Subscribe di sini

Tuesday 24 July 2018

SEJARAH ACEH, PERTEMPURAN DI KRUENG PANJOE, Merebut 320 Pucuk Senjata Jepang


PERTEMPURAN DI KRUENG PANJOE
Merebut 320 Pucuk Senjata Jepang

          Maju kena tembak, mundur kena lantak. Pertempuran berkobar dari siang sampai malam. Tujuh puluh tahun silam, tepatnya 24-26 November 1945, meletus pertempuran sengit di Krueng Pandjoe. Hasil pertempuran tiga hari berturut-turut itu, para pejuang Acèh berhasil membuat satu batalyon tentara Jepang yang ingin merebut kembali kota Bireuen bertekuk lutut: menyerah! Komandan pasukan Jepang pun memilih harakiri. Pejuang Acèh menyita 320 pucuk senjata Jepang.

          Untuk mengenang sejarah perjuangan itu, telah dibangun sebuah tugu di lapangan  Desa Babah Jurông, Kuta Blang, Bireuen. Di sana tertulis 11 nama pimpinan perang melawan Jepang pada 24 November 1945. Ada pula enam nama para syuhada. (Baca: Begini Kondisi Makam Pejuang di Kota Juang)

          Lantas, bagaimana kisah pertempuran bersejarah itu? Berikut penjelasan Tgk. A. K. Jakobi dalam bukunya, “Acèh Daerah Modal”, diterbitkan Yayasan “Seulawah RI-001” tahun 1992:

          Sehari setelah Jepang berlutut kepada Sekutu, mereka segera membubarkan kesatuan-kesatuan yang pernah dilatih dan dididiknya seperti Giyugun, Heiho dan Tokubetsu. Bersamaan dengan itu, seluruh persenjataan yang tadinya dipegang  putra Indonesia, langsung ditarik, dikumpulkan dan disimpan dalam gudang. Begitulah cara Jepang melakukan pengamanan terhadap persenjataan mereka, sesuai dengan instruksi Sekutu.

          Pada awal berdirinya API, TKR, TRI, masalah senjata muncul sebagai masalah aktual yang mencuat dan sangat vital. Tentara tanpa senjata, sama dengan pistol tanpa peluru. Oleh sebab itu, di kalangan pimpinan militer dan laskar rakyat, tumbuh berbagai gagasan dan perekayasaan untuk merebut senjata Jepang dari sarangnya.

          Ini pekerjaan nekat. Di samping keberanian, juga diperlukan trik-trik yang jitu. Keberanian saja tidak cukup. Ada suatu hal yang sangat mengesankan. Para pejuang dan pemuda kita (Acèh) tampaknya berlomba-lomba menyodorkan diri atau berebut ingin diberi tugas oleh pimpinan untuk merebut senjata Jepang di asrama atau di gudangnya sekali pun.

          Mereka tidak ingkar dan tidak gentar. Semangat dan sikap kesatria ini sangat membesarkan hati. Hal-hal seperti ini sering pula terdengar oleh serdadu Jepang, sehingga tidak jarang mereka bermurah hati menyerahkan sejumlah senjatanya lewat sebuah pertempuran yang telah direkayasa sebelumnya. Pertempuran pura-pura ini dijadikan alasan untuk Sekutu kelak. Dengan cara-cara begini, tidak sedikit jumlah senjata Jepang yang dapat digaet oleh para pemuda dan pejuang kita.

          Berdasarkan pengamatan intelijen kita, dikonstatir senjata-senjata Jepang terpencar di berbagai tangan kelompok yang berbeda. Pertama, ada senjata perorangan, dipakai  pribadi-pribadi serdadu Jepang karena fungsinya menjaga diri. Kedua, senjata yang dikuasai pemerintah sipil (Gunseibu). Termasuk senjata-senjata yang dipakai oleh polisi, alat pemerintah atau kedinasan lainnya, yang kebanyakan berasal dari senjata rampasan milik Belanda. Ketiga, senjata serdadu Jepang yang masih utuh di gudang senjata atau di asrama-asrama militer.

          Persediaan senjata Jepang bukan hanya itu saja, tapi masih terdapat "arsenal" Jepang di Acèh, yang memendam timbunan senjata dan tumpukan mesiu, lengkap dengan meriam berbagai ukuran.

          Gudang senjata itu terletak di kompleks lapangan terbang Lhok Nga dan lapangan terbang Blang Bintang. Bahkan di Tepin Mane di pinggiran kota Bireuen menuju arah jalan ke Takengon, terdapat pabrik senjata yang menyuplai kebutuhan perang. Bayangkan senjata dengan amunisi bergudang-gudang itu dikemas oleh Jepang untuk persiapan perang gerilya jangka panjang lawan Sekutu.

