PERTEMPURAN
DI KRUENG PANJOE
Merebut
320 Pucuk Senjata Jepang
Maju
kena tembak, mundur kena lantak. Pertempuran berkobar dari siang sampai malam.
Tujuh puluh tahun silam, tepatnya 24-26 November 1945, meletus pertempuran
sengit di Krueng Pandjoe. Hasil pertempuran tiga hari berturut-turut itu, para
pejuang Acèh berhasil membuat satu batalyon tentara Jepang yang ingin merebut
kembali kota Bireuen bertekuk lutut: menyerah! Komandan pasukan Jepang pun
memilih harakiri. Pejuang Acèh menyita 320 pucuk senjata Jepang.
Untuk
mengenang sejarah perjuangan itu, telah dibangun sebuah tugu di lapangan
Desa Babah Jurông, Kuta Blang, Bireuen. Di sana tertulis 11 nama pimpinan
perang melawan Jepang pada 24 November 1945. Ada pula enam nama para syuhada.
(Baca: Begini Kondisi Makam Pejuang di Kota Juang)
Lantas,
bagaimana kisah pertempuran bersejarah itu? Berikut penjelasan Tgk. A. K.
Jakobi dalam bukunya, “Acèh Daerah Modal”, diterbitkan Yayasan “Seulawah
RI-001” tahun 1992:
Sehari
setelah Jepang berlutut kepada Sekutu, mereka segera membubarkan
kesatuan-kesatuan yang pernah dilatih dan dididiknya seperti Giyugun, Heiho dan
Tokubetsu. Bersamaan dengan itu, seluruh persenjataan yang tadinya
dipegang putra Indonesia, langsung ditarik, dikumpulkan dan disimpan
dalam gudang. Begitulah cara Jepang melakukan pengamanan terhadap persenjataan
mereka, sesuai dengan instruksi Sekutu.
Pada
awal berdirinya API, TKR, TRI, masalah senjata muncul sebagai masalah aktual
yang mencuat dan sangat vital. Tentara tanpa senjata, sama dengan pistol tanpa
peluru. Oleh sebab itu, di kalangan pimpinan militer dan laskar rakyat, tumbuh
berbagai gagasan dan perekayasaan untuk merebut senjata Jepang dari sarangnya.
Ini
pekerjaan nekat. Di samping keberanian, juga diperlukan trik-trik yang jitu.
Keberanian saja tidak cukup. Ada suatu hal yang sangat mengesankan. Para
pejuang dan pemuda kita (Acèh) tampaknya berlomba-lomba menyodorkan diri atau
berebut ingin diberi tugas oleh pimpinan untuk merebut senjata Jepang di asrama
atau di gudangnya sekali pun.
Mereka
tidak ingkar dan tidak gentar. Semangat dan sikap kesatria ini sangat
membesarkan hati. Hal-hal seperti ini sering pula terdengar oleh serdadu
Jepang, sehingga tidak jarang mereka bermurah hati menyerahkan sejumlah
senjatanya lewat sebuah pertempuran yang telah direkayasa sebelumnya.
Pertempuran pura-pura ini dijadikan alasan untuk Sekutu kelak. Dengan cara-cara
begini, tidak sedikit jumlah senjata Jepang yang dapat digaet oleh para pemuda
dan pejuang kita.
Berdasarkan
pengamatan intelijen kita, dikonstatir senjata-senjata Jepang terpencar di
berbagai tangan kelompok yang berbeda. Pertama, ada senjata perorangan,
dipakai pribadi-pribadi serdadu Jepang karena fungsinya menjaga diri.
Kedua, senjata yang dikuasai pemerintah sipil (Gunseibu). Termasuk
senjata-senjata yang dipakai oleh polisi, alat pemerintah atau kedinasan
lainnya, yang kebanyakan berasal dari senjata rampasan milik Belanda. Ketiga,
senjata serdadu Jepang yang masih utuh di gudang senjata atau di asrama-asrama
militer.
Persediaan
senjata Jepang bukan hanya itu saja, tapi masih terdapat "arsenal"
Jepang di Acèh, yang memendam timbunan senjata dan tumpukan mesiu, lengkap
dengan meriam berbagai ukuran.
Gudang
senjata itu terletak di kompleks lapangan terbang Lhok Nga dan lapangan terbang
Blang Bintang. Bahkan di Tepin Mane di pinggiran kota Bireuen menuju arah jalan
ke Takengon, terdapat pabrik senjata yang menyuplai kebutuhan perang. Bayangkan
senjata dengan amunisi bergudang-gudang itu dikemas oleh Jepang untuk persiapan
perang gerilya jangka panjang lawan Sekutu.
