Assalamu'alaikum Wr, Wb.
Yang kami hormati Ustad Taufik,
Ananda
ingin menanyakan beberapa hal mengenai suap/sogok dalam hukum Islam, misalnya
seseorang agar dapat diterima menjadi PNS/Karyawan memberikan imbalan berupa
sejumlah uang kepada pihak tertentu supaya dapat lulus dan diterima menjadi
PNS/Karyawan. Yang ingin saya tanyakan :
1.
Apakah hukumnya suap/sogok dalam Hukum Islam (baik yang menerima
maupun yang memberi serta yang terlibat dalam sogok/suap tersebut) ?
2.
Jika orang tersebut diterima sebagai PNS/Karyawan lantaran sogok
tersebut, apakah Halal gaji yang terima setiap bulannya?
3.
Ada beberapa teman mengatakan bahwa dosa sogok/suap, merupakan
dosa yang diampuni, jadi tidak apa-apa melakukan sogok, karena menurutnya
setelah diterima, kita dapat melakukan tobat. Bagaimanakah menurut Ustadz dalam
hal ini?
Demikian pertanyaan Ananda, mohon maaf jika terdapat
kata-kata yang kurang sopan, mohon penjelasan dari Ustad Taufik secara
lengkap dan detil, karena Ananda sangat membutuhkan pencerahan dari Ustad
Taufik. Terima kasih banyak Ananda ucapkan, atas penjelasan Ustad.
Dari Dabak di Baturaja
Jawaban:
Islam
Mengharamkan Suap
Islam
secara tegas mengharamkan suap atau sogok. Rasulullah saw bersabda: ”Allah
melaknat penyuap (ar-raasyi) dan yang disuap (al-murtasyi).” Kedua belah pihak,
penyuap dan penerima suap dilaknat Allah SWT. Oleh karena itu hukum suap haram.
Kaidah
Fathu Dzaraai’
Dalam
Usul fikih terdapat sebuah kaidah Usul fiqih yang disebut Fathu Dzarai’.
Prinsip kaidah ini membolehkan yang haram apabila dipastikan atau diperkirakan
dalam pembolehan tersebut mewujudkan manfaat yang lebih besar atau
mencegah mafsadah. Tentunya manfaat dan mafsadah disini menurut syariat Islam
bukan menurut aturan yang lain. Suap dibolehkan dalam kondisi tertentu. Suap
yang diharamkan dalam teks hadis diatas adalah suap yang mengandung unsur
zhalim (merugikan orang lain). Seperti menzhalimi hak orang lain, mengambil
sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya,
mempengaruhi keputusan yang merugikan pihak lain dan sebagainya.
Hukum suap akan berbeda apabila tidak mengandung unsur
zhalim. Seperti mengambil sesuatu yang menjadi haknya, melakukan suap karena
untuk mencegah bahaya yang lebih besar atau mewujudkan manfaat (yang sesuai
dengan syariat) yang besar. Dalam keadaan seperti ini maka si pemberi suap
tidak berdosa, hanya penerima suap yang mendapat dosa. Hal ini sesuai dengan
kaidah fathu dzarai’.
Apabila
seseorang sudah ikut proses penerimaan PNS dengan benar kemudian ia diterima.
Namun nomor NIP tidak bisa keluar karena pihak berwenang meminta sejumlah uang.
Dalam hal seperti ini maka dibolehkan bagi calon PNS tersebut untuk membayar
sejumlah uang kepada pihak berwenang agar Ia bisa mempunya NIP. Ia tidak
menzhalimi siapapun, suap tersebut hanya untuk mengambil hak dia. Ia tidak
berdosa. Dosa hanya ditimpakan kepada pihak berwenang.
Hukum Gaji
dari Pekerjaan yang diperoleh dari hasil suap
An-nahyu
(larangan) dalam fiqih dibagi menjadi tiga jenis. Pertama: Larangan karena hal
yang dilarang memang tidak baik, seperti mencuri, berzina dan lain sebagainya.
Kedua larangan bukan karena hal yang dilarang tidak baik akan tetapi karena ada
sesuatu yang tidak baik menyertai hal yang dilarang, dan hal tersebut tidak
terpisahkan (mulaazim lahu). Seperti; larangan jual beli sesuatu yang tidak ada
barangnya. Larangan ini bukan karena jual belinya tapi karena barang yang
dijual tidak ada dihadapan penjual dan pembeli yang mana hal ini bisa
menimbulkan penipuan. Ketiga: larangan Karena sesuatu yang menyertai hal yang
dilarang tapi hal tersebut terpisah dari hal yang dilarang. seperti:
mengkhitbahi seorang perempuan yang sudah dikhitbah oleh orang lain, kemudian
menikahinya. Khitbah terpisah dari menikah.
Jenis
pertama dan kedua apabila dilakukan maka tidak berdampak apa-apa. Pencuri
tidak memiliki barang curian, zina tidak merubah status pezina, jual beli
barang yang tidak ada dihadapan penjual dan pembeli ( bai’-al-ma’d