          Berbagai upaya pemuda dan pejuang Acèh untuk menerobos, menguasai alat persenjataan Jepang dari sarang-sarang mereka. Di antaranya, perjuangan merebut senjata Jepang terjadi di Seulimum, Lhok Nga, Sigli, kota Bireuen, Desa Juli, Krueng Pandjo, Lhok Seumawe, Langsa, Kuala Simpang, Meulaboh, dan Acèh Tengah.

          Tgk. A. K. Jakobi melalui bukunya itu menjelaskan, Garnisun Jepang di Lhok Seumawe segera bereaksi, setelah mendengar terjadinya pelucutan senjata Jepang di Bireuen. Jarak antara Lhok Seumawe-Bireun sekitar 45 km. Satu batalyon Jepang berasal dari Lhok Seumawe dan sekitarnya—tadinya sedang menunggu untuk dipulangkan—ditambah tiga kompi lengkap persenjataan bergerak menuju Bireuen untuk merebut dan menduduki kembali kota Bireuen yang strategis itu. Ini terjadi pada 24 November 1945. Kendaraan digunakan untuk mengangkut tentara Jepang adalah sembilan gerbong dan tiga gerobak kereta api.

          Kesibukan Jepang menyiapkan logistiknya itu, telah dipantau sejak dua hari sebelunmya. Pimpinan API di Bireuen memeroleh informasi bahwa Jepang akan merebut kembali senjata yang telah jatuh ke tangan API dan kelaskaran.

          Disinyalir juga serdadu Jepang akan menduduki kembali tempat-tempat yang strategis lainya seperti Teupin Mane, Gelanggang Labu, Tambo, Cot Gapu, Blang Pulo dan kota Bireuen sendiri.

          Gerakan tentara Jepang ini segera dilaporkan kepada Markas Daerah API di Banda Acèh, yang kemudian diperintahkan untuk mengkonsinyir seluruh pasukan API dan barisan kelaskaran di Kabupaten Aceh Utara.

          Sebuah pasukan komando dibentuk di Bireuen, yang menghimpun pasukan API dan barisan kelaskaran dengan Komandan Operasi Kapten T. Hamzah. Pasukan dilengkapi Kompi I pimpinan Letnan Agus Husin, Kompi II pimpinan Letnan T. A. Hamdani, Kompi III pimpinan Letnan Nyak Do dan Kompi IV pimpinan Letnan Jusuf Ahmad.

          Persenjataan mereka ini cukup memadai sebagai hasil rampasan yang dilakukan sebelumnya. Pasukan rakyat yang dikerahkan terdiri dari:

·       Barisan Juli pimpinan Keuchik Ibrahim
·       Barisan Gelanggang Labu pimpinan Utoh Husin dan A. R. Mahmudi.
·       Barisan Samalanga pimpinan Tgk. Syahbudin.
·       Barisan Jeunib pimpinan Peutua Ali.
·       Barisan Geurugok pimpinan Tgk. Zamzam.
·       Barisan Peusangan pimpinan T. M. Hasan Alamsyah.
·       Barisan Krueng Pandjoe pimpinan Tgk. Abd. Rahman Meunasah Meucap.
·       Barisan Bireuen pimpinan Na'am Rasmadin, H. Afan, H. Marzuki Abu Bakar. 
·       Barisan Lhok Seumawe pimpinan T. A. Bakar.
·       Barisan TPI (Tentara Pelajar Islam) pimpinan M. Nur Nekmat/M. Sabi/Hasry.
·       Barisan Takengon dipimpin Tgk. M. Soleh Adry dan Letnan Dua Ibnu Hajar.

          Setelah pasukan API dan Barisan Kelaskaran disiapkan, mereka diperintahkan menduduki pos-pos yang telah ditetapkan. Kapten T. Hamzah menetapkan kota Matang Gelumpang Dua sebagai Pos Komando dan Krueng Pandjoe dipilih sebagai tempat penghadangan. Serentak dengan itu dilakukanlah pembongkaran rel kereta api di kampung Pante Gajah lokasi yang tepat untuk dihadang, sekitar 3 km,sebelum masuk stasiun Matang Gelumpang Dua. Pada tanggal 24 November 1945, tepat pukul 12.30, kereta api yang naas itu meluncur memasuki area yang telah ditentukan. Masinisnya orang kita segera melompat setelah melihat bahwa ia telah berada dalam sasaran tembak para pejuang di kampung Pante Gajah. Serdadu Jepang segera menembak sang Masinis, tapi bidikannya meleset jauh. Tentara Jepang yang lainnya segera mengambil alih kemudi kereta api dan serta merta menyetopnya.

