A. PENDAHULUAN
Hidup akan selalu ditandai dengan gerakan dan dinamika. Mulai dari gerak dan dinamika perubahan dan perkembangan yang hidup dengan beragam varian terjadi terus menerus tanpa mengetahui finish. Jika perubahan dan pengembangan sebagai hasil dari gerakan dan dinamika itu tidak muncul dalam hidup, maka itu berarti sudah tepat tanda-tanda kehidupan itu sendiri. Jadi dalam agama, di mana agama akan dianggap memiliki fungsi untuk hidup, jika praktek agama di ruang terbuka lebar untuk tuntutan gerak dan dinamika kehidupan manusia sebagaimana dimaksud.
Demikian juga dalam Islam, di satu sisi ia dianggap sebagai sistem nilai direkonstruksi atas dasar norma, dasar-dasar yang tertanam kuat dalam esensi dalam masyarakat populisme yang memiliki kebenaran universal, tapi di sisi lain itu mengharuskan adanya dinamis ruang yang membuatnya mampu memberikan bimbingan dan arah bagi kehidupan manusia. Karena dalam hidup selalu membutuhkan gerak dan perubahan yang konstan dari situasi ke situasi dan kondisi dari yang lain. Berdasarkan agama yang pada dasarnya mengandung nilai-nilai normativitas dan historisitas saling terkait. Hubungan antara keduanya adalah hubungan saling tarik, tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam agama harus ada teks pesan atau konteks. Pola adalah pola hubungan kedua relasionalitas dialektika itu. Kuantitas nash berprinsip (pokok nas) terbatas realitas sementara mereka selalu dinamis, diperlukan adanya upaya menuju ijtihad. Ijtihad produk mereka yang memiliki kapasitas itu harus ditemukan perbedaan (penyimpangan). Keberadaan yang deviasi didorong oleh kuantitas dan kualitas ilmu, tren, sosial-budaya yang mengelilingi mereka.
Artikel sederhana ini akan menguraikan alasan untuk penyimpangan atau perbedaan di sekolah-sekolah hukum Islam.
B. penyimpangan berbagai aspek
1. Definisi deviasi
Deviasi menurut bahasa adalah perbedaan. Berasal dari asal bahasa Arab ia khalafa, yakhlufu, khilafah, mukhalafah dan ikhtalafa, yakhtalifu, ikhtilafa arti kedua, tidak adanya pertandingan. Dua kasus yang berbeda jika tidak ada pertandingan. [1] Maknanya lebih umum daripada di al-didd (lawan), karena setiap hal akan berlawanan pasti bertentangan. [2]
Manusia yang sedang bertengkar (perbedaan pendapat) sering berkobar api kemarahan di dadanya. Mereka biasa disebut bersaing dengan perang kata-kata. Terhadap hal ini sebagai Allah menegaskan dalam Al-Qur'an:
فاختلف الأحزاب من بينهم فويل للذين كفروا من مشهد يوم عظيم. [3]
Kemudian faksi berselisihlah (yang ada) di antara mereka. Jadi kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang kafir dalam waktu untuk menyaksikan hari besar.
ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ولا يزالون مختلفين. [4]
Jika Tuhanmu menghendaki, Dia membuat manusia adalah satu, tetapi mereka selalu tidak setuju.
إنكم لفي قول مختلف. [5]
Tentunya Anda benar-benar dalam keadaan berbeda pendapat.
إن ربك يقضي بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون. [6]
Sesungguhnya, Tuhanmu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka berselisih.
Pernyataan Allah dalam beberapa ayat yang disebutkan di atas sering terjadi pada manusia, karena penyimpangan seringkali menjadi penyebab perbadaan total, baik dalam berbicara, pendapat, sikap atau sikap.
Deviasi menurut istilah pendapat yang berbeda antara dua orang atau lebih untuk suatu objek (masalah), apakah yang berbeda dalam bentuk tidak sama atau bertentangan. [7]
Dengan demikian, penyimpangan adalah keputusan hukum yang tidak sama atau bertentangan terhadap objek hukum. Ketika perbedaan tersebut dikaitkan dengan sekolah konteks hukum Islam berarti penilaian hukum yang tidak sama atau bertentangan dari suatu obyek dengan masing-masing sarjana hukum sekte.