Berbagai
upaya pemuda dan pejuang Acèh untuk menerobos, menguasai alat persenjataan
Jepang dari sarang-sarang mereka. Di antaranya, perjuangan merebut senjata
Jepang terjadi di Seulimum, Lhok Nga, Sigli, kota Bireuen, Desa Juli, Krueng
Pandjo, Lhok Seumawe, Langsa, Kuala Simpang, Meulaboh, dan Acèh Tengah.
Tgk.
A. K. Jakobi melalui bukunya itu menjelaskan, Garnisun Jepang di Lhok Seumawe
segera bereaksi, setelah mendengar terjadinya pelucutan senjata Jepang di
Bireuen. Jarak antara Lhok Seumawe-Bireun sekitar 45 km. Satu batalyon Jepang
berasal dari Lhok Seumawe dan sekitarnya—tadinya sedang menunggu untuk
dipulangkan—ditambah tiga kompi lengkap persenjataan bergerak menuju Bireuen
untuk merebut dan menduduki kembali kota Bireuen yang strategis itu. Ini
terjadi pada 24 November 1945. Kendaraan digunakan untuk mengangkut tentara
Jepang adalah sembilan gerbong dan tiga gerobak kereta api.
Kesibukan
Jepang menyiapkan logistiknya itu, telah dipantau sejak dua hari sebelunmya.
Pimpinan API di Bireuen memeroleh informasi bahwa Jepang akan merebut kembali
senjata yang telah jatuh ke tangan API dan kelaskaran.
Disinyalir
juga serdadu Jepang akan menduduki kembali tempat-tempat yang strategis lainya
seperti Teupin Mane, Gelanggang Labu, Tambo, Cot Gapu, Blang Pulo dan kota
Bireuen sendiri.
Gerakan
tentara Jepang ini segera dilaporkan kepada Markas Daerah API di Banda Acèh,
yang kemudian diperintahkan untuk mengkonsinyir seluruh pasukan API dan barisan
kelaskaran di Kabupaten Aceh Utara.
Sebuah
pasukan komando dibentuk di Bireuen, yang menghimpun pasukan API dan barisan
kelaskaran dengan Komandan Operasi Kapten T. Hamzah. Pasukan dilengkapi Kompi I
pimpinan Letnan Agus Husin, Kompi II pimpinan Letnan T. A. Hamdani, Kompi III
pimpinan Letnan Nyak Do dan Kompi IV pimpinan Letnan Jusuf Ahmad.
Persenjataan
mereka ini cukup memadai sebagai hasil rampasan yang dilakukan sebelumnya.
Pasukan rakyat yang dikerahkan terdiri dari:
·
Barisan Juli pimpinan Keuchik Ibrahim
·
Barisan Gelanggang Labu pimpinan Utoh Husin dan A. R. Mahmudi.
·
Barisan Samalanga pimpinan Tgk. Syahbudin.
·
Barisan Jeunib pimpinan Peutua Ali.
·
Barisan Geurugok pimpinan Tgk. Zamzam.
·
Barisan Peusangan pimpinan T. M. Hasan Alamsyah.
·
Barisan Krueng Pandjoe pimpinan Tgk. Abd. Rahman Meunasah Meucap.
·
Barisan Bireuen pimpinan Na'am Rasmadin, H. Afan, H. Marzuki Abu
Bakar.
·
Barisan Lhok Seumawe pimpinan T. A. Bakar.
·
Barisan TPI (Tentara Pelajar Islam) pimpinan M. Nur Nekmat/M.
Sabi/Hasry.
·
Barisan Takengon dipimpin Tgk. M. Soleh Adry dan Letnan Dua Ibnu
Hajar.
Setelah
pasukan API dan Barisan Kelaskaran disiapkan, mereka diperintahkan menduduki
pos-pos yang telah ditetapkan. Kapten T. Hamzah menetapkan kota Matang
Gelumpang Dua sebagai Pos Komando dan Krueng Pandjoe dipilih sebagai tempat
penghadangan. Serentak dengan itu dilakukanlah pembongkaran rel kereta api di
kampung Pante Gajah lokasi yang tepat untuk dihadang, sekitar 3 km,sebelum
masuk stasiun Matang Gelumpang Dua. Pada tanggal 24 November 1945, tepat pukul
12.30, kereta api yang naas itu meluncur memasuki area yang telah ditentukan.
Masinisnya orang kita segera melompat setelah melihat bahwa ia telah berada
dalam sasaran tembak para pejuang di kampung Pante Gajah. Serdadu Jepang segera
menembak sang Masinis, tapi bidikannya meleset jauh. Tentara Jepang yang
lainnya segera mengambil alih kemudi kereta api dan serta merta menyetopnya.