          Berbarengan dengan kejadian yang serba cepat itu, para pejuang pun mulai menyiram kereta api dengan tembakan yang gencar, sehingga membuat serdadu Jepang agak kebingungan. Sementara Barisan Kelaskaran secara kilat membongkar rel kereta api di bagian belakang, sehingga serdadu Jepang terpaku di tempat.

          Maju kena tembak, mundur kena lantak. Pertempuran berkobar dari siang sampai malam. Pasukan kita dengan moril yang tinggal tetap mengepung Jepang yang terkurung di gerbong-gerbong itu. Korban banyak berjatuhan dari kedua belah pihak.

          Sementara nasi bungkus mengalir dari kampung-kampung terdekat yang telah disiapkan para ibu dan anak-anak gadis yang bertugas di dapur umum sekitarnya. Tengah malam menjelang subuh terlihat kesibukan serdadu Jepang. Pengintai kita melaporkan, Jepang sedang menggali lubang perlindungan.

          Besok paginya, 25 November 1945, pasukan Jepang berlindung dalam lubang seraya memperkuat pertahanannya dengan lapisan kayu dan pohon kelapa. Tembak menembak terus berkobar sejak pagi, sore, dan malamnya. Saat baku tembak sedang gencarnya malam itu, muncullah dari Banda Aceh, Kepala Staf Markas Daerah API, Mayor T. A. Hamid Azwar disertai Mura Moto, seorang juru bicara Jepang. Mayor Hamid Azwar khusus datang ke Krueng Pandjo atas instruksi Komandan Markas Daerah API di Banda Acèh, Kolonel Syamaun Gaharu, untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian yang menguntungkan bagi Indonesia.

          Mura Moto segera ditugaskan menghubungi Komandan Pasukan Jepang, Mayor Ibi Hara dan disarankan untuk menyerah dengan seluruh persenjataan diserahkan kepada pihak Indonesia.

          Mayor Ibi Hara dapat menerima usul yang disampaikan Mura Moto, tapi tampaknya ia mendapat kesukaran dalam meyakinkan Komandan Kompi serta pasukannya. Untuk beberapa saat proses perundingan agak buntu. Jawaban yang kongkret dari Mayor Ibi Hara belum juga menjadi kenyataan.

          Pasukan kita memberi batas waktu sampai lewat zuhur, sementara Barisan Kelaskaran telah diperintahkan untuk mengamankan pintu air irigasi yang ada di lokasi tersebut. Tepat pukul 14.00 belum juga ada tanda-tanda ke arah penyelesaian. Mura Moto ditugaskan untuk melakukan kontak terakhir. Setelah diketahui pihak Jepang masih bertahan dengan sikapnya yang keras, maka mulailah pasukan kita menggempur kembali serdadu Jepang yang terkurung itu.

          Bersamaan dengan gempuran itu, bendungan pintu air irigasi pun dilepaskan, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama membuyarkan pasukan Jepang yang terendam dalam persembunyiannya di lubang- lubang perlindungan. Senjata dan logistik mereka terendam air. Namun pertempuran terus berkobar sampai sore harinya.

          Pada hari ketiga, 26 November 1945, pagi, tampak serdadu Jepang tetap dalam keadaan siaga, tapi satu peluru pun belum meletus. Sementara penyelidikan dan pengintaian terus dilakukan dari jarak jauh. Tepat pukul 12.40/siang, tampak bendera putih berkibar tanda menyerah. Pimpinan Komando yang tadinya diambil alih Kepala Staf Mayor T. A. Hamid Azwar dikembalikan kepada Komandan Operasi Kapten T. Hamzah yang selanjutnya melakukan perundingan dengan Ibi Hara.

          Dalam perundingan dicapai kesepakatan, Kapten T. Hamzah menerima 320 pucuk senjata api serta alat-alat perlengkapan lainnya. Sedangkan serdadu Jepang kembali ke Lhok Seumawe menanti datangnya kapal laut yang akan membawa mereka ke negerinya. Berapa besar jumlah korban yang jatuh pada kedua belah pihak tidak diperoleh angka yang pasti. Tapi diperkirakan tidak kurang dari 20-an masing-masing pihak tewas dan gugur. Yang pasti Komandan Batalyon Jepang, Mayor Ibi Hara sendiri tewas bunuh diri (harakiri).

          “Pertempuran Krueng Pandjo dinilai kalangan militer sebagai pertempuran yang bersejarah, karena ia telah mampu membangkitkan kepercayaan diri yang besar di kalangan rakyat untuk mengusir Jepang dari Tanah Air,” tulis Tgk. A. K. Jak #BANGSAMELAYUATJEH
#Atjcehñèsè


No comments:

Post a Comment

Kumpulan ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma

Berikut video ceramah ustadz Abdul Somad Lc Ma Semoga menjadi motivasi dan bermanfaat  Hukum membaca Al-Qur'an digital di hp tanpa berwu...