Penyimpangan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat di antara para ahli hukum dalam menentukan porsi yang furu'iyah hukum Islam, bukan pada isu-isu yang ushuliyah, karena perbedaan pemahaman atau perbedaan dalam menetapkan metode hukum.
2. Penyebab penyimpangan Insiden
Dalam sejarah hukum Islam, perbedaan pendapat tentang penetapan hukum telah terjadi di antara sahabat Nabi ketika ia masih hidup. Tapi perbedaan pendapat yang mungkin akan segera bertemu kembali dengan mengembalikannya kepada Nabi Muhammad. Setelah dia meninggal, perbedaan pendapat sering muncul di kalangan teman-teman dalam hukum menetapkan kasus-kasus tertentu, misalnya, Zaid bin Tsabit, Ali, dan Ibnu Mas'ud memberikan warisan antara al-Jadd (kakek) dan saudara (saudara), sedangkan Abu Bakar meninggalkan warisan untuk saudara dari mayat, jika mereka mewarisi bersama dengan kakek dari mayat, karena ia membuat kakeknya sebagai seorang ayah. [8]
Perbedaan pendapat di antara para sahabat Nabi itu, relatif sedikit jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada saat itu tidak sebanyak yang muncul pada generasi berikutnya.
Perbedaan pendapat dalam hukum Islam menetapkan pada, selain disebabkan oleh faktor-faktor yang manusiawi, serta faktor-faktor lain karena aspek khusus yang berkaitan dengan agama. Faktor menyebabkan ia mengalami pertumbuhan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Semakin berkembang sepanjang sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang sulit untuk memusuhi, khususnya di kalangan awam.
Ismail Muhammad Mahmoud Meshaal dalam bukunya, Atsar al-err al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif FIHA [9] menyebutkan empat penyebab utama penyimpangan antara ahli hukum: (a) Perbedaan dalam penggunaan aturan dan penggunaan ushuliyah sumber istinbath (penggalian) lainnya, (b) Kontras aspek bahasa dalam memahami suatu nash, (c) Perbedaan ijtihad tentang ilmu hadits, (d) perbedaan tentang metode kompromi Hadis (al-jam'u) dan mentarjihnya (al-tarjih) yang memberlakukan makna kontradiktif.
Sementara Muhammad al-Madani dalam bukunya, al-fuqaha asbab penyimpangan, seperti dikutip Huzaemah, [10] menyebabkan penyimpangan membagi menjadi empat jenis juga, yaitu: (a) pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, ( b) menyebabkan khusus tentang Sunnah Nabi, (c) menyebabkan berkaitan dengan aturan ushuliyah, (d) menyebabkan khususnya mengenai penggunaan proposisi luar Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad.
Penyebab kedua ulama diajukan tidak jauh berbeda, serta buku-buku lain penulis telah membaca. [11] Penulis akan menentukan penjelasan penyimpangan penyebab adalah sebagai berikut:
Sebuah. Memahami Al-Qur'an dan Sunnah
Seperti kita memahami bahwa sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Bahasa Arab. Di antara kata-kata yang memiliki arti ada lebih dari satu (musytarak). Selain itu, ada sebuah kata yang umum dalam ekspresi tetapi khusus dimaksudkan. Ada juga perbedaan dalam perspektif aspek lughawi (linguistik) dan 'urfi (tradisi) serta dari segi manthuq, memahami dan lain-lain.
Berikut ini akan disajikan contoh kata-kata dalam ayat Alquran musytarak penyimpangan meimbulkan:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء. [12]
Wanita yang bercerai handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru '.
