar pada firman Allah dalam akhir ayat QS An-Nur 24:3.)[3]
Sementara itu Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menguraikan sejumlah perbedaan penafsiran dan ikhtilaf ulama dalam memahami ayat QS An-Nur 24:3 tersebut. Dari pendapat Ibnu Mas’ud yang mengharamkan menikahi wanita perzina sampai pendapat Said bin Al-Musayyab dan segolongan ulama yang membolehkan wanita pezina secara mutlak karena menganggap ayat 24.3 sudah di-naskh oleh QS Annur 24:23 yang berbunyi ” Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu…” .[4] Selain itu, ulama yang membolehkan menikahi wanita pezina berargumen adanya hadits dari Sahabat Jabir sebagai berikut:
أن رجلا أتى النبي – صلى الله عليه وسلم – فقال يا رسول الله إن امرأتي لا تدفع يد لامس ؟ قال : طلقها ، قال : فإني أحبها وهي جميلة ، قال : استمتع بها . وفي رواية غيره ” فأمسكها إذا
Artinya: Seorang laki-laki datang pada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, istri saya tidak pernah menolak sentuhan tangan lelaki.” Nabi menjawab, “Ceraikan dia!”. Pria itu berkata: “Tapi saya mencintainya karena dia cantik”. Nabi menjawab: “Kalau begitu jangan dicerai.”[5]
Dari hadits ini, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk menyimpulkan:
وإن زنى رجل بزوجة رجل لم ينفسخ نكاحها، وبه قال عامة العلماء ، وقال على بن أبى طالب: ينفسخ نكاحها وبه قال الحسن البصري دليلنا حديث ابن عباس في الرجل الذى قال للنبى صلى الله عليه وسلم: إن امرأتي لا ترد يد لامس
(Apabila seorang lelaki berzina dengan istri orang lain, maka nikah perempuan itu tidak rusak (tidak batal). Ini pendapat kebanyakan ulama. Ali bin Abi Talib berkata: nikahnya rusak (batal) pendapat ini diikuti Al-Hasan Al-Bishri. Dalil kita adalah hadits Ibnu Abbas di mana seorang laki-laki yang istrinya berzina diberi pilihan oleh Nabi untuk mentalak atau tidak.)[6]
Pendapat Imam Nawawi di atas senada dengan pendapat Imam Syafi’i dalam Al-Umm yang menyatakan:[7]
فالاختيار للرجل أن لا ينكح زانية وللمرأة أن لا تنكح زانيا فإن فعلا فليس ذلك بحرام على واحد منهما ليست معصية واحد منهما في نفسه تحرم عليه الحلال إذا أتاه قال وكذلك لو نكح امرأة لم يعلم أنها زنت فعلم قبل دخولها عليه أنها زنت قبل نكاحه أو بعده لم تحرم عليه ولم يكن له أخذ صداقه منها ولا فسخ نكاحها وكان له ان شاء أن يمسك وإن شاء أن يطلق وكذلك إن كان هو الذى وجدته قد زنى قبل أن ينكحها أو بعدما نكحها قبل الدخول أو بعده فلا خيار لها في فراقه وهى زوجته لحالها ولا تحرم عليه وسواء حد الزانى منهما أو لم يحد أو قامت عليه بينة أو اعترف لا يحرم زنا واحد منهما ولا زناهما ولا معصية من المعاصي الحلال إلا أن يختلف ديناهما بشرك وإيمان.
(Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan. Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar [pilihan] untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.)
Pernikahan Wanita Hamil Zina
Masalah kedua yang timbul dan banyak terjadi dewasa ini adalah bagaimana apabila wanita pezina tadi ternyata dalam keadaan hamil, bolehkah dinikahi? Ulama fiqih madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa tidak boleh menikahi wanita hamil zina berdasarkan pada hadits sahih riwayat Abu Daud dan Hakim di mana Nabi bersabda: “Wanita hamil tidak boleh dijimak (dinikahi) kecuali setelah melahirkan.”[8]
Madzhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan bahwa boleh hukumnya menikahi wanita hamil karena zina. Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alwi, seorang ulama madzhab Syafi’i, dalam kitabBughiyatul Mustarsyidin menyatakan: “boleh menikahi wanita hamil karena zina baik oleh yang menzinahinya maupun pria lain. Begitu juga boleh melakukan hubungan intim tapi makruh.”[9]
Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzab juga menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil zina karena kehamilannya tidak dinasabkan kepada siapapun karena itu adanya janin dianggap tidak ada.”[10] Senada dengan pendapat ini adalah Zakaria Al-Anshari dalam kitab Asnal Mathalib di mana ia menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil karena zina dan berhubungan intim dengannya seperti halnya wanita yang tidak hamil karena tidak ada keharaman bagi wanita itu.”[11]
ٍIbnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyah secara ringkas menguraikan sejumlah pendapat antar-madzhab yang berbeda-beda sebagai berikut: [12]