Berbarengan
dengan kejadian yang serba cepat itu, para pejuang pun mulai menyiram kereta
api dengan tembakan yang gencar, sehingga membuat serdadu Jepang agak
kebingungan. Sementara Barisan Kelaskaran secara kilat membongkar rel kereta
api di bagian belakang, sehingga serdadu Jepang terpaku di tempat.
Maju
kena tembak, mundur kena lantak. Pertempuran berkobar dari siang sampai malam.
Pasukan kita dengan moril yang tinggal tetap mengepung Jepang yang terkurung di
gerbong-gerbong itu. Korban banyak berjatuhan dari kedua belah pihak.
Sementara
nasi bungkus mengalir dari kampung-kampung terdekat yang telah disiapkan para
ibu dan anak-anak gadis yang bertugas di dapur umum sekitarnya. Tengah malam
menjelang subuh terlihat kesibukan serdadu Jepang. Pengintai kita melaporkan,
Jepang sedang menggali lubang perlindungan.
Besok paginya, 25 November 1945, pasukan Jepang berlindung
dalam lubang seraya memperkuat pertahanannya dengan lapisan kayu dan pohon
kelapa. Tembak menembak terus berkobar sejak pagi, sore, dan malamnya. Saat
baku tembak sedang gencarnya malam itu, muncullah dari Banda Aceh, Kepala Staf
Markas Daerah API, Mayor T. A. Hamid Azwar disertai Mura Moto, seorang juru
bicara Jepang. Mayor Hamid Azwar khusus datang ke Krueng Pandjo atas instruksi
Komandan Markas Daerah API di Banda Acèh, Kolonel Syamaun Gaharu, untuk
mengambil langkah-langkah penyelesaian yang menguntungkan bagi Indonesia.
Mura
Moto segera ditugaskan menghubungi Komandan Pasukan Jepang, Mayor Ibi Hara dan
disarankan untuk menyerah dengan seluruh persenjataan diserahkan kepada pihak
Indonesia.
Mayor
Ibi Hara dapat menerima usul yang disampaikan Mura Moto, tapi tampaknya ia
mendapat kesukaran dalam meyakinkan Komandan Kompi serta pasukannya. Untuk
beberapa saat proses perundingan agak buntu. Jawaban yang kongkret dari Mayor
Ibi Hara belum juga menjadi kenyataan.
Pasukan
kita memberi batas waktu sampai lewat zuhur, sementara Barisan Kelaskaran telah
diperintahkan untuk mengamankan pintu air irigasi yang ada di lokasi tersebut. Tepat
pukul 14.00 belum juga ada tanda-tanda ke arah penyelesaian. Mura Moto
ditugaskan untuk melakukan kontak terakhir. Setelah diketahui pihak Jepang
masih bertahan dengan sikapnya yang keras, maka mulailah pasukan kita
menggempur kembali serdadu Jepang yang terkurung itu.
Bersamaan
dengan gempuran itu, bendungan pintu air irigasi pun dilepaskan, sehingga dalam
waktu yang tidak terlalu lama membuyarkan pasukan Jepang yang terendam dalam
persembunyiannya di lubang- lubang perlindungan. Senjata dan logistik mereka
terendam air. Namun pertempuran terus berkobar sampai sore harinya.
Pada
hari ketiga, 26 November 1945, pagi, tampak serdadu Jepang tetap dalam keadaan
siaga, tapi satu peluru pun belum meletus. Sementara penyelidikan dan
pengintaian terus dilakukan dari jarak jauh. Tepat pukul 12.40/siang, tampak
bendera putih berkibar tanda menyerah. Pimpinan Komando yang tadinya diambil
alih Kepala Staf Mayor T. A. Hamid Azwar dikembalikan kepada Komandan Operasi
Kapten T. Hamzah yang selanjutnya melakukan perundingan dengan Ibi Hara.
Dalam
perundingan dicapai kesepakatan, Kapten T. Hamzah menerima 320 pucuk senjata
api serta alat-alat perlengkapan lainnya. Sedangkan serdadu Jepang kembali ke
Lhok Seumawe menanti datangnya kapal laut yang akan membawa mereka ke
negerinya. Berapa besar jumlah korban yang jatuh pada kedua belah pihak tidak
diperoleh angka yang pasti. Tapi diperkirakan tidak kurang dari 20-an
masing-masing pihak tewas dan gugur. Yang pasti Komandan Batalyon Jepang, Mayor
Ibi Hara sendiri tewas bunuh diri (harakiri).
“Pertempuran
Krueng Pandjo dinilai kalangan militer sebagai pertempuran yang bersejarah,
karena ia telah mampu membangkitkan kepercayaan diri yang besar di kalangan
rakyat untuk mengusir Jepang dari Tanah Air,” tulis Tgk. A. K. Jak
#BANGSAMELAYUATJEH
#Atjcehñèsè
No comments:
Post a Comment