Beberapa sarjana menafsiri quru kata 'dengan sakral, sementara yang lain menafsiri menstruasi. Dengan demikian, ulama Malikiyah dan Hanabilahberpendapat bahwa perempuan yang bercerai harus beridah dengan tiga kali suci, sementara di kalangan sarjana Hanafiyah dengan tiga kali periode. [13]
Berikutnya akan disajikan contoh pemahaman tentang Sunnah yang berhubungan dengan isi umum dan khusus.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang nisab pertanian amal. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa setiap jenis produk pertanian kurang lebih wajib zakat yang diterbitkan berdasarkan keumuman hadits: [14]
فيما سقت السماء والعيون أو كان عثريا العشر وما سقي بالنضح نصف العشر. [15]
Sesuatu (tanaman) yang irigasi dengan air hujan, sumber air atau menyerap air hujan, sedekah-kesepuluh, sementara irigasi dengan layanan unta setengah zakat dari sepersepuluh.
Sementara pendapat ahli hukum Jumhur berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah adalah bahwa produk pertanian yang tidak mencapai nisab diperlukan tidak mengeluarkan zakatnya. Salah satu nisab lima awsaq (± 300 gantang). Mereka berpendapat bahwa hadits ini dikhususkan untuk hadits Abu Sa'id al-Khudri bahwa Nabi SAW bersabda:
ليس فيما دون خمسة أوسق صدقة. [16]
Sesuatu yang kurang dari lima awsaq tidak zakat wajib.
Kelompok Hanafi menakwili bahwa tradisi ini zakat terfokus pada perdagangan, bukan pertanian. [17]
b. Penyebab Sunnah Tertentu
Penyebab khusus dari Sunnah yang menonjol antara lain: (1) Perbedaan dalam penerimaan tradisi; apakah atau tidak tradisi untuk beberapa teman, (2) perbedaan dalam menilai hadits narasi, (3) Perbedaan mengenai posisi kepribadian Rasul.
1) Perbedaan Penerimaan Hadis
Teman yang menerima dan menyampaikan tradisi, kemungkinan tidak sama. Ada banyak majis menghadiri Rasul, pasti mereka yang menerima banyak tradisi sekaligus diriwayatkan. Tapi gemuk juga di antara mereka yang sibuk dengan urusan pribadi, sehingga jarang menghadiri majlis Rasul, sedangkan di majlis bahwa Rasul menjelaskan masalah tersebut atau menjelaskan hukum sesuatu; memerintahkan atau melarang dan menganjurkan sesuatu. Contoh semacam ini sebagai berikut:
بلغ عائشة أن عبد الله بن عمرو يأمر النساء إذا اغتسلن أن ينقضن رءوسهن
Aisha mendengar bahwa Abdullah bin Umar memberikan fatwa bahwa wanita yang ghusl harus membuka (mengudar) bun.
Setelah mendengar fatwa ini Aisha terkejut dan berkata:
فقالت يا عجبا لابن عمرو هذا يأمر النساء إذا اغتسلن أن ينقضن رءوسهن أفلا يأمرهن أن يحلقن رءوسهن لقد كنت أغتسل أنا ورسول الله -صلى الله عليه وسلم- من إناء واحد ولا أزيد على أن أفرغ على رأسى ثلاث إفراغات. [18]
Aisha mengatakan, "Sungguh aneh Ibnu Umar memerintahkan wanita ketika mereka ghusl untuk mengudar bun. Jika demikian, apakah tidak lebih baik kepada mereka untuk mencukur rambutnya saja? Mandi Sebenarnya saya sudah berbagi Nabi kapal dan saya menyiram kepala saya rambut tidak lebih dari tiga semprotan.
Contoh kasus dalam ulama mujtahid, bahwa Abu Hanifah dan teman-temannya dalam memutuskan hukum. Ada sebuah kisah tentang Abdul Warits bin Sa'id: Pada suatu waktu saya masih di Makkah bertemu dengan Abu Hanifah, Ibnu Abi Laila dan Ibn Syabramah. Saya berkata kepada Abu Hanifah: "Apa pendapat Anda tentang orang-orang menjual barang dengan kondisi tertentu '' Abu Hanifah menjawab:?" Jual beli kondisi batal juga. "Lalu aku bertanya Ibnu Abi Laila dan ia menjawab:" Jual beli dan kondisi yang sah berlaku. '' Lalu aku bertanya Ibnu Syabramah dan dia menjawab: "Jual beli kondisi yang sah dan halal juga. '' Lalu aku berkata:" Subhanallah! Tiga fukaha Irak berbeda sehingga masalah ini. ''
Aku kembali ke mereka, meminta mereka alasan mereka masing-masing. Abu Hanifah mengatakan: "Saya tidak tahu apa alasan mereka berdua, yang jelas saya menerima hadits dari Ibnu Amr Syu'ab dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi melarang penjualan bersyarat beli; jual beli kondisi kekosongan juga dibatalkan .