ِ وَأَمَّا نِكَاحُ الْحَامِلِ من الزِّنَا فَفِيهِ خِلَافٌ مُنْتَشِرٌ أَيْضًا بَيْن أَئِمَّتِنَا وَغَيْرِهِمْ وَالصَّحِيحُ عِنْدَنَا الصِّحَّةُ وَبِهِ قال أبو حَنِيفَةَ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه لِأَنَّهَا لَيْسَتْ في نِكَاحٍ وَلَا عِدَّةٍ من الْغَيْر وَعَنْ مَالِكٍ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه قَوْلٌ بِخِلَافِهِ
ثُمَّ إذَا قَلَّدَ الْقَائِلِينَ بِحِلِّ نِكَاحِهَا وَنَكَحَهَا فَهَلْ له وَطْؤُهَا قبل الْوَضْعِ الذي صَحَّحَهُ الشَّيْخَانِ نعم قال الرَّافِعِيُّ أَنَّهُ لَا حُرْمَة لِحَمْلِ الزِّنَا وَلَوْ مُنِعَ الْوَطْءُ لِمَنْعِ النِّكَاحِ كَوَطْءِ الشُّبْهَةِ وقال ابن الْحَدَّادِ من أَئِمَّتِنَا لَا يَجُوزُ له الْوَطْءُ وَبِهِ قال أبو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَدَاوُد رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى وَاسْتَدَلُّوا بِخَبَرِ أبي دَاوُد وَالتِّرْمِذِيِّ وَلَفْظُهُ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخَرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ وَيُجَابُ بِأَنَّ ذلك إنَّمَا وَرَدَ لِلتَّنْفِيرِ عن وَطْءِ الْمَسْبِيَّةِ الْحَامِلِ لِأَنَّ حَمَلَهَا مُحْتَرَمٌ فَحُرِّمَ الْوَطْءُ لِأَجْلِ احْتِرَامِهِ بِخِلَافِ حَمْلِ الزِّنَا فإنه لَا حُرْمَةَ له تَقْتَضِي تَحْرِيمَ الْوَطْءِ وَعَلَى الْقَوْلِ بِحِلِّهِ هو مَكْرُوهٌ كما في الْأَنْوَارِ وَغَيْرِهِ خُرُوجًا من خِلَافِ من حَرَّمَهُ هذا كُلُّهُ فِيمَا تُحُقِّقَ أَنَّهُ من الزِّنَا
(Adapun menikahi wanita hamil zina terdapat perbedaan ulama. Yang sahih adalah pendapat yang mengesahkan. Abu Hanifah berkata wanita hamil itu tidak dalam keadaan nikah dan tidak dalam keadaan iddah dari pria lain. Sedang dari Imam Malik terdapat pendapat yang berbeda.
Kemudian apabila orang bertaklid pada pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil lalu menikah dengannya apakah boleh berhubungan intim sebelum wanita itu melahirkan? Pendapat yang sahih menurut Syaikhain [Nawawi – Rafi’i] adalah boleh. Sedangkan menurut pendapat Ibnul Haddad tidak boleh hubungan intim selama hamil. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, Malik, dan Dawud… Bagi pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil zina, maka makruh melakukan hubungan intim sebelum melahirkan seperti keterangan dalam kitab Al-Anwar dan lainnya).
Seperti dijelaskan di muka bahwa dalam tinjauan fiqih sah hukumnya pernikahan wanita pezina baik dalam keadaan hamil atau tidak. Baik pria yang menikahi sama-sama perzina atau orang salih Namun demikian, bagi lelaki dan wanita salih, menikah dengan pasangan yang pernah berzina hendaknya menjadi pilihan terakhir kecuali kalau memang sudah betul-betul taubat. Karena hal itu akan memiliki efek psikologis dan sosial kelak di kemudian hari dalam kehidupan berumahtangga.Kalau bisa memilih pasangan yang salih dan salihah mengapa harus memilih pasangan yang punya masa lalu kelam?[]
________________
________________
CATATAN KAKI
[1] الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين
[2] محصنات غير مسافحات ولا متخذات أخدان. Lihat Tafsir Ibnu Katsir.dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[3] Ibid.
[4] Lihat Tafsir Al-Baghawi dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[5] Ibid
[6] Imam Nawawi dalam Al-Majmuk 6/223
[7] Imam Syafi’i dalam Al-Umm , 5/13.
[8] Teks hadits: لا توطأ حامل حتى تضع
[9] Teks asal: يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة. Lihat Bughiyatul Mustarsyidin 1/419.
[10] Teks asal: ويجوز نكاح الحامل من الزنا لان حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه. Lihat Al-Muhadzab 2/45.
[11] Teks asal: َ. يَجُوزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ من الزِّنَا وَكَذَا وَطْؤُهَا كَالْحَائِلِ إذْ لَا حُرْمَةَ له Lihat Asnal Matalib, 3/393.
[12] Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyah, 4/93.
[2] محصنات غير مسافحات ولا متخذات أخدان. Lihat Tafsir Ibnu Katsir.dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[3] Ibid.
[4] Lihat Tafsir Al-Baghawi dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[5] Ibid
[6] Imam Nawawi dalam Al-Majmuk 6/223
[7] Imam Syafi’i dalam Al-Umm , 5/13.
[8] Teks hadits: لا توطأ حامل حتى تضع
[9] Teks asal: يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة. Lihat Bughiyatul Mustarsyidin 1/419.
[10] Teks asal: ويجوز نكاح الحامل من الزنا لان حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه. Lihat Al-Muhadzab 2/45.
[11] Teks asal: َ. يَجُوزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ من الزِّنَا وَكَذَا وَطْؤُهَا كَالْحَائِلِ إذْ لَا حُرْمَةَ له Lihat Asnal Matalib, 3/393.
[12] Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyah, 4/93.
No comments:
Post a Comment