Aku kembali ke Ibn Abi Laila menginfokan tentang hal itu, ia berkata: "Saya tidak tahu alasan mereka berdua, tapi yang jelas saya menerima hadits dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah dia berkata," Aku sudah mengatakan kepada Rasulullah membeli budak dan tidak ada kebutuhan keluarga sehingga nantinya dibebaskan, maka Nabi membatalkan persyaratan dan terus menjualnya. "Jadi pembelian adalah kondisi hukum dan dibatalkan."
Lalu aku pergi ke Ibn Syabramah berkhotbah tentang hal itu, ia berkata: "Saya tidak tahu alasan mereka berdua, aku pernah mendengar tentang hadits Jabir bahwa ia telah menjual unta kepada Nabi dan ia mensyaratkan bahwa unta dibawa ke Madinah. Berarti pembelian adalah sah dan persyaratan yang juga sah. "[19]
2) Perbedaan dalam transmisi Menilai Hadis
Perbedaan pendapat di antara para ahli hukum terkait dengan tradisi dari berbagai istilah. Perbedaan terjadi setidaknya tiga alasan. [20] Pertama, perbedaan mereka dari keterbatasan kuantitas dalam memiliki koleksi hadits secara penuh, seperti contoh di atas. Seperti kita mengerti bahwa tidak semua tokoh sahabat Nabi selalu tahu apa semua yang berhubungan dengan Nabi pada suatu waktu. Kedua, perbedaan mereka dalam memberikan penilaian terhadap kualitas tradisi. Ketiga, perbedaan mereka dalam menerima setidaknya dari kualitas hadis lemah.
3) Perbedaan tentang Nabi Status
Nabi Muhammad selain keberadaannya sebagai Rasul, serta orang-orang biasa. Oleh karena itu, tindakan dan kata-kata yang membawa posisi yang sama bahwa ia tidak terkait dengan kehadiran pribadi ketika melakukannya. Misalnya hadits berikut:
من أحيا أرضا ميتة فهى له. [21]
Siapa pun yang bekerja di tanah tak bertuan, maka ia adalah pemilik.
Mengenai hadits ini ulama berbeda pendapat tentang apakah itu dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala negara. Jika demikian, tidak setiap pemilik properti tanah yang tidak ada secara otomatis akan menjadi miliknya, tetapi harus melalui prosedur yang berlaku pada saat itu dan di negara di mana dia tinggal. Sebaliknya, ahli hukum jumhur memandang hadis Rasulullah menyatakan dalam kapasitasnya sebagai Rasul, ditemukan kepemilikan tanah yang mati tidak lagi harus melalui prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penyewa. [22]
c. Berkenaan dengan penyebab Peraturan Ushuliyah
Peraturan ushuliyah metodologi hukum Islam yang digunakan oleh para ahli untuk menggali hukum pada abad kedua Hijrah. Keberadaannya efektif untuk menghasilkan produk hukum. Metodologi ini diprakarsai oleh Imam Syafi'i, berasal dari inspirasi setelah ia meneliti ilmu yang diwariskan oleh para sahabat Nabi, tabiin dan ahli hukum sebelumnya, terutama ketika persimpangan dinamis antara model yurisprudensi Medina diperoleh dari Imam Malik dengan Irak yurisprudensi berasal dari Imam Ibnu Al-Hasan, serta Fikih Makkah mana dia tinggal dan menetap di sana. Itulah yang melatarbelakangi Imam Syafi'i diadakan standardisasi untuk mengetahui mana yang benar dan apa yang salah. Standardisasi yang fiqh disebutushul [23] (usulan fiqh).
Sejarawan, seperti Ibn Khaldun mencatat bahwa pertama kalinya bahwa proposal untuk menyusun ilmu fiqih adalah Imam Syafi'i. Sebelum Imam Syafi'i jelas tidak ditemukan di kalangan sarjana mujtahid model penggunaan mereka usulan yurisprudensi di ijtihad mereka, yang berarti bahwa mereka tidak menerbitkan yurisprudensi usulan model yang mereka gunakan dalam berijtihad. Imam Syafiilah satu-satunya orang yang memulai dan memiliki pengaruh setelah begitu banyak buku yang muncul dari usulan fiqh di tingkat sekolah yang ada dengan sistematika penulisan sesuai dengan zaman. Banyak para peneliti menemukan di antara usulan yurisprudensi Hanafi bertumpu pada apa yang memprakarsai Imam Syafi'i. [24]
Berikut ini akan disajikan contoh penyimpangan antara ulama dalam memahami teks berdasarkan metode mereka:
والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون. [25]
Dan orang-orang yang menuduh wanita baik (perzinahan) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan tidak menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. dan mereka adalah orang-orang yang fasik.
إلا الذين تابوا من بعد ذلك وأصلحوا فإن الله غفور رحيم. [26]
Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari surat An-Nur ayat 4 dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi orang yang dituduh zina tanpa membuktikan empat saksi adalah: (a) dera 80 kali, (b) kehilangan haknya untuk menjadi saksi apapun, ( c) orang tersebut dinyatakan jahat. Sedangkan ayat 5 dengan pengecualian yang mengkhususkan ayat 4 itu. Para ulama berbeda pada pengecualian ruang lingkup. Mayoritas ulama memahami pengecualian yang menyangkut ketiga, seperti ayat ini setelah itudan yang dimaksud adalah setelah pemcambukan, pengecualian hanya mengangkat sanksi b dan c. Jadi, jika terbukti dia bertobat dan melakukan perbaikan, maka kesaksiannya bisa diterima, dan ia tidak lagi wajar bernama jahat.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengecualian hanya tertarik pada yang terakhir, meskipun ia bertobat dan berbuat baik, kesaksian tetap tidak dapat diterima. Didera sanksi disebutkan di sini, ada dipahami-antara-sebagai lain hak Abu Hanifah Allah. Jadi yang memfitnah hak untuk memaafkan dan tetap khawatir akan dicambuk. Sementara suara Imam Malik dan Imam Syafi'i hak difitnah namanya, sehingga ketika ia memaafkan kemudian jatuh dari deraan. [27]
d. Perbedaan Penggunaan Bukti luar Al-Qur'an dan Sunnah
Perbedaan pendapat di antara para ahli hukum juga karena perbedaan dalam penggunaan proposisi luar Al-Qur'an dan Sunnah, seperti ahli amal madinah, membentuk dasar dari yurisprudensi oleh Imam Malik, Imam tidak bisa diandalkan oleh orang lain. Demikian pula, perbedaan penggunaan Konsensus, kiasan, istislah, istihsan, sedih adz-dzari'ah, tradisi dan sebagainya, yang oleh beberapa sarjana sebagai dasar, sementara sebagian ulama lain yang tidak membuat menggali dasar hukum.
3. Adanya penyimpangan dan Implementasi Pelajaran dalah Hidup Masyarakat
Khilafiah dalam hukum Islam adalah perbendaharaan. Bagi orang-orang yang memahami karakter, fiqh yang berisi isu-isu yang disengketakan hukum, sering menganggap bahwa yurisprudensi sebagai pendapat pribadi yang ditransfer ke agama. Dan jika mereka ingin memeriksa secara mendalam, tentu mereka menemukan bahwa ketentuan hukum Islam yang berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah. Deviasi adalah praktek umum di dunia hukum, sehingga benar-benar apa yang dikatakan Qatada: "Siapa yang tidak tahu penyimpangan maka hudungnya tidak pernah berbau hukum '', Hisham Al Razi juga mengatakan:" Siapa yang tidak tahu Jurists sengketa, maka ia bukan fikih ahli. '' [28]
Yurisprudensi sebagai akibat dari ulama ijtihad dan tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, secara otomatis akan berisi keragaman hasil yang ijtihad. Namun, tampaknya pada identitas sekolah ulama untuk sportif dan toleran ketika dihadapkan dengan fenomina tersebut, dan tetap konsisten dengan prinsip-prinsip firman Allah bahwa dalam hal terjadi perselisihan harus dibawa kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
4. Tujuan Mengetahui Untuk terjadinya penyimpangan
Mengetahui penyebab imam perbedaan pendapat sekolah sangat penting untuk membantu kita untuk keluar dari imitasi buta, karena kita akan tahu argumen yang mereka gunakan dan cara mereka berpikir dalam penentuan masalah hukum. Dengan demikian, maka akan mungkin untuk memperdalam studi masalah ini dalam sengketa, memeriksa sistem dan cara yang baik untuk menggali hukum, juga dapat mengembangkan keterampilan dalam yurisprudensi hukum bahkan akan mungkin untuk menjadi mujtahid.
C. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyimpangan perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum Islam dalam menentukan porsi yang furu'iyah hukum Islam, bukan pada isu-isu yang ushuliyah, karena perbedaan pemahaman atau perbedaan dalam menetapkan hukum Metode.
Yurisprudensi sebagai akibat dari ijtihad, secara otomatis akan berisi keragaman hasil yang ijtihad. Namun, tampaknya pada identitas sekolah ulama untuk sportif dan toleran ketika dihadapkan dengan fenomina tersebut, dan tetap konsisten dengan prinsip-prinsip firman Allah bahwa dalam hal terjadi perselisihan harus dibawa kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mengetahui penyebab imam perbedaan pendapat sekolah sangat penting untuk mengetahui argumen yang mereka gunakan dan cara mereka berpikir dalam penentuan masalah hukum. Jadi akan membuka kemungkinan memeriksa sistem dan cara yang baik untuk menggali hukum, juga dapat mengembangkan kemampuan di bidang hukum bahkan akan mungkin untuk menjadi mujtahid.
Wallah sowab tahu bish terbaik.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997.
al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Shahih al-Bukhari, Juz 2. Beirut: Dar ibn Katsir, 1987.
Ibn Al-Hajjaj, Abu Al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Juz 1. Beirut: Dar al-Jail, tt.
Ibrahim, Muslim, Pengantar Fiqh Muqaaran. Jakarta: Erlangga, 1991.
Misy’al, Mahmud Isma’il Muhammad, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif fiha. Kairo: Dar As-Salam, 2007.
Salam Madkur, Muhammad, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar an-Nahdhah al-Mishriyah, 1984.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,Volume 9. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
as-Sijistani, Abu Daud Sulaiman ibn al-Asyats, Sunan Abi Daud, Juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
*****
Sumenep, 15 September 2014
[1] Mahmud Isma’il Muhammad Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif fiha. (Kairo: Dar as-Salam, 2007), 43.
[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 47.
[3] Alquran, 19 (Maryam): 37.
[6] Ibid., 10 (Yunus): 93.
[7] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 48.
[8] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 59.
[9] Ibid., 91.
[10] Ibid., 51.
[11] Lihat misalnya Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran. (Jakarta: Erlangga, 1991), 21.
[12] Alquran, 2 (al-Baqarah): 228.
[13] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 99-100.
[14] Ibid., 102.
[15] Muhammad ibn Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 2. (Beirut: Dar ibn Katsir, 1987), 540.
[16] Ibid., 540.
[17] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 103.
[18] Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz 1. (Beirut: Dar al-Jail, tt.), 179.
[19] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 108.
[20] Ibid., 106.
[21] Abu Daud Sulaiman ibn al-Asyats As-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz 3. (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt), 143.
[23] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 14.
[24] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 94.
[25] Alquran, 24 (An-Nur): 4.
[26] Ibid., : 5.
[27] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 9. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 289-290.
[28] Muhammad Salam Madkur, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami. (Kairo: Dar An-Nahdhah al-Mishriyah, 1984), 111.